بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
 
PLURALISME PAHAM YANG TERBANTAHKAN
 
Islam, sebagai agama yang diridai oleh Allah, tidak henti-hentinya menghadapi berbagai macam tantangan. Tantangan yang cukup serius adalah tantangan di bidang pemikiran keagamaan, baik internal maupun eksternal.
 
Kita sudah mafhum, fanatisme, taklid buta, bidah, dan khurafat (kesyirikan) telah menjadi tantangan internal bagi Islam. Namun masuknya Pluralisme [1] ke dalam wacana pemikiran Islam telah menjadi salah satu tantangan eksternal yang sangat berbahaya, karena berusaha meruntuhkan konstruksi tauhid dalam Islam.
 
Misi Tauhid = Misi Para Nabi
 
Allah taala telah mengutus Muhammad ﷺ untuk mengeluarkan manusia dari kesyirikan menuju tauhid, sebagaimana Dia mengutus para nabi dan rasul sebelum beliau. Allah taala berfirman:
 
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ (٣٦)
 
“Dan sungguhnya Kami telah mengutus seorang rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah segala bentuk penyembahan kepada thaghut.”[QS. An Nahl: 36]
 
Ayat ini menunjukkan kepada kita, bahwa tujuan diutusnya setiap rasul adalah untuk mengeluarkan manusia dari kesyrikan menuju tauhid, dari penyembahan kepada makhuk menuju penyembahan hanya kepada Allah taala. Tujuan inilah yang menjadi titik temu antara ajaran agama yang dibawa oleh setiap nabi, dari yang pertama hingga nabi kita, Muhammad ﷺ.
 
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan:
 
وبعث في كل أمة رسولا أي: في كل قرن من الناس وطائفة رسولا وكلهم يدعو (5) إلى عبادة الله، وينهى (6) عن عبادة ما سواه: { أَنِ اُعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ } فلم يزل تعالى يرسل إلى الناس الرسل بذلك، منذ حدث الشرك في بني آدم، في قوم نوح الذين أرسل إليهم نوح، وكان أول رسول بعثه الله إلى أهل الأرض إلى أن ختمهم بمحمد صلى الله عليه وسلم الذي طبقت دعوته الإنس والجن في المشارق والمغارب، وكلهم كما قال الله تعالى: { وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلا أَنَا فَاعْبُدُونِ } [الأنبياء: 25]
 
[Allah mengutus seorang rasul untuk setiap umat. Di setiap generasi dan golongan, mereka semua menyeru (umatnya) untuk beribadah kepada Allah, dan melarang untuk beribadah kepada selain-Nya. Maka Allah senantiasa mengutus para rasul-Nya untuk mendakwahkan hal tersebut sejak munculnya kesyirikan pertama kali pada anak Adam, yaitu pada kaum Nabi Nuh.
 
Beliaulah rasul pertama yang diutus oleh Allah kepada penduduk bumi, hingga Allah mengakhiri para rasul tersebut dengan pengutusan Muhammad ﷺ, yang dakwahnya diperuntukkan bagi jin dan manusia, baik yang berada di Timur dan di Barat, sebagaimana disinyalir Allah taala dalam firman-Nya (yang artinya):
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Sembahan (yang hak) melainkan Aku. Maka sembahlah Aku olehmu sekalian.” [QS. Al Anbiya: 25]. [2]
 
Oleh karena itu, dapat kita jumpai Alquran sering memberitakan seruan utama para rasul kepada kaumnya yang berisi ajakan untuk menauhidkan Allah, dan menjauhi lawannya, yaitu kesyirikan. [3]
 
Konsepsi Keimanan dalam Islam
 
Ironisnya, setelah dakwah tauhid menghampiri mereka, umat-umat dari setiap nabi meninggalkan atau menyimpang dari ajaran yang dibawa oleh para nabi. Mereka mengganti tauhid yang diajarkan oleh para nabi tersebut dengan kesyirikan kepada Allah taala. Bahkan tidak tanggung-tanggung, mereka menjadikan nabi-nabi tersebut, yang telah mengajarkan tauhid kepada mereka, sebagai Sembahan di samping Allah taala. Mereka telah meninggalkan konsepsi tauhid yang merupakan konsepsi keimanan seluruh nabi yang diutus oleh Allah taala. Jadilah mereka termasuk ke dalam golongan orang-orang yang memersekutukan Allah taala (musyrikin). Sehingga hal inilah yang menjadi pembeda antara Islam dengan agama selain Islam.
 
Diutusnya Rasulullah ﷺ adalah untuk meluruskan penyimpangan tauhid tersebut. Beliau diutus untuk menegakkan konsepsi tauhid para nabi, dan itu ditegaskan secara gamblang dalam Surat Al Ikhlas:
 
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ (١)اللَّهُ الصَّمَدُ (٢)لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ (٣)وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ (٤)
 
“Katakanlah: “Dia-lah Allah, yang Maha Esa. Allah adalah Zat yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia.” [QS. Al Ikhlas: 1-4)
 
Inilah konsepsi tauhid dalam Islam, dan merupakan pondasi dasar keimanan seorang Muslim. Sangat berbeda dengan konsepsi keimanan Yahudi dan Nasrani. Meskipun kita sama-sama meyakini bahwa Allah adalah Sembahan kita, adanya Hari Berbangkit, yang di sana kita akan bertanggungjawab atas perbuatan kita di hadapan Allah taala. Namun terdapat perbedaan mendasar antara kita dengan mereka. Allah telah memberitakan perbedaan yang mendasar tersebut.
 
Allah taala befirman:
 
وَقَالَتِ الْيَهُودُ عُزَيْرٌ ابْنُ اللَّهِ وَقَالَتِ النَّصَارَى الْمَسِيحُ ابْنُ اللَّهِ (٣٠)
 
“Orang-orang Yahudi berkata: “Uzair itu putra Allah.”Dan orang-orang Nasrani berkata: “Al masih itu putra Allah.” [QS. At Taubah: 30]
 
Ayat ini memberitakan, bahwa keimanan mereka sangatlah berbeda dengan apa yang difirmankan Allah dalam Surat Al Ikhlas di atas.
 
Mereka beriman kepada Allah, namun keimanan mereka kepada Allah dicampurkan dengan kesyirikan. Allah telah menyatakan hal itu dalam firman-Nya:
 
وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلا وَهُمْ مُشْرِكُونَ (١٠٦)
 
“Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan memersekutukan Allah (dengan Sembahan-Sembahan lain).” [QS. Yusuf: 106]
 
Betul, mereka meyakini eksistensi Allah, dan meyakini bahwa Allah adalah satu-satunya pencipta dan penguasa di alam semesta. Namun mereka memiliki Sembahan selain daripada Allah taala. Dengan demikian, keimanan mereka kepada Allah adalah keimanan yang bercampur dengan kesyirikan, sehingga keimanan mereka pun adalah keimanan yang batil, keimanan yang rusak, karena keimanan tersebut bukanlah keimanan yang murni menauhidkan Allah taala.
 
Konsepsi tauhid inilah yang telah membedakan Islam dengan agama selain Islam. Konsepsi inilah yang membuat Islam sebagai agama satu-satunya yang diridai oleh Allah taala, sebagaimana firman-Nya:
 
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الإسْلامُ
 
“Sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah hanyalah Islam.” [QS. Ali ‘Imran: 19]
 
Klaim yang Terbantahkan
 
Sudah jelas, bahwa terdapat perbedaan berarti antara Islam dengan agama-agama selainnya. Oleh karenanya, sungguh aneh masih saja ada kalangan yang hendak menyamakan antara Islam dengan agama selainnya, terutama dengan apa yang mereka sebut sebagai agama-agama samawi (langit)[4].
 
Sebagian pengusung paham ini justru berani mengklaim, bahwa agama yang membawa misi tauhid adalah Yahudi, Nasrani, dan Islam. Padahal berdasarkan penjelasan sebelumnya kita dapat menilai, bahwa pernyataan tersebut sangat jelas salahnya. Bahkan klaim bahwa Yahudi dan Nasrani merupakan agama yang membawa misi tauhid adalah klaim yang sangat tidak tepat, mengingat keduanya justru tidak menegakkan ajaran tauhid, namun menegakkan lawannya, yaitu kesyirikan.
 
Para pengusung paham ini sering mencomot dalil-dalil dalam Alquran kemudian melakukan “malpraktik penafsiran”[5] untuk mendukung paham mereka, sehingga umat Islam terkelabui.
 
Salah satu dalil [6], tepatnya dalih, yang sering diangkat untuk membenarkan klaim mereka bahwa semua agama sama adalah firman Allah ﷻ:
 
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالنَّصَارَى وَالصَّابِئِينَ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ (٦٢)
 
“Sesungguhnya orang-orang Mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang Shabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, Hari Kemudian, dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Rabb mereka. Tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”[QS. Al Baqarah: 62]
 
Berdasarkan ayat ini kaum Pluralis menyimpulkan, bahwa siapa pun yang beriman kepada Allah, beriman kepada Hari Akhir, melakukan amal kebaikan, maka mereka akan mendapatkan keselamatan di dunia dan Akhirat. Dengan kata lain, keimanan kepada Allah, Hari Akhir, dan moralitas yang baik, adalah prinsip dasar bagi benarnya keberagamaan seseorang. Oleh sebab itu, meskipun seseorang secara formal tidak memeluk dan menjalankan syariat Islam, namun bila ia mempunyai tiga prinsip dasar tersebut, maka ia akan mendapatkan keselamatan. [7]
 
Kesimpulan tersebut TIDAK TEPAT berdasarkan alasan berikut:
 
a. Ibnu Katsir rahimahullah telah membawa riwayat dari As Suddi. Beliau menyatakan, bahwa ayat ini terkait dengan para sahabat Salman al-Farisi radhiallahu ‘anhu. Dia berkata kepada Nabi ﷺ, bahwa para sahabatnya melakukan salat, berpuasa, beriman kepada Nabi ﷺ, dan bersaksi bahwa beliau akan diutus sebagai seorang Nabi.
 
Ketika Salman selesai memuji mereka, Rasulullah ﷺ berkata: “Wahai Salman, mereka adalah Ahli Neraka.”
 
Hal itu terasa berat di hati Salman. Lalu Allah menurunkan ayat tersebut.
 
As Suddi kembali melanjutkan, bahwa dengan demikian keimanan Yahudi (dalam ayat tersebut) adalah keimanan orang yang berpegang kepada Taurat dan ajaran Musa ‘alaihissalam, sampai datangnya Isa ‘alaihissalam. Ketika Isa datang, siapa yang berpegang kepada Taurat dan ajaran Musa, tidak meninggalkannya, dan tidak mengikuti Isa, maka dia adalah orang yang celaka. Dan keimanan Nasrani (dalam ayat tersebut) adalah keimanan orang yang berpegang kepada Injil dan syariat-syariat Isa. Maka dia menjadi seorang yang beriman dan diterima, imannya, sampai datangnya Muhammad ﷺ. Maka siapa yang tidak mengikuti Muhammad ﷺ dari mereka, dan meninggalkan ajaran Isa dan Injil, dia menjadi orang yang celaka. [8]
 
Ayat ini tidaklah bertolak belakang dengan firman-Nya dalam Surat Ali Imran ayat 19. Ibnu Katsir menandaskan, bahwa ayat di Surat Ali Imran itu merupakan pemberitaan, bahwa setelah Nabi Muhammad diutus, segala bentuk jalan (thariqah) atau amal yang dilakukan seorang tidak akan diterima oleh Allah, melainkan harus sesuai dengan syariat Muhammad ﷺ. Adapun, sebelum diutusnya beliau, siapa saja yang mengikuti seorang nabi yang ada pada zamannya, dia berada dalam suatu petunjuk, jalan kebenaran, dan keselamatan.
 
Jadi, ayat ini terkait dengan umat Yahudi dan Nasrani sebelum diutusnya Rasulullah ﷺ. Namun, setelah diutusnya beliau ﷺ, keabsahan iman umat Yahudi dan Nasrani tergantung keimanan mereka kepada Muhammad ﷺ. Jika mereka menolak, maka tidak bisa dikatakan sebagai orang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir. Dengan demikian, keimanan kepada Allah memiliki hubungan yang erat dengan keimanan kepada Rasulullah ﷺ.
 
b. Ayat-ayat Alquran saling menjelaskan satu sama lain. Sehingga tidak sepatutnya kita mencomot salah satu ayat, tanpa menghiraukan ayat yang lain. Kaum Pluralis ini hendak menyamakan keimanan Islam dengan agama-agama lainnya. Tapi apakah bentuk keimanan kita sama dengan bentuk keimanan mereka? Jawabnya adalah TIDAK. Allah telah menegaskan hal ini dalam firman-Nya. Allah memberitakan perihal Ahli Kitab, Yahudi dan Nasrani:
 
فَإِنْ آمَنُوا بِمِثْلِ مَا آمَنْتُمْ بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوْا وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا هُمْ فِي شِقَاقٍ فَسَيَكْفِيكَهُمُ اللَّهُ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ (١٣٧)
 
“Maka jika mereka beriman seperti keimanan kalian, sungguh mereka telah mendapat petunjuk. Dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu). Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” [QS. Baqarah: 137]
 
Firman Allah ini jelas menyatakan keimanan mereka TIDAKLAH SAMA dengan keimanan kaum Muslimin. Oleh karena itu, mereka tidak akan mendapatkan petunjuk, sebelum beriman seperti keimanan kaum Muslimin.
 
c. Meskipun mereka beriman kepada Allah, tapi bentuk keimanan mereka adalah keimanan yang bercampur dengan kesyirikan. Oleh karena itu, Allah mengecap mereka dengan kekufuran.
 
Allah taala berfirman:
 
لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ (١٧)
 
“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya Allah itu ialah Al masih putra Maryam.” [QS. Al Maidah: 17]
 
Di ayat yang lain, Allah ﷻ juga berfirman:
 
كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ ثَالِثُ ثَلاثَةٍ وَمَا مِنْ إِلَهٍ إِلا إِلَهٌ وَاحِدٌ (٧٣)
 
“Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: “Bahwasanya Allah salah seorang dari yang tiga.”Padahal sekali-kali tidak ada Sembahan yang hak selain dari Allah yang Esa.” [QS. Al Maaidah: 73]
 
Beriman kepada Allah, akan tetapi juga beriman kepada Tuhan selain Allah, itu adalah kesyrikan kepada Allah, dan itu merupakan kekufuran. Maka tidak ada bedanya antara orang-orang-orang kafir Quraisy dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani. Tidak ada beda di antara mereka, karena mereka adalah orang-orang yang musyrik kepada Allah. Hal ini ditegaskan lebih lanjut dalam firman-Nya:
 
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا أُولَئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ (٦)
 
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir, yakni Ahli Kitab dan orang-orang yang musyrik, (akan masuk) ke Neraka Jahannam. Mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.” [QS. Al Bayyinah: 6]
 
d. Dengan adanya penyimpangan tersebut, Allah pun mengutus nabi kita, Muhammad ﷺ untuk memerjuangkan, mendakwahkan, dan menegakkan Islam, sehingga Islam menjadi agama yang paling tinggi.
 
Allah taala berfirman:
 
هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ (٩)
 
“Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar, agar Dia memenangkannya di atas segala agama-agama, meskipun orang musyrik membenci.” [QS. Ash Shaf: 9]
 
Rasulullah ﷺ pun telah menyatakan:
 
وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَا يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الْأُمَّةِ يَهُودِيٌّ وَلَا نَصْرَانِيٌّ ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ إِلَّا كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ
 
“Demi Zat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, tidaklah seorang pun dari umat ini yang mendengarku, baik dia adalah seorang Yahudi atau Nasrani, kemudian meninggal dan tidak beriman kepada ajaranku, niscaya dia termasuk ke dalam penduduk Neraka.” [9]
 
Luntur dengan Sendirinya
 
Demikianlah uraian mengenai kebatilan Pluralisme. Paham ini sebenarnya berusaha untuk melunturkan akidah kaum Muslimin dengan menggiring secara perlahan-lahan, menggunakan bahasa yang indah memukau, yang dibungkus dengan slogan toleransi beragama. Namun pada hakikatnya, hal tersebut merupakan upaya untuk menanggalkan akidah kaum Muslimin, karena keimanan seorang yang mengamini paham tersebut bisa luntur dengan sendirinya, tanpa intervensi (paksaan) dari pihak lain. Wal ‘iyadzu billah.
 
Jika dikatakan bahwa Pluralisme ini bertujuan untuk menghilangkan berbagai konflik kekerasan antar umat beragama yang kerap terjadi karena enggan menghargai keberagaman, maka hal ini dapat dijawab, bahwa Islam telah mencontohkan bagaimana hidup saling menghormati dan menghargai antar sesama pemeluk agama yang berbeda-beda. Sejarah telah mencatat kegemilangan Islam dalam hal ini. Islam menghargai keberagaman, tapi hal itu bukan berarti kaum Muslimin harus menanggalkan akidah, bahwa agama Islam adalah agama yang benar dan memberikan keselamatan bagi umat manusia. Konsep menghargai keberagaman (Pluralitas) tanpa membenarkan Pluralisme, itu pun banyak ditunjukkan dalam ayat-ayat yang menerangkan, tidak ada paksaan untuk memeluk agama Islam.
 
Dalam konsep Islam, siapa yang mau beriman, silakan beriman. Siapa yang mau kafir, silakan kafir. Akibatnya tanggung sendiri. [10][11]
 
Wallahul muwaffiq.
 
Catatan Kaki:
 
[1] Paham yang menyatakan semua agama adalah jalan yang berbeda-beda menuju Tuhan yang sama. Atau dalam pengertian yang lain, pengusungnya menyatakan, bahwa agama adalah persepsi manusia yang relatif terhadap Tuhan yang mutlak. Sehingga, karena kerelatifannya, maka setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim atau meyakini, bahwa agamanya lebih benar atau lebih baik dari agama lain. Atau mengklaim, bahwa hanya agamanya sendiri yang benar. [Pluralisme Agama: Musuh Agama-agama; DR. Adian Husaini].
 
[2] Tafsir Alquran al ‘Azhim; Maktabah Asy Syamilah.
 
[3] Mengenai hal tersebut, pembaca dapat melihat Surat Al A’raaf, dimulai dari ayat 59 dst.
 
[4] Istilah “Agama Samawi”(agama langit) ini pun sebenarnya merupakan istilah yang rancu, karena pada hakikatnya, agama yang dibawa oleh Nabi Musa dan Isa adalah agama Islam, tapi dengan bentuk syariat yang berbeda satu sama lainnya. Rasulullah Muhammad ﷺ pun datang kemudian untuk menyempurnakan ajaran keduanya. Syaikh Saleh alusy Syaikh hafizhahullah memiliki pemaparan ringkas yang sangat bermanfaat dan disertai berbagai dalil mengenai hal ini dalam Syarh Fadl al Islam hlm. 57-59.
 
[5] Para pengusung paham ini sering menafsirkan ayat-ayat Alquran tanpa ukuran metodologis yang dapat dipertanggungjawabkan secara disiplin ilmu tafsir. Mazhab kontekstual ditekankan untuk sejumlah teks yang diduga antikemajemukan beragama. Dan di sisi lain, mazhab literal diterapkan untuk ayat-ayat yang mendukung Pluralisme. [Pluralisme Agama; Tiar Anwar Bachtiar].
 
[6] Pembaca yang berkeinginan melihat lebih lanjut analisis berbagai ayat yang dipelintir oleh kaum Pluralis dapat melihat artikel saudara kami, Abu Mushlih, yang berjudul Tumbangnya Pokok-Pokok Pluralisme, dan artikel Bapak Muhammad Nurdin Sarim yang berjudul Telaah Kritis Pluralisme Agama.
 
[7] Telaah Kritis Pluralisme Agama hlm. 9; Muhammad Nurdin Sarim.
 
[8] Tafsir Alquran al ‘Azhim; Maktabah Asy Syamilah.
 
[9] HR. Muslim: 153.
 
[10] Al Kahfi: 29.
 
[11] Pluralisme Agama: Musuh Agama-agama.
 
 
Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim
Sumber: https://Muslim.or.id/5158-Pluralisme-paham-yang-terbantahkan.html
 
 
Ikuti kami selengkapnya di:
WhatsApp: +61 (450) 134 878 (silakan mendaftar terlebih dahulu)
Website: https://nasihatsahabat.com/
Twitter: @NasihatSalaf
Facebook: https://www.facebook.com/nasihatsahabatcom/
Instagram: NasihatSahabatCom
Telegram: https://t.me/nasihatsahabat
Pinterest: https://id.pinterest.com/nasihatsahabat
Baca juga:
PLURALISME PAHAM YANG TERBANTAHKAN
PLURALISME PAHAM YANG TERBANTAHKAN
PLURALISME PAHAM YANG TERBANTAHKAN
PLURALISME PAHAM YANG TERBANTAHKAN