بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

? USTADZ SUNNAH, KAJIAN SUNNAH

 Segala puji hanya bagi Allah ta’ala. Dengan pertolongan-Nya, kemudian perjuangan, ilmu dan hikmah para da’i dan ikhwan sunnah dengan berbagai sarana dakwah, maka kajian-kajian sunnah pun semakin marak dan tersebar, di masjid-masjid, kantor-kantor, dari desa hingga perkotaan.

Bersamaan dengan itu pula, kajian-kajian yang tidak berlandaskan sunnah, dengan sendirinya berangsur meredup, melemah, tersingkir bahkan tak sedikit yang akhirnya ‘punah’. Allah ta’ala berfirman:

وَقُلْ جَاءَ الْحَقُّ وَزَهَقَ الْبَاطِلُ إِنَّ الْبَاطِلَ كَانَ زَهُوقًا

“Dan katakanlah: Telah datang yang benar dan telah lenyap yang batil. Sungguh yang batil itu pasti lenyap.” [Al-Isra’: 81]

Asy-Syaikh Al-Mufassir As-Sa’di rahimahullah berkata:

أي: هذا وصف الباطل، ولكنه قد يكون له صولة وروجان إذا لم يقابله الحق فعند مجيء الحق يضمحل الباطل، فلا يبقى له حراك. ولهذا لا يروج الباطل إلا في الأزمان والأمكنة الخالية من العلم بآيات الله وبيناته.

“Maknanya: Yang pasti lenyap adalah sifat kebatilan. Namun terkadang kebatilan itu memiliki kekuatan dan tersebar, jika tidak ada kebenaran yang menghadangnya. Maka, tatkala kebenaran itu datang, kebatilan pun melemah, sampai tidak tersisa gerakannya. Oleh karena itu, tidaklah tersebar kebatilan, kecuali di masa-masa dan tempat-tempat yang kosong dari ilmu tentang ayat-ayat Allah ‘azza wa jalla dan penjelasan-penjelasannya.” [Tafsir As-Sa’di, hal. 464]

 Latar Belakang Penamaan “Ustadz Sunnah” Dan “Kajian Sunnah”

Penamaan “Ustadz Sunnah” dan “Kajian Sunnah” tidaklah datang dengan sendirinya. Tapi karena adanya faktor yang sangat kuat, yaitu tidak lain adalah karena kajian-kajian yang dibahas oleh para da’i tersebut selalu merujuk kepada sunnah Nabi ﷺ, dan menjauhi setiap ajaran baru (bid’ah) yang tidak berdasar petunjuk beliau ﷺ.

Semua kajian berdasarkan pemahaman sunnah, apakah itu kajian tafsir, hadis, tauhid, fikih, adab dan lain-lain, selalu merujuk kepada sunnah Nabi ﷺ, karena sunnah yang dimaksudkan di sini adalah semua ajaran yang berasal dari Rasulullah ﷺ, yang tertera dalam Alquran dan As-Sunnah yang sesuai Pemahaman Salaf.

Atau dengan kata lain, “Ustadz Sunnah” dan “Kajian Sunnah” yang dimaksudkan di sini adalah ustadz atau kajian Ahlus Sunnah wal Jamaah. Seorang ustadz atau kajian yang selalu merujuk kepada manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah. Nama lainnya adalah Salafiyyah, sebuah metode beragama yang selalu merujuk kepada generasi Salaf, generasi Rasulullah ﷺ dan para sahabat radhiyallahu’anhum.

 Disebutkan dalam Fatwa Lajnah Daimah:

من كانوا على مثل ما كان عليه محمد بن عبد الله عليه الصلاة والسلام وأصحابه رضوان الله عليهم أجمعين، فهؤلاء هم أهل السنة والجماعة

“Orang-orang yang mengikuti ajaran Muhammad bin Abdullah ‘alaihissholaatu was salaam dan para sahabat beliau ridhwaanullaahi ‘alaihim ‘ajma’in, mereka itulah Ahlus Sunnah wal Jamaah.” [Fatawa Al-Lajnah ad-Daimah, 2/230]

 Disebutkan juga dalam Fatwa Lajnah Daimah:

والسلفيون: جمع سلفي نسبة إلى السلف، وقد تقدم معناه، وهم الذين ساروا على منهاج السلف من اتباع الكتاب والسنة والدعوة إليهما والعمل بهما، فكانوا بذلك أهل السنة والجماعة

“Salafiyun adalah kata jamak ‘salafiy’ yang merupakan penisbatan kepada generasi salaf yang telah berlalu penjelasan maknanya, (yaitu generasi Rasulullah ﷺ dan sahabat radhiyallahu’anhum). Maka Salafiyun adalah orang-orang yang berjalan di atas manhaj (metode beragama) kaum salaf, yaitu mengikuti Alquran dan As-Sunnah, serta mendakwahkannya dan mengamalkannya, sehingga dengan itu merekalah Ahlus Sunnah wal Jamaah.” [Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 2/243].

Maka sunnah yang dimaksudkan di sini adalah yang berlawanan dengan bid’ah, bukan yang berlawanan dengan makruh, bukan pula nama lain dari hadis. Tetapi semua petunjuk yang datang dari Rasulullah ﷺ, apakah tertera dalam Alquran maupun Al-Hadis, yang sesuai dengan Pemahaman Salaf, itulah yang dimaksud sunnah.

Jadi salah kaprah apabila “Ustadz Sunnah” yang dimaksudkan di sini disamakan dengan ahli hadis yang kurang paham fikih, dan selain “Ustadz Sunnah” adalah ahli fikih walau kurang menghapal dalil.

Bahkan kenyataannya, di kalangan para da’i sunnah, terdapat para ustadz yang juga pakar fikih, ushul fiqh dan ekonomi syariah.

Demikian pula kajian-kajian sunnah bukan hanya membahas hadis, dan pada umumnya kajian-kajian tersebut langsung menggunakan kitab-kitab para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah dalam berbagai bidang:

  1. Dalam pembahasan tafsir misalkan, menggunakan kitab Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir As-Sa’di dan lain-lain.
  2. Dalam pembahasan hadis, menggunakan Kutubus Sittah, Al-Arba’in An-Nawawiyyah, Riyadhus Shaalihin, Bulughul Marom, ‘Umdatul Ahkam dan lain-lain.
  3. Dalam pembahasan akidah, menggunakan kitab Syarhus Sunnah karya Imam Ahmad, Syarhus Sunnah karya Imam Muzani Asy-Syafi’i, Syarhus Sunnah karya Al-Imam Al-Barbahari, Akidah Thahawiyyah, Akidah Washitiyyah dan lain-lain.
  4. Dalam pembahasan tauhid, menggunakan Kitab Tauhid, Tsalatsatul Ushul, Al-Qowa’idul Arba’, Nawaqidhul Islam dan lain-lain.
  5. Dalam pembahasan fikih menggunakan kitab Zaadul Mustaqni’ (Manhaj Hanbali), Minhajus Saalikin (Mazhab Hanbali), Minhajut Thalibin (Mazhab Syafi’i), Al-Ghayah wat Taqrib (Mazhab Syafi’i), Al-Fiqhul Muyassar dan lain-lain.

Inilah di antara kitab-kitab yang kami saksikan diajarkan oleh para da’i sunnah untuk masyarakat umum, yaitu kitab-kitab ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah yang dipenuhi dengan seruan-seruan untuk kembali kepada sunnah dan meninggalkan bid’ah.

Lain halnya dengan umumnya para da’i partai atau ormas, atau selain da’i sunnah. Pada umumnya hanya bermain retorika, seringnya hanya memberi motivasi, tapi tidak mengajarkan bagaimana seharusnya akidah yang benar, dan amalan-amalan yang sesuai petunjuk Rasulullah ﷺ berdasarkan hadis-hadis yang shahih. Tidak pula, atau sangat jarang, membahas ayat-ayat dan hadis-hadis terkait fikih, maupun kitab-kitab fikih. Bagaimana bisa dikatakan ahli fikih…?! Apa lagi hendak disamakan dengan ulama ahli fikih…?!

 Pentingnya Penamaan “Ustadz Sunnah” Dan “Kajian Sunnah”

Sebagaimana penamaan Salafiyah dan Ahlus Sunnah wal Jamaah itu diperlukan untuk membedakan antara Ahlus Sunnah dan Ahlul Bid’ah. Demikian pula penamaan “Ustadz Sunnah” dan “Kajian Sunnah” diperlukan untuk membedakan mana yang mengajak kepada sunnah, dan mana yang mengajak kepada bid’ah, apakah bid’ah dalam akidah seperti bid’ah Khawarij, Asy’ariyyah, Shufiyyah maupun bid’ah dalam amalan-amalan.

 Disebutkan dalam Fatwa Lajnah Daimah:

فالسلفية: لقب صالح تعني أنهم على طريق السلف الصالح من الصحابة فمن بعدهم– رضي الله عن الجميع– فهو لقب يتميزون به عن أهل البدعة ممن غير وبدل وحرف

“Salafiyyah adalah predikat yang baik. Maknanya adalah mereka mengikuti jalan generasi As-Salafus Shalih, yaitu generasi sahabat dan pengikut mereka setelahnya –semoga Allah meridhoi mereka semuanya-. Maka salafiyyah adalah predikat yang membedakan mereka dengan Ahlul Bid’ah, yaitu orang-orang yang telah merubah, mengganti dan menyimpangkan agama.” [Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 2/407]

Dalam fatwa para ulama besar Ahlus Sunnah wal Jamaah ini kita dapat memetik pelajaran akan pentingnya penamaan, untuk tujuan membedakan antara kelompok yang mengikuti sunnah, dan kelompok yang berbuat bid’ah dalam agama, dan agar kaum Muslimin dengan mudah mengenali yang mana Ahlus Sunnah dan yang mana Ahlul Bid’ah.

 Mengapa Perlu Dibedakan?

Karena kaum Muslimin diperintah untuk menuntut ilmu dari Ahlus Sunnah wal Jamaah, dan meninggalkan golongan-golongan yang menyimpang.

 Al-Imam Muhammad bin Sirin rahimahullah berkata:

إِنَّ هَذَا الْعِلْمَ دِينٌ، فَانْظُرُوا عَمَّنْ تَأْخُذُونَ دِينَكُمْ

“Sesungguhnya ilmu ini adalah agama. Maka lihatlah dari siapa kalian mengambil agama kalian.” [Riwayat Muslim]

 Al-Imam Muhammad bin Sirin rahimahullah juga berkata:

لَمْ يَكُونُوا يَسْأَلُونَ عَنِ الْإِسْنَادِ، فَلَمَّا وَقَعَتِ الْفِتْنَةُ، قَالُوا: سَمُّوا لَنَا رِجَالَكُمْ، فَيُنْظَرُ إِلَى أَهْلِ السُّنَّةِ فَيُؤْخَذُ حَدِيثُهُمْ، وَيُنْظَرُ إِلَى أَهْلِ الْبِدَعِ فَلَا يُؤْخَذُ حَدِيثُهُمْ

“Para ulama dahulu tidak pernah bertanya tentang sanad. Namun ketika terjadi fitnah (kesesatan), maka para ulama berkata: “Sebutkan kepada kami para perawi kalian”. Kemudian dilihat, apakah berasal dari Ahlus Sunnah, maka hadis mereka diterima. Ataukah berasal dari Ahlul Bid’ah, maka hadis mereka ditolak.” [Riwayat Muslim]

 Larangan Menghadiri Majelis Yang Menyelisihi Manhaj Sunnah

 Allah tabaraka wa ta’ala berfirman:

وَإِذَا رَأَيْتَ الَّذِينَ يَخُوضُونَ فِي آيَاتِنَا فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ وَإِمَّا يُنْسِيَنَّكَ الشَّيْطَانُ فَلَا تَقْعُدْ بَعْدَ الذِّكْرَى مَعَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ

“Dan apabila kamu melihat orang-orang memerolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka, sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika setan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zalim itu sesudah teringat (akan larangan itu).” [Al-An’am: 68]

 Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata:

وَفِي هَذِهِ الْآيَةِ مَوْعِظَةٌ عَظِيمَةٌ لِمَنْ يَتَسَمَّحُ بِمُجَالَسَةِ الْمُبْتَدِعَةِ الَّذِينَ يُحَرِّفُونَ كَلَامَ اللَّهِ وَيَتَلَاعَبُونَ بِكِتَابِهِ وَسُنَّةِ رَسُولِهِ، وَيَرُدُّونَ ذَلِكَ إِلَى أَهْوَائِهِمُ الْمُضِلَّةِ وَبِدَعِهِمُ الْفَاسِدَةِ، فَإِنَّهُ إِذَا لَمْ يُنْكِرْ عَلَيْهِمْ وَيُغَيِّرْ مَا هُمْ فِيهِ فَأَقَلُّ الْأَحْوَالِ أَنْ يَتْرُكَ مُجَالَسَتَهُمْ، وَذَلِكَ يَسِيرٌ عَلَيْهِ غَيْرُ عَسِيرٍ

“Dalam ayat yang mulia ini terdapat nasihat yang agung terhadap orang yang menolerir untuk bermajelis bersama Ahlul Bid’ah yang menyelewengkan ucapan Allah, memermainkan kitab-Nya dan Sunnah Rasul-Nya, dan mengembalikan penafsirannya kepada hawa nafsu mereka yang menyesatkan, dan bid’ah mereka yang rusak. Karena yang seharusnya ia lakukan adalah, apabila ia tidak mengingkari mereka, dan berusaha mengubah kemungkaran mereka, maka paling tidak ia meninggalkan majelis mereka, dan itu mudah baginya; tidak sulit.” [Fathul Qodir, 2/146].

 

 Praktek Para Ulama Dalam Penamaan “Ulama Sunnah” dan “Ulama Bid’ah”

 

 Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:

وَأَنْكَرَ الْأَئِمَّةُ مِنْ أَصْحَابِ أَحْمَد وَغَيْرِهِمْ مِنْ عُلَمَاءِ السُّنَّةِ مَنْ قَالَ: إنَّ أَصْوَاتَ الْعِبَادِ وَأَفْعَالَهُمْ غَيْرُ مَخْلُوقَةٍ

“Para ulama dari kalangan murid-murid Imam Ahmad maupun selain mereka dari kalangan ULAMA SUNNAH telah mengingkari orang yang berpendapat, bahwa suara dan gerakan hamba bukan makhluk.” [Majmu’ Al-Fatawa, 8/407]

 Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah juga berkata tatkala membantah pendapat yang menyamakan antara ucapan Allah dan ucapan makhluk:

وَهِيَ بِدْعَةٌ شَنِيعَةٌ لَمْ يَقُلْهَا أَحَدٌ قَطُّ مِنْ عُلَمَاءِ الْمُسْلِمِينَ: لَا عُلَمَاءُ السُّنَّةِ وَلَا عُلَمَاءُ الْبِدْعَةِ وَلَا يَقُولُهَا عَاقِلٌ يَفْهَمُ مَا يَقُولُ

“Ucapan tersebut adalah bid’ah yang sangat jelek. Tidak seorang pun dari kaum Muslimin yang pernah mengatakan itu, tidak ULAMA SUNNAH dan tidak pula ULAMA BID’AH, bahkan tidak pula dikatakan oleh orang yang berakal, yang masih memahami ucapannya sendiri.” [Majmu’ Al-Fatawa, 12/324]

 Sekilas Fakta Di Lapangan

Salah satu fakta yang kita saksikan di salah satu masjid di Ibu Kota, sebuah masjid yang marak dengan majelis ilmu dan dihadiri dengan antusias oleh jamaah di sekitarnya dan jamaah yang datang dari luar.

Pada awalnya yang mengisi ceramah di masjid tersebut berasal dari berbagai kalangan, hingga diundanglah sebagian da’i sunnah untuk mengisi. Ada yang mengisi materi tafsir, hadis, tauhid, fikih, ekonomi syari’ah, adab-adab dan lain-lain.

Sebagaimana ciri khas umumnya da’i sunnah, penyampaian ilmu yang penuh semangat, berusaha datang tepat waktu, lembut dan hikmah namun tegas. Yang benar dikatakan benar dan yang salah dikatakan salah, dan yang terpenting adalah selalu berpedoman pada Alquran dan As-Sunnah sesuai Pemahaman Salaf. Setiap pendapat selalu disertai dalil dan mengingatkan untuk tidak mengikuti yang tidak berdasarkan dalil. Selalu menyeru kepada tauhid dan memberantas kesyirikan, mengajak kepada sunnah dan meninggalkan bid’ah.

Sementara di sisi lain, terdapat para da’i dan penceramah yang berbicara hanya berdasarkan logika, akal-akalan, mengajak untuk taklid saja, menjawab pertanyaan tidak tegas, menyisakan kebimbangan, sangat jarang mengutip dalil Alquran dan As-Sunnah, tidak merujuk kepada Pemahaman Salaf, tidak jarang berbicara politik di depan orang-orang awam, sambil menyindir, bahkan menjelek-jelekan Pemerintah. Ditambah lagi jika sang da’i dikenal aktif di sebuah partai atau ormas, maka tidak jarang mereka cenderung menggiring manusia kepada partai dan ormas mereka.

 Apa yang Terjadi?

Selang beberapa waktu, masyarakat sendiri yang akhirnya bisa menilai, mana para da’i yang menyampaikan dengan berdasarkan ilmu, dan mana yang sangat sedikit muatan ilmiahnya, bahkan cenderung menyelisihi sunnah. Masyarakat sendiri yang kemudian memberi nama “Ustadz Sunnah” dan “Kajian Sunnah”.

Pada akhirnya yang menghadiri kajian sunnah semakin marak, dan yang menghadiri kajian yang tidak berlandaskan sunnah semakin berkurang, melemah dan satu persatu tersingkir dengan sendirinya. Allah ta’ala berfirman:

فَأَمَّا الزَّبَدُ فَيَذْهَبُ جُفَاءً وَأَمَّا مَا يَنْفَعُ النَّاسَ فَيَمْكُثُ فِي الْأَرْضِ كَذَلِكَ يَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ

“Adapun buih, akan hilang sebagai suatu yang tidak ada gunanya. Tetapi yang bermanfaat bagi manusia, akan tetap ada di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan.” [Ar-Ra’ad: 17]

Asy-Syaikh Al-Mufassir As-Sa’di rahimahullah berkata:

كذلك الشبهات والشهوات لا يزال القلب يكرهها، ويجاهدها بالبراهين الصادقة، والإرادات الجازمة، حتى تذهب وتضمحل ويبقى القلب خالصا صافيا ليس فيه إلا ما ينفع الناس من العلم بالحق وإيثاره، والرغبة فيه، فالباطل يذهب ويمحقه الحق {إِنَّ الْبَاطِلَ كَانَ زَهُوقًا} وقال هنا: {كَذَلِكَ يَضْرِبُ اللَّهُ الأمْثَالَ} ليتضح الحق من الباطل والهدى والضلال.

“Demikianlah syubhat (pendapat yang seakan benar, namun hakikatnya batil, karena tidak berdasarkan dalil) dan syahwat. Maka hati sebenarnya membencinya, menundukkannya dengan dalil-dalil yang benar, dan keinginanan yang kuat untuk mengikuti kebenaran, hingga akhirnya kebatilan itu pergi dan melemah. Maka hati tetap dalam keadaan murni dan bersih. Tidak ada padanya, kecuali apa yang bermanfaat bagi manusia, yaitu ilmu tentang kebenaran, lebih mengutamakannya dan cinta kepadanya. Maka kebatilan pun pergi, dan kebenaran melenyapkannya, sebagaimana firman Allah: “Sungguh yang batil itu pasti lenyap” (Al-Isra’: 81). Dan di sini Allah berfirman: “Demikianlah Allah membuat perumpamaan” (Ar-Ra’ad: 17), agar menjadi jelas antara kebenaran dan kebatilan, hidayah dan kesesatan.” [Tafsir As-Sa’di, hal. 415]

Alhamdulillaah ini fakta umum yang kita saksikan di Ibu Kota, meski pun tidak dinafikkan ada sebagian da’i sunnah yang kurang hikmah, atau murid-muridnya yang terlalu bersemangat namun kurang ilmu, sehingga mengakibatkan penolakan yang keras dari sebagian masyarakat. Semoga Allah ta’ala memerbaiki dan memberikan kemudahan.

 

 

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم

✏ Al-Ustadz Sofyan Chalid Ruray hafizhahullah

 

Sumber:

https://www.facebook.com/sofyanruray.info/posts/652466638236155:0

http://sofyanruray.info/ustadz-sunnah-kajian-sunnah/