Bantahan Syubhat Pemimpin Tidak Harus Muslim
Di zaman kita ini bermunculan dai-dai yang amat “berani” dalam mengeluarkan statement (pernyataan) yang amat berbahaya. Entah apa motifnya, kita serahkan saja urusan hatinya kepada Allah. Tugas kita adalah meluruskan kesalahan pernyataan-pernyataan mereka yang batil.
Perhatikan ucapan Nur Maulana, “Ah agamanya beda? Nggak usah berbicara agama, kepemimpinan itu tidak berbicara masalah agama,” ujarnya.
Ucapan ini adalah batil dan menyelisihi kebenaran. Kebatilannya –insya Allah- akan kita lihat dalam beberapa segi berikut:
 
Segi Pertama:
 
Tugas utama seorang pemimpin dan pemerintah Muslim adalah menegakkan syariat Allah, meninggikan agama Allah, mengatur urusan manusia dengan syariat Allah yang haq (Islam), menjaga agama, dan hak-hak para hamba. Jadi, kepemimpinan dalam Islam tidak boleh kosong dari tujuan-tujuan mulia seperti ini. Sementara itu, semua tujuan mulia ini, tak mungkin akan dapat direalisasikan bila pemimpin kita kafir. Bahkan boleh jadi mereka memiliki makar menghalangi manusia dari Islam serta memerangi dan merusak Islam secara halus melalui kebijakan-kebijakan dzalim mereka, karena kebencian mereka kepada Islam. Al-Imam Al-Mawardiy -rahimahullah- dari kalangan ulama Syafi’iyyah pernah berkata:
 
الإمامة موضوعةٌ لِخلافة النُّبوة في حراسة الدِّين وسياسة الدُّنيا، وعقدها لِمن يقوم بها في الأُمَّة واجب
 
“Kepemimpinan itu dibuat untuk Khilafah Nubuwwah dalam menjaga agama dan mengatur dunia. Memberikan kepemimpinan kepada orang mengembannya di tengah umat merupakan kewajiban.” [Lihat Al-Ahkam As-Sulthoniyyah (hal. 5)]
 
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Al-Harroniy -rahimahullah- berkata:
 
فالمقصود الواجب بالولايات: إصلاح دين الخَلْق، الذي متى فاتَهم خسروا خسرانًا مبينًا، ولم ينفعهم ما نعموا به من الدُّنيا، وإصلاح ما لا يقوم الدِّين إلاَّ به من أمر دنياهم [2].
 
“Maksud wajib dalam kepemimpinan-kepemimpinan adalah memerbaiki agama manusia yang kapan saja luput dari mereka. Maka mereka mengalami kerugian yang nyata dan mereka tidak akan mengambil manfaat dari apa yang mereka nikmati berupa dunia dan perbaikan sesuatu yang agama tidak akan tegak, kecuali dengannya berupa urusan dunia mereka.” [Lihat As-Siyasah Asy-Syar’iyyah (hal. 13)]
 
Semua kemaslahatan dan kebaikan yang diharapkan oleh kaum Muslimin dari seorang pemimpin, tidak akan terwujud dengan baik jika pemimpinnya adalah kafir. Bahkan boleh jadi yang mereka dapatkan berupa buah pahit berupa penindasan, kedzoliman, hilangnya berbagai maslahat dan kepentingan dunia dan Akhirat mereka. Nah, bagaimana mungkin kita akan memberikan amanah penjagaan dan pembelaan agama Allah ke hadapan seorang pemimpin kafir?! Jawabnya, tidak mungkin hal itu akan terwujud!!
 
Pemimpin dalam Islam bukanlah hanya sekedar mengurusi masalah dunia, tapi juga mengurusi masalah Akhirat, agama dan syariat Allah, sehingga tidak mungkin si kafir akan mau mengemban tugas suci ini.
 
Segi Kedua:
 
Dalil-dali syariat menunjukkan bahwa hukum asal kepemimpinan tidak terlaksana dan tak sah bagi si kafir. Oleh karena itu, jika seorang pemimpin yang Muslim di kemudian hari menjadi kafir, maka harus dilengserkan dan kepemimpinan gugur!!
 
﴿ وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا ﴾
 
“Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk berkuasa atas orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisa’ : 141)
 
Al-Qodhi Ibnul Arobiy -rahimahullah- berkata:
 
قال القاضي ابن العربيِّ: “إنَّ الله سبحانه لا يَجعل للكافرين على المؤمنين سبيلاً بالشَّرع، فإن وجد فبِخلاف الشرع“[3].
 
“Sesungguhnya Allah –Subhanahu- tidak memberikan jalan bagi orang-orang kafir untuk berkuasa atas orang-orang beriman menurut syariat. Jika pun ada (orang kafir yang berkuasa), maka hal itu menyelisihi syariat.” [Lihat Ahkam Al-Qur’an (1/641)]
 
Allah -Tabaroka wa Ta’ala- berfirman:
 
﴿ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ﴾
 
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (-Nya), dan Ulil Amri (pemerintah) di antara kalian.” (QS. An-Nisa’ : 59)
 
Firman Allah yang artinya, “…di antara kalian,” menunjukkan bahwa pemerintah wajib berasal kaum Muslim yang beriman. Karena merekalah yang dipanggil dan disapa di awal ayat.
 
Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berfirman:
 
﴿ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ دُونِكُمْ لَا يَأْلُونَكُمْ خَبَالًا وَدُّوا مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الْآيَاتِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُونَ ﴾
 
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian ambil menjadi Bithonah (teman kepercayaanmu) orang-orang yang di luar kalangan kalian, (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepada kalian ayat-ayat (Kami), jika kalian memahaminya.” (QS. Ali Imran : 118)
 
Bithonah (teman kepercayaan) adalah orang-orang yang mengetahui rahasia dan urusan pribadi kita dan menyembunyikannya dari manusia. Jika kita menyampaikan kepada seseorang rahasia dan urusan pribadinya, urusan khusus yang tidak boleh diketahui oleh manusia pada umumnya, maka kita telah menjadikan orang itu sebagai Bithonah.
 
Melalui ayat ini, Allah -Azza wa Jalla- menjelaskan bahwa seorang Muslim TIDAK BOLEH mengangkat Bithonah (teman kepercayaan) dari kalangan kafir. Karena, jika si kafir mengetahui rahasia-rahasia kaum Muslimin, seperti rahasia tentang taktik perang, kekuatan dan kelemahan kaum Muslimin, serta program-program kaum Muslimin, maka hal ini akan menjadi celah bagi lemahnya dan kalahnya kaum Muslimin. Sebab dengan dekatnya ia sebagai teman kepercayaan, membuat ia tahu sisi dan titik kelemahan kaum Muslimin.
 
Al-Imam Abu Abdillah Al-Qurthubiy -rahimahullah- berkata:
 
نَهى الله المؤمنين بِهذه الآية أن يَتَّخِذوا من الكُفَّار واليهود وأهل الأهواء دُخلاءَ ووُلَجاء يُفاوضونهم في الآراء، ويُسندون إليهم أمورَهم
 
“Allah melarang orang-orang beriman dengan ayat ini dari menjadikan kaum kafir, Yahudi, dan ahli bid’ah sebagai penyusup yang mereka temani berunding dalam (mengambil) pendapat dan kebijakan, dan menyerahkan urusan-urusan mereka kepada para penyusup itu.” [Lihat Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an (4/179)]
 
Sudah barang tentu si kafir akan mengetahui semua rahasia kaum Muslimin, mulai dari yang kecil sampai yang besar, apabila si kafir menjadi pemimpin. Ia akan bebas mendapatkan laporan, melihat keadaan dan rahasia kaum Muslimin, serta akan menjadi contoh yang buruk bagi kaum Muslimin. Jika pun ia menampakkan kebaikan di depan kita, maka sesungguhnya itu hanya pada lahiriahnya saja. Namun hakikatnya, mereka menyimpan kebencian yang besar kepada kaum Muslimin. Kebencian ini menjadi faktor utama bagi si kafir dalam melemahkan kaum Muslimin, menekan atau memersempit mereka, dan menciptakan madhorot dan hal negatif bagi agama Islam dan pemeluknya. Tentunya si pemimpin kafir itu juga akan bebas menetapkan kebijakan-kebijakan yang melanggar syariat Islam. Tidak heran apabila Allah -Tabaroka wa Ta’ala- melarang keras kaum Muslimin dari menjadikan orang-orang kafir sebagai wali, sebagaimana dalam firman-Nya:
 
﴿ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ ﴾
 
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin.” (QS. An-Nisaa’ : 144)
 
“Wali” jamaknya auliyaa’: berarti teman yang akrab, yang kalian lakukan kecintaan pada mereka dan dukungan, sebagaimana yang dilakukan oleh seseorang kepada karib kerabatnya. [Lihat Nazhmud Duror fi Tanasubil Ayat was Suwar (2/287) karya Al-Biqo’iy]
 
Seorang teman dekat, maka pasti seseorang akan menyampaikan sebagian atau bahkan semua rahasia dirinya kepada si teman dekat tadi. Kaum Muslimin dilarang keras menyampaikan dan melaporkan rahasia kaum Muslimin kepada orang kafir, karena akan membawa kerusakan, kerugian dan dampak buruk bagi Islam dan kaum Muslimin. Nah, larangan ini pasti akan dilanggar jika si pemimpin atas kaum Muslimin berasal dari kaum kafir. Al-Hafizh Abul Fida’ Ibnu Katsir Ad-Dimasyqiy -rahimahullah- berkata:
 
ينهى تعالى عباده المؤمنين عن اتخاذ الكافرين أولياء من دون المؤمنين، يعني مصاحبتهم ومصادقتهم ومناصحتهم وإسرار المودة إليهم، وإفشاء أحوال المؤمنين الباطنة إليهم،
 
“Allah -Ta’ala- melarang para hamba-Nya dari menjadikan orang-orang kafir sebagai “Wali” (Teman dekat) dari luar kalangan mereka, yakni (melarang dari) memersahabti mereka, menjadikan sebagai teman dekat, saling menasihati, menyembunyikan cinta kepada mereka serta menyebarkan keadaan-keadaan rahasia kaum beriman kepada kaum kafir.” [Lihat Tafsir Ibni Katsir (2/441)]
 
Dengan ayat ini, Allah melarang kaum Muslimin dari menjadikan orang-orang kafir sebagai pemimpin dan kepercayaan. Al-Imam Al-Qurthubiy -rahimahullah- berkata saat menjelaskan ayat di atas:
 
أيْ: لا تجعلوا خاصَّتَكم وبِطانتكم منهم
 
“Maksudnya, janganlah kalian mengambil pembesar dan teman kepercayaan kalian dari kalangan mereka.” [Lihat Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an (5/425)]
 
Adakah yang lebih utama, tinggi kedudukannya, istimewa dan lebih dekat dibandingkan orang yang diangkat menjadi pemimpin?! Jawabnya, tidak ada yang lebih dari itu!! Tidak diragukan lagi bahwa menyerahkan urusan kaum Muslimin kepada mereka dan mengangkat mereka sebagai pengambil kebijakan bagi kaum Muslimin merupakan PERKARA YANG AMAT BERBAHAYA DAN TERLARANG.
 
Tidak heran apabila Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- saat ditanya oleh para sahabat tentang pemimpin yang murtad dan menjadi kafir, apakah boleh melepaskan ketaatan dan memberontak melawan mereka? Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- ternyata membolehkan hal itu, dengan syarat telah nyata kekafirannya, sebagaimana kita bisa lihat dalam riwayat Muslim dalam Shohih-nya (no. 3427)
 
Sisi Ketiga
 
Para ulama telah ber-ijma’ (sepakat) dalam menetapkan syarat sahnya seorang menjadi pemimpin bagi kaum Muslimin, syaratnya harus Muslim. Ini merupakan yang sudah paten dan diyakini oleh kaum Muslimin dari zaman kenabian sampai hari ini.
 
Di bawah ini, kami nukilkan sejumlah nukilan ijma’ dalam hal itu dari para ulama kita:
 
Al-Imam Al-Qodhi ‘Iyadh Al-Yahshobiy -rahimahullah- berkata:
 
أجمع العلماءُ على أنَّ الإمامة لا تنعقد لكافر، وعلى أنَّه لو طرأ عليه الكفر انعزل
 
“Para ulama telah bersepakat (ijma’) bahwa kepemimpinan tidak terlaksana (tidak sah) bagi orang kafir dan bahwa andaikan ia terkena kekafiran, maka ia terlengserkan.” [Lihat Al-Minhaj Syarh Shohih Muslim (6/315) karya An-Nawawiy]
 
Al-Imam Ibnul Mundzir Asy-Syafi’iy -rahimahullah- berkata:
 
إنَّه قد أجمع كلُّ مَن يُحفَظ عنه مِن أهل العلم أنَّ الكافر لا ولايةَ له على المسلم بِحال
 
“Sesungguhnya telah ijma’ (bersepakat) semua ulama yang terhafal darinya ilmu, bahwa orang kafir tidak memiliki hak kepemimpinan atas orang Islam sedikit pun.” [Lihat Ahkam Ahlidz Dzimmah (2/787) oleh Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah]
 
Ibnu Hazm Al-Andalusiy -rahimahullah- berkata:
 
واتَّفقوا أنَّ الإمامة لا تجوز لامرأةٍ ولا لكافر ولا لصبِي
 
“Mereka (para ulama) telah bersepakat bahwa kepemimpinan itu tidak boleh bagi wanita, orang kafir dan anak kecil.” [Lihat Marotib Al-Ijma’ (hal. 208)]
 
Al-Imam Al-Hafizh Abul Fadhl Ibnu Hajar Al-Asqolaniy -rahimahullah- berkata:
 
إنَّ الإمام ينعزل بالكفر إجماعًا، فيَجِب على كلِّ مسلمٍ القيامُ في ذلك، فمَن قوي على ذلك فله الثَّواب، ومَن داهن فعليه الإثم، ومن عَجز وجبَتْ عليه الهجرةُ من تلك الأرض
 
“Seorang imam (pemimpin) terlengserkan dengan sebab kekafirannya menurut ijma’. Wajib bagi setiap Muslim bangkit (melengserkan si pemimpin kafir) dalam hal itu. Siapa saja yang kuat untuk (melakukan hal itu), maka ia akan meraih pahala. Siapa yang menjilat (mencari muka kepada si kafir itu), maka ia akan memetik dosanya. Siapa yang lemah (tidak mampu), maka wajib baginya berhijrah dari negeri itu.” [Lihat Fathul Bari (13/123) karya Ibnu Hajar]
 
Inilah beberapa segi yang utama tentang sisi pelarangan orang kafir menjadi pemimpin bagi kaum Muslimin. Oleh karena itu, wajib bagi kaum Muslimin mengangkat pemimpin Muslim dan mereka berdosa bila mengangkat orang kafir selaku pemimpin kaum Muslimin. Jika sekiranya ia terangkat menjadi pemimpin, maka wajib bagi semua Muslim melengserkannya segera.
Penulis: Ustadz Abdul Qodir Abu Fa’izah -hafizhahullah
Untuk lengkapnya:
http://almakassari.com/artikel-islam/aqidah/bolehkah-mengangkat-pemimpin-dari-kalangan-kafir-tanggapan-atas-pernyataan-ustadz-m-nur-maulana.html