بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

 

ZAKAT FITRAH PENYUCI JIWA

Zakat Fitri, atau yang lazim disebut Zakat Fitrah, sudah jamak diketahui sebagai penutup rangkaian ibadah bulan Ramadan. Bisa jadi, sudah banyak pembahasan seputar hal ini yang tersuguh untuk kaum Muslimin. Namun tidak ada salahnya jika diulas kembali dengan dilengkapi dalil-dalilnya.

Kaum Muslimin wajib mengetahui hukum-hukum seputar Zakat Fitrah. Sebab Allah ﷻ mensyariatkan agar mereka menunaikannya usai melakukan kewajiban puasa Ramadan. Tanpa memelajari hukum-hukumnya, maka pelaksanaan syariat ini tidak akan sempurna. Sebaliknya, dengan memelajarinya, akan sempurna realisasi dari syariat tersebut.

Hikmah Zakat Fitrah

Dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma, ia berkata:

فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ

“Rasulullah ﷺ mewajibkan Zakat Fitrah sebagai penyuci bagi orang yang berpuasa dari perbuatan yang sia-sia dan kata-kata kotor, serta sebagai pemberian makanan untuk orang-orang miskin.” [Hasan, HR. Abu Dawud, “Kitabul Zakat”, “Bab Zakatul Fitr”, [17] no. 1609; Ibnu Majah [2/395] “Kitabuz Zakat”, “Bab Shadaqah Fitri” [21] no. 1827; dinilai hasan Syaikh al-Albani dalam Sahih Sunan Abu Dawud]

Mengapa Disebut Zakat Fitrah?

Sebutan yang populer di kalangan masyarakat kita adalah Zakat Fitrah. Mengapa demikian? Karena maksud dari zakat ini adalah zakat jiwa, diambil dari kata fitrah, yaitu asal-usul penciptaan jiwa (manusia) sehingga wajib atas setiap jiwa. [Fathul Bari, 3/367]

Semakna dengan itu, Ahmad bin Muhammad al-Fayyumi menjelaskan, bahwa ucapan para ulama “wajib fitrah” maksudnya wajib Zakat Fitrah. [Al-Mishbahul Munir, 476]

Namun yang lebih populer di kalangan para ulama, wallahu a’lam, disebut Zakat Fitri زكاة الفطر atau Sedekah Fitri صدقة الفطر. Kata ‘Fitri’ di sini kembali kepada makna berbuka dari puasa Ramadan. Sebab, kewajiban zakat tersebut ada setelah selesai menunaikan puasa bulan Ramadan. Sebagian ulama seperti Ibnu Hajar al-’Asqalani menerangkan, bahwa sebutan yang kedua ini lebih jelas, jika merujuk kepada sebab musababnya, dan pada sebagian penyebutannya dalam sebagian riwayat. [Lihat Fathul Bari, 3/367]

Hukum Zakat Fitrah

Pendapat yang terkuat, Zakat Fitrah hukumnya wajib. Ini merupakan pendapat Jumhur Ulama. Di antara mereka adalah Abul Aliyah, Atha, dan Ibnu Sirin, sebagaimana disebutkan oleh Imam al-Bukhari.

Bahkan Ibnul Mundzir telah menukil Ijmak atas wajibnya Zakat Fitrah. Walaupun tidak benar jika dikatakan Ijmak, penukilan ini cukup menunjukkan, bahwa mayoritas para ulama berpandangan wajibnya Zakat Fitrah.

Dasar mereka adalah hadis dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma, ia mengatakan:

فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ وَالذَّكَرِ وَالْأُنْثَى وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلاةِ

“Rasulullah ﷺ memfardukan Zakat Fitri satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum atas budak sahaya maupun orang merdeka, laki-laki maupun wanita, kecil maupun besar, dari kaum Muslimin. Nabi memerintahkan untuk ditunaikan sebelum keluarnya orang-orang menuju salat (Id).” [Sahih, HR. al-Bukhari, “Kitabuz Zakat”, “Bab Fardhu Shadaqatul Fithri” [3/367, no. 1503] dan ini lafalnya. Hadis ini diriwayatkan juga oleh Muslim]

Dalam lafal al-Bukhari yang lain:

أَمَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِزَكَاةِ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ

“Nabi ﷺ memerintahkan Zakat Fitri satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum.” [HR. al-Bukhari no. 1507]

Dari dua lafal hadis tersebut tampak jelas bagi kita, bahwa Nabi ﷺ memfardukan dan memerintahkan sehingga hukum Zakat Fitrah adalah wajib.

Dalam hal ini ada pendapat lain yang menyatakan, bahwa hukumnya Sunnah Muakkadah (Sunnah yang sangat dianjurkan).

Ada pula yang berpendapat, hukumnya adalah hanya sebuah amal kebaikan, yang dahulu diwajibkan, kemudian kewajiban itu dihapus. Pendapat ini lemah, karena hadis yang mereka pakai sebagai dasar adalah lemah, menurut Ibnu Hajar. Sebabnya, dalam sanadnya ada rawi yang tidak dikenal. Demikian pula pendapat yang sebelumnya adalah lemah. [Lihat at-Tamhid, 14/321; Fathul Bari, 3/368; dan Rahmatul Ummah fikhtilafil Aimmah hlm. 82]

Siapa yang Wajib Berzakat Fitrah?

Nabi ﷺ telah menerangkan dalam hadis sebelumnya, bahwa kewajiban tersebut dikenakan atas semua orang, besar ataupun kecil, laki-laki ataupun perempuan, dan orang merdeka ataupun budak hamba sahaya. Akan tetapi untuk anak kecil diwakili oleh walinya dalam mengeluarkan zakat.

Ibnu Hajar mengatakan:
“Yang tampak dari hadis itu, bahwa kewajiban zakat dikenakan atas anak kecil. Namun perintah tersebut tertuju kepada walinya. Dengan demikian, kewajiban tersebut ditunaikan dari harta anak kecil tersebut. Jika tidak punya, zakat anak kecil menjadi kewajiban yang memberinya nafkah. Ini merupakan pendapat Jumhur Ulama.” [Al-Fath, 3/369; lihat at-Tamhid, 14/326—328, 335—336]

Nafi’ mengatakan:

فَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يُعْطِي عَنِ الصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ حَتَّى إِنْ كَانَ لِيُعْطِي عَنْ بَنِيَّ

“Dahulu Ibnu Umar menunaikan zakat anak kecil dan dewasa, sehingga dia dahulu benar-benar menunaikan zakat anakku.” [Sahih, HR. al-Bukhari, “Kitabuz Zakat”, Bab 77, no. 1511; lihat al-Fath, 3/375]

Demikian pula budak hamba sahaya, penunaian zakatnya diwakili oleh tuannya. [Al-Fath, 3/369]

Apakah Selain Muslim Terkena Kewajiban Zakat?

Sebagai contoh, seorang anak yang kafir, apakah ayahnya (yang Muslim) berkewajiban mengeluarkan zakatnya?

Jawabnya, tidak. Sebab Nabi ﷺ memberikan catatan di akhir hadis, bahwa kewajiban itu berlaku bagi من المسلمين “dari kalangan Muslimin.”

Ada pula yang berpendapat tetap dikeluarkan zakatnya. Namun pendapat tersebut tidak kuat, karena tidak sesuai dengan lahiriah hadis Nabi ﷺ di atas.

Apakah Janin Wajib Dizakati?

Jawabnya, tidak. Sebab Nabi ﷺ mewajibkan zakat tersebut kepada الصَّغِيرِ (anak kecil), sedangkan janin tidak disebut الصَّغِيرِ (anak kecil), baik dari sisi bahasa maupun adat. Bahkan Ibnul Mundzir menukilkan Ijmak tentang tidak diwajibkannya Zakat Fitrah atas janin.

Sebetulnya ada juga yang berpendapat wajibnya atas janin. Di antaranya ialah sebagian riwayat dari Imam Ahmad dan pendapat Ibnu Hazm dengan catatan, menurutnya, janin sudah berumur 120 hari.

Pendapat lain dari Imam Ahmad menyatakan hukumnya sunnah. Namun dua pendapat terakhir ini lemah, karena tidak sesuai dengan hadis di atas.

Wajibkah bagi Orang yang Tidak Mampu?

Ibnul Qayyim mengatakan:

“Apabila kewajiban itu melekat ketika ia mampu melaksanakannya, kemudian setelah itu ia tidak mampu, kewajiban tersebut tidak gugur darinya. Akan tetapi kewajiban itu gugur, jika ia tidak mampu semenjak kewajiban itu mengenainya.” [Badai’ul Fawaid, 4/33]

Tentang kriteria tidak mampu dalam hal ini, asy-Syaukani menjelaskan:

“Barang siapa tidak mendapatkan sisa dari makanan pokoknya untuk malam hari raya dan siangnya, dia tidak berkewajiban membayar Zakat Fitrah. Apabila ia memiliki sisa dari makanan pokok hari itu, ia harus mengeluarkannya, apabila sisa itu mencapai ukurannya (Zakat Fitrah).” [Ad-Darari, 1/365; ar-Raudhatun Nadiyyah, 1/553; lihat pula Fatawa al-Lajnah ad-Daimah, 9/369]

Dalam Bentuk Apa Zakat Fitrah Dikeluarkan?

Hal ini telah dijelaskan dalam hadis yang lalu, dan lebih jelas lagi dengan riwayat berikut. Dari Abu Sa’id radhiallahu anhu, ia berkata:

كُنَّا نُعْطِيهَا فِي زَمَانِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ زَبِيبٍ

“Kami memberikan Zakat Fitrah pada zaman Nabi sebanyak satu sha’ dari makanan, satu sha’ kurma, satu sha’ gandum, ataupun satu sha’ kismis (anggur kering).” [Sahih, HR. al-Bukhari, “Kitabuz Zakat” no. 1508 dan 1506, dengan “Bab Zakat Fitrah Satu Sha’ dengan Makanan”; dan Muslim no. 2280]

Kata طَعَام (makanan) maksudnya adalah makanan pokok penduduk suatu negeri, baik berupa gandum, jagung, beras, maupun yang lain. Yang mendukung pendapat ini adalah riwayat Abu Sa’id yang lain:

قَالَ: كُنَّا نُخْرِجُ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ.

وَقَالَ أَبُو سَعِيدٍ: وَكَانَ طَعَامَنَا الشَّعِيرُ وَالزَّبِيبُ وَالْأَقِطُ وَالتَّمْرُ.

“Kami mengeluarkannya (Zakat Fitrah) berupa makanan pada zaman Rasulullah ﷺ pada hari Idul Fitri.” Abu Sa’id mengatakan lagi: “Makanan kami saat itu adalah gandum, kismis, susu kering, dan kurma.” [Sahih, HR. al-Bukhari, “Kitabuz Zakat”, “Bab Shadaqah Qablal Id”; lihat al-Fath, 3/375 no. 1510]

Di sisi lain, Zakat Fitrah bertujuan untuk menyenangkan para fakir dan miskin. Jadi, seandainya diberi sesuatu yang bukan makanan pokoknya, tujuan tersebut menjadi kurang tepat sasaran.

Inilah pendapat yang kuat yang dipilih oleh mayoritas para ulama, di antaranya ialah:

• Malik [At-Tamhid, 4/138],
• Asy-Syafi’i dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad,
• Ibnu Taimiyah [Majmu Fatawa, 25/69],
• Ibnul Mundzir [Al-Fath, 3/373],
• Ibnul Qayyim (I’amul Muwaqqi’in, 2/21, 3/23, Taqrib li Fiqhi Ibnil Qayyim 234],

• Ibnu Baz dan al-Lajnah ad-Daimah (9/365, Fatawa Ramadan, 2/914]

Ada pendapat lain yang mengatakan, bahwa Zakat Fitrah diwujudkan hanya dalam bentuk makanan yang disebutkan dalam hadis Nabi ﷺ. Ini adalah salah satu pendapat Imam Ahmad. Namun pendapat ini lemah. [Majmu Fatawa, 25/68]

Bolehkah Mengeluarkan Zakat Fitrah dalam Bentuk Uang?

Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam hal ini.

Tidak boleh mengeluarkan dalam bentuk uang.

Ini adalah pendapat Malik, asy-Syafi’i, Ahmad, dan Dawud. Alasannya:

• Syariat telah menyebutkan apa yang mesti dikeluarkan, sehingga tidak diperbolehkan menyelisihinya.

• Zakat juga tidak lepas dari nilai ibadah, maka bentuknya harus mengikuti perintah Allah ﷻ.

• Jika ditunaikan dengan uang, akan membuka peluang untuk menentukan sendiri harganya. Karena itu, lebih selamat jika selaras dengan apa yang disebutkan dalam hadis.

An-Nawawi mengatakan:

“Ucapan-ucapan asy-Syafi’i sepakat, bahwa zakat tidak boleh dikeluarkan dengan nilainya (uang).” [Al-Majmu’, 5/401]

Abu Dawud mengatakan: “Aku mendengar Imam Ahmad ditanya: ‘Bolehkah saya memberi uang Dirham, yakni dalam Zakat Fitrah?’

Beliau menjawab: ‘Saya khawatir tidak sah, menyelisihi Sunnah Rasulullah’.”

Ibnu Qudamah mengatakan: “Yang tampak dari Mazhab Ahmad ialah tidak boleh mengeluarkan uang dalam hal zakat.” [Al-Mughni, 4/295]

Pendapat ini pula yang dipilih oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, dan Syaikh Shalih al-Fauzan. [Lihat Fatawa Ramadan, 2/918—928]

Boleh mengeluarkannya dalam bentuk uang yang senilai dengan zakat yang wajib dia keluarkan, dan tidak ada bedanya antara keduanya. Ini adalah pendapat Abu Hanifah. [Al-Mughni, 4/295; al-Majmu’, 5/402; Badai’ ash-Shanai’, 2/205; Tamamul Minnah, hlm. 379]

Pendapat pertama itulah yang kuat.

Atas dasar itu, apabila seorang Muzakki (yang mengeluarkan zakat) memberikan uang kepada amil, amil diperbolehkan menerimanya, jika posisinya sebagai wakil dari Muzakki. Selanjutnya amil tersebut membelikan beras, misalnya,untuk Muzakki, dan menyalurkannya kepada orang-orang fakir dalam bentuk beras, bukan uang.

Namun sebagian ulama membolehkan mengganti harta zakat dalam bentuk uang dalam kondisi tertentu, tidak secara mutlak. Keadaan tersebut ialah ketika hal itu lebih bermaslahat bagi orang-orang fakir dan lebih memudahkan bagi orang kaya.

Ini merupakan pilihan Ibnu Taimiyah. Beliau rahimahullah mengatakan:
“Boleh mengeluarkan uang dalam zakat apabila ada kebutuhan dan maslahat. Contohnya, seseorang menjual hasil kebun atau tanamannya. Jika ia mengeluarkan zakat 1/10 (sepersepuluh) dari uang Dirhamnya, zakatnya sah. Ia tidak perlu membeli kurma atau gandum terlebih dahulu. Imam Ahmad telah menyebutkan kebolehannya.” [Dinukil dari Tamamul Minnah, hlm. 380]

Beliau juga mengatakan dalam Majmu’ Fatawa (25/82—83):

“Yang kuat dalam masalah ini, bahwa tidak boleh mengeluarkan uang tanpa kebutuhan dan tanpa maslahat yang kuat. Sebab, jika diperbolehkan mengeluarkan uang secara mutlak, bisa jadi si pemilik akan mencari jenis-jenis yang jelek. Bisa jadi pula dalam penentuan harga terjadi sesuatu yang merugikan. Adapun mengeluarkan uang karena kebutuhan dan maslahat atau untuk keadilan, tidak mengapa.”

Pendapat ini dipilih oleh Syaikh al-Albani sebagaimana disebutkan dalam kitab Tamamul Minnah (hlm. 379—380)

Yang perlu diperhatikan, ketika memilih pendapat ini, harus sangat diperhatikan sisi maslahat yang disebutkan di atas, dan tidak boleh sembarangan dalam menentukannya, yang akan berakibat menggampangkan masalah ini.

Ukuran yang Dikeluarkan

Dari hadis-hadis yang lalu jelas sekali, bahwa Nabi ﷺ menentukan ukuran Zakat Fitrah adalah satu sha’. Berapa satu sha’ itu?

Satu sha’ sama dengan empat mud. Satu mud sama dengan satu cakupan dua telapak tangan yang berukuran sedang.

Berapa ukurannya dengan kilogram (kg)? Tentu hal ini tidak bisa tepat dan hanya bisa diukur dengan perkiraan. Oleh karena itu, para ulama sekarang pun berbeda pendapat ketika mengukurnya dengan kilogram.

Dewan Fatwa Saudi Arabia atau al-Lajnah ad-Daimah yang diketuai Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, dengan wakil Syaikh Abdurrazzaq ‘Afifi, dan anggota Abdullah bin Ghudayyan, memperkirakan satu sha’ adalah 3 kg. [Fatawa al-Lajnah, 9/371]

Adapun Syaikh Ibnu Utsaimin berpendapat sekitar 2,040 kg. [Fatawa Arkanil Islam, hlm. 429]

Tentang Bur atau Hinthah

Ada perbedaan pendapat tentang ukuran yang dikeluarkan dari jenis hinthah (salah satu jenis gandum). Sebagian sahabat berpendapat, bahwa ukurannya tetap satu sha’, sementara sahabat yang lain berpendapat ½ sha’.

Tampaknya pendapat kedua yang lebih kuat berdasarkan riwayat dari Hisyam bin Urwah dari ayahnya:

أَنَّهَا كَانَتْ تُخْرِجُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَهْلِهَا الْحُرِّ مِنْهُمْ وَالْمَمْلُوْكِ مُدَّيْنِ مِنْ حِنْطَةٍ أَوْ صَاعاً مِنْ تَمْرٍ بِالْمُدِّ أوْ بِالصَّاعِ الَّذِي يَتَبايَعوْنَ بِهِ

“Pada zaman Nabi ﷺ, Asma’ binti Abu Bakr mengeluarkan (zakat) untuk keluarganya, yang merdeka atau yang sahaya, dua mud hinthah atau satu sha’ kurma, dengan ukuran mud atau sha’ yang mereka pakai untuk jual beli.” [Sahih, HR. ath-Thahawi dalam Ma’ani al-Atsar, 2871; Ibnu Abi Syaibah, dan Ahmad. Syaikh al-Albani mengatakan bahwa sanadnya sahih, sesuai dengan syarat al-Bukhari dan Muslim. Lihat Tamamul Minnah hlm. 387]

Ini merupakan pendapat Abu Hanifah dan yang dipilih oleh Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, dan al-Albani pada masa sekarang.

Waktu Mengeluarkan Zakat Fitrah

Menurut sebagian ulama, jatuhnya kewajiban Zakat Fitrah adalah dengan selesainya bulan Ramadan. Namun, Nabi ﷺ menerangkan, bahwa waktu pengeluaran Zakat Fitrah adalah sebelum salat, sebagaimana dalam hadis yang lalu.

وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلَاةِ

“Nabi ﷺ memerintahkan agar ditunaikan sebelum orang-orang keluar menuju salat.”

Dengan demikian, zakat tersebut harus tersalurkan kepada yang berhak sebelum Salat Id. Dengan demikian, maksud Zakat Fitrah tersebut terwujud, yaitu untuk mencukupi mereka pada hari itu.

Namun syariat memberikan kelonggaran kepada kita dalam penunaian zakat. Penunaiannya kepada Amil Zakat dapat dimajukan 2 atau 3 hari sebelum Id berdasarkan riwayat berikut ini:

كَانَ ابْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يُعْطِيهَا الَّذِينَ يَقْبَلُونَهَا وَكَانُوا يُعْطُونَ قَبْلَ الْفِطْرِ بِيَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ

“Dahulu Abdullah bin Umar memberikan Zakat Fitrah kepada yang menerimanya [1]. Dahulu mereka menunaikannya 1 atau 2 hari sebelum hari Id.” [Sahih, HR. al-Bukhari, “Kitabuz Zakat”, Bab 77 no. 1511; lihat al-Fath, 3/375]

Dalam riwayat Malik dari Nafi’:

أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ يَبْعَثُ بِزَكَاةِ الْفِطْرِ إِلَى الَّذِي تُجْمَعُ عِنْدَهُ قَبْلَ الْفِطْرِ بِيَوْمَيْنِ أَوْ ثَلَاثَةٍ

“Abdullah bin Umar menyerahkan Zakat Fitrahnya kepada petugas yang pengumpul zakat, 2 atau 3 hari sebelum Idul Fitri.” [Al-Muwaththa`, “Kitabuz Zakat,” “Bab Waqtu Irsal Zakatil Fithri”, 1/285. Lihat pula al-Irwa no. 846]

Karena itu, penyerahan zakat tidak boleh mendahului/ lebih cepat daripada itu, walaupun ada yang berpendapat bahwa hal itu boleh. Pendapat pertama yang benar, karena demikianlah praktik para sahabat.

Bolehkan Mengeluarkan Zakat Fitrah Setelah Salat Id?

Hal ini telah dijelaskan oleh hadis dari Ibnu Abbas radhiallahu anhu, ia mengatakan:

فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ، مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلَاةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ، وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلَاةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنْ الصَّدَقَاتِ

“Rasulullah ﷺ mewajibkan Zakat Fitrah sebagai penyuci bagi orang yang berpuasa dari perbuatan yang sia-sia dan kata-kata kotor, serta sebagai pemberian makanan bagi orang-orang miskin. Barang siapa menunaikannya sebelum salat (Id), itu adalah zakat yang diterima. Adapun yang menunaikannya setelah salat, itu hanyalah salah satu bentuk sedekah.” [Hasan, HR. Abu Dawud “Kitabuz Zakat”, “Bab Zakatul Fithr”, 17 no. 1609; Ibnu Majah, 2/395, “Kitabuz Zakat”, “Bab Shadaqah Fithri”, 21 no. 1827; dinilai hasan oleh Syaikh al-Albani dalam Sahih Sunan Abu Dawud]

Ibnul Qayyim mengatakan:

“Konsekuensi dari dua [2] hadis tersebut adalah, tidak boleh menunda penunaian zakat hingga setelah Salat Id, dan kewajiban zakat gugur dengan selesainya salat. Inilah pendapat yang benar. Sebab, tidak ada yang menentang dua hadis ini, tidak ada pula yang menghapusnya, serta tidak ada Ijmak yang menghalangi untuk berpendapat dengan kandungan dua hadis itu. Dahulu guru kami (Ibnu Taimiyah) menganggap kuat pendapat ini serta membelanya.” [Zadul Ma’ad, 2/21]

Atas dasar itu, jangan sampai Zakat Fitrah diserahkan ke tangan orang fakir setelah Salat Id, kecuali apabila si fakir mewakilkan kepada yang lain untuk menerimanya.

Sasaran Zakat Fitrah

Yang kami maksud di sini adalah mashraf atau sasaran penyaluran zakat.

Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam hal ini.

Sebagian ulama mengatakan, bahwa sasaran penyalurannya adalah khusus kepada fakir miskin.

Ulama yang lain mengatakan, sasaran penyalurannya adalah sebagaimana zakat yang lain, yaitu delapan golongan, sebagaimana tertera dalam Surat at-Taubah ayat. Ini merupakan pendapat asy-Syafi’i, satu riwayat dari Ahmad, dan yang dipilih oleh Ibnu Qudamah. [Al-Mughni, 4/314]

Dari dua pendapat di atas, tampaknya yang kuat adalah pendapat yang pertama dengan dasar hadis dari Ibnu Abbas yang telah lalu, ia mengatakan:

فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ

“Rasulullah ﷺ mewajibkan Zakat Fitrah sebagai penyuci bagi orang yang berpuasa dari perbuatan yang sia-sia dan kata-kata kotor, serta sebagai pemberian makanan bagi orang-orang miskin.”

Ini merupakan pendapat yang dipilih oleh Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, asy-Syaukani dalam bukunya as-Sailul Jarrar[3] dan Syaikh al-Albani pada masa ini. Ini pula yang difatwakan oleh Syaikh Ibnu Baz, Ibnu Utsaimin, dan lain-lain.

Ibnul Qayyim mengatakan:

“Di antara petunjuk beliau ﷺ, zakat ini dikhususkan bagi orang-orang miskin dan tidak dibagikan kepada delapan golongan secomot-secomot. Beliau ﷺ tidak pula memerintahkan untuk itu. Tidak ada seorang pun dari kalangan sahabat yang melakukannya, demikian pula orang-orang yang setelah mereka.” [Zadul Ma’ad, 2/21; lihat pula Majmu’ Fatawa, 25/75; Tamamul Minnah, hlm. 387; as-Sailul Jarrar, 2/86; Fatawa Ramadan, 2/936]

Atas dasar itu, tidak diperkenankan menyalurkan Zakat Fitrah untuk pembangunan masjid, sekolah, atau sejenisnya. Demikian difatwakan oleh al-Lajnah ad-Daimah (9/369).

Definisi Fakir

Para ulama banyak membicarakan hal ini. Terlebih, kata fakir ini sering bersanding dengan kata miskin, yang berarti masing-masing memiliki pengertian tersendiri. Masalah ini cukup panjang dan membutuhkan pembahasan khusus. Namun di sini kami akan menyebutkan secara ringkas pendapat yang tampaknya lebih kuat.

Al-Qurthubi dalam Tafsir-nya (8/168) menjelaskan, bahwa para ulama berbeda pendapat dalam hal perbedaan antara fakir dan miskin sampai sembilan pendapat. Di antaranya, bahwa fakir lebih membutuhkan daripada miskin. Ini adalah pendapat asy-Syafi’i dan Jumhur Ulama sebagaimana disebutkan dalam Fathul Bari. [Dinukil dari Imdadul Qari, 1/236—237]

Di antara alasannya adalah, Allah ﷻ lebih dahulu menyebut fakir daripada miskin dalam Surat at-Taubah: 60.

إِنَّمَا ٱلصَّدَقَٰتُ لِلۡفُقَرَآءِ وَٱلۡمَسَٰكِينِ وَٱلۡعَٰمِلِينَ عَلَيۡهَا

“Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat.”

Tentu Allah ﷻ menyebutkan dari yang terpenting. Demikian juga dalam Surat al-Kahfi: 79, Allah ﷻ berfirman:

أَمَّا ٱلسَّفِينَةُ فَكَانَتۡ لِمَسَٰكِينَ يَعۡمَلُونَ فِي ٱلۡبَحۡرِ فَأَرَدتُّ أَنۡ أَعِيبَهَا وَكَانَ وَرَآءَهُم مَّلِكٌ يَأۡخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ غَصۡبًا

“Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut. Dan aku bertujuan merusak bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera.”

Allah ﷻ menyebut mereka miskin, padahal mereka memiliki kapal.

Jadi, baik fakir maupun miskin sama-sama tidak punya kecukupan, tetapi fakir lebih kekurangan daripada miskin.

Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di menjelaskan dalam Tafsir-nya (341):

“Fakir adalah orang yang tidak punya apa-apa, atau punya sedikit kecukupan tetapi kurang daripada setengahnya. Adapun miskin adalah yang mendapatkan setengah kecukupan atau lebih, tetapi tidak memadai.”

Berapakah yang Diberikan kepada Mereka?

Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di mengatakan (hlm. 341):
“Mereka diberi seukuran yang membuat hilangnya kefakiran dan kemiskinan mereka.”

Jadi diupayakan agar jangan sampai setiap orang miskin diberi kurang dari ukuran Zakat Fitrah itu sendiri.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan:

“Pendapat yang paling lemah adalah pendapat yang mengatakan, bahwa setiap Muslim wajib membayarkan Zakat Fitrahnya kepada 12, 18, 24, 32, 28 orang, atau semacam itu. Sebab ini menyelisihi perbuatan yang dilakukan kaum Muslimin dahulu pada zaman Rasulullah ﷺ, para khalifahnya, serta seluruh sahabatnya. Tidak ada seorang Muslim pun melakukan yang demikian pada masa mereka. Bahkan dahulu setiap Muslim membayar fitrahnya sendiri, dan fitrah keluarganya kepada satu orang Muslim.

Seandainya mereka melihat ada yang membagi satu sha’ untuk sekian belas jiwa, sehingga setiap orang diberi hanya satu genggam, tentu mereka akan mengingkarinya dengan sekeras-kerasnya. Sebab Nabi ﷺ menentukan kadar yang diperintahkan, yaitu satu sha’ kurma, gandum, atau untuk bur ½ atau 1 sha’, sesuai dengan kadar yang cukup untuk satu orang miskin. Beliau menjadikan ini sebagai makanan mereka pada hari raya, yang mereka tercukupi dengannya. Jika satu orang hanya memeroleh satu genggam, ia tidak mendapatkan manfaat. Ini tidak selaras dengan tujuannya.” [Majmu Fatawa, 25/73—74]

Bagaimana Hukum Mendirikan Semacam Badan Amil Zakat?

Telah diajukan sebuah pertanyaan kepada al-Lajnah ad-Daimah tentang sebuah organisasi yang bernama Jum’iyyatul Bir di Jeddah, Saudi Arabia, yang mengelola anak yatim dan bantuan kepada keluarga yang membutuhkan, menerima zakat, dan menyalurkannya kepada orang-orang yang membutuhkan.

Al-Lajnah ad-Daimah menjawab:

“Organisasi tersebut wajib menyalurkan Zakat Fitrah kepada orang-orang yang berhak sebelum diselenggarakan Salat Id. Mereka tidak boleh menundanya dari waktu itu. Sebab Nabi ﷺ memerintahkan agar (Zakat Fitrah) disampaikan kepada orang-orang fakir sebelum Salat Id. Organisasi itu kedudukannya menjadi wakil dari Muzakki (pemberi zakat).

Organisasi tersebut tidak diperkenankan menerima Zakat Fitrah, kecuali seukuran yang mampu ia salurkan kepada orang-orang fakir sebelum Salat Id. Organisasi tersebut juga tidak boleh membayarkan Zakat Fitrah dalam bentuk uang, karena dalil-dalil syariat menunjukkan wajibnya mengeluarkan Zakat Fitrah dalam bentuk makanan. Selain itu, tidak boleh berpaling dari dalil syariat menuju pendapat seseorang.

Apabila Muzakki membayarkan kepada organisasi itu dalam bentuk uang untuk dibelikan makanan untuk orang-orang fakir, hal itu wajib dilaksanakan sebelum Salat Id. Organisasi itu tidak boleh mengeluarkannya dalam bentuk uang.” [Fatawa al-Lajnah, 9/379, ditandatangani oleh Syaikh Ibnu Baz, Syaikh Abdurrazzaq Afifi, dan Syaikh Abdullah Ghudayyan. Lihat pula 9/389]

Akan tetapi pada asalnya, Zakat Fitrah langsung diberikan oleh Muzakki kepada yang berhak. [Fatawa al-Lajnah, 9/389]

Apabila seseorang memberikannya kepada badan Amil Zakat, harus diperhatikan minimalnya dua hal:

• Mereka benar-benar orang yang mengetahui hukum sehingga tahu seluk-beluk hukum zakat dan yang berhak menerimanya.

• Mereka adalah orang yang amanah, benar-benar menyampaikannya kepada yang berhak, sesuai dengan aturan syariat.

Hal ini kami tegaskan, karena pada masa ini banyak orang yang tidak tahu hukum, lebih-lebih lagi, tidak sedikit yang tidak amanah. Ada yang mengambilnya tanpa hak. Ada yang menyalurkannya tidak tepat sasaran. Zakat itu justru dikembangkan atau untuk kesejahteraan organisasi/partainya. Atau terkadang badan tersebut menundanya, yang berarti menunda pemberian kepada orang yang sangat membutuhkan. Terkadang mereka melegitimasi perbuatannya dengan alasan-alasan ‘syariat’ yang dibuat-buat.

Bolehkah Zakat (Secara Umum) Dikembangkan oleh Badan Amil Zakat?

Pertanyaan tentang ini telah diajukan kepada al-Lajnah ad-Daimah.

Jawaban:

Tidak boleh bagi wakil dari organisasi tersebut untuk mengembangkan harta zakat. Yang wajib dilakukan adalah menyalurkannya ke tempat-tempat yang sesuai dengan syariat, sebagaimana disebutkan dalam nas (Al-Qur’an atau hadis, -pent.), setelah mengecek (tempat) penyalurannya kepada orang-orang yang berhak. Sebab, tujuan zakat adalah memenuhi kebutuhan orang-orang fakir, dan melunasi utang orang-orang yang berutang. Sementara itu, pengembangan harta zakat bisa jadi justru menyebabkan hilangnya maslahat ini, atau menundanya dalam waktu yang lama dari orang-orang yang berhak (sangat membutuhkannya segera, ed.).

[Fatawa al-Lajnah, 9/454 ditandatangani oleh Syaikh Ibnu Baz, Syaikh Abdurrazzaq Afifi, Syaikh Abdullah Ghudayyan, dan Syaikh Abdullah bin Qu’ud]

Tempat Ditunaikannya Zakat Fitrah

Sebuah pertanyaan ditujukan kepada al-Lajnah ad-Daimah:

“Apakah saya boleh menunaikan zakat untuk keluarga saya, sementara saya berpuasa Ramadan di (Saudi Arabia) bagian Timur, sementara keluarga saya di (Saudi Arabia) bagian Utara?”

Jawab:

Zakat Fitrah dikeluarkan di tempat seseorang berada. Namun jika wakil atau walinya mengeluarkannya di tempat yang bersangkutan tidak ada di sana, diperbolehkan. [Fatawa al-Lajnah, 9/384, ditandatangani oleh Syaikh Ibnu Baz, Syaikh Abdurrazzaq Afifi, Syaikh Abdullah Ghudayyan, dan Syaikh Abdullah bin Qu’ud. Lihat Fatawa Ramadan, 2/943]

Wallahu a’lam bish-shawab.

Catatan Kaki:

[1] Yang dimaksud adalah Amil Zakat, bukan fakir miskin. Lihat Fathul Bari (3/376) dan al-Irwa (3/335).

[2] Sebelumnya beliau juga menyebutkan hadis lain yang semakna.

[3] Berbeda halnya dalam bukunya ad-Darari, beliau berpendapat seperti asy-Syafi’i.

Ditulis Oleh: Al-Ustadz Qomar Su’aidi.Lc
Sumber: https://asysyariah.com/zakat-fitrah-penyuci-jiwa/

══════

Mari sebarkan dakwah sunnah dan meraih pahala. Ayo di-share ke kerabat dan sahabat terdekat! Ikuti kami selengkapnya di:

WhatsApp: +61 405 133 434 (silakan mendaftar terlebih dahulu)
Website: https://nasihatsahabat.com/
Email: [email protected]
Twitter: @NasihatSalaf
Facebook: https://www.facebook.com/nasihatsahabatcom/
Instagram: NasihatSahabatCom
Telegram: https://t.me/nasihatsahabat
Pinterest: https://id.pinterest.com/nasihatsahabat