بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
 
BULUGHUL MARAM TENTANG TAYAMUM (BAHAS TUNTAS)
 
Kitab Bersuci: Bab Tayamum
 
Tayamum secara bahasa berarti berniat, memaksudkan (al-qashdu). Sedangkan secara istilah, tayamum adalah:
 
• Al-mashu (mengusap)
• Mengusap wajah dan tangan
• Dengan debu yang suci
• Sebagai ganti bersuci dengan air
• Ada uzur mengggunakan air
 
Syariat Tayamum adalah Di Antara Keistimewaan Nabi Muhammad dan Umatnya
 
Hadis Ke-126
 
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اَللَّهِ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا; أَنَّ اَلنَّبِيَّ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ: – أُعْطِيتُ خَمْسًا لَمْ يُعْطَهُنَّ أَحَدٌ قَبْلِي: نُصِرْتُ بِالرُّعْبِ مَسِيرَةَ شَهْرٍ, وَجُعِلَتْ لِي اَلْأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا, فَأَيُّمَا رَجُلٍ أَدْرَكَتْهُ اَلصَّلَاةُ فَلْيُصَلِّ – وَذَكَرَ اَلْحَدِيث َ
 
Dari Jabir bin ‘Abdullah radhiyallahu ‘anhuma, Nabi ﷺ bersabda: “Aku diberikan lima perkara, yang tidak diberikan kepada para nabi sebelumku. Di antara lima perkara itu adalah:
(a) Aku diberi pertolongan dengan diberikan rasa takut pada musuh dari sebulan perjalanan,
(b) Seluruh permukaan bumi dijadikan untukku sebagai tempat salat dan alat untuk bersuci. Siapa saja yang mendapati salat di bumi mana pun, maka salatlah.” [HR. Bukhari, no. 335 dan Muslim, no. 521]
 
Faidah Hadis
 
Pertama: Disyariatkan untuk membicarakan nikmat Allah, bukan untuk membanggakan diri
 
Allah ﷻ berfirman:
 
وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ
 
“Dan terhadap nikmat Rabbmu, maka hendaklah kamu siarkan.” [QS. Adh-Dhuha: 11]
 
Kedua: Nabi Muhammad dan umatnya diberikan lima keistimewaan
 
Hadis lengkapnya adalah sebagai berikut.
 
وَعَنْ جَابِرٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : « أُعْطِيْتُ خَمْسًا لَمْ يُعْطَهُنَّ أَحَدٌ مِنَ الأَنْبِيَاءِ قَبْلِي ، نُصِرْتُ بِالرُّعْبِ مَسِيْرَةَ شَهْرٍ ، وَجُعِلَتْ لِي الأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُوْرًا ، فَأَيُّمَا رَجُلٍ أَدْرَكَتْهُ الصَّلاَة ُفَلْيُصَلِّ ، وَأُحِلَّتْ لِي الغَنَائِمُ ، وَلَمْ تَحِلَّ لِأَحَدٍ قَبْلِي ، وَأُعْطِيْتُ الشَّفَاعَةُ ، وَكَانَ النَّبِيُّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ خَاصَّةً وَبُعِثْتُ لِلنَّاسِ عَامَّةً ».
 
Dari Jabir radhiyallahu ‘anhuma, Nabi ﷺ bersabda: “Aku dianugerahi lima perkara, yang tidak pernah diberikan seorang pun dari nabi-nabi sebelumku, yaitu:
 
a) Aku diberikan pertolongan dengan takutnya musuh, dari jarak sebulan perjalanan.
b) Dijadikan bumi bagiku sebagai tempat salat dan bersuci (untuk tayammum, pen.). Maka siapa saja dari umatku yang mendapati waktu salat, maka hendaklah ia salat.
c) Dihalalkan harta rampasan perang bagiku, dan tidak dihalalkan kepada seorang nabi pun sebelumku, dan
d) Aku diberikan kekuasaan memberikan syafaat (dengan izin Allah).
e) Para nabi diutus hanya untuk kaumnya, saja sedangkan aku diutus untuk seluruh manusia.” [HR. Bukhari, no. 438 dan Muslim, no. 521, 523]
 
Keistimewaan yang diberikan pada Nabi Muhammad ﷺ adalah:
 
a) Musuh diberikan rasa takut, walaupun jarak antara beliau ﷺ dan musuh sejauh sebulan perjalanan.
 
b) Setiap permukaan bumi bisa dijadikan tempat untuk salat (masjid). Sedangkan umat terdahulu untuk beribadah haruslah di tempat yang khusus. Setiap permukaan bumi dihukumi suci, dan bisa menyucikan yang lain.
 
c) Umat Islam dihalalkan ghanimah (harta rampasan perang dari orang kafir ketika jihad). Sedangkan harta rampasan umat terdahulu harus dikumpulkan di suatu tempat, lalu dibakar dengan api dari langit.
 
d) Nabi Muhammad ﷺ diberikan Syafaat Uzhma, yaitu untuk Ahli Mawqif yang sedang menunggu persidangan.
 
e) Nabi Muhammad ﷺ diutus pada seluruh umat manusia, sedangkan nabi lainnya diutus untuk umatnya saja.
 
Ketiga: Hadis ini jadi dalil bolehnya tayamum dengan tanah apa pun, asalkan suci.
 
Keempat: Boleh salat di tempat mana pun di muka bumi
 
Kelima: Hendaklah menunaikan salat pada waktunya dalam keadaan apa pun, baik mendapati air ataukah tidak mendapati air.
 
Keenam: Jika punya sangkaan kuat akan mendapati air pada akhir waktu, afdalnya mengakhirkan salat, agar syarat bersuci dengan air bisa dipenuhi. Sedangkan salat pada awal waktu hanya bertujuan menjaga salat pada awal waktu saja.
 
Ketujuh: Jika menurut sangkaan kuat tidak mendapati air hingga akhir waktu salat, mendahulukan salat pada awal waktu itu lebih afdal.
 
Disyaratkan Memakai Debu Saat Tayamum
 
Hadis Ke-127
 
وَفِي حَدِيثِ حُذَيْفَةَ عِنْدَ مُسْلِمٍ: – وَجُعِلَتْ تُرْبَتُهَا لَنَا طَهُورًا, إِذَا لَمْ نَجِدِ اَلْمَاءَ –
 
Dalam hadis dari Hudzaifah dari Imam Muslim:
“Dijadikan tanahnya itu sebagai alat untuk bersuci, jika tidak mendapati air.” [HR. Muslim, no. 522]
 
Hadis Ke-128
 
وَعَنْ عَلِيٍّ – رضي الله عنه – عِنْدَ أَحْمَدَ: – وَجُعِلَ اَلتُّرَابُ لِي طَهُورًا –
 
Dari ‘Ali radhiyallahu ‘anhu dari Imam Ahmad:
“Dijadikan debu untukku sebagai alat untuk bersuci.” [HR. Ahmad, 2:156-460. Sanad hadis ini Dhaif. Lihat penjelasan Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan dalam Minhah Al-‘Allam, 2:78]
 
Faidah Hadis
 
Pertama: Hadis ini jadi dalil, bahwa tayamum itu ada, jika tidak mendapati air. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam ayat:
 
فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا
 
“Kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci).” [QS. An-Nisaa’: 43]
 
Kedua: Berdasarkan hadis ini dan hadis Jabir radhiyallahu ‘anhuma terdapat faidah, bahwa seluruh permukaan bumi seperti pasir, tanah, dan batu bisa dijadikan alat untuk bersuci. Akan tetapi keumuman ini dikhususkan dengan tanah yang memiliki debu. Alasannya adalah ayat:
 
فَٱمْسَحُوا۟ بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُم مِّنْهُ
 
“Usaplah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu.” [QS. Al-Maidah: 6].
 
Ada kata “minhu”, kata “min” (berarti: dari) menunjukkan makna “tab’idh” (sebagian). Penerapannya adalah tidak mungkin bermakna sebagian dari debu, melainkan berlaku pada turob (tanah) yang memiliki ghubar (debu). Pendapat pertama ini dianut oleh Imam Syafii dan Imam Ahmad.
 
Pendapat kedua menyatakan: bahwa turoob adalah seluruh permukaan bumi, mencakup tanah, pasir, dan batu. Itulah yang dimaksud dengan ayat “sho’iidan thoyyiba”, shai’d yang suci. Sha’id adalah segala sesuatu di permukaan bumi. Pendapat inilah yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Asy-Syaukani.
 
Dalam ayat surah An-Nisaa’ tidak disebut kata “min”. Ayatnya berbunyi:
 
فَلَمْ تَجِدُوا۟ مَآءً فَتَيَمَّمُوا۟ صَعِيدًا طَيِّبًا فَٱمْسَحُوا۟ بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ
 
“Kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci). Usaplah mukamu dan tanganmu.” [QS. An-Nisaa’: 43]
 
Dalam hadis:
 
وَجُعِلَتْ لِي الأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُوْرًا
 
“Dijadikan bagiku bumi sebagai tempat salat dan alat untuk bersuci.”
 
Yang dimaksud al-ardhu di sini adalah seluruh permukaan bumi, karena alif laam yang ada dalam kata al-ardhu menunjukkan istighroq afroodul jinsi, mencakup seluruh jenis. [Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, 2:79]
 
Pendapat kedua adalah pendapat terkuat karena:
 
a) Pengkhususan hadis hanya dengan bagian bumi yang memiliki debu tidaklah tepat.
 
b) Rasul ﷺ ketika bersafar bersama para sahabatnya pada Perang Tabuk (tahun 9 H), mereka mengambil pasir di perjalanan. Ketika itu mereka tidak ada yang membawa debu, dan Rasulullah ﷺ tidaklah memerintahkan mereka untuk membawa debu. Mereka ketika itu berwudhu dengan sesuatu yang ada di permukaan bumi yang mudah mereka temui.
 
c) At-Turoob dijadikan sebagai syarat, adalah karena alasan mafhum laqob. Para ulama ushul menganggap berdalil dengan mafhum laqob tidaklah kuat.
 
Tata Cara Tayamum Dari Ammar Bin Yasir
 
Hadis Ke-129
 
وَعَنْ عَمَّارِ بْنِ يَاسِرٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: – بَعَثَنِي اَلنَّبِيُّ – صلى الله عليه وسلم – فِي حَاجَةٍ, فَأَجْنَبْتُ, فَلَمْ أَجِدِ اَلْمَاءَ, فَتَمَرَّغْتُ فِي اَلصَّعِيدِ كَمَا تَمَرَّغُ اَلدَّابَّةُ, ثُمَّ أَتَيْتُ اَلنَّبِيَّ – صلى الله عليه وسلم – فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لَهُ, فَقَالَ: “إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيكَ أَنْ تَقُولَ بِيَدَيْكَ هَكَذَا” ثُمَّ ضَرَبَ بِيَدَيْهِ اَلْأَرْضَ ضَرْبَةً وَاحِدَةً, ثُمَّ مَسَحَ اَلشِّمَالَ عَلَى اَلْيَمِينِ, وَظَاهِرَ كَفَّيْهِ وَوَجْهَهُ – مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ, وَاللَّفْظُ لِمُسْلِم ٍ
 
وَفِي رِوَايَةٍ لِلْبُخَارِيِّ: وَضَرَبَ بِكَفَّيْهِ اَلْأَرْضَ, وَنَفَخَ فِيهِمَا, ثُمَّ مَسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ وَكَفَّيْه ِ
 
Dari Ammar bin Yasir radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata: “Nabi ﷺ mengutusku dalam suatu hajat, lantas aku berada dalam keadaan junub dan tidak mendapati air. Aku menggulung-gulung di tanah sebagaimana hewan berbolak-balik. Kemudian aku mendatangi Nabi ﷺ, aku menceritakan hal tadi pada beliau. Lantas Nabi ﷺ bersabda: “Cukup bagimu melakukan dengan kedua telapak tanganmu seperti ini.” Kemudian beliau menepukkan kedua telapak tangannya di tanah sekali, kemudian beliau mengusap tangan kirinya pada tangan kanannya, beliau mengusap punggung tangannya dan mengusap wajahnya.” [Muttafaqun ‘alaih. Hadis ini adalah lafal Muslim] [HR. Bukhari, no. 347 dan Muslim, no. 368]
 
Dalam riwayat Bukhari disebutkan:
“Beliau ﷺ menepukkan kedua telapak tangannya di tanah, lalu beliau tiup kedua tangan tersebut, kemudian beliau mengusap wajah dan kedua telapak tangan.”
 
Faidah Hadis
 
Pertama: Ammar yang dimaksud di sini adalah Ammar bin Yasir bin ‘Amir Al-‘Anasi Abul Yaqzhan, bekas budak Bani Makhzum. Ia, ayah, dan ibunya masuk Islam pada masa awal. Lantas orang musyrik menyiksa mereka. Ketika itu Nabi ﷺ melewati mereka dalam keadaan sedang disiksa di Makkah. Nabi ﷺ bersabda:
 
صَبْرًا يَا آلَ يَاسِرٍ ، فَإِنَّ مَوْعِدَكُمُ الجَنَّةُ
 
“Bersabarlah wahai keluarga Yasir. Kalian telah dijaminkan Ssurga.” [HR. Al-Hakim dalam Al-Mutadrak. Hadis ini disahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Takhrij As-Sirah, hlm. 108. Hadis ini memiliki berbagai jalur yang menjadi penguat untuk mendukung kesahihannya. Lihat catatan kaki dalam Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, 2:81]
 
Ammar bin Yasir telah mengikut seluruh peperangan bersama Nabi ﷺ.
 
Dari ‘Ali radhiyallahu ‘anhu ia berkata, bahwa Ammar ketika itu datang meminta izin pada Nabi ﷺ, beliau berkata:
 
ائْذَنُوا لَهُ مَرْحَبًا بِالطَّيِّبِ الْمُطَيَّبِ
 
“Izinkan ia masuk. Kelapangan untukmu, wahai laki-laki yang suci dan disucikan.” [HR. Tirmidzi, no. 3798 dan Ibnu Majah, no. 146. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadis ini Hasan. Lihat penjelasan hadisnya dalam Tuhfah Al-Ahwadzi]
 
Banyak hadis hingga sampai derajat Mutawatir yang menceritakan, bahwa kaum pemberontak akan membunuh Ammar bin Yasir. Berita ini dikabarkan oleh Rasulullah ﷺ. Hadis-hadis itu menyebutkan, bahwa Ammar dibunuh saat Perang Shiffin saat bersama ‘Ali pada tahun 37 Hijriyah. [Lihat Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, 2:81-82]
 
Kedua: Bolehnya tayamum ketika dalam keadaan junub saat tidak mendapati air. Tayamum tidaklah khusus untuk hadas kecil, tetapi berlaku juga untuk hadas besar. Setelah membicarakan bersuci dengan air, ayat Alquran menyebutkan:
 
وَإِن كُنتُم مَّرْضَىٰٓ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَآءَ أَحَدٌ مِّنكُم مِّنَ ٱلْغَآئِطِ أَوْ لَٰمَسْتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَلَمْ تَجِدُوا۟ مَآءً فَتَيَمَّمُوا۟ صَعِيدًا طَيِّبًا فَٱمْسَحُوا۟ بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ
 
“Dan jika kamu sakit, atau sedang dalam musafir, atau datang dari tempat buang air, atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci). Usaplah mukamu dan tanganmu.” [QS. An-Nisaa’: 43]
 
Ayat di atas menyebutkan, bahwa tayamum itu karena ada dua sebab:
 
Karena hadas kecil, pada bagian ayat:
أَوْ جَآءَ أَحَدٌ مِّنكُم مِّنَ ٱلْغَآئِطِ
 
“Atau datang dari tempat buang air.”
 
Karena hadas besar pada bagian ayat:
 
أَوْ لَٰمَسْتُمُ ٱلنِّسَا
 
“Atau kamu telah menyentuh perempuan.”
 
Menyentuh perempuan yang dimaksud dalam ayat ini adalah hubungan intim (jimak).
 
Ketiga: Tata cara tayamum karena junub sama dengan tata cara tayamum karena mengalami hadas kecil. Tata cara keduanya adalah menepuk tanah dengan kedua telapak tangan dengan sekali tepukan, lalu telapak tangan kiri mengusap bagian dalam telapak tangan kanan dan punggung telapak tangan kanan, dilanjutkan mengusap wajah.
 
Keempat: Dalam riwayat pertama disebutkan mengusap kedua telapak tangan dahulu, lalu mengusap wajah. Sedangkan dalam riwayat kedua disebutkan wajah, lalu kedua telapak tangan. Yang kedua ini sesuai dengan ayat:
 
فَٱمْسَحُوا۟ بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُم مِّنْهُ
 
“Usaplah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu.” [QS. Al-Maidah: 6]
 
Perlu diketahui, bahwa kebanyakan riwayat itu menyebutkan mengusap wajah dahulu dari mengusap kedua telapak tangan. Mendahulukan mengusap wajah lalu telapak tangan adalah urutan yang disebutkan dalam Alquran, karena ayat wudhu juga menunjukkan urutan.
 
Adapun riwayat mengusap kedua telapak tangan, perlu dipahami bahwa huruf “waw” tidak menunjukkan urutan. Huruf “waw” hanyalah “muthlaq al-jam’i“, hanya menunjukkan penggabungan.
 
Kelima: Boleh menggunakan sedikit debu saat menempel debu yang banyak pada kedua telapak tangan, dengan cara meniupnya, kemudian mengusap wajah dan kedua telapak tangan.
 
Masalah Sekali Tepukan dan Mengusap Tangan Sampai Siku
 
Hadis Ke-130
 
وَعَنِ اِبْنِ عُمَرَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – – التَّيَمُّمُ ضَرْبَتَانِ ضَرْبَةٌ لِلْوَجْهِ, وَضَرْبَةٌ لِلْيَدَيْنِ إِلَى اَلْمِرْفَقَيْنِ – رَوَاهُ اَلدَّارَقُطْنِيُّ, وَصَحَّحَاَلْأَئِمَّةُ وَقْفَه
 
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma ia berkata, Rasulullah ﷺ bersabda:
“Tayamum itu dua kali tepukan. Satu tepukan untuk wajah dan satu tepukan untuk kedua telapak tangan sampai siku.” [HR. Ad-Daruquthni dan disahihkan oleh para imam bahwa hadis ini Mawquf]. [HR. Ad-Daruquthni, 1:180; Al-Hakim, 1:287; Ibnu ‘Adi, 5:188. Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan mengatakan bahwa sanad hadis ini Dhaif. Lihat Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, 2:85]
 
Faidah Hadis
 
Pertama: Tayamum cukup dengan sekali tepukan, untuk wajah dan kedua telapak tangan. Inilah yang lebih tepat menurut Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan. Dalam Madzhab Imam Ahmad, seandainya menepuk dua kali, yaitu sekali untuk wajah dan sekali untuk kedua telapak tangan, itu boleh. Menurut Imam Syafii dan ashabur ro’yi, tayamum itu dua kali tepukan.
 
Kedua: Yang tepat, pada saat mengusap tangan saat tayamum hanya pada telapak tangan saja, hingga pergelangan tangan. Kedua telapak tangan inilah yang dimaksudkan dalam ayat:
 
فَٱمْسَحُوا۟ بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُم مِّنْهُ
 
“Usaplah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu.” [QS. Al-Maidah: 6]
 
Tangan (al-yad) jika disebutkan secara mutlak, yang dimaksud adalah telapak tangan sebagaimana dalam ayat:
 
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا
 
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya.” [QS. Al-Maidah: 38]
 
Tangan pencuri hanyalah dipotong hingga telapak tangan. Inilah Ijmak ulama.
 
Adapun dalam ayat wudhu disebutkan:
 
وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى ٱلْمَرَافِقِ
 
“Dan tanganmu hingga siku.” [QS. Al-Maidah: 6]
 
Ayat yang menyebutkan mutlak tidak bisa dibawa ke ayat yang menyebutkan muqoyyad (ada tambahan hingga siku). Karena yang satu membicarakan tayamum, yang satunya lagi membicarakan wudhu, hukumnya berbeda. Ayat wudhu memakai istilah al-ghuslu (membasuh/ mencuci). Sedangkan ayat tayamum memakai istilah al-mas-hu (mengusap). Wallahu a’lam.
 
Tayamum Itu Untuk Menghilangkan Hadas
 
Hadis Ke-131
 
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رضي الله عنه – قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – – اَلصَّعِيدُ وُضُوءُ اَلْمُسْلِمِ, وَإِنْ لَمْ يَجِدِ اَلْمَاءَ عَشْرَ سِنِينَ, فَإِذَا وَجَدَ اَلْمَاءَ فَلْيَتَّقِ اَللَّهَ, وَلْيُمِسَّهُ بَشَرَتَهُ – رَوَاهُ اَلْبَزَّارُ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ اَلْقَطَّانِ, ]و] لَكِنْ صَوَّبَ اَلدَّارَقُطْنِيُّ إِرْسَالَه ُ
 
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ia berkata, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
“Tanah itu merupakan alat berwudhu bagi orang Islam, meskipun ia tidak menjumpai air hingga sepuluh tahun. Maka jika ia telah mendapatkan air, hendaklah ia bertakwa kepada Allah, dan menggunakan air untuk mengusap kulitnya.” [Diriwayatkan oleh Ad-Darutuqhni, bahwa hadis ini Mursal] [HR. Al-Bazzar dalam MukhtAsar Zawaidnya, 1:175. Hadis ini Mursal menurut Ad-Daruquthni sebagaimana disebutkan oleh Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan dalam Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, 2:89]
 
Hadis Ke-132
 
وَلِلتِّرْمِذِيِّ: عَنْ أَبِي ذَرٍّ نَحْوُهُ, وَصَحَّحَه ُ
 
Menurut Imam At-Tirmidzi, dari hadis Abu Dzar, ada hadis yang serupa, dan menurutnya hadis tersebut sahih. [HR. Abu Daud, no. 332; Tirmidzi, no. 124; An-Nasai, 1:171; Ahmad, 35:448. Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan menyimpulkan bahwa hadis ini tidaklah turun dari derajat Hasan, sebagaimana disebutkan dalam Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, 2:90]
 
Faidah Hadis
 
Pertama: Tayamum itu sebagai muthahhir (menyucikan) dan menghilangkan hadas. Tayamum bukanlah hanya mubiihan lish sholaah (hanya dibolehkan untuk salat). Karena dalam hadis ini Rasulullah ﷺmenyebut tayamum sebagai wudhu seorang Muslim. Pendapat ini dipilih oleh Imam Abu Hanifah, salah satu pendapat dari Imam Ahmad, menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, dan ulama lainnya. Pendapat pertama ini berbeda dengan pendapat Jumhur Ulama (Madzhab Imam Malik, Syafii, dan masyhur dari Imam Ahmad), bahwa tayamum hanyalah mubiihan lish shalaah (hanya dibolehkan untuk salat). Jumhur Ulama tidaklah menghukumi tayamum sebagai penghilang hadas.
 
Pendapat terkuat adalah pendapat pertama, bahwa tayamum itu untuk menghilangkan hadas secara temporer, hingga menemukan air, atau hingga sanggup menggunakan air. Alasannya:
 
Setelah penyebutan tayamum disebutkan:
 
مَا يُرِيدُ ٱللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُم مِّنْ حَرَجٍ وَلَٰكِن يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ
 
“Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu, dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu.” [QS. Al-Maidah: 6]
 
Allah menginginkan tayamum itu untuk menyucikan, sebagaimana air juga untuk menyucikan.
 
Tayamum adalah pengganti bersuci dengan air. Sebagaimana dalam kaidah disebutkan:
 
أَنَّ البَدَلَ لَهُ حُكْمُ المبْدَلِ
 
“Hukum badal (pengganti) sama dengan hukum yang digantikan.”
 
Jika bersuci dengan air akan menghilangkan hadas, tentu tayamum juga akan menghilangkan hadas.
 
Kedua: Tayamum untuk keadaan junub. Kemudian setelah itu mampu menggunakan air, diperintahkan untuk mandi. Wallahu a’lam.
 
Tayamum Kemudian Mendapati Air Pada Waktunya
 
Hadis Ke-133
 
وَعَنْ أَبِي سَعِيدٍ اَلْخُدْرِيِّ – رضي الله عنه – قَالَ: – خَرَجَ رَجُلَانِ فِي سَفَرٍ, فَحَضَرَتْ اَلصَّلَاةَ -وَلَيْسَ مَعَهُمَا مَاءٌ- فَتَيَمَّمَا صَعِيدًا طَيِّبًا, فَصَلَّيَا, ثُمَّ وَجَدَا اَلْمَاءَ فِي اَلْوَقْتِ. فَأَعَادَ أَحَدُهُمَا اَلصَّلَاةَ وَالْوُضُوءَ, وَلَمْ يُعِدِ اَلْآخَرُ, ثُمَّ أَتَيَا رَسُولَ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَذَكَرَا ذَلِكَ لَهُ, فَقَالَ لِلَّذِي لَمْ يُعِدْ: “أَصَبْتَ اَلسُّنَّةَ وَأَجْزَأَتْكَ صَلَاتُكَ” وَقَالَ لِلْآخَرِ: “لَكَ اَلْأَجْرُ مَرَّتَيْنِ” – رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ, ]و] النَّسَائِيّ ُ
 
Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
“Ada dua orang laki-laki keluar bepergian, lalu datanglah waktu salat, sedangkan mereka tidak mempunyai air. Maka mereka bertayamum dengan tanah suci dan menunaikan salat.
 
Kemudian mereka menjumpai air pada waktu itu juga. Lalu salah seorang dari keduanya mengulangi salat dan wudhu, sedangkan yang lainnya tidak. Kemudian mereka menghadap Rasulullah ﷺ dan menceritakan hal itu kepadanya.
Maka beliau ﷺ bersabda kepada orang yang tidak mengulanginya: ‘Engkau telah melakukan sesuai sunnah, dan salatmu sudah sah bagimu.’
Beliau ﷺ bersabda kepada yang lainnya: ‘Engkau mendapatkan pahala dua kali.’ [HR. Abu Daud, no. 338 dan An-Nasai, 1:213. Hadis ini ada kritikan, apakah termasuk hadis Mursal ataukah hadis Mawshul yang bersambung. Syaikh Al-Albani menyatakan: bahwa sanad hadis yang Mawshul (Bersambung) itu sahih. Lihat Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, 2:93-95]
 
Catatan:
 
Walaupun hadis di atas dianggap Mursal, hadis tersebut dikuatkan oleh riwayat dari Nafi’, dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia pernah tayamum lalu salat Asar. Ia berada satu atau dua mil dari Madinah, kemudian ia masuk Madinah, dan matahari masih meninggi (belum tenggelam), tetapi ia tidak mengulangi salat Asar. [HR. ‘Abdurrozaq, 1:229, sanad hadis ini sahih. Hadis ini punya jalur lain. Lihat catatan kaki Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, 2:96]
 
Faidah Hadis
 
Pertama: Jika ada yang tayamum lalu salat, kemudian ia mendapati air pada waktu salat, salat yang sudah dikerjakan sebelumnya tidak perlu diulang. Itulah yang sesuai tuntunan.
 
Kedua: Hadis ini menjadi dalil, bahwa siapa yang tayamum kemudian salat, lalu ia mendapati air setelah ia salat, kemudian ia mengulangi salat, ia mendapatkan pahala. Hal ini dengan syarat, ia menganggapnya itu wajib. Ia tidak mengetahui, kalau tidak mengulangi, itulah yang sesuai tuntunan.
 
Adapun jika ia mengetahui hukum syari, bahwa yang sesuai tuntunan adalah tidak mengulangi salat, tetapi ia tetap mengulanginya supaya mendapatkan pahala dua kali, seperti ini dihukumi keliru, karena menyelisihi tuntunan dengan sengaja.
 
Ketiga: Siapa saja yang tayamum lalu ia mendapati air, ada tiga keadaan dalam hal ini:
 
a) Mendapati air di luar waktu salat, ia tidak mengulangi salat. Hal ini ada Ijmak dari para ulama.
 
b) Mendapati air setelah salat, tetapi masih dalam waktu salat, seperti ini tidak ada pengulangan. Bahkan tidak disyariatkan untuk diulang menurut pendapat terkuat dari para ulama. Inilah pendapat Jumhur dan pendapat Imam Madzhab yang Empat.
c) Mendapati air saat dalam keadaan salat, misalnya ia utus seseorang untuk mencari air dan ia sendiri mengerjakan salat, yang lebih baik dan lebih hati-hati adalah membatalkan tayamum dan salat, lalu berwudhu, kemudian memulai salat dari awal.
 
Tayamum Saat Sakit
 
Hadis Ke-134
 
وَعَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا فِي قَوْلِهِ – عز وجل – { وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ } قَالَ: “إِذَا كَانَتْ بِالرَّجُلِ اَلْجِرَاحَةُ فِي سَبِيلِ اَللَّهِ وَالْقُرُوحُ, فَيُجْنِبُ, فَيَخَافُ أَنْ يَمُوتَ إِنْ اِغْتَسَلَ: تَيَمَّمَ” . رَوَاهُ اَلدَّارَقُطْنِيُّ مَوْقُوفًا, وَرَفَعَهُ اَلْبَزَّارُ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ خُزَيْمَةَ, وَالْحَاكِم ُ
 
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma tentang firman Allah: “Jika kamu sakit atau dalam perjalanan”, beliau mengatakan:
“Apabila seseorang mengalami luka-luka di jalan Allah, atau terserang penyakit kudis lalu ia junub, tetapi ia takut akan mati jika ia mandi, maka boleh baginya bertayamum.” [Diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni secara Mawquf. Hadis ini Marfu menurut Al-Bazzar, dan sahih menurut Ibnu Khuzaimah dan Al-Hakim] [HR. Ad-Daruquthni, 1:177. Hadis ini punya penguat dalam Al-Baihaqi, 1:224. Hadis ini dikeluarkan secara Marfu dari Ibnu Khuzaimah, 1:138; Al-Hakim, 1:270; Al-Baihaqi, 1:224. Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan menyatakan: bahwa hadis ini Mawquf, sebagaimana dikuatkan pula Mawqufnya oleh Abu Hatim dan Abu Zur’ah]
 
Faidah Hadis
 
Pertama: Setiap orang sakit yang dapat mudarat jika menggunakan air, ia boleh tayamum, walaupun menggunakan air nantinya tidak membuatnya mati. Apabila ada luka, bisa jadi membuat luka bertambah parah saat menggunakan air, tertunda sembuhnya, lebih lama sakitnya, atau semacamnya. Keadaan sakit seperti ini membolehkan untuk tayamum.
 
Kedua: Jika yang sakit dalam keadaan hadas kecil maupun hadas besar, lantas sulit menggunakan air, boleh beralih pada tayamum.
 
Ketiga: Safar disebutkan dalam hadis karena dilihat dari ghalib (keumuman). Safar biasanya akan sulit menemukan air. Jika musafir tidak mendapati air atau ada air, tetapi digunakan untuk minum atau memasak, ia boleh tayamum. Namun safar itu sendiri bukanlah jadi sebab tayamum itu ada. Jika musafir mendapati air dan tidak masalah menggunakannya, ia tidak boleh beralih pada tayamum. Wallahu a’lam.
 
Hukum Mengusap Pembalut Luka
 
Hadis Ke-135
 
وَعَنْ عَلِيٍّ – رضي الله عنه – قَالَ: – اِنْكَسَرَتْ إِحْدَى زَنْدَيَّ فَسَأَلْتُ رَسُولَ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَأَمَرَنِي أَنْ أَمْسَحَ عَلَى اَلْجَبَائِرِ – رَوَاهُ اِبْنُ مَاجَه بِسَنَدٍ وَاهٍ جِدًّا
 
Dari ‘Ali radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
“Salah satu dari pergelanganku retak. Lalu aku tanyakan pada Rasulullah ﷺ, dan beliau menyuruhku agar aku mengusap di atas pembalutnya.” [Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dengan sanad yang amat lemah] [HR. Ibnu Majah, no. 657. Hadis ini Wahin Jiddan, Lemah Sekali. Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan menyetujui perkataan Ibnu Hajar, sebagaimana disebut dalam Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, 2:101-102]
 
Hadis Ke-136
 
وَعَنْ جَابِرٍ]بْنُ عَبْدِ اَللَّهِ] رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا فِي اَلرَّجُلِ اَلَّذِي شُجَّ, فَاغْتَسَلَ فَمَاتَ -: “إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيهِ أَنْ يَتَيَمَّمَ, وَيَعْصِبَ عَلَى جُرْحِهِ خِرْقَةً, ثُمَّ يَمْسَحَ عَلَيْهَا وَيَغْسِلَ سَائِرَ جَسَدِهِ” – رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ بِسَنَدٍ فِيهِ ضَعْفٌ, وَفِيهِ اِخْتِلَافٌ عَلَى رُوَاتِه ِ
 
Dari Jabir bin ‘Abdullah radhiyallahu ‘anhuma tentang seorang yang terluka pada kepalanya lalu mandi dan meninggal dunia. Nabi ﷺ bersabda: “Cukup baginya bertayamum, dan membalut lukanya dengan kain, kemudian mengusap di atasnya, dan membasuh seluruh tubuhnya.” [Diriwayatkan oleh Abu Daud dengan sanad yang lemah. Di dalamnya ada perbedaan pendapat tentang para perawinya] [HR. Abu Daud, no. 336. Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan menyimpulkan bahwa hadis dalam bab ini Dhaif, tidak bisa dijadikan pendukung]
 
Faidah Hadis
 
Pertama: Hadis tentang mengusap kain pembalut luka sangatlah Dhaif. Disebut Hadis Waahin Jiddan. Hadis Wahin adalah hadis yang tidak sahih, baik dari sisi syawahid maupun mutaba’ah (penguatnya).
 
Kedua: Menurut Jumhur Ulama (Hambali, Syafiiyah, Malikiyah, Hanafiyah, sampai Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah) berpendapat, bahwa tetap ada syariat mengusap kain pembalut luka. Alasannya:
 
a) Mengusap kain pembulat luka adalah bentuk qiyas dari mengusap kedua khuf. Mengusap khuf adalah mengusap yang bukan darurat, itu saja boleh. Jika seperti ini dibolehkan, berarti mengusap kain pembalut luka yang dalam keadaan darurat, jelas dibolehkan.
 
b) Mengusap (al-mas-hu) dengan air pada bagian yang wajib dibasuh (al-ghuslu) tentu lebih utama daripada bersuci dengan mengusap menggunakan debu di selain tempat yang wajib dicuci. Alasannya, air itu lebih utama daripada debu.
 
c) Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma pernah berwudhu, di telapak tangannya ada sesuatu yang dibalut. Ibnu ‘Umar lantas mengusap pembalut tersebut, sedangkan bagian yang lain tetap dicuci (al-ghuslu). [HR. Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra. Ia mengatakan hadis ini sahih dari Ibnu ‘Umar)
 
Kalau pembalut luka sudah diusap saat wudhu, tidak perlu lagi tayamum setelah itu. Inilah pendapat terkuat, sebagaimana pula dipilih oleh Ibnu Taimiyyah, karena mengharuskan menyucikan satu anggota tubuh dengan dua cara bersuci menyelisihi kaidah syariat. Akan tetapi jika anggota tubuh yang terbuka (tetapi memiliki luka), lantas bahaya jika dicuci atau pun diusap, maka beralih pada tayamum.
 
Ketiga: Anggota tubuh yang terdapat luka ada dua keadaan:
 
a) Dalam keadaan tertutup, hukumnya adalah diusap pada perban luka.
 
b) Dalam keadaan terbuka, hukumnya melihat pada tiga keadaan:
• Tidak bahaya dicuci (al-Ghuslu), tetap dicuci pada anggota wudhu;
• Bahaya jika dicuci (al-Ghuslu), diusap pada anggota wudhu;
• Bahaya jika diusap (al-Mashu), beralih pada tayamum.
 
Wallahu a’lam.
 
Apakah Tayamum Hanya Berlaku Untuk Satu Salat?
 
Hadis Ke-137
 
وَعَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: – مِنْ اَلسُّنَّةِ أَنْ لَا يُصَلِّيَ اَلرَّجُلُ بِالتَّيَمُّمِ إِلَّا صَلَاةً وَاحِدَةً, ثُمَّ يَتَيَمَّمُ لِلصَّلَاةِ اَلْأُخْرَى – رَوَاهُ اَلدَّارَقُطْنِيُّ بِإِسْنَادٍ ضَعِيفٍ جِدًّا
 
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Termasuk sunnah Rasul adalah seseorang tidak menunaikan salat dengan tayamum, kecuali hanya untuk sekali salat saja, kemudian ia bertayamum lagi untuk salat yang lain.” [Diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni dengan sanad yang sangat lemah] [HR. Ad-Daruquthni, 1:185; ‘Abdurrozaq, 1:214; Al-Baihaqi, 1:221. Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan mengatakan bahwa sanad hadis ini Dhaif Jiddan, Sangat Lemah. Syaikh Al-Albani menghukumi hadis ini sebagai hadis Mawdhu’]
 
Catatan:
 
Ada atsar dari sahabat Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa ia tayamum untuk setiap kali salat, walaupun ia tidak berhadas. [HR. Ad-Daruquthni, 1:184; Al-Baihaqi, 1:221. Al-Baihaqi mengatakan bahwa sanad hadis ini sahih. Para sahabat lainnya tidak ada yang menyelisihi hadis Ibnu ‘Umar ini).
 
Faidah Hadis
 
Satu tayamum hanya boleh untuk satu salat saja. Kalau ada salat kedua dalam satu waktu, maka perlu mengulangi tayamum. Inilah pendapat Imam Syafii, Malik, Ahmad dalam pendapatnya yang masyhur. Pendapat ini dibangun dari dasar, tayamum itu hanyalah membolehkan untuk salat, bukan menghilangkan hadas.
 
Ada pendapat kedua yang menyatakan: bahwa tayamum boleh untuk beberapa salat. Inilah pendapat Imam Abu Hanifah, salah satu pendapat dari Imam Ahmad, dan pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Pendapat ini dibangun dari dasar, tayamum itu menghilangkan hadas hingga didapati air. Pendapat kedua inilah yang lebih tepat. Wallahu a’lam.
 
Referensi
Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram. Cetakan keempat, Tahun 1433 H. Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.
 
 
Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal
 
Untuk lihat videonya, silakan klik tautan berikut: https://www.facebook.com/1674957829413043/videos/766852534234042
 
Ikuti kami selengkapnya di:
WhatsApp: +61 (450) 134 878 (silakan mendaftar terlebih dahulu)
Website: https://nasihatsahabat.com/
Twitter: @NasihatSalaf
Facebook: https://www.facebook.com/nasihatsahabatcom/
Instagram: NasihatSahabatCom
Telegram: https://t.me/nasihatsahabat
Pinterest: https://id.pinterest.com/nasihatsahabat
Baca juga:
BULUGHUL MARAM TENTANG TAYAMUM (BAHAS TUNTAS)
BULUGHUL MARAM TENTANG TAYAMUM (BAHAS TUNTAS)
BULUGHUL MARAM TENTANG TAYAMUM (BAHAS TUNTAS)
BULUGHUL MARAM TENTANG TAYAMUM (BAHAS TUNTAS)
BULUGHUL MARAM TENTANG TAYAMUM (BAHAS TUNTAS)
BULUGHUL MARAM TENTANG TAYAMUM (BAHAS TUNTAS)
BULUGHUL MARAM TENTANG TAYAMUM (BAHAS TUNTAS)