بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

PERISTIWA KARBALA DALAM PANDANGAN AHLUSSUNNAH WAL-JAMAAH

Oleh: Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat

Urgensi Sanad

Syaikhul Islam rahimahullah mengatakan dalam kitab Aqidah al-Wasithiyyah:
“Ahlussunnah menahan lidah dari permasalahan atau pertikaian yang terjadi di antara para sahabat radhiyallahu ‘anhum.” Dan mereka juga mengatakan: “Sesungguhnya riwayat-riwayat yang dibawakan dan sampai kepada kita tentang keburukan-keburukan para sahabat radhiyallahu ‘anhum (pertikaian atau peperangan) ada yang dusta, dan ada juga yang ditambah, dikurangi, dan diubah dari aslinya (serta ada pula yang sahih-pen). Riwayat yang sahih. menyatakan, bahwa para sahabat radhiyallahu ‘anhum ini ma’dzurun (orang-orang yang diberi udzur). Baik dikatakan karena mereka itu para mujtahid yang melakukan ijtihad dengan benar, ataupun juga para mujtahid yang ijtihadnya keliru.”[1]

Ahlussunah wal Jamaah memosisikan riwayat-riwayat ini. Ketiga riwayat ini bertebaran dalam kitab-kitab tarikh (sejarah). Dan ini mencakup semua kejadian dalam sejarah Islam, termasuk kisah pembunuhan Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhuma di Karbala. Sebagian besar riwayat tentang peristiwa menyedihkan ini adalah kebohongan belaka. Sebagian lagi dhaif dan ada juga yang sahih. Riwayat yang dinyatakan sahih oleh para ulama ahli hadis yang bersesuaian dengan kaidah ilmiah dalam ilmu hadis, inilah yang wajib dijadikan pedoman dalam mengetahui apa yang terjadi sebenarnya. Dari sini kita dapat memahami betapa sanad itu sangat penting untuk membungkam para pendusta dan membongkar niat busuk mereka.

Sufyan ats-Tsauri rahimahullah mengatakan:
“Sanad itu senjata kaum Muslimin. Jika dia tidak memiliki senjata, lalu apa yang dia pergunakan dalam berperang?” Perkataan ini diriwayatkan oleh al-Hakim dalam kitab al-Madkhal.

‘Abdullah bin Mubarak rahimahullah mengatakan:
“Sanad ini termasuk bagian dari agama. kalau tidak ada isnad, maka siapapun bisa berbicara semaunya.” Perkataan ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Muqaddimah kitab Sahih beliau rahimahullah.

Di tempat yang sama, Imam Muslim raimahullah juga membawakan perkataan Ibnu Sirin, “Dahulu, mereka tidak pernah bertanya tentang sanad. Ketika fitnah mulai banyak, mereka mengatakan: “Sebutkanlah nama orang-orangmu yang meriwayatkannya.”!

Kronologi Terbunuhnya Husain Radhiyallahu ‘Anhuma

Berkaitan dengan peristiwa Karbala, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan: “Orang-orang yang meriwayatkan pertikaian Husain radhiyallahu ‘anhu telah memberikan tambahan dusta yang sangat banyak, sebagaimana juga mereka telah membubuhkan dusta pada peristiwa pembunuhan terhadap ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu, sebagaimana mereka juga memberikan tambahan cerita (dusta) pada peristiwa-peristiwa yang ingin mereka besar-besarkan, seperti dalam riwayat mengenai peperangan, kemenangan, dan lain sebagainya.

Para penulis tentang berita pembunuhan Husain radhiyallahu ‘anhu, ada di antara mereka yang merupakan ahli ilmu (ulama) seperti al-Baghawi rahimahullah dan Ibnu Abi Dun-ya, dan lain sebagainya. Namun demikian, di antara riwayat yang mereka bawakan ada yang terputus sanadnya. Sedangkan yang membawakan cerita tentang peristiwa ini dengan tanpa sanad, kedustaannya sangat banyak.”[2]

Oleh karenanya, dalam pembahasan tentang peristiwa ini perlu diperhatikan sanadnya.

Riwayat Sahih Tentang Peristiwa Karbala

Riwayat yang paling sahih ini dibawakan oleh Imam al-Bukhari, no, 3748:

حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ الْحُسَيْنِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ قَالَ حَدَّثَنِي حُسَيْنُ بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ مُحَمَّدٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أُتِيَ عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ زِيَادٍ بِرَأْسِ الْحُسَيْنِ فَجُعِلَ فِي طَسْتٍ فَجَعَلَ يَنْكُتُ وَقَالَ فِي حُسْنِهِ شَيْئًا فَقَالَ أَنَسٌ كَانَ أَشْبَهَهُمْ بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَ مَخْضُوبًا بِالْوَسْمَةِ

“Aku diberitahu oleh Muhammad bin Husain bin Ibrahim, dia mengatakan: ‘Aku diberitahu oleh Husain bin Muhammad, kami diberitahu oleh Jarir dari Muhammad dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, dia mengatakan: ‘Kepala Husain dibawa dan didatangkan kepada ‘Ubaidullah bin Ziyad [3]. Kepala itu ditaruh di bejana. Lalu ‘Ubaidullah bin Ziyad menusuk-nusuk (dengan pedangnya) seraya berkomentar sedikit tentang ketampanan Husain. Anas radhiyallahu ‘anhu mengatakan: “Di antara Ahlul bait, Husain adalah orang yang paling mirip dengan Rasulullah ﷺ.” Saat itu Husain radhiyallahu ‘anhu disemir rambutnya dengan wasmah (tumbuhan, sejenis pacar yang condong ke warna hitam).”

Kisahnya, Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhuma tinggal di Mekah bersama beberapa sahabat, seperti Ibnu ‘Abbas dan Ibnu Zubair radhiyallahu ‘anhuma. Ketika Muawiyah radhiyallahu ‘anhu meninggal dunia pada tahun 60 H, anak beliau Yazid bin Muawiyah menggantikannya sebagai imam kaum Muslimin atau khalifah. Saat itu penduduk Irak yang didominasi oleh pengikut ‘Ali radhiyallahu ‘anhu menulis surat kepada Husain radhiyallahu ‘anhuma, meminta beliau radhiyallahu ‘anhuma pindah ke Irak. Mereka berjanji akan membaiat Husain radhiyallahu ‘anhuma sebagai khalifah, karena mereka tidak menginginkan Yazid bin Muawiyah menduduki jabatan Khalifah. Tidak cukup dengan surat, mereka terkadang mendatangi Husain radhiyallahu ‘anhuma di Mekah, mengajak beliau radhiyallahu ‘anhuma berangkat ke Kufah, dan berjanji akan menyediakan pasukan. Para sahabat seperti Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma kerap kali menasihati Husain radhiyallahu ‘anhuma agar tidak memenuhi keinginan mereka, karena ayah Husain radhiyallahu ‘anhuma, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu dibunuh di Kufah, dan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu khawatir mereka membunuh Husain juga di sana. Husain radhiyallahu ‘anhuma mengatakan: “Saya sudah melakukan istikharah dan akan berangkat kesana.”

Sebagian riwayat menyatakan, bahwa beliau radhiyallahu ‘anhuma mengambil keputusan ini karena belum mendengar kabar tentang sepupunya Muslim bin ‘Aqil yang telah dibunuh di sana.

Akhirnya, berangkatlah Husain radhiyallahu ‘anhuma bersama keluarga menuju Kufah.

Sementara di pihak yang lain, ‘Ubaidullah bin Ziyad diutus oleh Yazid bin Muawiyah untuk mengatasi pergolakan di Irak. Akhirnya, ‘Ubaidullah dengan pasukannya berhadapan dengan Husain radhiyallahu ‘anhuma bersama keluarganya yang sedang dalam perjalanan menuju Irak. Pergolakan ini sendiri dipicu oleh orang-orang yang ingin memanfaatkan Husain radhiyallahu ‘anhuma. Dua pasukan yang sangat tidak imbang ini bertemu, sementara orang-orang Irak yang membujuk Husain radhiyallahu ‘anhuma dan berjanji akan membantu dan menyiapkan pasukan justru melarikan diri meninggalkan Husain radhiyallahu anhuma dan keluarganya berhadapan dengan pasukan Ubaidullah. Sampai akhirnya terbunuhlah Husain radhiyallahu ‘anhuma sebagai orang yang terzalimi dan sebagai syahid. Kepalanya dipenggal lalu dibawa ke hadapan ‘Ubaidullah bin Ziyad, dan kepala itu diletakkan di bejana.

Lalu ‘Ubaidullah yang durhaka [4] ini kemudian menusuk-nusuk hidung, mulut dan gigi Husain, padahal di situ ada Anas bin Malik, Zaid bin Arqam dan Abu Barzah al-Aslami radhiyallahu ‘anhum. Anas radhiyallahu ‘anhu mengatakan: “Singkirkan pedangmu dari mulut itu, karena aku pernah melihat mulut Rasulullah ﷺ mencium mulut itu!.” Mendengarnya, orang durhaka ini mengatakan: “Seandainya saya tidak melihatmu sudah tua renta yang akalnya sudah rusak, maka pasti kepalamu saya penggal.”

Dalam riwayat at- Tirmidzi dan Ibnu Hibban dari Hafshah binti Sirin dari Anas radhiyallahu ‘anhu dinyatakan:

فَجَعَلَ يَقُوْلُ بِقَضِيْبٍ لَهُ فِي أَنْفِهِ

“Lalu ‘Ubaidullah mulai menusukkan pedangnya ke hidung Husain radhiyallahu ‘anhu.“

Dalam riwayat ath-Thabrani rahimahullah dari hadis Zaid bin Arqam radhiyallahu ‘anhu:

فَجَعَلَ قَضِيْبًا فِي يَدِهِ فِي عَيْنِهِ وَأَنْفِهِ فَقُلْتُ ارْفَعْ قَضِيْبَكَ فَقَدْ رَأَيْتُ فَمَّ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي مَوْضِعِهِ

“Lalu dia mulai menusukkan pedang yang di tangannya ke mata dan hidung Husain radhiyallahu ‘anhu. Aku (Zaid bin Arqam) mengatakan: “Angkat pedangmu, sungguh aku pernah melihat mulut Rasulullah (mencium) tempat itu.“

Demkian juga riwayat yang disampaikan lewat jalur Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu:

فَقُلْتُ لَهُ إِنِّي رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَلْثِمُ حَيْثُ تَضَعُ قَضِيْبَكَ, قَالَ:.” فَانْقَبَضَ

Aku (Anas bin Malik) mengatakan kepadanya: “Sungguh aku telah melihat Rasulullah ﷺ mencium tempat di mana engkau menaruh pedangmu itu.” Lalu Ubaidullah mengangkat pedangnya.

Demikianlah kejadiannya. Setelah Husain radhiyallahu ‘anhuma terbunuh, kepala beliau radhiyallahu ‘anhuma dipenggal dan ditaruh di bejana. Dan mata, hidung, dan gigi beliau radhiyallahu ‘anhuma ditusuk-tusuk dengan pedang. Para sahabat radhiyallahu anhum yang menyaksikan hal ini meminta kepada ‘Ubaidullah orang durhaka ini agar menyingkirkan pedang itu, karena mulut Rasulullah ﷺ pernah menempel tempat itu. Alangkah tinggi rasa hormat mereka kepada Rasulullah ﷺ, dan alangkah sedih hati mereka menyaksikan cucu Rasulullah ﷺ, orang kesayangan beliau ﷺ dihinakan di depan mata mereka.

Dari sini kita mengetahui, betapa banyak riwayat palsu tentang peristiwa ini yang menyatakan bahwa kepala Husain radhiyallahu ‘anhuma diarak, sampai diletakkan di depan Yazid rahimahullah. Para wanita dari keluarga Husain radhiyallahu ‘anhuma dikelilingkan ke seluruh negeri dengan kendaaraan tanpa pelana, ditawan dan dirampas. Semua ini merupakan kepalsuan yang dibuat Rafidhah (Syiah). Karena Yazid rahimahullah saat itu sedang berada di Syam, sementara kejadian memilukan ini berlangsung di Irak.

Syaikhul Islam Taimiyyah rahimahullah mengatakan:
“Dalam riwayat dengan sanad yang majhul dinyatakan, bahwa peristiwa penusukan ini terjadi di hadapan Yazid. Kepala Husain radhiyallahu ‘anhuma dibawa ke hadapannya, dan dialah yang menusuk-nusukkan gigi Husain radhiyallahu ‘anhuma. Di samping dalam cerita (dusta) ini terdapat isyarat yang menunjukkan, bahwa cerita ini bohong, maka (untuk diketahui juga-red) para sahabat yang menyaksikan peristiwa penusukan ini tidak berada di Syam, akan tetapi di negeri Irak. Justru sebaliknya, riwayat yang dibawakan oleh beberapa orang menyebutkan, bahwa Yazid tidak memerintahkan ‘Ubaidullah untuk membunuh Husain.”[5]

Yazid rahimahullah sangat menyesalkan terjadinya peristiwa menyedihkan itu, karena Mu’awiyah berpesan agar berbuat baik kepada kerabat Rasulullah ﷺ. Maka saat mendengar kabar bahwa Husain dibunuh, mereka sekeluarga menangis dan melaknat ‘Ubaidullah. Hanya saja dia tidak menghukum dan mengqisas ‘Ubaidullah, sebagai wujud pembelaan terhadap Husain secara tegas.[6]

Jadi memang benar, Husain radhiyallahu ‘anhuma dibunuh dan kepalanya dipotong. Tapi cerita tentang kepalanya diarak, wanita-wanita dinaikkan kendaraan tanpa pelana dan dirampas, semuanya dhaif (lemah). Alangkah banyak riwayat dhaif serta dusta seputar kejadian menyedihkan ini, sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah di atas.

Kemudian juga, kisah pertumpahan darah yang terjadi di Karbala ditulis dan diberi tambahan-tambahan dusta. Tambahan-tambahan dusta ini bertujuan untuk menimbulkan dan memunculkan fitnah perpecahan di tengah kaum Muslimin. Sebagian dari kisah-kisah dusta itu bisa kita dapatkan dalam kitab Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam Minhajus Sunnah IV/517 dan 554, 556:

Ketika hari pembunuhan terhadap Husain, langit menurunkan hujan darah, lalu menempel di pakaian dan tidak pernah hilang, dan langit nampak berwarna merah yang tidak pernah terlihat sebelum itu.

Tidak diangkat sebuah batu melainkan di bawahnya terdapat darah penyembelihan Husain radhiyallahu ‘anhuma.

Kemudian mereka juga menisbatkan kepada Rasulullah ﷺ sebuah perkataan yang berbunyi:

هَؤُلَاءِ وَدِيْعَتِيْ عِنْدَكُمْ

Mereka ini adalah titipanku pada kalian, kemudian Allah ﷻ menurunkan ayat:

قُلْ لَّآ اَسْـَٔلُكُمْ عَلَيْهِ اَجْرًا اِلَّا الْمَوَدَّةَ فِى الْقُرْبٰىۗ

“Katakanlah:.”Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upah pun atas seruanku, kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan.” [QS. asy Syura/42:23]

Riwayat ini dibantah oleh para ulama, di antaranya Ibnu Taimiyyah rahimahullah dengan mengatakan: “Apa masuk di akal, Rasulullah ﷺ menitipkan kepada makhluk, padahal Allah ﷻ tempat penitip yang terbaik. Sedangkan ayat di atas yang mereka anggap diturunkan Allah ﷻ berkenaan dengan peristiwa pembunuhan Husain radhiyallahu ‘anhuma, maka ini juga merupakan satu bentuk kebohongan. Karena ayat ini terdapat dalam Surat as-Syura dan surat ini Makkiyah. Allah ﷻ menurunkan surat ini sebelum Ali radhiyallahu ‘anhu dan Fathimah radhiyallahu anha menikah.

Husain Radhiyallahu ‘Anhuma Terbunuh Sebagai Orang yang Terzalimi dan Mati Syahid

Ini merupakan keyakinan Ahlussunnah. Pendapat ini berada di antara dua pendapat yang saling berlawanan. Syaikhul Islam rahimahullah mengatakan:
“Tidak disangsikan lagi, bahwa Husain radhiyallahu ‘anhuma terbunuh dalam keadaan terzalimi dan syahid. Pembunuhan terhadap Husain radhiyallahu ‘anhuma merupakan tindakan maksiat kepada Allah ﷻ dan Rasul-Nya ﷺ, dari para pelaku pembunuhan dan orang-orang yang membantu pembunuhan ini. Di sisi lain, merupakan musibah yang menimpa kaum Muslimin, keluarga Rasulullah ﷺ dan yang lainnya. Husain radhiyallahu ‘anhuma berhak mendapatkan gelar syahid, kedudukan dan derajat ditinggikan.”[7]

Kemudian di halaman yang sama Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan, bahwa pembunuhan terhadap Husain radhiyallahu ‘anhuma tidak lebih besar daripada pembunuhan terhadap para rasul. Allah ﷻ telah memberitahukan, bahwa Bani Israil telah membunuh para nabi tanpa alasan yang benar. Pembunuhan terhadap para nabi itu lebih besar dosanya, dan merupakan musibah yang lebih dahsyat. Begitu pula pembunuhan terhadap ‘Ali radhiyallahu ‘anhu (bapak Husain radhiyallahu ‘anhuma) lebih besar dosa dan musibahnya, termasuk pembunuhan terhadap ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu juga.

Ini merupakan bantahan telak bagi kaum Syiah yang meratapi kematian Husain radhiyallahu ‘anhuma, namun, tidak meratapi kematian para nabi. Padahal pembunuhan yang dilakukan oleh Bani Israil terhadap para nabi tanpa alasan yang benar lebih besar dosa dan musibahnya. Ini juga menunjukkan, bahwa mereka bersikap ghuluw (melampau batas) kepada Husain radhiyallahu ‘anhu.

Sikap ghuluw ini mendorong mereka membuat berbagai hadis palsu. Misalnya riwayat yang menerangkan, bahwa Rasulullah ﷺ menyatakan, pembunuh Husain radhiyallahu ‘anhu akan berada di tabut (peti yang terbuat dari api). Dia mendapatkan siksa setengah siksa penghuni Neraka. Kedua tangan dan kakinya diikat dengan rantai dari api Neraka. Ditelungkupkan sampai masuk ke dasar Neraka dan dalam keadaan berbau busuk. Penduduk Neraka berlindung dari bau busuk yang keluar dari orang tersebut, dan dia kekal di dalamnya.

Syaikhul Islam Ibnu Tamiyyah rahimahullah mengomentari riwayat ini dengan mengatakan:
“Hadis ini termasuk di antara riwayat yang berasal dari para pendusta.”

Menyikapi Peristiwa Karbala

Menyikapi peristiwa wafatnya Husain radhiyallahu ‘anhuma, umat manusia terbagi menjadi tiga golongan. Syaikhul Islam rahimahullah mengatakan:
“Dalam menyikapi peristiwa pembunuhan Husain radhiyallahu ‘anhuma, manusia terbagi menjadi tiga: Dua golongan yang ekstrim dan satu berada di tengah-tengah.

Golongan Pertama: Mengatakan bahwa pembunuhan terhadap Husain radhiyallahu ‘anhuma itu merupakan tindakan benar, karena Husain radhiyallahu ‘anhuma ingin memecah belah kaum Muslimin. Rasulullah ﷺ bersabda:

مَنْ جَاءَكُمْ وَأَمْرُكُمْ عَلَى رَجُلٍ وَاحِدٍ يُرِيْدُ أَنْ يُفَرِّقَ جَمَاعَتَكُمْ فَاقْتُلُوْهُ

“Jika ada orang yang mendatangi kalian dalam keadaan urusan kalian berada dalam satu pemimpin, lalu pendatang hendak memecah belah jamaah kalian, maka bunuhlah dia.” [8]

Kelompok pertama ini mengatakan, bahwa Husain radhiyallahu ‘anhuma datang saat urusan kaum Muslimin berada di bawah satu pemimpin (yaitu Yazid bin Muawiyah), dan Husain radhiyallahu ‘anhuma hendak memecah belah umat.

Sebagian lagi mengatakan, bahwa Husain radhiyallahu ‘anhuma merupakan orang pertama yang memberontak kepada penguasa. Kelompok ini melampaui batas, sampai berani menghinakan Husain radhiyallahu ‘anhuma. Inilah kelompok ‘Ubaidullah bin Ziyad, Hajjaj bin Yusuf dan lain-lain. Sedangkan Yazid bin Muawiyah rahimahullah tidak seperti itu. Meskipun tidak menghukum ‘Ubaidullah, namun ia tidak menghendaki pembunuhan ini.

Golongan Kedua: Mereka mengatakan Husain radhiyallahu ‘anhu adalah imam yang wajib ditaati. Tidak boleh menjalankan suatu perintah, kecuali dengan perintahnya. Tidak boleh melakukan salat jamaah, kecuali di belakangnya, atau orang yang ditunjuknya, baik salat lima waktu ataupun salat Jumat. Dan tidak boleh berjihad melawan musuh, kecuali dengan izinnya dan lain sebagainya. [9]

Kelompok pertama dan kedua ini berkumpul di Irak. Hajjaj bin Yusuf adalah pemimpin golongan pertama. Ia sangat benci kepada Husain radhiyallahu ‘anhuma dan merupakan sosok yang zalim. Sementara kelompok kedua dipimpin oleh Mukhtar bin Abi ‘Ubaid yang mengaku mendapat wahyu, dan sangat fanatik dengan Husain radhiyallahu ‘anhuma. Orang inilah yang memerintahkan pasukannya agar menyerang dan membunuh ‘Ubaidullah bin Ziyad dan memenggal kepalanya.

Golongan Ketiga: Yaitu Ahlussunnah wal Jamaah yang tidak sejalan dengan pendapat golongan pertama, juga tidak dengan pendapat golongan kedua. Mereka mengatakan bahwa Husain radhiyallahu ‘anhuma terbunuh dalam keadaan terzalimi dan mati syahid. Inilah keyakinan Ahlussunnah wal Jamaah, yang selalu berada di tengah antara dua kelompok.

Ahlussunnah mengatakan Husain radhiyallahu ‘anhuma bukanlah pemberontak. Sebab kedatangannya ke Irak bukan untuk memberontak. Seandainya mau memberontak, beliau radhiyallahu ‘anhuma bisa mengerahkan penduduk Mekah dan sekitarnya yang sangat menghormati dan menghargai beliau radhiyallahu ‘anhuma. Karena saat beliau radhiyallahu ‘anhuma di Mekah, kewibaannya mengalahkan wibawa para sahabat lain yang masih hidup pada masa itu di Mekkah. Beliau radhiyallahu ‘anhuma seorang alim dan ahli ibadah. Para sahabat sangat mencintai dan menghormatinya. Karena beliaulah Ahli Bait yang paling besar.

Jadi Husain radhiyallahu ‘anhuma sama sekali bukan pemberontak. Oleh karena itu, ketika dalam perjalanannya menuju Irak dan mendengar sepupunya Muslim bin ‘Aqil dibunuh di Irak, beliau radhiyallahu ‘anhuma berniat untuk kembali ke Mekkah. Akan tetapi beliau radhiyallahu ‘anhuma ditahan dan dipaksa oleh penduduk Irak untuk berhadapan dengan pasukan ‘Ubaidullah bin Ziyad. Akhirnya beliau radhiyallahu ‘anhuma tewas terbunuh dalam keadaan terzalimi dan mati syahid.

Setan Menyebarkan Bidah

Syaikhul Islam mengatakan [10]:
“Dengan sebab kematian Husain radhiyallahu ‘anhuma, setan memunculkan dua bidah di tengah manusia.

Pertama: Bidah kesedihan dan ratapan para Hari Asyura (di negeri kita ini, acara bidah ini sudah mulai diadakan-pen) seperti menampar-nampar, berteriak, merobek-robek, sampai-sampai mencaci maki dan melaknat generasi Salaf, memasukkan orang-orang yang tidak berdosa ke dalam golongan orang yang berdosa. (Para sahabat seperti Abu Bakar dan Umar dimasukkan, padahal mereka tidak tahu apa-apa, dan tidak memiliki andil dosa sedikit pun. Pihak yang berdosa adalah yang terlibat langsung kala itu). Mereka sampai mereka berani mencaci Sabiqunal Awwalun. Kemudian riwayat-riwayat tentang Husain radhiyallahu ‘anhuma dibacakan, yang kebanyakan merupakan kebohongan, karena tujuan mereka adalah membuka pintu fitnah (perpecahan) di tengah umat.

Kemudian Syaikhul Islam rahimahullah juga mengatakan:
“Di Kufah saat itu terdapat kaum yang senantiasa membela Husain radhiyallahu ‘anhuma yang dipimpin oleh Mukhtar bin Abi ‘Ubaid al-Kadzdzab (karena dia mengaku mendapatkan wahyu-pen). Di Kufah juga terdapat satu kaum yang membenci ‘Ali dan keturunan beliau radhiyallahu ‘anhum. Di antara kelompok ini adalah Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi. Dalam sebuah hadis sahih dijelaskan, Rasulullah ﷺ bersabda:

سَيَكُوْنُ فِي ثَقِيْفٍ كَذَّابٌ وَمُبِيْرٌ

“Akan ada di suku Tsaqif seorang pendusta dan perusak.”

Orang Syiah yang bernama Mukhtar bin Abi ‘Ubaid itulah sang pendusta. Sedangkan sang perusak adalah al-Hajjaj. Yang pertama membuat bidah kesedihan, sementara yang kedua membuat bidah kesenangan. Kelompok kedua ini pun meriwayatkan hadis yang menyatakan, bahwa barang siapa melebihkan nafkah keluarganya pada hari Asyura, maka Allah ﷻ melonggarkan rezekinya selama setahun itu.”

Juga hadis, “Barang siapa memakai celak pada hari Asyura, maka tidak akan mengalami sakit mata pada tahun itu dan lain sebagainya.

Kedua: Bidah yang kedua adalah bidah kesenangan pada Hari Asyura: Karena itu para khotib yang sering membawakan riwayat ini, karena ketidaktahuannya tentang ilmu riwayat atau sejarah, sebenarnya secara tidak langsung masuk ke dalam kelompok al-Hajjaj, kelompok yang sangat membenci Husain radhiyallahu ‘anhuma. Padahal wajib bagi kita meyakini, bahwa Husain radhiyallahu ‘anhuma terbunuh dalam keadaan terzalimi dan mati syahid. Dan wajib bagi kita mencintai sahabat yang mulia ini dengan tanpa melampaui batas dan tanpa mengurangi haknya. Tidak mengatakan Husain radhiyallahu anhuma seorang imam yang maksum (terbebas dari semua kesalahan). Tidak pula mengatakan bahwa pembunuhan terhadap Husain radhiyallahu anhuma itu adalah tindakan yang benar. Pembunuhan terhadap Husain radhiyallahu ‘anhuma adalah tindakan maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya.

Itulah sekilas mengenai beberapa permasalahan yang berhubungan dengan peristiwa pembunuhan Husain radhiyallahu ‘anhuma. Semoga bermanfaat dan memberikan pencerahan. Kita memohon kepada Allah ﷻ agar menghindarkan kita semua dari berbagai fitnah yang disebarkan oleh setan dan para tentaranya.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XII/1430H/2009M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Syarhu al’Aqidah al-Wasithiyyah Syaikh Sholeh al-Fauzan hal.198,
[2] Minhajus Sunnah (IV/556)
[3] Komandan pasukan yang memerangi Husain, pada tahun 60-61 H di Irak di sebuah daerah yang bernama Karbala
[4] Ia disebut orang durhaka, karena dia tidak diperintah untuk membunuh Husain Radhiyallahu ‘anhuma, namun melakukannya
[5] Minhajus Sunnah (IV/557)
[6] Lihat Minhajus Sunnah (V/557-558)
[7] Minhajus Sunnah (IV/550)
[8] HR. Muslim, kitabul Imarah
[9] Minhajus Sunnah (IV/553)
[10] Minhajus Sunnah (IV/554)

Sumber: https://almanhaj.or.id/2606-peristiwa-karbala-dalam-pandangan-ahlussunnah-wal-jamaah.html
Diposting ulang dengan sedikit penyesuaian redaksional di:

══════

Mari sebarkan dakwah sunnah dan meraih pahala. Ayo di-share ke kerabat dan sahabat terdekat! Ikuti kami selengkapnya di:

WhatsApp: +61 405 133 434 (silakan mendaftar terlebih dahulu)
Website: https://nasihatsahabat.com/
Email: [email protected]
Twitter: @NasihatSalaf
Facebook: https://www.facebook.com/nasihatsahabatcom/
Instagram: NasihatSahabatCom
Telegram: https://t.me/nasihatsahabat
Pinterest: https://id.pinterest.com/nasihatsahabat