بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

 
HAL-HAL TERLARANG DALAM MEMAHAMI DAN MEYAKINI NAMA DAN SIFAT ALLAH
 
Keyakinan yang Benar Tentang Nama dan Sifat Allah
 
Seorang Mukmin harus memiliki keyakinan yang benar tentang nama dan sifat Allah. Keyakinan yang benar tentang Tauhid Asma’ Wa Shifat ini dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah: “Termasuk keimanan kepada Allah adalah beriman terhadap sifat-sifat Allah yang telah Allah tetapkan untuk diri-Nya sendiri, dan juga yang Rasulullah ﷺ tetapkan untuk Allah, tanpa melakukan tahrif, takthil, tamtsil, dan takyif. “ [Al-‘Akidah Al-Waasitiyyah]
 
Dalam menetapkan sifat Allah, kita dilarang melakukan tahrif, takthil, tamtsil, dan takyif. Apa yang dimaksud dengan keempat hal tersebut? Berikut adalah penjelasannya:
 
Pertama: Tahrif
 
Tahrif artinya mengubah, baik mengubah kata maupun makna. Namun yang banyak terjadi adalah tahrif makna. Pelaku tahrif disebut muharrif. Tahrif ada dua macam:
 
 
Tahrif Lafdzi: Yaitu mengubah suatu bentuk kata ke bentuk lainnya, baik dengan mengubah harakat, menambah kata atau huruf, maupun dengan menguranginya.
 
Contoh Tahrif Lafdzi:
 
Mengubah kata (اسْتَوَى) dalam firman Allah (الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى) dengan (اسْتَوَلى), yaitu dengan menambah satu huruf. Tujuannya adalah untuk menolak sifat istiwak.
 
Menambah kalimat dalam firman Allah (وَجَاء رَبُّكَ) menjadi (وَجَاء أمر رَبُّكَ). Tujuannya adalah untuk menolak sifat majii’ (datang) yang hakiki bagi Allah.
 
Tahrif Maknawi: Yaitu mengubah suatu makna dari hakikatnya, dan menggantinya dengan makna kata lain. Seperti perkataan Ahlul Bidah yang mengartikan sifat rahmah dengan keinginan memberi nikmat, atau mengartikan sifat ghadab (marah) dengan keinginan untuk membalas. Maksudnya adalah untuk menolak sifat rahmah dan sifat ghadhab yang hakiki bagi Allah. [Lihat Syarh Al-‘Akidah Al-Waasithiyyah li Syaikh Fauzan]
 
Ahlussunah wal Jamaah mengimani nama dan sifat Allah tanpa disetai tahrif.
 
Kedua: Takthil
 
Takthil artinya mengosongkan dan meninggalkan. Maksudnya adalah mengingkari nama-nama dan sifat-sifat Allah yang telah Allah tetapkan untuk diri-Nya, baik mengingkari keseluruhan maupun sebagian, baik dengan men-tahrif maknanya, maupun menolaknya. Pelaku takthil disebut mu’atthil.
 
Walaupun nampak sama, terdapat perbedaan antara tahrif dan takthil. Tahrif adalah menolak makna yang benar yang terdapat dalam nash, dan menggantinya dengan makna yang tidak benar. Adapun takthil menolak makna yang benar, namun tidak mengganti dengan makna lain, seperti perbuatan mufawwidhah. Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa setiap muharrif adalah mu’atthil, namun tidak setiap mu’atthil adalah muharrif.
 
Ketiga: Takyif
 
Takyif artinya menyebutkan tentang kaifiyyah (karakteristik) suatu sifat. Takyif merupakan jawaban dari pertanyaan “Bagaimana?”
 
Ahlussnunnah wal jamaah tidak men-takyif sifat Allah. Terdapat dalil naqli dan dalil ‘aqli (metode akal) yang menunjukkan larangan takyif.
 
Dalil naqli, yaitu firman Allah ﷻ:
 
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَن تُشْرِكُواْ بِاللّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَاناً وَأَن تَقُولُواْ عَلَى اللّهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ
 
“Katakanlah: “Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) memersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu, dan (mengharamkan) berkata tentang Allah apa yang tidak kamu ketahui.“ [QS. Al-A’raf:33]
 
Jika ada seseorang yang berkata:
“Sesungguhnya Allah istiwak di atas Arsy dengan cara demikian dan demikian (menyebutkan tata cara tertentu)”, maka kita katakan orang tersebut telah berbicara tentang Allah TANPA dasar ilmu. Apakah Allah menjelaskan bahwa Dia istiwak dengan cara yang disebutkan tadi? TIDAK. Allah memberitakan kepada kita, bahwa Allah istiwak, namun Allah tidak menjelaskan tentang tata cara istiwak. Dengan demikian, perbuatan orang tersebut termasuk takyif, dan termasuk berbicara tentang Allah tanpa dasar ilmu.
 
Dalil yang lain yaitu firman Allah:
 
وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولـئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْؤُولاً
 
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.“ [QS. Al-Isra’:36]
 
Dalam ayat ini Allah melarang untuk mengikuti sesuatu tanpa dasar ilmu, termasuk perbuatan takyif.
 
Terdapat pula dalil ‘aqli (metode akal) yang menunjukkan larangan takyif. Untuk mengetahui karakteristik sesuatu, harus melalui salah satu di antara tiga cara berikut:
 
1. Melihat langsung sesuatu tersebut
2. Melihat yang semisal dengan sesuatu tersebut
3. Ada pemberitaan yang benar tentang sesuatu tersebut.
 
Kita tidak mengetahui Zat Allah, atau yang semisal dengan Zat Allah, begitu pula tidak ada yang memberitakan kepada kita tentang karakteristik Zat Allah, sehingga kita tidak mungkin untuk men-takyif sifat-sifat Allah.
 
Catatan penting:
Yang dimaksud dengan menolak takyif bukan berarti meniadakan kaifiyyah dari sifat-sifat Allah. Kita tetap meyakini bahwa sifat-sifat Allah mempunyai kaifiyyah, namun kita tidak mengetahui kaifiyyah tersebut. Istiwak Allah di atas Arsy tidak diragukan lagi pasti mempunyai kaifiyyah tertentu, akan tetapi kita tidak mengetahuinya. Begitu pula sifat nuzul bagi Allah mempunyai kaifiyyah tertentu, akan tetapi kita tidak mengetahuinya. Segala sesuatu yang ada pasti mempunyai kaifiyyah, namun ada yang diketahui dan ada yang tidak diketahui. [Lihat Syarh Al-‘Akidah Al-Waasithiyah li Syaikh Ibnu ‘Utsaimin]
 
Keempat: Tamtsil
 
Tamtsil adalah menyebutkan sesuatu dengan yang semisalnya. Takyif dan tamtsil mempunyai makna yang hampir sama, namun terdapat perbedaan antara keduanya. Takyif lebih umum daripada tamtsil. Setiap mumatstsil (orang yang melakukan tamtsil) adalah mukayyif (orang yang melakukan takyif). Namun tidak setiap mukayyif adalah mumatstsil. Takyif adalah menyebutkan bentuk sesuatu tanpa menyebutkan pembanding yang setara. Misalnya seseorang mengatakan bahwa pena miliknya bentuknya demikian dan demikian (tanpa menyebutkan contoh pembandingnya). Jika dia menyebutkan pembanding yang setara, maka dia melakukan tamtsil. Misalnya mengatakan bahwa pena miliknya serupa dengan pena milik si A.
 
Yang dimaksud tamtsil dalam Asma’ wa Shifat adalah menyamakan nama dan sifat Allah dengan makhluk. Sebagian ulama ada yang menggolongkan tamtsil termasuk takyif muqayyad. Takyif ada dua bentuk: takyif mutlaq (takyif) dan takyif muqayyad (tamtsil)
 
Perbuatan tamtsil terlarang dalam memahami nama dan sifat Allah, karena banyak dalil yang melarang tamtsil, seperti firman Allah dalam Surat As-Syuura 11, Maryam 65, dan Al-Ikhlas 4. Secara akal tamtsil juga tidak bisa diterima karena alasan-alasan berikut:
 
1. Tidak mungkin ada persamaan antara Allah dengan makhluk dalam segala sisi. Seandainya tidak ada perbedaan di antara Allah dan makhluk kecuali dalam perbedaan wujud, niscaya itupun sudah cukup. Wujudnya Allah adalah wajib, sedangkan wujudnya makhluk diawali dengan ketidakadaan dan akan berakhir. Jika ada dua zat, wujudnya saja sudah berbeda, maka lebih-lebih lagi adanya perbedaan dalam nama dan sifat pada kedua zat tersebut.
 
2. Terdapat perbedaan yang sangat jauh antara sifat Allah dengan sifat makhluk. Sifat as sam’u (pendengaran) misalnya. Pendengaran Allah sangat sempurna, sedangkan makhluk sangat terbatas.
 
3. Zat Allah berbeda dengan makhluk. Maka sifat-sifatnya pun berbeda, karena adanya sifat selalu menyertai pada suatu zat.
 
4. Di antara para makhluk saja terdapat perbedaan satu dengan yang lainnya. Bahkan makhluk yang jenisnya sama pun memiliki sifat yang berbeda, Tentu saja lebih-lebih lagi perbedan antara makhluk dengan Zat yang menciptakan mereka.
Faidah [Lihat Fathu Rabbil Bariyyah 18]:
Tasybih (tamtsil) ada dua bentuk:
 
Pertama: Tasybih al-Makhluq bil Khaaliq (Menyamakan makhluk dengan Pencipta). Maksudnya menetapkan sesuatu bagi makhluk yang merupakan kekhususan Allah, baik dalam perbuatan-Nya, hak-Nya untuk diibadahi, maupun dalam nama dan sifat-Nya.
 
• Dalam perbuatan-Nya, seperti orang yang berbuat syirik dalam Rububiyyah, yakni meyakini bahwa ada pencipta selain Allah.
• Dalam hak-Nya untuk diibadahi, misalnya perbuatan orang-orang musyrik terhadap berhala-berhala mereka, di mana mereka meyakini bahwa berhala-berhala tersebut mempunyai hak untuk disembah.
• Dalam sifat Allah, misalnya orang-orang yang berlebihan dalam memuji Nabi ﷺ dengan pujian yang khusus bagi Allah.
 
Kedua: Tasybih Al-Khaaliq bil Makhluq (Menyerupakan Pencipta dengan makhluk). Maksudnya menetapkan bagi zat maupun sifat Allah berupa kekhususan seperti yang ada pada makhluk. Seperti ungkapan bahwa tangan Allah sama dengan tangan makhluk, istiwak Allah sama dengan istiwak pada makhluk, dan lain-lain.
 
Demikianlah hal-hal terlarang yang harus dihindari dalam memahami dan meyakini nama dan sifat Allah.
 
Semoga Allah memberikan kepada kita ilmu dan pemahaman yang benar tentang akidah Islam.
 
 
Penyusun: dr. Adika Mianoki
Artikel: Muslim.or.id
 
 
 
Ikuti kami selengkapnya di:
WhatsApp: +61 (450) 134 878 (silakan mendaftar terlebih dahulu)
Website: https://nasihatsahabat.com/
Twitter: @NasihatSalaf
Facebook: https://www.facebook.com/nasihatsahabatcom/
Instagram: NasihatSahabatCom
Telegram: https://t.me/nasihatsahabat
Pinterest: https://id.pinterest.com/nasihatsahabat
Baca juga:
HAL-HAL TERLARANG DALAM MEMAHAMI DAN MEYAKINI NAMA DAN SIFAT ALLAH