بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

 

TIDAK BOLEH MEMBERIKAN MUDARAT SENGAJA ATAUPUN TIDAK

 

عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ سَعْدِ بْنِ مَالِكِ بْنِ سِنَانٍ الخُدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ﷺقَالَ: «لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ»حَدِيْثٌ حَسَنٌ. رَوَاهُ ابْنُ مَاجَهْ وَالدَّارَقُطْنِيُّ وَغَيْرُهُمَا مُسْنَدًا، وَرَوَاهُ مَالِكٌ فِي المُوَطَّأِ مُرْسَلاً عَنْ عَمْرِو بْنِ يَحْيَى عَنْ أَبِيْهِ عَنِ النَّبِيِّ ﷺفَأَسْقَطَ أَبَا سَعِيْدٍ، وَلَهُ طُرُقٌ يُقَوِّي بَعْضُهَا بَعْضًا.

Dari Abu Sa’id Sa’ad bin Malik bin Sinan Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidak boleh memberikan mudarat tanpa disengaja atau pun disengaja.” [Hadis Hasan, HR. Ibnu Majah, no. 2340; Ad-Daraquthni no. 4540, dan selain keduanya dengan sanadnya, serta diriwayatkan pula oleh Malik dalam Al-Muwaththa’ no. 31 secara mursal dari Amr bin Yahya dari ayahnya dari Nabi ﷺ tanpa menyebutkan Abu Sa’id, tetapi ia memiliki banyak jalan periwayatan yang saling menguatkan satu sama lain. Hadis ini disahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadis Ash-Sahihah, no. 250]

Faidah hadis

Pertama:

Islam mendorong untuk mengangkat mudarat, dan dilarang memberikan mudarat pada orang lain. Mudarat bisa diberikan pada badan, harta, anak, hewan ternak, dan lainnya.

Kedua:

Hadis ini berisi kaidah syariat, yaitu mengangkat dharar dan dhirar. Kalimat dalam hadis adalah dalam bentuk khabar, nanti bermakna an-nahyu (larangan).

Ketiga:

Dharar dan dhirar ada yang berpendapat maknanya sama. Ada pendapat lain yang menyatakan maknanya berbeda.

Dharar: Memberi bahaya tanpa niatan, tanpa disengaja.

Dhirar: Memberi bahaya dengan niatan, disengaja.

Kalau dharar saja dilarang, lebih-lebih lagi dhirar.

Keempat:

Hadis ini jadi rujukan dalam banyak bab, lebih-lebih dalam bahasan muamalah, seperti jual beli, gadai. Begitu juga hadis ini jadi dipakai dalam bab nikah, di mana seorang suami tidak boleh memberikan mudarat pada istrinya. Juga dalam bab wasiat, seseorang tidak boleh memberikan yang nantinya memudaratkan ahli waris.

Kelima:

Dari hadis ini Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah memberikan kaidah:

مَتَى ثَبَتَ الضَّرَرُ وَجَبَ رَفْعُهُ وَمَتَى ثَبَتَ الإِضْرَارُ وَجَبَ رَفْعُهُ مَعَ عُقُوْبَةِ قَاصِدِ الإِضْرَارِ

“Jika ada dharar kapan pun itu, wajib dihilangkan. Kapan juga adanya dhirar (bahaya yang disengaja), wajib pula dihilangkan, disertai adanya hukuman, karena mudarat yang diberikan dengan sengaja.” [Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah, hlm. 354]

Contoh mudarat disengaja atau pun tidak

Pertama: Seseorang memiliki tetangga dan memiliki pohon yang tiap hari ia siram. Namun airnya masuk ke rumah tetangganya, mengganggu tetangganya. Yang menyiram tidak tahu akan hal itu. Ini disebut dharar, melakukan dengan tidak sengaja.

Kedua: Ada seseorang punya masalah dengan tetangganya karena salah paham. Tetangga A mengatakan: “Pokoknya saya akan mengganggumu.” Lantas ia membunyikan mesin traktor, tujuannya untuk menggangu tetangganya. Ini namanya dhirar.

Kasus kedua sudah diketahui kalau ia sedang memberikan mudarat, karena ia sengaja melakukannya. Kasus pertama, jika ia diberitahu kalau telah mengganggu tetangga, maka ia pasti tidak akan mengganggu seperti itu. Intinya dharar maupun dhirar sama-sama dilarang.

Ketiga: Di masa Jahiliyyah, ketika suami menceraikan istrinya, maka ketika masa ‘iddahnya mau selesai, suami rujuk kembali. Kemudian ia menalaknya lagi kali kedua. Lalu jika masa ‘iddahnya mau selesai, suami rujuk kembali. Kemudian ia menalak seterusnya, hingga talak ketiga, keempat, tujuannya adalah untuk dhirar, yaitu mencelakakan dengan sengaja. Karena itu Allah batasi talak itu hanya sampai tiga kali. Dalilnya adalah firman Allah ﷻ:

الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ …

“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang makruf, atau menceraikan dengan cara yang baik.” [QS. Al-Baqarah: 229)

فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ

“Kemudian jika si suami menalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya, hingga dia kawin dengan suami yang lain.” [QS. Al-Baqarah: 230]

Keempat: Seseorang memberikan wasiat, bahwa setelah meninggal dunia, separuh hartanya untuk si Fulan. Tujuannya untuk mengurangi jatah waris. Ini tidaklah dibolehkan, karena wasiat tidak boleh lebih dari sepertiga harta.

Dari ‘Amr bin Kharijah radhiyallahu ‘anhu ia berkata, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:

إِنَّ اللَّهَ قَسَمَ لِكُلِّ وَارِثٍ نَصِيبَهُ مِنَ الْمِيرَاثِ فَلاَ يَجُوزُ لِوَارِثٍ وَصِيَّةٌ

“Sesungguhnya Allah membagi untuk setiap ahli warisnya sudah mendapatkan bagian-bagiannya. Karenanya tidak boleh ada wasiat untuk ahli waris.” [HR. Ibnu Majah, no. 2712; Tirmidzi, no. 2121. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadis ini Hasan]

Namun kalau yang diberi wasiat adalah selain ahli waris, itu boleh. Namun wasiat itu tidak boleh lebih dari sepertiga dari harta yang ditinggal, sebagaimana penjelasan dari hadis Sa’ad bin Abi Waqqash berikut:

Dari ‘Amir bin Sa’ad, dari ayahnya, Sa’ad, ia adalah salah seorang dari sepuluh orang yang dijamin masuk Surga, berkata, “Rasulullah ﷺ menjengukku ketika Haji Wada’, karena sakit keras. Aku pun berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya sakitku sangat keras, sebagaimana yang engkau lihat. Sedangkan aku mempunyai harta yang cukup banyak, dan yang mewarisi hanyalah seorang anak perempuan. Bolehkah saya sedekahkan 2/3 dari harta itu?” Beliau menjawab: “Tidak.” Saya bertanya lagi: “Bagaimana kalau separuhnya?” Beliau menjawab: “Tidak.” Saya bertanya lagi, “Bagaimana kalau sepertiganya?” Beliau menjawab:

وَالثُّلُثُ كَثِيرٌ ، إِنَّكَ أَنْ تَذَرَ وَرَثَتَكَ أَغْنِيَاءَ خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَذَرَهُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُونَ النَّاسَ

“Sepertiga itu banyak (atau cukup besar). Sesungguhnya jika kamu meninggalkan ahli warismu kaya, itu lebih baik, daripada kamu meninggalkan mereka dalam keadaan miskin, sehingga mereka terpaksa meminta-minta kepada sesama manusia. Sesungguhnya apa yang kamu nafkahkan dengan maksud untuk mencari rida Alah pasti kamu diberi pahala, termasuk apa yang dimakan oleh istrimu.” [HR. Bukhari, no. 4409; Muslim, no. 1628]

Empat contoh di atas diambil dari Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah karya Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah.

Kelima: Yang memberikan mudarat lagi adalah:
• Menjual rokok.
• Menimbun barang ketika sangat dibutuhkan dan stok terbatas.
• Menjadi calo hingga memborong tiket angkutan umum, sehingga tiket jadi langka dan begitu mahal.

Kaidah dari hadis
• Adh-Dharar yuzaal: Bahaya itu mesti dihilangkan.
• Adh-Dharar yudfa’u bi qodri al-imkaan: Bahaya itu dihilangkan sebisa mungkin.
• Adh-Dharar yuzalu bi adh-dhoror al-akhoff: Bahaya itu dihilangkan dengan bahaya yang lebih ringan.
• Adh-Dharar laa yuzaalu bi mitslihi: Bahaya itu tidak dihilangkan dengan yang semisalnya.
• Yahtamilu adh-dhoror al-khass adh-dhoror al-‘amm: Memikul bahaya yang lebih khusus, agar tidak mendapatkan bahaya yang sifatnya lebih umum.

Referensi:
• Fath Al-Qawi Al-Matin fi Syarh Al-Arba’in wa Tatimmat Al-Khamsin li An-Nawawi wa Ibnu Rajab rahimahumallah. Cetakan kedua, Tahun 1436 H. Syaikh ‘Abdul Muhsin bin Hamad Al-‘Abbad Al-Badr.
• Khulashah Al-Fawaid wa Al-Qawa’id min Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah. Syaikh ‘Abdullah Al-Farih.
• Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah. Cetakan ketiga, Tahun 1425 H. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin. Penerbit Dar Ats-Tsuraya.

 

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal
Sumber https://rumaysho.com/23904-hadis-arbain-32-tidak-boleh-memberikan-mudarat-sengaja-atau-pun-tidak.html

 

══════

Mari sebarkan dakwah sunnah dan meraih pahala. Ayo di-share ke kerabat dan sahabat terdekat! Ikuti kami selengkapnya di:

WhatsApp: +61 405 133 434 (silakan mendaftar terlebih dahulu)
Website: https://nasihatsahabat.com/
Email: [email protected]
Twitter: @NasihatSalaf
Facebook: https://www.facebook.com/nasihatsahabatcom/
Instagram: NasihatSahabatCom
Telegram: https://t.me/nasihatsahabat
Pinterest: https://id.pinterest.com/nasihatsahabat