HATI-HATI DALAM MEMUJI NON-MUSLIM, ORANG KAFIR DAN AGAMA KAFIR
Termasuk orang fasik dan pelaku dosa besar: Memuji non-Muslim dari sisi akhlak, kagum pada tingkah laku serta mengagungkan mereka

Pertanyaan:

Bagaimanakah hukum memuji non-Muslim atau orang kafir? Bagaimana juga jika sampai memuji agama atau kekafiran mereka?

Jawaban:

Bismillah, was sholatu was salamu ‘ala Rosulillah, amma ba’du,

Dalam Alquran, kita tidak diperbolehkan menjadikan non-Muslim sebagai pemimpin kita atau menjadikan mereka sebagai Awliya’. Namun maksud Awliya’ juga adalah menjadikan sebagai kekasih, orang yang dicintai, dan teman dekat. Seperti itu tidak dibolehkan, karena Allah Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

“Hai orang-orang yang beriman, JANGANLAH kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu). Sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS. Al Maidah: 51)

Sebagaimana disebutkan dalam Tafsir Al Jalalain, yang dimaksud menjadikan Yahudi dan Nasrani sebagai Awliya’ adalah menjadikan sebagai pemimpin dan sebagai teman. Siapa yang menjadikan Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin dan teman dekat, maka ia termasuk golongan mereka. Yang dimaksud kata Syaikh As Sa’di dalam kitab tafsirnya, siapa yang mencintai orang kafir secara sempurna, maka ia berarti berpindah pada agama mereka. Siapa yang mencintai sedikit, maka dapat menyeret pada kecintaan yang lebih. Perlahan-lahan akan mencintai mereka secara berlebihan, sampai akhirnya pun menjadi bagian dari mereka. Itulah efek jelek dari mencintai orang kafir.

Jika loyal pada orang kafir tidaklah dibolehkan, maka MEMUJI MEREKA PUN TIDAK DIPERKENANKAN. Inilah di antara prinsip Muslim yang telah dicontohkan oleh para ulama kita. Al ‘Allamah Abu Ath Thoyyib Shidiq bin Hasan Al Bukhari rahimahullah. Dalam kitabnya Al ‘Ibrah (hal. 245), ia berkata:

وأما من يمدح النصارى ، ويقول إنهم أهل العدل ، أو يحبّون العدل ، ويكثر ثناءهم في المجالس ، ويهين ذكر السلطان للمسلمين ، وينسب إلى الكفار النّصيفة وعدم الظلم والجور ؛ فحكم المادح أنه فاسق عاص مرتكب لكبيرة ؛ يجب عليه التوبة منها والندم عليها ؛ إذا كان مدحه لذات الكفار من غير ملاحظة الكفر الذي فيهم . فإن مدحهم من حيث صفة الكفر فهو كافر

“Siapa saja yang memuji orang Nasrani, menyatakan mereka adalah orang yang adil, orang Nasrani itu mencintai keadilan, pujian seperti ini pun banyak disuarakan di majlis, maka yang memuji termasuk ORANG FASIK dan PELAKU DOSA BESAR. Sedangkan sikapnya untuk pemimpin atau raja Muslim jadi dihinakan. Adapun orang kafir diagung-agungkan, dan tidak pernah disebut zalim. Orang yang melakukan seperti itu WAJIB BERTAUBAT dan MENYESAL ATAS SIKAPNYA.

Sedangkan kalau yang dipuji adalah dari sisi akidah kafir yang mereka anut, maka memuji mereka termasuk kekafiran.” Guru kami, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir Al Barrak hafizhohullah berkata:

” من اعتقد أن اليهود والنصارى على دين صحيح فهو كافر ، ولو عمل بكل شرائع الإسلام وأنه مكذب لعموم رسالته صلى الله عليه وسلم .وعلى هذا فذِكر ما عند الكفار من أخلاق محمودة على وجه المدح لهم والإعجاب بهم وتعظيم شأنهم حرام ، لأن ذلك مناقض لحكم الله فيهم ” انتهى .

“Siapa yang meyakini bahwa agama Yahudi dan Nasrani itu benar, maka ia kafir, walaupun ia menjalani berbagai syariat Islam. Realitanya ia telah mendustakan ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Contohnya saja yang memuji non-Muslim dari sisi akhlak, kagum pada tingkah laku serta mengagungkan mereka, yang demikian itu HARAM. Seperti itu bertentangan dengan hukum Allah pada mereka.”

Cobalah menilai pemahaman JIL (Jaringan Islam Liberal) yang sangat gemar menghaturkan pujian pada non-Muslim, bahkan menyanjung setinggi langit agama dan ajaran mereka. Sesat atau tidakkah mereka?

Semoga Allah memberikan kita taufik dan hidayah pada akidah yang benar.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal