بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

PEMBAGIAN SUNNAH

Sunnah menurut istilah Muhadditsin (Para Peneliti Hadis) adalah sesuatu yang diriwayatkan dari Nabi ﷺ berupa perkataan, perbuatan, persetujuan (atas perbuatan sahabat – pen.) dan sifat, baik fisik ataupun kepribadian dan perjalanan hidup, baik sebelum diutus (sebagai rasul) atau sesudahnya. (Lihat Qowa’idut-Tahdits karya Al-Qasimi hal. 64)

Sunnah menurut istilah kebanyakan Ulama Salaf (Ulama Aqidah-pen.), adalah kesesuaian dengan Alquran dan apa yang ada pada Nabi ﷺ beserta para sahabatnya, baik di dalam urusan keyakinan atau amal ibadah (yang nampak). Lawan dari kata ”Sunnah” dalam pengertian ini adalah kata ”bid’ah”.

Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab al-Washabi al-‘Abdali al-Yamani, penulis matan Kitab Al-Qaulul Mufid fii Adillati At-Tauhid berkata: Sunnah terbagi menjadi empat:

  1. Sunnah Qauliyah (Ucapan Nabi ﷺ –pen.)
  2. Sunnah Fi’liyah (Perbuatan Nabi ﷺ –pen.)
  3. Sunnah Taqririyah (Persetujuan Nabi ﷺ terhadap perkataan atau perbuatan para sahabat –pen.)
  4. Sunnah Tarkiyah (Sesuatu yang ditinggalkan oleh Nabi ﷺ dengan tujuan ibadah –pen.)

Olah karena itu kita berkata bahwa:

  • Apa saja yang dikatakan Rasulullah ﷺ, maka kita pun membenarkannya.
  • Apa saja yang dikerjakan oleh Rasulullah ﷺ, maka kita pun mengkutinya
  • Apa saja yang disetujui Rasulullah ﷺ, maka kita pun menyetujuinya
  • Apa saja yang ditinggalkan Rasulullah ﷺ, maka kita pun meninggalkannya.

Allah Ta’ala berfirman:

”Katakanlah: ’Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Katakanlah: ’Taatilah Allah dan Rasul-Nya. Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.” (QS. Ali Imran: 32)

Allah Ta’ala berfirman:

”Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik.” (QS. Al-Ahzab: 21)

Allah Ta’ala berfirman:

”… Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarang bagimu maka tinggalkanlah….” (QS. Al-Hasyr: 7).

Pembagian penulis Al-Qaul Al-Mufid di atas mengacu kepada pengertian Sunnah menurut Muhadditsin atau para salaf, sebagaimana dapat kita pahami dari penjelasan pengertian Sunnah di atas. Abdullah Al-Juda’i menjelaskan yang dimaksud dengan jenis-jenis Sunnah tersebut sebagai berikut:

  • Sunnah Qauliyah

Sunnah Qauliyah ada dua macam: yang jelas dan yang berupa makna dari sabda Nabi ﷺ.

  • Sunnah Fi’liyah

Sunnah Fi’liyah maksudnya adalah perbuatan-perbuatan Nabi ﷺ yang menjadi syariat bagi umatnya. Hal itu bisa diketahui dari indikasi-indikasi yang menunjukkan hal tersebut. Karena pada kenyataannya perbuatan-perbuatan Nabi ﷺ benyak jenisnya, yaitu:

  1. Perbuatan yang dilakukan dalam rangka melaksanakan ketaatan terhadap sesuatu yamg diperintahkan, sebagaimana hal itu terjadi pada seluruh umatnya.
  2. Perbuatan yang dilakukan semata-mata tuntutan sebagai manusia biasa (Perkara Jibliyah).
  3. Perbuatan yang terjadi dalam rangka beribadah, namun ada dalil yang menunjukkan hal itu khusus untuk beliau ﷺ.
  4. Perbuatan yang dilakukan dalam rangka menjelaskan sesuatu yang masih global yang ada di dalam Alquran.
  5. Perbuatan yang dilakukan yang tidak termasuk salah satu dari yang telah disebutkan di atas. Dan ini ada dua macam, sesuatu yang jelas maksudnya, yaitu dalam rangka ibadah ,dan sesuatu yang tidak jelas, apakah dalam rangka ibadah atau tidak.
  • Sunnah Taqririyah

Sunnah Taqririyah maksudnya adalah diamnya Nabi ﷺ dan beliau ﷺ tidak mengingkari perkataan atau perbuatan (sahabat, ed.) yang terjadi di hadapannya atau tidak.

  • Sunnah Tarkiyah

Sunnah Tarkiyah, merupakan lawan dari perbuatan-perbuatan beliau ﷺ. Dan ini ada beberapa macam:

  1. Meninggalkan sesuatu yang haram.
  2. Meninggalkan sesuatu yang tidak disukai dalam rangka pensyariatan.
  3. Meninggalkan sesuatu yang tidak disukai karena tabiat beliau semata (tidak ada kaitannya dengan syariat-pen.)
  4. Meninggalkan sesuatu demi kepentingan orang lain.
  5. Meninggalkan sesuatu karena khawatir diwajibkan bagi umatnya.
  6. Meninggalkan sesuatu yang tidak terlarang bagi umatnya, karena beliau ingin sesuatu yang lebih sempurna.
  7. Meninggalkan untuk membalas yang menganiaya, semata-mata untuk kepantingan pribadi, karena beliau memilih yang lebih baik di antara dua hal.
  8. Meninggalkan sesuatu yang sesungguhnya dituntut untuk diwujudkan, demi mencegah bahaya yang lebih besar. Selesai penjelasan Abdullah Al-Juda’i. (Lihat Taisir Ilmi Ushulil Fiqhi hal. 126-135)

Berdasarkan pembagian tersebut, masing-masing sunnah yang empat membawa konsekuensi hukum yang berbeda-beda.

Sumber:

Materi disalin dari buku “Sucikan Iman Anda dari Noda Syirik dan Penyimpangan”, buah karya Ustadz kami Abu ’Isa Abdullah bin Salam. Sebuah buku yang menjelaskan Kitab Al-Qaulul Mufid fii Adillati At-Tauhid karya Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab al-Washabi al-‘Abdali al-Yamani.