بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
 
MUHARAM BUKANLAH BULAN SIAL
 
Mukadimah
 
Segala puji bagi Allah ﷻ yang menjadikan malam dan siang silih berganti, sebagai pelajaran (‘ibrah) bagi orang yang ingin mengambil pelajaran atau orang yang ingin bersyukur.
 
Sebagaimana firman Allah ﷻ:
 
وَهُوَ الَّذِي جَعَلَ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ خِلْفَةً لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يَذَّكَّرَ أَوْ أَرَادَ شُكُورًا
 
“Dan Dia (pula) yang menjadikan malam dan siang silih berganti, bagi orang yang ingin mengambil pelajaran atau orang yang ingin bersyukur.” [QS. Al-Furqaan: 62]
 
Selawat dan salam semoga tercurahkan kepada suri teladan kita, Rasulullah ﷺ, hamba-Nya yang paling bersyukur, dan utusan-Nya yang mengajarkan kepada umatnya bagaimana bersyukur dengan sebaik-baiknya, amma ba’du,
 
Di dalam berjalannya waktu, silih bergantinya hari dan berlalunya bulan dan tahun, terdapat pelajaran yang berharga bagi orang yang mau merenungkannya.
 
Tidak ada satu tahun pun berlalu, dan tidak pula satu bulan pun menyingkir, melainkan dia menutup lembaran-lembaran peristiwanya saat itu. Pergi dan tidak kembali. Jika baik amal insan pada masa tersebut, maka baik pula balasannya. Namun jika buruk, penyesalanlah yang mengikutinya.
 
Bukanlah inti masalah ada pada: “Kapan sebuah bulan telah usai dan kapan ia mulai menjelang”, akan tetapi yang menjadi inti masalah adalah:
 
• “Dengan apa kita dahulu mengisi bulan-bulan yang telah berlalu itu”, dan
• “Bagaimana kita akan hiasi bulan-bulan yang akan datang”
 
Sehingga ia senantiasa berada dalam dua keadaan:
 
Pertama: Senantiasa Muhasabah (intropeksi), yaitu memikirkan dan menghitung-hitung amalannya di tahun yang telah silam, lalu dia teringat akan dosa-dosanya, hingga hatinya menyesal, lisannya pun beristighfar, memohon ampun kepada Rabbnya.
 
Kedua: Persiapan (isti’dad), yaitu dia memersiapkan ketaatan pada hari-harinya yang menjelang, sembari memohon pertolongan kepada Rabbnya, agar bisa memersembahkan ibadah yang terindah kepada Sang Penciptanya, Allah Rabbul’Alamin.
 
Muharam Bukan Bulan Sial
 
Alhamdulillah kita telah memasuki Muharam, yang merupakan bulan pertama dalam kalender Hijriyah. Orang Jawa menyebut Muharam dengan bulan Suro. Tersebar mitos di tengah masyarakat kaum Muslimin dari suku Jawa, sebagian suku Sulawesi, atau mungkin juga suku yang lainnya, yang meyakini bahwa Muharam adalah bulan sial, bulan keramat, sehingga tidak boleh ada hajatan, acara pernikahan, melakukan perjalanan, membangun rumah, dan kegiatan kegembiraan lainnya. Kalau orang Sulawesi bilang pamali.
 
Lebih dari itu mereka meyakini, siapa yang mengadakan hajatan pada bulan Muharam ini akan ditimpa musibah dan malapetaka. Sehingga mereka enggan menikahkan putra putrinya di bulan ini, karena khawatir ditimpa petaka dan kesengsaraan bagi kedua mempelai. Tidak melakukan perjalanan karena akan terjadi kecelakaan. Karena mereka menganggap Muharam sebagai bulan sial, bulan keramat. Ini mitos yang tersebar. Allahulmusta’an.
 
Tujuh Alasan (Dalil) Bahwa Muharam Bukan Bulan Sial
 
Berkaitan dengan keyakinan tersebut, tentu saja tidak dibenarkan dalam syariat Islam, dengan beberapa alasan (Dalil) sebagai berikut:
 
Alasan Pertama: Ditinjau dari sisi syariat, Muharam adalah bulan mulia. Bulan yang mempunyai kehormatan. Salah satu dari empat bulan yang haram (bulan suci) dalam Islam.
 
Allah ﷻ berfirman:
 
ﺇِﻥَّ ﻋِﺪَّﺓَ ﺍﻟﺸُّﻬُﻮﺭِ ﻋِﻨْﺪَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺍﺛْﻨَﺎ ﻋَﺸَﺮَ ﺷَﻬْﺮًﺍ ﻓِﻲ ﻛِﺘَﺎﺏِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻳَﻮْﻡَ ﺧَﻠَﻖَ ﺍﻟﺴَّﻤَﺎﻭَﺍﺕِ ﻭَﺍﻷﺭْﺽَ ﻣِﻨْﻬَﺎ ﺃَﺭْﺑَﻌَﺔٌ ﺣُﺮُﻡٌ ﺫَﻟِﻚَ ﺍﻟﺪِّﻳﻦُ ﺍﻟْﻘَﻴِّﻢُ ﻓَﻼ ﺗَﻈْﻠِﻤُﻮﺍ ﻓِﻴﻬِﻦَّ ﺃَﻧْﻔُﺴَﻜُﻢْ ﻭَﻗَﺎﺗِﻠُﻮﺍ ﺍﻟْﻤُﺸْﺮِﻛِﻴﻦَ ﻛَﺎﻓَّﺔً ﻛَﻤَﺎ ﻳُﻘَﺎﺗِﻠُﻮﻧَﻜُﻢْ ﻛَﺎﻓَّﺔً ﻭَﺍﻋْﻠَﻤُﻮﺍ ﺃَﻥَّ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻣَﻊَ ﺍﻟْﻤُﺘَّﻘِﻴﻦَ ( سورة التوبة: ٣٦ )
 
“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi. Di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus. Maka janganlah kalian menganiaya diri kalian dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrik itu semuanya, sebagaimana mereka pun memerangi kalian semuanya. Dan ketahuilah, bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” [QS. At-Taubah: 36]
 
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam tafsirnya:
 
ﻭﻗﺎﻝ ﻋﻠﻲ ﺑﻦ ﺃﺑﻲ ﻃﻠﺤﺔ ، ﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱ ﻗﻮﻟﻪ: ( ﺇﻥ ﻋﺪﺓ ﺍﻟﺸﻬﻮﺭ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﺛﻨﺎ ﻋﺸﺮ ﺷﻬﺮﺍ ) ﺍﻵﻳﺔ( ﻓﻼ ﺗﻈﻠﻤﻮﺍ ﻓﻴﻬﻦ ﺃﻧﻔﺴﻜﻢ ) ﻓﻲ ﻛﻠﻬﻦ ، ﺛﻢ ﺍﺧﺘﺺ ﻣﻦ ﺫﻟﻚ ﺃﺭﺑﻌﺔ ﺃﺷﻬﺮ ﻓﺠﻌﻠﻬﻦ ﺣﺮﺍﻣﺎ ، ﻭﻋﻈﻢ ﺣﺮﻣﺎﺗﻬﻦ ، ﻭﺟﻌﻞ ﺍﻟﺬﻧﺐ ﻓﻴﻬﻦ ﺃﻋﻈﻢ ، ﻭﺍﻟﻌﻤﻞ ﺍﻟﺼﺎﻟﺢ ﻭﺍﻷﺟﺮ ﺃﻋﻈﻢ.
 
“Dan ‘Ali bin Abi Thalhah telah meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma sehubungan dengan makna firman-Nya: (“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan”), hingga akhir ayat. (“Maka janganlah kalian menganiaya diri kalian sendiri”)
[QS. At-Taubah: 36]
 
Yaitu dalam semua bulan.
 
Kemudian dikecualikan dari semua bulan itu sebanyak empat bulan (Empat bulan Haram, yaitu Zulkaidah, Zulhijah, Muharam, dan Rajab). Keempat bulan itu dijadikan sebagai bulan Haram (Suci), yang kesuciannya diagungkan. Dan sanksi atas perbuatan dosa yang dilakukan padanya diperbesar, serta pahala amal saleh yang dilakukan di dalamnya diperbesar pula.” [Tafsir Ibnu Katsir, 4 / 148]
 
Dari Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi ﷺ, bahwa beliau sedang berkhotbah di hadapan manusia, pada hari raya Idul Adha, saat haji Wada. Di antara yang beliau ﷺ sabdakan adalah:
 
إنَّ الزَّمَانَ قَدْ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ اللَّهُ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ثَلاثٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِي بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ
 
“Sesungguhnya waktu berputar ini sebagaimana ketika Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun ada dua belas bulan. Di antara dua belas bulan itu ada empat bulan suci (Syahrul Haram). Tiga bulan berurutan: Zulkaidah, Zulhijah, dan Muharam. Kemudian bulan Rajab suku Mudhar antara Jumadi tsaniah dan Syakban.” [HR. Al-Bukhari,no.3197 dan Muslim, no.1679]
 
Apa hikmah keempat bulan tersebut menjadi bulan haram?
 
Al-Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan hikmah tersebut:
 
وإنما كانت الأشهر المحرمة أربعة، ثلاثة سرد وواحد فرد، لأجل أداء مناسك الحج والعمرة فحُرِّم قبل أشهر الحج شهرًا وهو ذو القعدة؛ لأنهم يقعدون فيه عن القتال، وحُرِّم شهر ذو الحجة لأنهم يوقعون فيه الحج ويشتغلون بأداء المناسك، وحُرِّم بعده شهرًا آخر وهو المحرم؛ ليرجعوا فيه إلى أقصى بلادهم آمنين، وحُرِّم رجب في وسط الحول لأجل زيارة البيت والاعتماد به لمن يقدم إليه من أقصى جزيرة العرب فيزوره ثم يعود إلى وطنه فيه آمنًا.”
 
“Bulan haram itu ada empat, tiga berurutan dan satu terpisah. Hal itu disebabkan adanya pelaksanaan ibadah haji dan umrah (di dalamnya). Satu bulan sebelum bulan haji yaitu bulan Zulkaidah, (bulan tersebut) dinyatakan sebagai bulan haram, karena mereka tidak melakukan peperangan di dalamnya.
 
Bulan Zulhijah ditetapkan sebagai bulan haram, karena mereka melakukan ibadah haji pada bulan itu dan sibuk dengannya. Bulan sesudahnya (juga) ditetapkan sebagai bulan haram, yaitu: Muharam, agar mereka dapat kembali ke negeri mereka yang paling jauh (sekalipun) pada bulan ini, dalam keadaan aman.
 
Bulan Rajab ditetapkan sebagai bulan haram yang terletak di pertengahan tahun, agar (manusia) berkesempatan mengunjungi Baitullah. Dan ini adalah kesempatan yang baik bagi orang yang datang dari tempat terjauh di wilayah Jazirah Arab, mereka mengunjunginya, kemudian pulang ke negerinya dalam keadaan aman di dalam bulan tersebut.” [Tafsir Ibnu Katsir: 3/25]
 
Lantas mengapa bulan suci ini dinamakan Muharam?
 
Ada dua pendapat yang menjelaskan alasan penamaan bulan ini:
 
Alasan Pertama: Dinamakan Muharam dari kata Haram, yang maknanya adalah larangan, sebagai penegasan terhadap keharaman berperang di bulan ini. Karena dahulu orang-orang Arab mengubah-ubah urutan bulan ini. Mereka menghalalkan perang pada suatu tahun, kemudian mengharamkan pada tahun berikutnya.
 
Kedua: Dinamakan Muharam karena bulan ini termasuk salah satu dari empat Asyhur Al Hurum (Bulan-bulan haram) yang disinggung dalam Surat At-Taubah ayat 36 di atas.
 
Imam Ibnu Katsir rahimahullah menyatakan:
 
ذَكَرَ الشَّيْخُ عَلَمُ الدِّينِ السَّخَاوِيُّ فِي جُزْءٍ جَمَعَهُ سَمَّاهُ «الْمَشْهُورُ فِي أَسْمَاءِ الْأَيَّامِ وَالشُّهُورِ » أَنَّ الْمُحَرَّمَ سُمِّيَ بِذَلِكَ لِكَوْنِهِ شَهْرًا مُحَرَّمًا، وَعِنْدِي أَنَّهُ سُمِّيَ بِذَلِكَ تَأْكِيدًا لِتَحْرِيمِهِ ؛ لِأَنَّ الْعَرَبَ كَانَتْ تَتَقَلَّبُ بِهِ فَتُحِلُّهُ عَامًا وَتُحَرِّمُهُ عَامًا
 
“Syaikh Alamuddin As Sakhowi menyebutkan dalam salah satu jilid karya yang beliau kumpulkan, yang beliau beri judul Al Masyhur Fi Asmaai Al Ayyam Wa Asy-Syuhur,
bahwa dinamakan Muharam karena bulan ini termasuk bulan haram. Adapun menurutku, dinamai Muharam sebagai penekanan terhadap keharaman berperang di bulan tersebut. Karena kaum Arab dahulu mengubah-ubah urutan bulan ini. Mereka menghalalkan perang di suatu tahun, lalu mengharamkan di tahun berikutnya.” [Tafsir Ibnu Katsir 4/146]
 
Maka dari penjelasan ini menunjukkan Muharam adalah bulan suci dan mulia di sisi Allah ﷻ. Menunjukkan Muharam adalah bulan yang berkah, bulan yang baik, BUKAN bulan sial, pamali ataupun keramat.
 
Alasan Kedua: Muharam mempunyai banyak keutamaan. Salah satunya adalah Muharam disebut dengan bulannya Allah ﷻ.
 
Satu-satu bulan yang Allah ﷻ menisbatkan kepada diri-Nya yang Maha Mulia adalah bulan Muharam.
 
Nabi ﷺ bersabda:
 
أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللهِ الْمُحَرَّمُ
 
“Sebaik-baik puasa setelah puasa Ramadan adalah puasa pada bulan Allah, Muharam.”
[HR. Muslim 1163]
 
Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan:
“Nabi ﷺ memberi nama Muharam dengan Syahrullah. Penyandaran bulan ini kepada Allah menunjukkan kemuliaan dan keutamaannya. Karena Allah tidak akan menyandarkan sesuatu kepada diri-Nya, kecuali pada makhluknya yang khusus.” [Lathaiful Ma’arif, hal.81]
 
Puasa yang dilakukan pada tangal 10 Muharam akan menghapus dosa setahun yang lalu, dan lebih utama lagi jika ditambah dengan tanggal sembilan atau sebelas. Dari Abu Qatadah al-Anshori radiyallahu’anhu, Rasulullah ﷺ bersabda:
 
وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُوْرَاء أَحْتَسِبُ عَلَى اللهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِيْ قَبْلَهُ.
 
“Aku berharap pada Allah, agar puasa di hari Asyura (10 Muharam) bisa menghapuskan dosa satu tahun yang lalu.” [HR. Muslim]
 
Sedangkan yang dilarang oleh syariat di bulan ini adalah melakukan peperangan, kecuali apabila umat Islam diperangi. Termasuk diharamkan pula perbuatan-perbuatan menzalimi diri sendiri. “Perbuatan maksiat di bulan ini dilipatgandakan dosanya.” Apalagi jika maksiat tersebut bernuansa syirik dan khurafat, seperti keyakinan bahwa Muharam adalah bulan sial.
 
Sehingga bagaimana mungkin bulan yang disebut Nabi ﷺ sebagai bulannya Allah ﷻ, yang padanya ada puasa yang menghapus dosa setahun yang lalu, menjadi waktu yang sial?! Tentu ini adalah waktu penuh keberkahan.
 
Alasan Ketiga: Ditinjau dari Sejarah yang terjadi di bulan Muharam
 
Pada bulan Muharam, tepatnya tanggal 10 Muharam, Nabi Musa ‘alaihissalam diselamatkan dari kejaran Firaun dan balatentaranya.
 
Abdullah ibnu ‘Abbas radiyallahu’anhuma mengisahkan:
 
لَمَّا قَدِمَ الْمَدِينَةَ وَجَدَهُمْ يَصُومُونَ يَوْمًا ، يَعْنِى عَاشُورَاءَ ، فَقَالُوا هَذَا يَوْمٌ عَظِيمٌ ، وَهْوَ يَوْمٌ نَجَّى اللَّهُ فِيهِ مُوسَى ، وَأَغْرَقَ آلَ فِرْعَوْنَ ، فَصَامَ مُوسَى شُكْرًا لِلَّهِ. فَقَالَ « أَنَا أَوْلَى بِمُوسَى مِنْهُمْ .” فَصَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ
 
“Ketika Nabi ﷺ tiba di Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa di hari Asyura. Beliau ﷺ bertanya: “Hari apa ini?”
Mereka menjawab: “Hari yang baik, hari di mana Allah ﷻ menyelamatkan Bani Israil dari musuhnya, sehingga Musa ‘Alaihissalam pun berpuasa pada hari ini sebagai bentuk syukur kepada Allah ﷻ.”
Akhirnya Nabi ﷺ bersabda: “Kami (kaum Muslimin) lebih layak menghormati Musa alaihissalam dari pada kalian.”
 
Kemudian Nabi ﷺ berpuasa, dan memerintahkan para sahabat untuk puasa.” [HR. Al Bukhari]
 
Kisah ini menuturkan kejadian suka-cita, bukan duka cita, apalagi kisah kesialan. Jadi menganggap Muharam sebagai bulan naas (sial), tidak ada landasan sejarah yang membenarkannya. Karena pada bulan ini justru kita mendapatkan anugerah yang sangat tinggi. Wajarlah jika kemudian kaum Muslimin mensyukurinya dengan berpuasa Sunnah tanggal 10 Muharam. Dan lebih utama lagi ketika dia berpuasa sehari sebelumnya, yakni tanggal 9 Muharam, atau sehari setelahnya, yakni tanggal 11 Muharam.
 
Alasan Keempat: Tidak boleh mencela waktu
 
Menganggap Muharam sebagai bulan sial ini adalah bentuk tindakan mencela waktu. Padahal mencela waktu dilarang dalam Islam. Apalagi jika yang dicela adalah bulan yang istimewa, disebut sebagai bulannya Allah ﷻ.
 
Dari Abu Hurairah radiyallahu’anhu, Nabi ﷺ bersabda:
 
لاَ تَسُبُّوا الدَّهْرَ؛ فَإِنَّ اللهَ هُوَ الدَّهْرُ
 
“Janganlah kalian mencela dahr (waktu), karena Allah itu adalah dahr (yang mengatur waktu).” [HR. Muslim 6/5827]
 
Maksudnya bahwa Allah ﷻ pencipta waktu dan mengaturnya, sebagaimana ditafsirkan dalam riwayat yang lain, sehingga dilarang mencela waktu. Karena seorang yang mencela waktu, dia telah mencela Rabb yang mengatur waktu, yaitu Allah ﷻ.
 
Dari Abu Hurairah radiyallahu’anhu, Rasulullahﷺ bersabda:
 
قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: يُؤْذِيْنِيْ ابْنُ آدَمَ، يَسُبُّ الدَّهْرَ، وَأَنَا الدَّهْرُ، بِيَدِيَ الْأَمْرُ أُقَلِّبُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ
 
“Allah ‘Azza wa jalla berfirman:
“Anak Adam telah menyakiti-Ku. Ia mencela dahr (waktu), padahal Aku adalah (pencipta) dahr. Di tangan-Ku segala perkara. Aku memutar malam dan siang.” [HR. Bukhari hal. 1035 no.5827 dan Muslim 5/5824]
 
Ibnu Katsir menukil pernyataan Imam Syafi’i dan Abu Ubaidah rahimahumullah menjelaskan maksud hadis ini:
 
كانت العرب في جاهليتها إذا أصابهم شدة أو بلاء أو نكبة قالوا: ” يا خيبة الدهر ” فيسندون تلك الأفعال إلى الدهر ويسبونه وإنما فاعلها هو الله تعالى فكأنهم إنما سبوا الله عز وجل لأنه فاعل ذلك في الحقيقة فلهذا نهى عن سب الدهر بهذا الاعتبار لأن الله تعالى هو الدهر الذي يصونه ويسندون إليه تلك الأفعال. وهذا أحسن ما قيل في تفسيره ، وهو المراد. والله أعلم
 
“Dahulu orang Arab saat masa Jahiliah jika tertimpa musibah mereka berucap: “Dasar waktu sial..!”
Mereka menyandarkan sebab musibah itu kepada waktu, kemudian mencelanya. Padahal yang menciptakan segala kejadian adalah Allah ﷻ.
 
Maka seakan-akan mereka telah mencela Allah ﷻ. Karena pada hakikatnya Allah ﷻ yang menimpakan kejadian itu. Inilah sisi alasan larangan mencela waktu. Karena Allah-lah yang mengatur waktu, dan sejatinya mereka telah menyandarkan kesialan musibah itu kepada-Nya. Penjelasan ini adalah penjelasan paling baik untuk makna hadis ini. [Umdah at Tafsir Ibnu Katsir, 3/295-296]
 
Hari, bulan, dan tahun yang Allah ﷻ ciptakan semuanya baik, tidak ada yang sial atau naas. Sesungguhnya kesialan, kecelakaan adalah bagian dari takdir Allah ﷻ, yang tidak diketahui hamba-Nya kecuali setelah terjadi. Allah ﷻ bisa menimpakan kesialan atau kenaasan kepada siapa pun, di mana pun dan kapan pun, bila Allah ﷻ menghendakinya. Dan hamba harus rela menerima takdir tersebut.
 
Alasan Kelima: Menganggap waktu sebagai sumber sial adalah budaya kaum Jahiliyah dahulu
 
Mengambinghitamkan waktu (menjadikan waktu) sebagai penyebab kesialan suatu usaha, sejatinya merupakan mitos masyarakat Arab Jahiliyah dahulu. Mereka sering berkumpul di berbagai kesempatan untuk berbincang-bincang tentang berbagai hal, dan terkadang dalam perbincangan mereka terlontar ucapan-ucapan yang memersalahkan waktu sebagai penyebab kesialan usaha mereka, atau manakala mereka ditimpa berbagai musibah lainnya.
 
Orang Jahiliyah dahulu juga mempunyai mitos, meyakini menikah di bulan Syawal dapat mengundang kesialan. Mitos ini kemudian ditepis oleh Rasulullah ﷺ dengan menikahi Aisyah radiuallahu’anha di bulan Syawal.
 
تزوجني رسول الله صلى الله عليه و سلم في شوال وبنى بي في شوال فأي نساء رسول الله صلى الله عليه و سلم كان أحظى عنده منى ؟ قال وكانت عائشة تستحب أن تدخل نساءها في شوال
 
“Rasulullah ﷺ menikahiku di bulan Syawal, dan mengadakan malam pertama denganku di bulan Syawal. Manakah istri beliau yang lebih mendapatkan perhatian beliau selain aku?”
 
Salah seorang perawi mengatakan:
“Aisyah menyukai jika suami melakukan malam pertama di bulan Syawal.” [HR. Muslim, An-Nasa’i, dan yang lain]
 
Sehingga menganggap Muharam sebagai bulan sial adalah perbuatan tasyabbuh (menyerupai) dengan kaum Jahiliyah dahulu.
 
Ada sebuah keteladanan Nabi ﷺ dari kisah yang diceritakan Aisyah radiyallahu’anha di atas, bahwa dianjurkan untuk bersikap menyelisihi mitos anggapan sial, agar keyakinan khurafat seperti ini hilang dari masyarakat.
 
Alasan Keenam: Menganggap Muharam sebagai bulan sial termasuk perbuatan Thiyarah
 
Dalam kajian masalah akidah, berkeyakinan sial karena melihat peristiwa tertentu, mendengar suara tertentu, atau terhadap hari tertentu disebut Thiyarah atau Tathayyur.
 
Asy-Syaikh Muhammad bin Saleh al-‘Utsaimin rahimahullah berkata:
“Tathayyur adalah menganggap sial atas apa yang dilihat, didengar, atau yang diketahui. Seperti yang dilihat yaitu, melihat sesuatu yang menakutkan. Yang didengar seperti mendengar burung gagak. Dan yang diketahui seperti mengetahui tanggal, angka, atau bilangan. Tathayyur menafikan (meniadakan) tauhid dari dua segi:
 
Pertama: Orang yang bertathayyur tidak memiliki rasa tawakal kepada Allah ﷻ, dan senantiasa bergantung kepada selain Allah ﷻ.
 
Kedua: Ia bergantung kepada sesuatu yang tidak ada hakikatnya, dan merupakan sesuatu yang termasuk takhayyul dan keragu-raguan.” [Al-Qaulul Mufiid ‘alaa Kitaabit Tauhiid
I/559-560]
 
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
 
لاَ عَدْوَى ، وَلاَ طِيَرَةَ ، وَلاَ هَامَةَ ، وَلاَ صَفَرَ
 
“Tidak dibenarkan menganggap penyakit menular dengan sendirinya (tanpa ketentuan Allah). Tidak dibenarkan beranggapan sial. Tidak dibenarkan pula beranggapan nasib malang karena tempat. Juga tidak dibenarkan beranggapan sial di bulan Safar” [HR. Bukhari, no. 5757 dan Muslim no. 2220]
 
Rasulullah ﷺ menyebut perbuatan ini sebagai KESYIRIKAN, sebagaimana disebutkan dalam hadis ‘Abdullah bin Mas’ud radiyallahu’anhu, ia menyebutkan hadis secara Marfu sampai kepada Rasulullah ﷺ:
 
الطِّيَرَةُ شِرْكٌ الطِّيَرَةُ شِرْكٌ. ثَلاَثًا وَمَا مِنَّا إِلاَّ وَلَكِنَّ اللَّهَ يُذْهِبُهُ بِالتَّوَكُّل.
 
“Beranggapan sial adalah kesyirikan, beranggapan sial adalah kesyirikan.”
Beliau ﷺ menyebutnya sampai tiga kali.
 
Kemudian Ibnu Mas’ud radiyallahu’anhu berkata:
“Tidak ada yang bisa menghilangkan sangkaan jelek dalam hatinya. Namun Allah-lah yang menghilangkan anggapan sial tersebut dengan tawakal.” [HR. Abu Daud no. 3910 dan Ibnu Majah no. 3538. Dan disahihlan oleh Syaikh Al Albani].
 
Adapun beberapa contoh perbuatan Tathayyur:
 
• Menganggap Muharam adalah bulan keramat atau sial, sehingga tidak boleh mengadakan hajatan, walimahan, atau acara besar lainnya.
 
• Menganggap anak sakit-sakitan karena nama yang terlalu berat diemban, sehingga harus ada penggantian nama.
 
• Mengganggap datangnya musibah itu karena si A yang baru datang ke kampung. Sebelumnya tidak pernah terjadi. Sebagaimana dahulu Firaun beranggapan datangnya bencana gara-gara Nabi Musa ‘alaihis salam.
 
• Jika lewat di depan kuburan selalu sial, dan sering melihat hantu gentayangan.
 
• Anggapan sial dengan angka 13. Dan masih banyak lagi contoh yang lainnya.
 
Tathayyur (beranggapan sial dengan waktu, hari, atau suara tertentu) ini akan menjadikan seseorang tidak termasuk 70.000 orang yang masuk Surga tanpa hisab dan tanpa siksa. Sifat 70.000 orang tersebut adalah sebagaimana yang disebutkan oleh Nabi ﷺ:
 
هُمْ الَّذِينَ لَا يَتَطَيَّرُونَ وَلَا يَسْتَرْقُونَ وَلَا يَكْتَوُونَ وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ
 
“Mereka itu tidak melakukan Thiyarah (beranggapan sial), tidak meminta untuk diruqyah, dan tidak menggunakan kay (pengobatan dengan besi panas). Dan hanya kepada Rabb merekalah, mereka bertawakal.” [HR. Bukhari no. 5752]
 
Alasan Ketujuh: Ketika beranggapan sial di bulan Muharam justru akan mengurangi Produktivitas amal Saleh
 
Sehingga ketika tidak dipergunakannya sebuah hari, lebih-lebih sebulan, untuk melakukan aktivitas sebagaimana layaknya, tentu akan mengurangi produktivitas kerja atau amalan. Ketika pada hari itu semestinya bisa dimanfaatkan, misalnya untuk melakukan perjalanan pulang kampung, atau berangkat ke tempat kerja, pendidikan, silaturrahim atau hal-hal lain yang sangat bermanfaat, maka semuanya harus ditunda besok harinya, atau harus buru-buru dilakukan sehari sebelumnya.
 
Masyarakat cenderung memahami naasnya (sialnya) suatu usaha hanya pada masalah-masalah duniawiyah. Takut kecelakaan, takut bangkrut, takut miskin, dan takut mati. Ini menunjukkan, bahwa orientasi kerja mereka hanya semata-mata hasil yang bagus. Sementara mereka tidak siap untuk menerima kerugian, apalagi sampai pada tingkat kematian, karena mereka memang tidak cukup bekal amal untuk itu. Padahal semua manusia pasti mengalaminya. Dan yang jelas, waktunya tidak mesti pada bulan Muharam, melainkan di semua bulan, manusia bisa mendapatkan keberuntungan maupun kerugian. Tidak ada satu pun penelitian yang menghasilkan data, bahwa pada bulan Muharam angka kecelakaan meningkat, angka kematian paling tinggi, kasus perceraian paling banyak, dan seterusnya. Apakah dengan menghindari bulan ini dari melakukan aktivitas tertentu, lantas dijamin bebas dari masalah? Tentu tidak jawabannya. Sekali lagi, semua tergantung dari usahanya dan taufik dari Allah ﷻ, bukan waktu naas atau mujurnya seseorang.
 
Kalaupun terjadi kesialan, tertimpa musibah, atau sesuatu yang tidak disenangi, maka itu disebabkan karena dosa dan maksiat kepada Allah ﷻ, sebagaimana firman-Nya:
 
وَمَآ أَصَٰبَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُوا۟ عَن كَثِيرٍ
 
“Dan musibah apa pun yang menimpa kamu adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri. Dan Allah memaafkan banyak (dari kesalahan-kesalahanmu).” [QS. Asy-Syura: 30]
 
Allah ﷻ meyebutkan apa saja yang menimpa kita dan kerusakan yang ada, baik di daratan maupun di lautan, disebabkan karena perbuatan manusia. Sebabnya karena dosa-dosa manusia.
 
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu pernah mengatakan:
 
مَا نُزِّلَ بَلاَءٌ إِلاَّ بِذَنْبٍ وَلاَ رُفِعَ بَلاَءٌ إِلاَّ بِتَوْبَةٍ
 
“Tidaklah musibah tersebut turun, melainkan karena dosa. Oleh karena itu, tidaklah bisa musibah tersebut hilang, melainkan dengan tobat.” [Al-Jawab Al-Kaafi karya Ibnul Qayyim, hal. 87]
 
Sehingga ini seharusnya menjadi bahan intropeksi bagi kita, agar kita kembali kepada Allah ﷻ dan bertobat kepada-Nya. Bukan malah menyandarkan kesialan kepada bulan Muharam.
 
Khatimah (Penutup)
 
Alhamdulillah telah kita sebutkan tujuh alasan (dalil) terkait tentang Muharam bukan bulan sial dan keramat. Bahkan Muharam adalah bulan baik dan mulia yang penuh dengan keutamaan.
 
Ketahuilah, anggapan sial (Tathayyur) terhadap Muharam atau yang lainnya akan mengurangi tauhid seorang Muslim, dan termasuk kesyirikan karena:
 
a) Bergantung pada sesuatu yang bukan sebab secara hakiki,
 
b) Memutuskan suatu kejadian seakan-akan menentang takdir Allah ﷻ Dan Perbuatan tersebut akan mengurangi tauhid.
 
Sehingga untuk menghilangkan persangkaan sial di sini, kuncinya adalah TAWAKAL. Karena tawakal terdapat ketergantungan hati pada Allah ﷻ. Hadis yang telah berlalu disebutkan,
“Namun Allah-lah yang menghilangkan anggapan sial tersebut dengan tawakal.”
 
Disebutkan dalam Kitab Fathul Madjid: 335:
“Akan tetapi jika kita bertawakal pada Allah dalam meraih maslahat dan menolak mudharat, maka was-was untuk beranggapan sial akan hilang dengan izin Allah Taala.”
 
Syaikh Sholeh Al Fauzan hafidzahullah berkata:
 
“Penyembuh dari beranggapan sial adalah dengan bertawakal pada Allah Taala. Kemudian meninggalkan anggapan sial, dan tidak memiliki keraguan lagi dalam hati.” [I’anatul Mustafid 2/16]
 
Ingatlah pelajaran dari firman Allah ﷻ:
 
وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
 
“Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” [QS. Ath Tholaq: 3]
 
Sehingga JANGAN menuduh kesialan itu pada tanggal, hari, angka, bulan, tempat, atau nama anak. Buang jauh-jauh anggapan sial, dan ganti dengan Tawakal pada Allah Taala. Ketika mendapatkan hal yang tidak mengenakkan, ucapkanlah:
 
اللَّهُمَّ لاَ يَأْتِى بِالْحَسَنَاتِ إِلاَّ أَنْتَ وَلاَ يَدْفَعُ السَّيِّئَاتِ إِلاَّ أَنْتَ وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِكَ
 
“Ya Allah, tiada yang dapat mendatangkan kebaikan kecuali Engkau. Tidak ada yang dapat menolak bahaya kecuali Engkau. Tidak ada daya dan upaya melainkan dengan-Mu.”
 
Wallahua’lam bishowab.
 
نسأل الله أن يبارك لنا ولكم في هذا الشهر المحرم. اللهم إِنَّا نَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعا ورزقًا طيبًا وعملاً متقبلاً.
وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أنِ الحمد لله رب العالمين.
 
Ditulis oleh saudaramu yang butuh kepada Ampunan-Nya: Abu Mujahid Irwan Salam bin Abdussalam Al-Mandary
Semoga Allah ﷻ mengampuni dosanya, kedua orang tuanya, serta istri dan anaknya.
Ma’had Ibnu Abbas Barakkang, Mamuju-Tengah Sulawesi Barat
Sumber: Majmuah Salafy Sulbar
 
 
Ikuti kami selengkapnya di:
WhatsApp: +61 (450) 134 878 (silakan mendaftar terlebih dahulu)
Website: https://nasihatsahabat.com/
Twitter: @NasihatSalaf
Facebook:
https://www.facebook.com/nasihatsahabatcom/
Instagram: NasihatSahabatCom
Telegram: https://t.me/nasihatsahabat
Pinterest: https://id.pinterest.com/nasihatsahabat
Baca juga:
MUHARAM BUKANLAH BULAN SIAL
MUHARAM BUKANLAH BULAN SIAL
MUHARAM BUKANLAH BULAN SIAL
MUHARAM BUKANLAH BULAN SIAL
MUHARAM BUKANLAH BULAN SIAL
MUHARAM BUKANLAH BULAN SIAL
MUHARAM BUKANLAH BULAN SIAL
MUHARAM BUKANLAH BULAN SIAL