بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

PENGERTIAN ZUHUD

Zuhud Menurut Pengertian Bahasa

Zuhud terhadap sesuatu maknanya berpaling darinya, karena menganggapnya remeh, tidak bernilai, atau tidak meminatinya. Para generasi Salaf dan generasi sesudah mereka banyak berbicara tentang makna zuhud terhadap dunia dengan redaksi yang beragam.

Zuhud secara bahasa adalah lawan kata gemar. Gemar merupakan suatu bentuk keinginan. Sedangkan zuhud adalah hilangnya keinginan terhadap sesuatu, baik disertai kebencian ataupun hanya sekedar hilang keinginan [Diringkas dari Muqadimah at Tuhfah al Iraqiyah fi al A’mal al Qolbiyah, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, oleh Dr. Yahya Al Hunaidi, hlm. 174]

Zuhud Menurut Pengertian Syariat

Dr. Yahya bin Muhammad bin Abdullah Al Hunaidi mengatakan, bahwa pengertian zuhud yang sempurna dan paling tepat adalah pengertian yang dikemukakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah. Syaikhul Islam rahimahullah mengatakan, zuhud yang disyariatkan ialah meninggalkan rasa gemar terhadap apa yang tidak bermanfaat bagi kehidupan Akhirat, yaitu terhadap perkara mubah yang berlebih dan tidak dapat digunakan untuk membantu berbuat ketaatan kepada Allah, disertai sikap percaya sepenuhnya terhadap apa yang ada di sisi Allah [Lihat Muqadimah at Tuhfah al Iraqiyah fi al A’mal al Qolbiyah, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, yang ditahqiq serta dita’liq oleh Dr. Yahya bin Muhammad bin Abdullah Al Hunaidi. Hlm. 174-175]

Abu Muslim al-KhaulAni rahimahullah berkata: “Zuhud terhadap dunia tidak dengan mengharamkan yang halal dan menyia-nyiakan harta. Namun zuhud terhadap dunia ialah engkau lebih yakin kepada apa yang ada di tangan Allah Azza wa Jalla, daripada apa yang ada di tanganmu. Dan jika engkau diuji dengan musibah, maka engkau lebih senang dengan pahalanya, hingga engkau berharap seandainya musibah tersebut tetap terjadi padamu.” [Jami’ul ‘Ulum wal Hikam II/179].

Jadi, zuhud ditafsirkan dengan tiga hal, yang semuanya merupakan perbuatan hati. Oleh karena itu, Abu Sulaiman rahimahullah mengatakan: “Janganlah engkau bersaksi untuk seseorang bahwa ia orang zuhud, karena zuhud itu letaknya di hati.” [Jami’ul ‘Ulum wal Hikam II/180].

Tiga hal yang merupakan penafsiran zuhud yaitu:

Pertama:
Hendaknya seorang hamba lebih yakin terhadap apa yang ada di sisi Allah Azza wa Jalla, daripada apa yang ada di tangannya sendiri. Sikap ini muncul dari keyakinannya yang kuat dan lurus, karena Allah Azza wa Jalla menjamin rezeki seluruh hamba-Nya dan menanggungnya, seperti yang Allah Azza wa Jalla firmankan:

وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا ۚ كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُبِينٍ

Dan tidak ada satu pun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi, melainkan semuanya dijamin rezekinya oleh Allah. Dia mengetahui tempat kediamannya dan tempat penyimpanannya. Semua (tertulis) dalam kitab yang nyata (Lauhul Mahfuzh).” [Hud/11:6]

Allah Azza wa Jalla juga berfirman:

مَا عِنْدَكُمْ يَنْفَدُ ۖ وَمَا عِنْدَ اللَّهِ بَاقٍ

Apa yang ada di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal [an-Nahl/16:96].

Abu HAzim rahimahullah pernah ditanya: “Apa hartamu?” Ia menjawab: “Aku memunyai dua harta yang menyebabkan aku tidak takut miskin: Pertama, percaya sepenuhnya kepada Allah Azza wa Jalla. Dan kedua, tidak memunyai harapan terhadap apa yang ada di tangan manusia.”

Al-Fudhail bin ‘IyAdh rahimahullah berkata: “Prinsip zuhud ialah ridha kepada Allah Azza wa Jalla.” Ia juga mengatakan: “Qana’ah adalah zuhud dan itulah kekayaan (merasa cukup).” [Jami’ul ‘Ulum wal Hikam II/180-181].

Barang siapa mewujudkan keyakinannya, maka ia percaya sepenuhnya kepada Allah Azza wa Jalla dalam segala urusannya, ridha dengan pengaturan-Nya dan tidak menggantungkan harapan dan kekhawatirannya pada makhluk. Ini semua bisa mencegahnya dari usaha menggapai dunia dengan cara-cara yang ilegal. Orang yang seperti inilah orang yang benar-benar zuhud terhadap dunia dan ia adalah manusia terkaya, kendati ia tidak memunyai apapun [Jami’ul ‘Ulum wal Hikam II/181].

Kedua:
Jika seorang hamba mendapatkan musibah pada dunianya, misalnya hartanya ludes, anaknya meninggal dunia, dan lain sebagainya, maka ia lebih senang kepada pahala musibah tersebut daripada dunianya yang hilang itu kembali lagi. Sikap seperti ini muncul karena keyakinannya yang penuh [Jami’ul ‘Ulum wal Hikam II/182].

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah ﷺ berkata dalam doanya:

اَللّٰــهُـــمَّ اقْسِمْ لَنَا مِنْ خَشْيَتِكَ مَا تَـحُوْلُ بِهِ بَيْنَنَا وَبَيْنَ مَعَاصِيْكَ ، وَمِنْ طَاعَتِكَ مَا تُبَلِّغُنَا بِهِ جَنَّتَكَ ، وَمِنَ الْيَقِيْنِ مَا تُـهَوِّنُ بِهِ عَلَيْنَا مَصَائِبَ الدُّنْيَا…

Allohummaq simlanaa min khosy yatika maa tahuulu bihi baynanaa wa bayna ma’aa shiik, wa min thoo ‘atika maa tuballighunaa bihi jannatak, wa minal yaqiini maa tuhawwinu bihi ‘alaynaa mashoo ibaddunya

Artinya:
Ya Allah, anugerahkan kepada kami rasa takut kepada-Mu, yang dapat menghalangi kami dari perbuatan maksiat kepada-Mu. Anugerahkan kepada kami ketaatan kepada-Mu, yang akan menghantarkan kami ke Surga-Mu. Dan anugerahkan kepada kami keyakinan yang membuat kami merasa ringan atas seluruh musibah dunia ini [Hasan: HR. at-Tirmidzi no. 3502, al-Hakim I/528, dan Ibnus Sunni no. 446].

Allah Azza wa Jalla berfirman, yang maknanya:

Setiap bencana yang menimpa di bumi dan menimpa dirimu, semuanya telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami mewujudkannya. Sungguh, yang demikian itu mudah bagi Allah, agar kau tidak bersedih hati terhadap apa yang luput dari kamu, dan tidak pula terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong dan membanggakan diri.” [al-Hadid/57:22-23]

Ketiga:
Pujian dan celaan dari orang tidak berpengaruh bagi hamba yang zuhud, selama dia dalam kebenaran. Ini juga pertanda zuhudnya terhadap dunia, menganggapnya rendah dan tidak berambisi kepadanya. Karena orang yang mengagungkan dunia, maka ia akan mencintai pujian dan membenci celaan. Ada kemungkinan, sikap mencintai pujian dan membenci celaan ini mendorongnya meninggalkan banyak kebenaran, karena khawatir dicela. Serta mengerjakan berbagai perbuatan bathil, karena mengharapkan pujian. Jadi, orang yang menilai pujian dan celaan manusia baginya itu sama, selama dia dalam kebenaran, menunjukkan kedudukan seluruh makhluk telah runtuh dari hatinya. Hatinya penuh dengan kecintaan kepada kebenaran, dan ridha kepada Rabb-nya. Allah Azza wa Jalla memuji orang-orang yang berjihad di jalan Allah Azza wa Jalla dan tidak takut celaan [Jami’ul ‘Ulum wal Hikam II/182-183].

يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا يَخَافُونَ لَوْمَةَ لَائِمٍ

Mereka berjihad di jalan Allah dan tidak takut celaan orang yang mencela. [al-MAidah/5:54]

Bertolak dari definisi bahwa orang yang zuhud sejati ialah orang yang tidak memuji dirinya dan tidak pula mengagungkannya, Yusuf bin al-AsbAth rahimahullah berkata: “Zuhud terhadap kekuasaan itu lebih berat daripada zuhud terhadap dunia.” [Hilyatul Auliya’ VIII/261, no. 12127].

Jadi, barang siapa menghilangkan ambisi untuk berkuasa di dunia ini dari dalam hatinya dan menghilangkan perasaan lebih hebat dari orang lain, sungguh, dia orang yang zuhud sejati. Dan dialah orang yang pemuji dan pencelanya dalam kebenaran itu sama saja.

Perkataan Sebagian Sahabat Nabi Tentang Zuhud

Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu pernah menulis kepada Abu Musa Al Asy’ari: “Sesungguhnya engkau tidak akan memeroleh amal Akhirat yang lebih baik daripada zuhud terhadap dunia. Hati-hatilah engkau dari akhlak buruk dan rendah” [Dinukil dari Kitab Az Zuhud, karya Imam Ahmad oleh Dr Yahya al Hunaidi dalam Muqadimah at Tuhfah al Iraqiyah fi al A’mal al Qolbiyah, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hlm. 178].

Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu berkata: “Dunia pasti akan pergi membelakangi, dan Akhirat pasti akan datang menjelang. Masing-masing dari dunia maupun Akhirat memiliki anak-anak generasi. Maka jadilah engkau anak generasi Akhirat, dan jangan menjadi anak generasi dunia. Hari ini adalah hari beramal, tidak ada hisab (penghitungan amal). Sedangkan esok adalah hari hisab, tidak ada amal [Lihat Muqadimah at Tuhfah al Iraqiyah fi al A’mal al Qolbiyah, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hlm. 178, dan Shahih Bukhari-Fathul Bari (XI/230) secara mu’allaq dengan Shighat Jazm].

Sumber: