بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

#SifatSholatNabi

PANDUAN SHALAT TAHAJUD

Alhamdulillah, wa shalaatu wa salaamu ‘ala Rosulillah wa ‘ala alihi wa shohbihi wa man tabi’ahum bi ihsanin ilaa yaumid diin.

Suatu kenikmatan yang sangat indah adalah bila seorang hamba bisa merasakan bagaimana bermunajat dengan Allah di tengah malam terutama ketika sepertiga malam terakhir. Berikut sedikit panduan dari kami mengenai shalat tahajud.

Maksud Shalat Tahajud

Shalat malam (Qiyamul Lail) biasa disebut juga dengan shalat tahajud. Mayoritas pakar fikih mengatakan, bahwa shalat tahajud adalah shalat sunnah yang dilakukan di malam hari secara umum setelah bangun tidur. [Lihat Shahih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik, 1/397, Al Maktabah At Taufiqiyah]

Keutamaan Shalat Tahajud

Pertama: Shalat tahajud adalah sifat orang bertakwa dan calon penghuni Surga.

Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّ الْمُتَّقِينَ فِي جَنَّاتٍ وَعُيُونٍ (15) آَخِذِينَ مَا آَتَاهُمْ رَبُّهُمْ إِنَّهُمْ كَانُوا قَبْلَ ذَلِكَ مُحْسِنِينَ (16) كَانُوا قَلِيلًا مِنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ (17) وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ (18)

“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa itu berada dalam taman-taman (Surga) dan mata air-mata air, sambil menerima segala pemberian Rabb mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat kebaikan. Di dunia mereka sedikit sekali tidur di waktu malam. Dan selalu memohonkan ampunan di waktu pagi sebelum fajar.” (QS. Adz Dzariyat: 15-18).

Al Hasan Al Bashri mengatakan mengenai ayat ini: “Mereka bersengaja melaksanakan Qiyamul Lail (shalat tahajud). Di malam hari mereka hanya tidur sedikit saja. Mereka menghidupkan malam hingga sahur (menjelang Subuh). Dan mereka pun banyak beristighfar di waktu sahur.” [Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, 13/212, Maktabah Al Qurthubah]

Kedua: Tidak sama antara orang yang shalat malam dan yang tidak.

Allah Ta’ala berfirman:

أَمْ مَنْ هُوَ قَانِتٌ آَنَاءَ اللَّيْلِ سَاجِدًا وَقَائِمًا يَحْذَرُ الْآَخِرَةَ وَيَرْجُو رَحْمَةَ رَبِّهِ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ

“(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung), ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) Akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran. ” (QS. Az Zumar: 9). Yang dimaksud Qunut dalam ayat ini bukan hanya berdiri, namun juga disertai dengan khusu’. [Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 12/115]

Salah satu maksud ayat ini, “Apakah sama antara orang yang berdiri untuk beribadah (di waktu malam) dengan orang yang tidak demikian?!” [Lihat Zaadul Masiir, Ibnul Jauzi, 7/166, Al Maktab Al Islami]. Jawabannya, tentu saja tidak sama.

Ketiga: Shalat tahajud adalah sebaik-baik shalat sunnah.

Nabi ﷺ bersabda:

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ شَهْرِ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ

“Sebaik-baik puasa setelah puasa Ramadan adalah puasa pada bulan Allah, Muharram. Sebaik-baik shalat setelah shalat wajib adalah shalat malam.” [HR. Muslim no. 1163, dari Abu Hurairah]

An Nawawi rahimahullah mengatakan: “Ini adalah dalil dari kesepakatan ulama, bahwa shalat sunnah di malam hari lebih baik dari shalat sunnah di siang hari. Ini juga adalah dalil bagi ulama Syafi’iyah (yang satu madzhab dengan kami), di antaranya Abu Ishaq Al Maruzi dan yang sepaham dengannya, bahwa shalat malam lebih baik dari shalat sunnah Rawatib. Sebagian ulama Syafi’iyah yang lain berpendapat, bahwa shalat sunnah Rawatib lebih afdhol (lebih utama) dari shalat malam, karena kemiripannya dengan shalat wajib. Namun pendapat pertama tetap lebih kuat dan sesuai dengan hadis. Wallahu a’lam. [Al Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al Hajjaj, 8/55, Dar Ihya’ At Turots Al ‘Arobi, Beirut, 1392]

Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan: “Waktu tahajud di malam hari adalah sebaik-baik waktu pelaksanaan shalat sunnah. Ketika itu hamba semakin dekat dengan Rabbnya. Waktu tersebut adalah saat dibukakannya pintu langit dan terijabahinya (terkabulnya) doa. Saat itu adalah waktu untuk mengemukakan berbagai macam hajat kepada Allah.” [Lathoif Al Ma’arif, Ibnu Rajab Al Hambali, hal. 77, Al Maktab Al Islami, cetakan pertama, tahun 1428 H]

‘Amr bin Al ‘Ash mengatakan: “Satu rakaat shalat sunnah di malam hari lebih baik dari 10 rakaat shalat sunnah di siang hari.” Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Dunya. [Lathoif Al Ma’arif, hal. 76]

Ibnu Rajab mengatakan: “Di sini ‘Amr bin Al ‘Ash membedakan antara shalat malam dan shalat di siang hari. Shalat malam lebih mudah dilakukan sembunyi-sembunyi, dan lebih mudah mengantarkan pada keikhlasan.”[ Lathoif Al Ma’arif, hal. 76]. Inilah sebabnya para ulama lebih menyukai shalat malam karena amalannya yang jarang diketahui orang lain.

Keempat: Shalat tahajud adalah kebiasaan orang saleh.

Nabi ﷺ bersabda:

عَلَيْكُمْ بِقِيَامِ اللَّيْلِ فَإِنَّهُ دَأْبُ الصَّالِحِيْنَ قَبْلَكُمْ وَهُوَ قُرْبَةٌ إِلَى رَبِّكُمْ وَمُكَفِّرَةٌ لِلسَّيِّئَاتِ وَمَنْهَاةٌ عَنِ الإِثْمِ

“Hendaklah kalian melaksanakan Qiyamul Lail (shalat malam) karena shalat malam adalah kebiasaan orang saleh sebelum kalian, dan membuat kalian lebih dekat pada Allah. Shalat malam dapat menghapuskan kesalahan dan dosa. ” [Lihat Al Irwa’ no. 452. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadis ini hasan]

Kelima: Sebaik-baik orang adalah yang melaksanakan shalat tahajud.

Nabi ﷺ pernah mengatakan mengenai ‘Abdullah bin ‘Umar:

« نِعْمَ الرَّجُلُ عَبْدُ اللَّهِ ، لَوْ كَانَ يُصَلِّى بِاللَّيْلِ » . قَالَ سَالِمٌ فَكَانَ عَبْدُ اللَّهِ لاَ يَنَامُ مِنَ اللَّيْلِ إِلاَّ قَلِيلاً .

“Sebaik-baik orang adalah ‘Abdullah (maksudnya Ibnu ‘Umar), seandainya ia mau melaksanakan shalat malam.” Salim mengatakan: “Setelah dikatakan seperti ini, Abdullah bin ‘Umar tidak pernah lagi tidur di waktu malam kecuali sedikit.” [HR. Bukhari no. 3739, dari Hafshoh]

Waktu Shalat Tahajud

Shalat tahajud boleh dikerjakan di awal, pertengahan atau akhir malam. Ini semua pernah dilakukan oleh Rasulullah ﷺ. Sebagaimana Anas bin Malik, pembantu Nabi ,ﷺ mengatakan:

مَا كُنَّا نَشَاءُ أَنْ نَرَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي اللَّيْلِ مُصَلِّيًا إِلَّا رَأَيْنَاهُ وَلَا نَشَاءُ أَنْ نَرَاهُ نَائِمًا إِلَّا رَأَيْنَاهُ

“Tidaklah kami bangun agar ingin melihat Rasulullah ﷺ di malam hari mengerjakan shalat, kecuali pasti kami melihatnya. Dan tidaklah kami bangun melihat beliau dalam keadaan tidur, kecuali pasti kami melihatnya pula.” [Shahih. HR. Bukhari no. 1141, An Nasai no. 1627 (ini lafazh An Nasai), At Tirmidzi no. 769. Lihat Shahih wa Dho’if Sunan An Nasai, Syaikh Al Albani, 4/271, Asy Syamilah]

Ibnu Hajar menjelaskan:

إِنَّ صَلَاته وَنَوْمه كَانَ يَخْتَلِف بِاللَّيْلِ وَلَا يُرَتِّب وَقْتًا مُعَيَّنًا بَلْ بِحَسَبِ مَا تَيَسَّرَ لَهُ الْقِيَام

“Sesungguhnya waktu shalat malam dan tidur yang dilakukan Nabi ﷺ berbeda-beda setiap malamnya. Beliau tidak menetapkan waktu tertentu untuk shalat. Namun beliau mengerjakannya sesuai keadaan yang mudah bagi beliau.” [Fathul Bari, Ibnu Hajar Al ‘Asqolani Asy Syafi’i, 3/23, Darul Ma’rifah Beirut, 1379]

Waktu Utama untuk Shalat Tahajud

Waktu utama untuk shalat malam adalah di akhir malam. Dari Abu Hurairah, Rasulullah ﷺ bersabda:

يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ فَيَقُولُ مَنْ يَدْعُونِى فَأَسْتَجِيبَ لَهُ وَمَنْ يَسْأَلُنِى فَأُعْطِيَهُ وَمَنْ يَسْتَغْفِرُنِى فَأَغْفِرَ لَهُ

“Rabb kami tabaroka wa ta’ala akan turun setiap malamnya ke langit dunia ketika tersisa sepertiga malam terakhir. Lalu Allah berfirman: “Siapa yang memanjatkan doa pada-Ku, maka Aku akan mengabulkannya. Siapa yang memohon kepada-Ku, maka Aku akan memberinya. Siapa yang meminta ampun pada-Ku, Aku akan memberikan ampunan untuknya”.” [HR. Bukhari no. 1145 dan Muslim no. 758, dari Abu Hurairah]

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, Rasulullah ﷺ bersabda:

إِنَّ أَحَبَّ الصِّيَامِ إِلَى اللَّهِ صِيَامُ دَاوُدَ وَأَحَبَّ الصَّلاَةِ إِلَى اللَّهِ صَلاَةُ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ كَانَ يَنَامُ نِصْفَ اللَّيْلِ وَيَقُومُ ثُلُثَهُ وَيَنَامُ سُدُسَهُ وَكَانَ يَصُومُ يَوْمًا وَيُفْطِرُ يَوْمًا

“Sesungguhnya puasa yang paling dicintai di sisi Allah adalah puasa Daud [Sebagaimana dijelaskan oleh penulis Shahih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik, bahwa puasa Daud ini boleh dilakukan dengan syarat tidak sampai melalaikan yang wajib-wajib, dan tidak sampai melalaikan memberi nafkah kepada keluarga yang menjadi tanggungannya. [Lihat Shahih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik, 2/138, Al Maktabah At Taufiqiyah]. Dan shalat yang dicintai Allah adalah shalatnya Nabi Daud ‘alaihis salam. Beliau biasa tidur di separuh malam dan bangun tidur pada sepertiga malam terakhir. Lalu beliau tidur kembali pada seperenam malam terakhir. Nabi Daud biasa sehari berpuasa dan keesokan harinya tidak berpuasa.” [HR. Bukhari no. 1131 dan Muslim no. 1159, dari ‘Abdullah bin ‘Amr]

‘Aisyah pernah ditanyakan mengenai shalat malam yang dilakukan oleh Nabi ﷺ. ‘Aisyah menjawab:

كَانَ يَنَامُ أَوَّلَهُ وَيَقُومُ آخِرَهُ ، فَيُصَلِّى ثُمَّ يَرْجِعُ إِلَى فِرَاشِهِ ، فَإِذَا أَذَّنَ الْمُؤَذِّنُ وَثَبَ ، فَإِنْ كَانَ بِهِ حَاجَةٌ اغْتَسَلَ ، وَإِلاَّ تَوَضَّأَ وَخَرَجَ

“Nabi ﷺ biasa tidur di awal malam, lalu beliau bangun di akhir malam. Kemudian beliau melaksanakan shalat, lalu beliau kembali lagi ke tempat tidurnya. Jika terdengar suara muadzin, barulah beliau bangun kembali. Jika memiliki hajat, beliau mandi. Dan jika tidak, beliau berwudhu lalu segera keluar (ke masjid).” [HR. Bukhari no. 1146, dari ‘Aisyah]

Shalat Tahajud Ketika Kondisi Sulit

Bermunajatlah pada Allah di akhir malam ketika kondisi begitu sulit.

‘Ali bin Abi Tholib pernah menceritakan:

رَأَيْتُنَا لَيْلَةَ بَدْرٍ وَمَا مِنَّا إِنْسَانٌ إِلاَّ نَائِمٌ إِلاَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَإِنَّهُ كَانَ يُصَلِّى إِلَى شَجَرَةٍ وَيَدْعُو حَتَّى أَصْبَحَ وَمَا كَانَ مِنَّا فَارِسٌ يَوْمَ بَدْرٍ غَيْرَ الْمِقْدَادِ بْنِ الأَسْوَدِ

“Kami pernah memerhatikan pada malam Badar, dan ketika itu semua orang pada terlelap tidur kecuali Rasulullah ﷺ. Beliau melaksanakan shalat di bawah pohon. Beliau memanjatkan doa pada Allah hingga waktu Subuh. Dan tidak ada di antara kami tidak ada yang mahir menunggang kuda selain Al Miqdad bin Al Aswad.” [HR. Bukhari no. 1146, dari ‘Aisyah]. Dalam riwayat lain disebutkan:

يُصَلِّى وَيَبْكِى حَتَّى أَصْبَحَ

“Beliau melaksanakan shalat sambil menangis hingga waktu Subuh.” [HR. Ahmad 1/125. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadis ini Shahih]

Jumlah Rakaat Shalat Tahajud yang Dianjurkan (Disunnahkan)

 

Jumlah rakaat shalat tahajud yang dianjurkan adalah tidak lebih dari 11 atau 13 rakaat. Dan inilah yang menjadi pilihan Nabi ﷺ.

‘Aisyah mengatakan:

مَا كَانَ يَزِيدُ فِى رَمَضَانَ وَلاَ غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً ، يُصَلِّى أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ، ثُمَّ يُصَلِّى أَرْبَعًا فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ، ثُمَّ يُصَلِّى ثَلاَثًا

“Rasulullah ﷺ tidak pernah menambah shalat malam pada waktu Ramadan dan bulan lainnya lebih dari 11 rakaat. Beliau melakukan shalat empat rakaat. Maka jangan tanyakan mengenai bagus dan panjangnya. Kemudian beliau melakukan shalat empat rakaat lagi, dan jangan tanyakan mengenai bagus dan panjangnya. Kemudian beliau melakukan shalat tiga rakaat.” [HR. Bukhari no. 3569 dan Muslim no. 738]

Ibnu ‘Abbas mengatakan:

كَانَ صَلاَةُ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – ثَلاَثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً . يَعْنِى بِاللَّيْلِ

“Nabi ﷺ biasa melaksanakan shalat malam 13 rakaat.” [HR. Bukhari no. 1138 dan Muslim no. 764]

Zaid bin Kholid Al Juhani mengatakan:

لأَرْمُقَنَّ صَلاَةَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- اللَّيْلَةَ فَصَلَّى. رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ طَوِيلَتَيْنِ طَوِيلَتَيْنِ طَوِيلَتَيْنِ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ وَهُمَا دُونَ اللَّتَيْنِ قَبْلَهُمَا ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ وَهُمَا دُونَ اللَّتَيْنِ قَبْلَهُمَا ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ وَهُمَا دُونَ اللَّتَيْنِ قَبْلَهُمَا ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ وَهُمَا دُونَ اللَّتَيْنِ قَبْلَهُمَا ثُمَّ أَوْتَرَ فَذَلِكَ ثَلاَثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً.

“Aku pernah memerhatikan shalat malam yang dilakukan oleh Rasulullah ﷺ. Beliau pun melaksanakan dua rakaat ringan. Kemudian setelah itu beliau laksanakan dua rakaat yang panjang-panjang. Kemudian beliau lakukan shalat dua rakaat yang lebih ringan dari sebelumnya. Kemudian beliau lakukan shalat dua rakaat lagi yang lebih ringan dari sebelumnya. Beliau pun lakukan shalat dua rakaat yang lebih ringan dari sebelumnya. Kemudian beliau lakukan shalat dua rakaat lagi yang lebih ringan dari sebelumnya. Lalu terakhir beliau berwitir sehingga jadilah beliau laksanakan shalat malam ketika itu 13 rakaat.” [HR. Muslim no. 765]. Ini berarti Nabi ﷺ melaksanakan Witir dengan 1 rakaat. [Lihat Al Muntaqo Syarh Al Muwatho‘, 1/280, Mawqi’ Al Islam]

Dari sini menunjukkan, bahwa disunnahkan sebelum shalat malam, dibuka dengan dua rakaat ringan terlebih dahulu. ‘Aisyah mengatakan:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا قَامَ مِنَ اللَّيْلِ لِيُصَلِّىَ افْتَتَحَ صَلاَتَهُ بِرَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ.

“Rasulullah ﷺ jika hendak melaksanakan shalat malam, beliau buka terlebih dahulu dengan melaksanakan shalat dua rakaat yang ringan.” [HR. Muslim no. 767]

Bolehkah Menambahkan Rakaat Shalat Malam Lebih Dari 11 Rakaat?

Al Qodhi ‘Iyadh mengatakan:

وَلَا خِلَاف أَنَّهُ لَيْسَ فِي ذَلِكَ حَدّ لَا يُزَاد عَلَيْهِ وَلَا يَنْقُص مِنْهُ ، وَأَنَّ صَلَاة اللَّيْل مِنْ الطَّاعَات الَّتِي كُلَّمَا زَادَ فِيهَا زَادَ الْأَجْر ، وَإِنَّمَا الْخِلَاف فِي فِعْل النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَا اِخْتَارَهُ لِنَفْسِهِ

“Tidak ada khilaf, bahwa tidak ada batasan jumlah rakaat dalam shalat malam. Tidak mengapa ditambah atau dikurang. Alasannya, shalat malam adalah bagian dari ketaatan, yang apabila seseorang menambah jumlah rakaatnya, maka bertambah pula pahalanya. Jika dilakukan seperti ini, maka itu hanya menyelisihi perbuatan Nabi ﷺ dan menyelisihi pilihan yang beliau pilih untuk dirinya sendiri.” [25 Al Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al Hajjaj, An Nawawi, 6/19, Dar Ihya’ At Turots Al Arobi Beirut, cetakan kedua, 1392]

Ibnu ‘Abdil Barr mengatakan:

فلا خلاف بين المسلمين أن صلاة الليل ليس فيها حد محدود وأنها نافلة وفعل خير وعمل بر فمن شاء استقل ومن شاء استكثر

“Tidak ada khilaf di antara kaum Muslimin, bahwa shalat malam tidak ada batasan rakaatnya. Shalat malam adalah shalat Nafilah (shalat sunnah) dan termasuk amalan kebaikan. Seseorang boleh semaunya mengerjakan dengan jumlah rakaat yang sedikit atau pun banyak.” [At Tamhid, Ibnu ‘Abdil Barr, 21/69-70, Wizaroh Umum Al Awqof, 1387 dan Al Istidzkar, Ibnu ‘Abdil Barr, 2/98, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, 1421 H]

Adapun dalil yang menunjukkan bolehnya menambah lebih dari 11 rakaat, di antaranya:

Nabi ﷺ ditanya mengenai shalat malam, beliau menjawab:

صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى ، فَإِذَا خَشِىَ أَحَدُكُمُ الصُّبْحَ صَلَّى رَكْعَةً وَاحِدَةً ، تُوتِرُ لَهُ مَا قَدْ صَلَّى

“Shalat malam itu dua rakaat-dua rakaat. Jika salah seorang di antara kalian takut masuk waktu Subuh, maka kerjakanlah satu rakaat. Dengan itu berarti kalian menutup shalat tadi dengan Witir.” [HR. Bukhari no. 990 dan Muslim no. 749, dari Ibnu ‘Umar]. Padahal ini dalam konteks pertanyaan. Seandainya shalat malam itu ada batasannya, tentu Nabi ﷺ akan menjelaskannya.

Lalu bagaimana dengan hadis ‘Aisyah:

مَا كَانَ يَزِيدُ فِى رَمَضَانَ وَلاَ غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً

“Rasulullah ﷺ tidak pernah menambah shalat malam pada waktu Ramadan dan bulan lainnya lebih dari 11 rakaat. ” [HR. Bukhari dan Muslim. Sudah lewat takhrijnya]

Jawabannya adalah sebagai berikut:

Jika ingin mengikuti sunnah (ajaran) Nabi ﷺ, maka mestinya mencocoki beliau dalam jumlah rakaat shalat juga dengan tata cara shalatnya.

Sedangkan shalat yang paling bagus, kata Nabi ﷺ adalah:

أَفْضَلُ الصَّلاَةِ طُولُ الْقُنُوت

“Shalat yang paling baik adalah yang paling lama berdirinya.” [HR. Muslim no. 756, dari Jabir]

Namun sekarang yang melakukan 11 rakaat demi mencontoh Nabi ﷺ tidak melakukan lama seperti beliau. Padahal jika kita ingin mencontoh jumlah rakaat yang dilakukan Nabi ﷺ, seharusnya juga lama shalatnya pun sama.

Sekarang pertanyaannya, manakah yang lebih utama, melakukan shalat malam 11 rakaat dalam waktu 1 jam ataukah shalat malam 23 rakaat yang dilakukan dalam waktu dua jam atau tiga jam?

Yang satu mendekati perbuatan Nabi ﷺ dari segi jumlah rakaat. Namun yang satu mendekati ajaran Nabi ﷺ dari segi lamanya. Manakah di antara kedua cara ini yang lebih baik?

Jawabannya, tentu yang kedua, yaitu yang shalatnya lebih lama dengan rakaat yang lebih banyak. Alasannya, karena pujian Allah terhadap orang yang waktu malamnya digunakan untuk shalat malam dan sedikit tidurnya. Allah ta’ala berfirman:

كَانُوا قَلِيلًا مِنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ

“Di dunia mereka sedikit sekali tidur di waktu malam.” (QS. Adz Dzariyat: 17)

وَمِنَ اللَّيْلِ فَاسْجُدْ لَهُ وَسَبِّحْهُ لَيْلًا طَوِيلًا

“Dan pada sebagian dari malam, maka sujudlah kepada-Nya dan bertasbihlah kepada-Nya pada bagian yang panjang di malam hari.” (QS. Al Insan: 26)

Oleh karena itu, para ulama ada yang melakukan shalat malam hanya dengan 11 rakaat namun dengan rakaat yang panjang. Ada pula yang melakukannya dengan 20 rakaat atau 36 rakaat. Ada pula yang kurang atau lebih dari itu. Mereka di sini bukan bermaksud menyelisihi ajaran Nabi ﷺ. Namun yang mereka inginkan adalah mengikuti maksud Nabi ﷺ yaitu dengan mengerjakan shalat malam dengan Thulul Qunut (berdiri yang lama).

Sampai-sampai sebagian ulama memiliki perkataan yang bagus: “Barang siapa yang ingin memerlama berdiri dan membaca surat dalam shalat malam, maka ia boleh mengerjakannya dengan rakaat yang sedikit. Namun jika ia ingin tidak terlalu berdiri dan membaca surat, hendaklah ia menambah rakaatnya.”

Mengapa ulama ini bisa mengatakan demikian? Karena yang jadi patokan adalah lama berdiri di hadapan Allah ketika shalat malam. -Demikianlah faidah yang kami dapatkan dari penjelasan Syaikh Musthofa Al ‘Adawi dalam At Tarsyid– [Lihat At Tarsyid, Syaikh Musthofa Al ‘Adawi, hal. 146-149, Dar Ad Diya’]

Qodho’ bagi yang Luput dari Shalat Tahajud karena Uzur

Bagi yang luput dari shalat tahajud karena uzur seperti ketiduran atau sakit, maka ia boleh mengqodho’nya di siang hari sebelum Zuhur.

‘Aisyah mengatakan:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ إِذَا فَاتَتْهُ الصَّلاَةُ مِنَ اللَّيْلِ مِنْ وَجَعٍ أَوْ غَيْرِهِ صَلَّى مِنَ النَّهَارِ ثِنْتَىْ عَشْرَةَ رَكْعَةً.

“Sesungguhnya Rasulullah ﷺ, jika beliau luput dari shalat malam karena tidur atau uzur lainnya, beliau mengqodho’nya di siang hari dengan mengerjakan 12 rakaat.” [HR. Muslim no. 746]

‘Umar bin Khottob mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:

مَنْ نَامَ عَنْ حِزْبِهِ أَوْ عَنْ شَىْءٍ مِنْهُ فَقَرَأَهُ فِيمَا بَيْنَ صَلاَةِ الْفَجْرِ وَصَلاَةِ الظُّهْرِ كُتِبَ لَهُ كَأَنَّمَا قَرَأَهُ مِنَ اللَّيْلِ

“Barang siapa yang tertidur dari penjagaannya atau dari yang lainnya, lalu ia membaca apa yang biasa ia baca di shalat malam antara shalat Subuh dan shalat Zuhur, maka ia dicatat seperti membacanya di malam hari.” [HR. Muslim no. 747]

 

Demikian pembahasan ringkas kami mengenai shalat tahajud.

Semoga kita semakin terbimbing dengan sajian ringkas ini. Semoga Allah memudahkan kita untuk mengamalkan sekaligus merutinkannya.

Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

 

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

[Artikel Rumaysho.com]

Sumber: https://rumaysho.com/762-panduan-shalat-tahajud.html