بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

#Nasihat_Ulama

TUNTUNAN ISLAM DALAM MENASIHATI PENGUASA

(Sebuah Renungan bagi Para Pencela Pemerintah)

Taat Pemerintah adalah Aqidah Ahlus Sunnah

Telah dimaklumi bersama, bahwa mengubah kemungkaran dan menasihati pelakunya adalah kewajiban setiap Muslim sesuai dengan kemampuannya. Sebagaimana sabda Nabi ﷺ:

من رأى منكم منكراً فليغيره بيده فإن لم يستطع فبلسانه فإن لم يستطع فبقلبه وذلك أضعف الإيمان

“Barang siapa di antara kalian yang melihat kemungkaran, hendaklah dia mengubahnya dengan tangannya. Apabila tidak mampu, maka dengan lisannya. Apabila tidak mampu lagi, maka dengan hatinya. Itulah selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim, no. 186)

Akan tetapi masih banyak kaum Muslimin yang belum memahami, bahwa untuk mengubah kemungkaran yang dilakukan oleh pemerintah Muslim, tidak sama dengan mengubah kemungkaran yang dilakukan oleh selainnya. Bahkan lebih parah lagi, kemungkaran yang dilakukan penguasa dijadikan sebagai komoditi untuk meraih keuntungan oleh sebagian media massa. Mahasiswa pun turun ke jalan untuk berdemonstrasi, tak ketinggalan pula para “aktivis Islam” atau “aktivis dakwah” melakukan “aksi damai”, yang menurut mereka itulah demo Islami, sehingga pada akhirnya masyarakatlah yang menjadi korban.

Namun yang sangat mengherankan, ada sebagian orang yang mengaku Ahlus Sunnah, pengikut sunnah Rasulullah ﷺ pun turut serta melakukan demonstrasi (yang mereka namakan dengan aksi damai) dan mengritik pemerintah Muslim secara terang-terangan di media massa. Maka seperti apakah bimbingan Rasulullah ﷺ dan para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah dalam masalah ini?

Rasulullah ﷺ yang ma’shum, yang tidak berkata kecuali wahyu yang diwahyukan kepadanya. Semua perkataan bisa diterima atau ditolak, kecuali perkataan beliau ﷺ. Beliau ﷺ bersabda:

من أراد أن ينصح لذي سلطان فلا يبده علانية ولكن يأخذ بيده فيخلوا به فإن قبل منه فذاك وإلا كان قد أدى الذي عليه

“Barang siapa yang ingin menasihati penguasa, janganlah ia menampakkannya terang-terangan. Akan tetapi hendaklah ia meraih tangan sang penguasa, lalu menyepi dengannya. Jika nasihat itu diterima, maka itulah yang diinginkan. Namun jika tidak, maka sungguh ia telah melaksanakan kewajiban (menasihati penguasa).” [HR. Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah dari ‘Iyadh bin Ganm -radhiyallahu’anhu-. Hadis ini di-shahih-kan oleh Asy-Syaikh Al-Albani –rahimahullah- dalam Zhilalul Jannah, (no. 1096)]

Demikianlah bimbingan Nabi yang mulia teladan kita ﷺ, dalam menasihati penguasa. Lalu seperti apakah pemahaman dan pengamalan terhadap hadis di atas oleh para pengikut sunnah yang sejati, yakni para sahabat dan ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah?

Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim –rahimahumallah– dalam Shahih keduanya meriwayatkan:

قيل لأسامة لو أتيت فلانا (عند الامام مسلم: عثمان بن عفان –رضي الله عنه-) فكلمته . قال إنكم لترون أنى لا أكلمه إلا أسمعكم ، إنى أكلمه فى السر دون أن أفتح بابا لا أكون أول من فتحه

“Dikatakan kepada Usamah (bin Zaid) radhiyallahu’anhuma: “Kalau sekiranya engkau mendatangi si Fulan (dalam riwayat Al-Imam Muslim, si Fulan yang dimaksud adalah: Utsman bin Affan radhiyallahu‘anhu), lalu engkau menasihatinya?” Usamah menjawab: “Sesungguhnya kalian benar-benar mengira, bahwa aku tidak menasihatinya, kecuali jika aku memerdengarkannya kepada kalian?! Sungguh aku telah menasihatinya secara diam-diam, tanpa aku membuka sebuah pintu, yang semoga aku bukanlah orang pertama yang membuka pintu tersebut.” [HR. Al-Bukhari, (no. 3267, 7098) dan Muslim, (no. 7408) dari Abu Wa’il radhiyallahu’anhu]

Al-Hafizh Ibnu Hajar –rahimahullah- menjelaskan maksud perkataan Usamah bin Zaid -radhiyallahu’anhuma-: “Sungguh aku telah berbicara (menasihati) beliau tanpa aku membuka sebuah pintu“, maknanya adalah: “Aku telah menasihatinya dalam perkara yang kalian isyaratkan tersebut, tetapi dengan memerhatikan maslahat dan adab (dalam menasihati penguasa), yakni secara rahasia, sehingga tidak terjadi pada perkataan (nasihatku) ini, sesuatu yang bisa mengobarkan fitnah.” [Lihat Fathul Bari, (13/51)]

Al-Hafizh Ibnu Hajar -rahimahullah- juga menukil penjelasan sebagian ulama tentang kemungkaran yang diisyaratkan kepada Usamah bin Zaid -radhiyallahu’anhuma-, ternyata bukanlah kemungkaran yang tersembunyi dari masyarakat, tetapi kemungkaran yang zahir, dan telah tersebar beritanya di tengah-tengah masyarakat, yaitu tentang salah seorang pejabat Utsman bin Affan -radhiyallahu’anhu– yang bernama Al-Walid bin ‘Uqbah yang tercium dari mulutnya bau nabidz (sejenis khamar), kemudian Al-Hafizh Ibnu Hajar –rahimahullah- berkata dalam menjelaskan perkataan Usamah:

“Sungguh aku telah menasihatinya secara rahasia (tidak terang-terangan), tanpa aku membuka sebuah pintu”, makna (pintu) yang dimaksud adalah: “Pintu pengingkaran atas kemungkaran para penguasa secara terang-terangan, karena khawatir akan memecah belah kalimat (yakni persatuan kaum Muslimin di bawah seorang pemimpin)”. Kemudian beliau (Usamah) memberitahu, mereka bahwa ia tidak sedikit pun mencari muka pada seseorang, meskipun pada seorang pemimpin. Akan tetapi ia telah mengerahkan segenap kemampuannya untuk menasihati pemimpin secara rahasia (tidak terang-terangan)”. [Lihat Fathul Bari, (13/52)]

Al-Qodhi ‘Iyadh –rahimahullah– berkata: “Maksud Usamah, bahwa ia tidak ingin membuka pintu (memberi contoh) cara mengingkari penguasa dengan terang-terangan, karena ia khawatir dampak buruk dari cara tersebut. Akan tetapi yang beliau lakukan adalah dengan lemah lembut dan menasihati secara rahasia, karena cara tersebut lebih dapat diterima”. [Lihat Fathul Bari, (13/52)]

Al-‘Allamah Badruddin Al-‘Aini Al-Hanafi –rahimahullah- juga menjelaskan perkataan Usamah bin Zaid -radhiyallahu’anhuma-, “Sungguh aku telah menasihatinya secara rahasia“, maknanya, “Aku menasehati penguasa secara diam-diam, sehingga aku tidak membuka sebuah pintu dari pintu-pintu fitnah. Kesimpulannya, aku (Usamah) menasihatinya, demi meraih kemaslahatan, bukan untuk memprovokasi munculnya fitnah (masalah). Karena cara mengingkari para penguasa dengan terang-terangan terdapat semacam sikap penentangan terhadapnya. Sebab pada cara tersebut terdapat pencemaran nama baik para pemimpin yang mengantarkan kepada terpecahnya kalimat (persatuan kaum Muslimin) dan tercerai-berainya jamaah”. [Lihat Umdatul Qari Syarh Shahih Al-Bukhari, (23/33)]

Al-Imam An-Nawawi –rahimahullah– dalam menerangkan perkataan Usamah pada riwayat Muslim, beliau berkata: “Aku membuka perkara yang aku tidak suka, jika akulah yang pertama membukanya (yakni mencontohkan keburukan).” Maknanya adalah: “Terang-terangan dalam menasihati penguasa di depan khalayak, sebagaimana pernah terjadi pada para pembunuh ‘Utsman -radhiyallahu’anhu-. Dalam hadis ini terdapat adab bersama penguasa, lemah lembut terhadap mereka, menasihati mereka secara rahasia dan menyampaikan perkataan manusia tentang mereka, agar mereka berhenti dari kemungkaran tersebut. Ini semua dilakukan jika memungkinkan. Namun jika tidak memungkinkan untuk menasihati dan mengingkari kemungkaran penguasa secara rahasia, maka hendaklah seseorang melakukannya terang-terangan, agar pokok kebenaran itu tidak ditelantarkan.” [Lihat Syarah Muslim, (18/118)]

Peringatan: Perkataan Al-Imam An-Nawawi -rahimahullah- pada bagian akhir yang kami garisbawahi di atas maksudnya adalah, jika keadaan memaksa untuk itu (bukan pada semua keadaan), karena hal tersebut bukanlah kebiasaan para sahabat, sebagaimana perbuatan sahabat Abu Sa’id Al-Khudri -radhiyallahu’anhu– yang dijadikan dalil oleh hizbiyun untuk membolehkan menasihati pemerintah secara terang-terangan, yang insya Allah akan kami jawab dalam penjelasan syubhat dan bantahannya.

Al-Imam Al-Qurthubi -rahimahullah- menerangkan perkataan Usamah dalam riwayat Muslim: “Sungguh aku telah menasihatinya secara empat mata”, maksudnya adalah, “Ia (Usamah) telah menasihati Utsman -radhiyallahu’anhu- secara langsung dengan perkataan yang lembut. Karena yang demikian itu lebih hati-hati untuk menghindari cara terang-terangan dalam mengingkari penguasa dan menghindari sikap penentangan terhadap penguasa. Sebab cara menasihati penguasa dengan terang-terangan sangat berpotensi melahirkan berbagai macam fitnah dan kerusakan.” [Lihat Al-Mufhim Syarah Shohih Muslim, (6/619)]

Al-Imam Asy-Syaukani -rahimahullah- berkata: “Sepatutnya bagi orang yang mengetahui kesalahan penguasa dalam sebagian masalah agar ia menasihati penguasa tersebut. Dan janganlah ia menampakan celaan kepada penguasa di depan publik. Akan tetapi sebagaimana terdapat dalam hadis (yakni hadis ‘Iyadh bin Ganm -radhiyallahu’anhu-), hendaklah ia meraih tangan sang penguasa dan menyepi dengannya, lalu menasihatinya. Dan janganlah ia menghinakan sultan (penguasa) Allah”.[Lihat As-Sail Al-Jarrar, (4/556)]

Asy-Syaikh Al-‘Allamah Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di –rahimahullah– berkata: “Bagi siapa yang melihat suatu kemungkaran yang dilakukan oleh penguasa, hendaklah ia memeringatkan mereka secara rahasia, tidak terang-terangan di khalayak, dengan cara yang lembut dan perkataan yang sesuai dengan keadaan.” [Lihat Ar-Riyadh An-Nadhirah, (hal. 50)]

Asy-Syaikh Al-‘Allamah Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz –rahimahullah– berkata: “Bukan termasuk Manhaj Salaf, membeberkan aib-aib penguasa, dan menyebutkannya di atas mimbar-mimbar, karena hal itu akan mengantarkan kepada ketidakstabilan (negara). Sehingga masyarakat tidak mau dengar dan taat kepada pemerintah dalam perkara ma’ruf, dan mengantarkan kepada pemberontakan yang merusak dan tidak bermanfaat. Tapi metode yang dicontohkan Salaf adalah menasihati secara empat mata, menyurat, dan menghubungi para ulama yang memiliki akses langsung kepada penguasa, sehingga sang penguasa bisa diarahkan kepada kebaikan”. [Lihat Haqqur Ro’iy war-Ro’iyyah, (hal. 27)]

Faqihuz Zaman Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin –rahimahullah– berkata: “Memublikasikan nasihat yang kita sampaikan kepada pemerintah terdapat dua mafsadat (kerusakan). Pertama: Hendaklah setiap orang khawatir, jangan sampai dirinya tertimpa riya’, sehingga terhapus amalannya.

Kedua: Jika pemerintah tidak menerima nasihat tersebut, maka jadilah itu sebagai alasan bagi masyarakat awam untuk menentang pemerintah. Pada akhirnya mereka melakukan revolusi (pemberontakan) dan terjadilah kerusakan yang lebih besar.” [Dari kaset Asilah haula Lajnah Al-Huquq As-Syariyah, sebagaimana dalam Madarikun Nazhor, (hal. 211)]

Dari penjelasan para ulama di atas, telah sangat jelas bahwa DALAM MENASIHATI PENGUASA TIDAK BOLEH DILAKUKAN SECARA TERANG-TERANGAN, baik melalui DEMONSTRASI, berbicara di mimbar-mimbar terbuka, ataupun melalui kolom opini dan artikel yang disebarkan secara terbuka di media-media. Apabila hal tersebut dilakukan, maka akan melahirkan mafsadat-mafsadat yang besar di antaranya:

  1. Memprovokasi masyarakat untuk memberontak kepada penguasa, terlebih jika nasihat tersebut tidak diindahkan oleh penguasa. Maka akibatnya akan menceraiberaikan kesatuan kaum Muslimin (lihat penjelasan Ibnu Hajar, Al-‘Aini dan Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin –rahimahumullah-)
  2. Cara mengingkari kemungkaran penguasa dengan terang-terangan terdapat semacam sikap penentangan terhadapnya (lihat penjelasan Al-Imam Al-‘Aini dan Al-Imam Al-Qurthubi –rahimahumallah-)
  3. Pencemaran nama baik dan ghibah kepada penguasa yang dapat mengantarkan kepada perpecahan masyarakat dan pemerintah Muslim (lihat penjelasan Al-Imam Al-‘Aini –rahimahullah-)
  4. Membuat masyarakat tidak mau menaati penguasa dalam hal ma’ruf (lihat penjelasan Asy-Syaikh Bin Baz –rahimahullah-)
  5. Menyebabkan permusuhan antara pemimpin dan rakyatnya (lihat penjelasan Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan –hafizhahullah- dalam Al-Ajwibah Al-Mufidah, hal. 99)
  6. Menjadi sebab ditolaknya nasihat oleh penguasa (lihat penjelasan Al-Qodhi ‘Iyadh –rahimahullah-)
  7. Menyebabkan tertumpahnya darah seorang Muslim, sebagaimana yang terjadi pada para pembunuh Utsman -radhiyallahu’anhu- (lihat penjelasan Al-Imam An-Nawawi –rahimahullah- dan juga penjelasan Asy-Syaikh Al-Albani –rahimahullah- dalam Mukhtashor Shahih Muslim, hal. 335)
  8. Menghinakan Sulthan Allah (lihat penjelasan Al-Imam Asy-Syaukani –rahimahullah-)
  9. Munculnya riya’ dalam diri pelakunya (lihat penjelasan Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin -rahimahullah-)
  10. Menyelisihi dalil dan jalan As-Salafus Shalih
  11. Mengikuti jalan Ahlul Bid’ah (Khawarij)

Renungan Bagi para Pencela Pemerintah

Menasihati penguasa secara terang-terangan termasuk dalam kategori pemberontakan yang merupakan karakter Khawarij, yakni satu sekte sesat yang dikenal dengan sikap pemberontakannya kepada pemerintah Muslim yang mereka anggap zalim dan tidak berhukum dengan hukum Allah. Maka janganlah sampai engkau tergolong dalam kelompok Khawarij -wahai pencela pemerintah- yang telah diperingatkan oleh Nabi ﷺ:

كلاب النار شر قتلى تحت أديم السماء خير قتلى من قتلوه

“Mereka adalah anjing-anjing neraka; seburuk-buruknya makhluk yang terbunuh di bawah kolong langit. Sedang sebaik-baiknya makhluk yang terbunuh adalah yang dibunuh oleh mereka.” [HR. At-Tirmidzi, (no. 3000), dari Abu Umamah Al-Bahili -radhiyallahu’anhu-, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Al-Misykah, (no. 3554)]

Asy-Syaikh Ahmad bin Umar Bazmul –hafizhahullah- berkata: “Nasihat kepada penguasa secara rahasia merupakan salah satu pokok dari pokok-pokok Manhaj Salaf yang diselisihi oleh Ahlul Ahwa’ Wal Bida’, seperti Khawarij.”

Beliau (Asy-Syaikh Ahmad bin Umar Bazmul –hafizhahullah-) juga menjelaskan, bahwa menyebarkan aib-aib penguasa merupakan bentuk pertolongan kepada Khawarij dalam membunuh penguasa Muslim. Sehingga jelas, bahwa pemberontakan itu tidak hanya dengan senjata, tapi juga dengan lisan.

Beliau berkata: “Hal tersebut dilarang, karena bisa mengantarkan kepada perbuatan menumpahkan darah dan pembunuhan, sebagaimana yang dikeluarkan oleh Ibnu Sa’ad dalam At-Tabaqot, dari Abdullah bin Ukaim al-Juhani, bahwa beliau berkata:

“Aku tidak akan menolong pembunuhan seorang Khalifah selamanya setelah Utsman”. Maka dikatakan kepadanya: “Wahai Abu Ma’bad, apakah engkau telah membantu (Khawarij) dalam membunuh Utsman?” Maka beliau berkata: “Sungguh aku menganggap perbuatan membicarakan keburukan-keburukan beliau sebagai bentuk pertolongan kepada (Khawarij) dalam membunuhnya”.

Maka camkanlah baik-baik atsar ini, tatkala beliau menganggap pembicaraan tentang kejelekan-kejelekan penguasa, termasuk perkara yang membantu pembunuhannya.”

Kemudian beliau (Asy-Syaikh Ahmad bin Umar Bazmul hafizhahullah) memberikan komentar pada catatan kaki: “Atsar ini memberikan faidah pelajaran, bahwa pemberontakan itu dapat terjadi dengan senjata (pedang), maupun dengan ucapan. Berbeda dengan pendapat (yang salah), bahwa pemberontakan itu tidak terjadi kecuali dengan senjata. Maka camkanlah ini baik-baik dan ingatlah selalu.”

Beliau juga menukil penegasan Asy-Syaikh Bin Baz –rahimahullah-: “Bukan termasuk Manhaj Salaf menelanjangi aib-aib penguasa dan membicarakannya di atas mimbar-mimbar, karena hal tersebut mengantarkan kepada kudeta dan ketidaktaatan masyarakat dalam hal yang ma’ruf kepada penguasa. Lebih dari itu, mengantarkan kepada pemberontakan yang hanya membahayakan dan tidak bermanfaat.” [Lihat artikel As-Sunnah fii maa Yata’allaqu bi Waliyyil Ummah, oleh Asy-Syaikh Ahmad bin Umar Bazmul –hafizhahullah-, softcopy dari www.sahab.net]

 

Penulis: Al-Ustadz Sofyan Chalid Ruray hafizhahullah