بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

SEPERTI APA ZUHUD YANG BID’AH?

Dalam pengertian banyak orang, zuhud adalah menghindari hal-hal yang bersifat keduniaan. Mereka tidak mengerti, mana perkara-perkara duniawi yang tercela, yang harus ditinggalkan, dan mana yang boleh didekati. Sehingga iblis berkesempatan memermainkan mereka. Lahirlah anggapan, bahwa seseorang tidak akan selamat Akhiratnya, kecuali jika meninggalkan dunia seisinya. Kalau perlu menyendiri di suatu tempat terpencil, khusus untuk melakukan peribadatan kepada Allah, meskipun dengan meninggalkan keluarga, orang tua dan bahkan sholat berjamaah serta sholat Jumat. Sebagian orang menganggap, inilah zuhud yang hakiki. Persepsi semacam ini muncul lantaran KEDANGKALAN terhadap ilmu agama [Lihat Al Muntaqa an Nafis min Talbis Iblis (dari karya Imam Ibnu Al Jauzi), karya Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid. Bab kesembilan, hlm. 191]

Orang awam yang jenuh dengan gemerlap dunia, atau muak melihat kepalsuan serta tipu muslihat dunia dan ingin mendapatkan ketenteraman rohani, mungkin akan mudah terperangkap dalam pengertian zuhud di atas. Ia akan lahap untuk mendengarkan secara salah ayat-ayat, hadis-hadis serta ceramah-cermah yang berisi celaan terhadap dunia. Asal berbau dunia, semuanya buruk dan negatif. Akhirnya akan berasumsi bahwa keselamatan Akhirat hanya dapat diraih dengan meninggalkan dunia, meningalkan pekerjaan dan bermalas-malasan dengan dalih ibadah.

Zuhud yang Benar dan yang Bid’ah

Zuhud yang paling utama adalah zuhud yang sesuai dengan petunjuk Rasulullah ﷺ. Sedangkan zuhud yang paling buruk adalah zuhud yang tidak sesuai dengan petunjuk beliau ﷺ. Rasulullah ﷺ bersabda:

أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ

“Amma ba’du: Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah dan sebaik-baik bimbingan adalah bimbingan Rasulullah ﷺ. Sedangkan seburuk-buruk perkara adalah perkara yang diada-adakan secara baru dalam agama, dan setiap bid’ah adalah sesat [Lihat Shahih Muslim Syarah Nawawi, tahqiq dan takhrij Khalil Ma’mun Syiha (VI/392) Kitab al Jum’ah, Bab Raf’us Shaut fi al Khutbah wa Maa Yaquulu fiha, no. 2002].

Zuhud yang bid’ah adalah zuhud yang menyelisihi Sunnah dan tidak mendatangkan kebaikan. Ia hanya menzhalimi dan membutakan hati, serta mengotori keindahan agama Islam yang diridhai Allah Azza wa Jalla ini. Dan membuat manusia lari menjauhi agama Islam, menghancurkan peradabannya dan membuat umatnya takluk kepada musuh Islam. Selain itu, Zuhud yang bid’ah ini juga menimbulkan kebodohan yang merata dan bersandar kepada selain Allah Azza wa Jalla. Berikut ini ucapan para tokoh Sufi yang mengajarkan Zuhud Bid’ah.

Al-Junaid (salah seorang pentolan Sufi – pent) berkata: “Yang lebih saya sukai bagi para pemula ialah tidak menyibukkan hatinya dengan ketiga hal ini; jika tidak, maka keadaan akan berubah. Pertama: Berusaha (mencari rezeki); Kedua: Mencari hadis. Dan ketiga: Menikah. Dan yang saya sukai dari seorang Sufi ialah hendaknya ia tidak membaca dan tidak menulis, supaya lebih konsentrasi.” [Qutul Qulub III/135. Dinukil dari Qawa’id wa Fawa-id, hlm. 268].

Abu Sulaiman ad-Darani (juga seorang tokoh Sufi – pent) berkata: “Apabila seseorang mencari hadis, atau safar dalam rangka mencari rezeki, atau menikah maka ia telah bertumpu pada dunia.”

Semua yang disebutkan di atas oleh al-Junaid dan Abu Sulaiman ad-Darani adalah MENYELISIHI Sunnah Nabi ﷺ dan mereka berusaha merusak Islam, mengajak orang supaya bodoh, statis, malas, mengemis serta membuka pintu zina, onani, homoseksual dan lainnya.

Bahkan Rasulullah ﷺ pernah mengingkari keinginan zuhud para sahabat yang menyimpang, yaitu ketika ada orang yang tak hendak menikah, sementara yang lain tak hendak tidur dan yang lain lagi tak hendak makan daging. Sebagaimana dalam hadis:

عَنْ أَنَسٍ أَنَّ نَفَرًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَأَلُوا أَزْوَاجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ عَمَلِهِ فِي السِّرِّ فَقَالَ بَعْضُهُمْ لَا أَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ وَقَالَ بَعْضُهُمْ لَا آكُلُ اللَّحْمَ وَقَالَ بَعْضُهُمْ لَا أَنَامُ عَلَى فِرَاشٍ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ فَقَالَ مَا بَالُ أَقْوَامٍ قَالُوا كَذَا وَكَذَا لَكِنِّي أُصَلِّي وَأَنَامُ وَأَصُومُ وَأُفْطِرُ وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي

“Dari Anas Radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya ada beberapa orang sahabat Nabi ﷺ bertanya kepada istri-istri beliau ﷺ tentang amal perbuatan beliau ﷺ manakala tidak terlihat orang lain. Akhirnya sebagian mereka berkata: “Saya tidak akan menikahi perempuan”. Sebagian lain berkata: “Saya tidak akan makan daging”. Sedangkan sebagian lain berkata: “Saya tidak akan tidur membaringkan diri di tempat tidur”.

Maka Nabi ﷺ membaca Hamdalah dan memuji Allah. Beliau ﷺ bersabda: “Mengapa orang-orang itu berkata demikian dan demikian? Padahal aku sholat dan aku tidur. Aku berpuasa dan aku makan. Dan aku menikahi wanita. Maka barang siapa yang tidak menyukai Sunnahku, berarti ia bukan termasuk golonganku” [Lihat Shahih Muslim Syarah Nawawi, tahqiq dan takhrij Khalil Ma’mun Syiha (IX/178), no. 3389].

Begitu pula, tidak termasuk zuhud yang dibenarkan dalam syariat, apabila seseorang ingin hidup memutuskan diri sama sekali dari kesenangan dunia dan memisahkan diri dari keramaian untuk beribadah sepenuhnya kepada Allah (Tabattul). Sebagaimana dalam Shahih Muslim

عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ عَنْ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ قَالَ رَدَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى عُثْمَانَ بْنِ مَظْعُونٍ التَّبَتُّلَ وَلَوْ أَذِنَ لَهُ لَاخْتَصَيْنَا

“Dari Sa’id bin Al Musayyib, sesungguhnya ia mendengar Sa’d bin Abi Waqqash berkata: “Utsman bin Mazh’un ingin hidup bertabattul, namun Rasulullah ﷺ melarangnya. Kalaulah beliau ﷺ membolehkannya, tentu kami sudah melakukan kebiri [Shahih Muslim Syarah Nawawi, tahqiq dan takhrij Khalil Ma’mun Syiha (IX/180), no. 3392].

Jadi zuhud yang dibenarkan dalam syariat, ialah meninggalkan perkara mubah yang berlebihan, yang tidak dapat membantu ketaatan kepada Allah, baik berupa makan, minum, pakaian, harta dan lain sebagainya. Sebagaimana perkataan Imam Ahmad: “Zuhud ialah makan, tetapi di bawah ukuran makan seperti umumnya. Berpakaian, tetapi lebih sederhana dari umumnya. Dan bahwa dunia hanyalah hari-hari yang hanya sebentar [Dinukil dari Kitab al Wara’ Imam Ahmad, oleh Dr. Yahya bin Muhammad bin Abdullah al Hunaidi dalam Muqadimah at Tuhfah al Iraqiyah fi al A’mal al Qolbiyah tahqiq wa dirasah, hlm. 184]

Telah diketahui bersama, bahwa peradaban Islam tidak akan tegak kecuali dengan ilmu, mata pencaharian dan menikah.

Islam menyuruh umatnya agar menuntut ilmu agama, juga ilmu dunia. Rasulullah ﷺ bersabda:

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُـلِّ مُـسْلِمٍ

Menuntut ilmu itu wajib atas setiap Muslim [Hadis Shahih: Diriwayatkan oleh Ibnu Majah no. 224, dari Sahabat Anas bin Malik Radhiyallahu anhu. Lihat Shahih al-Jami’ish Shaghir no. 3913. Diriwayatkan pula oleh Imam-imam ahli hadis lainnya dari beberapa Sahabat seperti ‘Ali, Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Umar, Ibnu Mas’ud, Abu Sa’id al-Khudri, dan al-Husain bin ‘Ali Radhiyallahu anhum].

Beliau ﷺ juga bersabda, yang maknanya:

وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ

 

Barang siapa yang menempuh jalan untuk menuntut ilmu, maka Allah mudahkan jalannya menuju Surga [Hadis Shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad V/196, Abu Dawud no. 3641, at-Tirmidzi no. 2682, Ibnu Majah no. 223, dan Ibnu Hibban no. 80—al-Mawarid), lafazh ini milik Ahmad, dari Sahabat Abu Darda’ Radhiyallahu anhu].

Islam menyuruh kita untuk bekerja dan mencari nafkah. Rasulullah ﷺ bersabda:

مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ ، وَإِنَّ نَبِيَّ اللّٰـهِ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلاَ مُ كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ

Tidaklah seseorang makan suatu makanan pun yang lebih baik daripada hasil pekerjaan (usaha) tangannya sendiri. Dan sesungguhnya Nabiyullah Dawud Alaihissallam makan dari hasil pekerjaan tangannya sendiri [Shahih: HR. al-Bukhari no. 2072 dari Sahabat al-Miqdam Radhiyallahu anhu].

Dan Islam juga menyuruh umatnya untuk menikah. Rasulullah ﷺ bersabda:

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ ، وَمَنْ لَـمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ

Wahai para pemuda! Barang siapa di antara kalian memiliki kemampuan menikah, maka menikahlah, karena nikah itu lebih menundukkan pandangan dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barang siapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa, karena puasa itu dapat membentengi dirinya [Hadis Shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad I/378, 424, 425, 432, al-Bukhari no. 1905, 5065, 5066, Muslim no. 1400 dan ini lafazhnya, at-Tirmidzi no. 1081, an-Nasa-i VI/56, 57, Ibnu Majah no. 1845, ad-Darimi II/132, dan al-Baihaqi VII/ 77 dari Sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu].

Wallahu a’alam

 

Sumber:

https://almanhaj.or.id/2781-zuhud-yang-banyak-disalah-pahami.html