بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
 
TATA CARA SALAT ID DI RUMAH
 
Setelah Allah ﷻ memberikan kita hidayah untuk beribadah dan meraih berbagai keutamaan di bulan Ramadan dan juga di sepuluh hari pertama Zulhijah, maka sebagai bentuk syukur kepada Allah kita melaksanakan Salat Id.
 
Salat Id, disebutkan juga Salat ‘Idain (dua hari raya), karena di lakukan di hari raya Idul Fitri dan hari raya Idul Adha. Salat Id adalah ibadah yang agung dan merupakan syiar Islam yang besar, sehingga Rasulullah ﷺ memerintahkan kita semua untuk keluar menghadirinya.
 
Salat Id pada asalnya dilakukan di lapangan luas. Namun ketika ada uzur dan ada kesulitan untuk mengerjakannya di lapangan, seperti sedang sakit, terlewat, atau adanya wabah, para ulama membolehkan Salat Id dilakukan di rumah. Berikut ini penjelasan ringkas tentang salat jika dilakukan di rumah.
 
Hukum Salat Id
 
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum Salat Id, menjadi tiga pendapat:
 
Pertama
 
Salat Id hukumnya Fardhu Ain. Ini adalah pendapat Madzhab Hanafi, juga salah satu pendapat Imam Ahmad. Ini juga pendapat yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Asy Syaukani, Ash Shan’ani, Syaikh Ibnu Baz dan Syaikh Ibnul Utsaimin. Mereka berdalil dengan ayat:
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
 
“Salatlah kepada Rabb-mu dan menyembelihlah.” [QS. Al Kautsar: 2]
 
Dalam ayat ini Allah ﷻ memerintahkan untuk Salat Idul Adha dan menyembelih kurban dengan fi’il amr (kata perintah]. Sedangkan hukum asal perintah adalah wajib.
 
Demikian juga hadis dari Ummu ‘Athiyyah radhiallahu’anha:
 
أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم أن نخرج ذوات الخدور يوم العيد قيل فالحيض قال ليشهدن الخير ودعوة المسلمين قال فقالت امرأة يا رسول الله إن لم يكن لإحداهن ثوب كيف تصنع قال تلبسها صاحبتها طائفة من ثوبها
 
“Rasulullah ﷺ memerintahkan wanita yang dipingit (juga wanita yang haid) pada Hari Id, untuk menyaksikan kebaikan dan seruan kaum Muslimin. Kemudian seorang wanita berkata: ‘Wahai Rasulullah, jika di antara kami ada yang tidak memiliki pakaian, lalu bagaimana?’
Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Hendaknya temannya memakaikan sebagian pakaiannya‘.” [HR. Abu Daud, no.1136. Disahihkan Al Albani di Sahih Abi Daud]
 
Dalam hadis ini Rasulullah ﷺ memerintahkan para wanita yang sedang haid dan wanita yang dipingit untuk hadir di lapangan, walau mereka tidak ikut Salat Id. Maka bagaimana lagi dengan orang yang tidak sedang haid dan bukan wanita yang dipingit?!
 
Kedua
 
Salat Id hukumnya Fardhu Kifayah. Ini adalah pendapat Madzhab Hambali. Dan juga pendapat yang dikuatkan oleh Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts wal Ifta’. Mereka berdalil dengan dalil-dalil pada pendapat pertama. Namun yang menunjukkan bahwa kewajiban di sini sifatnya kifayah di antaranya adalah hadis Dhimam bin Tsa’labah radhiallahu’anhu, tentang seorang Badui yang bertanya kepada Nabi ﷺ:
فَإِذَا هُوَ يَسْأَلُ عَنِ الإِسْلَامِ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «خَمْسُ صَلَوَاتٍ فِي اليَوْمِ وَاللَّيْلَةِ»، فَقَالَ: «هَلْ عَلَيَّ غَيْرُهَا؟» قَالَ: «لَا، إِلَّا أَنْ تَطَوَّعَ»
 
“Dia bertanya kepada Nabi ﷺ tentang Islam. Maka Rasulullah ﷺ menjawab: “Salat lima waktu sehari-semalam.” Orang tadi bertanya lagi: “Apakah ada lagi salat yang wajib bagiku?”
Nabi ﷺ menjawab: “Tidak ada, kecuali engkau ingin salat sunnah.” [HR. Bukhari no. 47, Muslim no. 11]
 
Hadis ini menunjukkan tidak ada salat yang wajib selain salat lima waktu, yaitu kewajiban yang sifatnya Fardhu Ain. Dan mereka membawa perintah untuk salat yang selain salat lima waktu kepada Fardhu Kifayah.
Ketiga
 
Salat Id hukumnya Sunnah Muakkadah. Ini adalah pendapat Jumhur Ulama, yaitu Madzhab Syafi’i, Maliki, salah satu pendapat dalam Madzhab Hanafi, salah satu pendapat imam Ahmad, dan juga ini merupakan pendapat Daud Azh Zhahiri. Di antara dalilnya adalah hadis-hadis Dhimam bin Tsa’labah di atas. Juga hadis dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu’anhuma, ia berkata:
 
لَمَّا بَعَثَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – مُعَاذًا نَحْوَ الْيَمَنِ قَالَ لَهُ « إِنَّكَ تَقْدَمُ عَلَى قَوْمٍ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَى أَنْ يُوَحِّدُوا اللَّهَ تَعَالَى فَإِذَا عَرَفُوا ذَلِكَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللَّهَ فَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِى يَوْمِهِمْ وَلَيْلَتِهِمْ ، فَإِذَا صَلُّوا فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ زَكَاةً فِى أَمْوَالِهِمْ تُؤْخَذُ مِنْ غَنِيِّهِمْ فَتُرَدُّ عَلَى فَقِيرِهِمْ ، فَإِذَا أَقَرُّوا بِذَلِكَ فَخُذْ مِنْهُمْ وَتَوَقَّ كَرَائِمَ أَمْوَالِ النَّاسِ »
 
“Ketika Nabi ﷺ mengutus Muadz ke Yaman, Rasulullah ﷺ bersabda kepadanya: “Sesungguhnya engkau akan mendatangi sebuah kaum Ahlul Kitab. Maka hendaknya yang engkau dakwahkan pertama kali adalah agar mereka menauhidkan Allah Taala. Jika mereka telah memahami hal tersebut, maka kabarkan kepada mereka, bahwa Allah mewajibkan mereka salat lima waktu dalam sehari semalam. Jika mereka mengerjakan itu (salat), maka kabarkan kepada mereka bahwa Allah juga telah mewajibkan bagi mereka untuk membayar zakat dari harta mereka, diambil dari orang-orang kaya di antara mereka, dan diberikan kepada orang-orang fakir. Jika mereka menyetujui hal itu (zakat), maka ambillah zakat harta mereka, namun jauhilah dari harta berharga yang mereka miliki.” [HR. Bukhari no. 7372 dan Muslim no. 19]
 
Dalam hadis ini disebutkan bahwa Allah hanya mewajibkan salat lima waktu.
 
Wallahu a’lam, yang rajih Salat Id hukumnya Fardhu Ain. Karena Rasulullah ﷺ sampai memerintahkan wanita yang dipingit yang tidak memiliki jilbab untuk keluar menghadirinya. Maka tidak mungkin lelaki atau wanita yang tidak memiliki uzur boleh tinggal di rumah dan tidak menghadiri salat.
 
Adapun pendalilan dengan hadis Dhimam bin Tsa’labah tidak tegas menunjukkan tidak wajibnya Salat Id, karena adanya banyak kemungkinan. Bisa jadi Nabi ﷺ bersabda demikian karena tahu orang Badui tersebut belum terpenuhi syarat-syarat wajib dari amalan wajib yang lain. Bisa jadi itu disabdakan oleh beliau ﷺ ketika belum turunnya kewajiban-kewajiban lain yang tidak disebutkan dalam hadis, dan kemungkinan lainnya [Majmu Fatawa war Rasail Syaikh Ibnu Al Utsaimin, 14/337]. Sedangkan Kaidah Ushuliyyah mengatakan: “Jika dalam suatu pendalilan terdapat banyak kemungkinan, maka batal pendalilannya.”
 
Namun kewajiban Salat Id gugur ketika ada uzur seperti dalam kondisi sakit, safar, adanya wabah. Sebagaimana kaidah fikih: “Kewajiban bergantung pada adanya kemampuan.”
 
Hukum Salat Id di Rumah
 
Orang yang tidak bisa menghadiri Salat Id berjamaah di lapangan karena suatu uzur atau orang yang terlewat darinya, disunnahkan untuk melaksanakannya di rumah. Ini adalah pendapat Jumhur Ulama, yaitu pendapat Madzhab Syafi’i, Hambali dan Maliki.
 
Dalilnya sebagaimana disebutkan Imam Al Bukhari dalam Sahih Al Bukhari:
 
باب: إذا فاتته صلاة العيد يصلي ركعتين، وكذلك النساء ومن كان في البيوت والقرى لقول النبي صلى الله عليه وسلم: “هذا عيدنا أهل الإسلام”، وأمر أنس بن مالك مولاه ابن أبي عتبة بالزاوية فجمع أهله وبنيه وصلى كصلاة أهل المصر وتكبيرهم. وقال عكرمة: أهل السواد يجتمعون في العيد يصلون ركعتين كما يصنع الإمام. وقال عطاء: إذا فاته العيد صلى ركعتين
 
“Bab: Jika seseorang terlewat Salat Id, maka ia salat dua rakaat. Demikian juga para wanita dan orang yang ada di rumah serta di pedalaman. Berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Ini adalah Id orang Islam.”
 
Dan Anas bin Malik memerintahkan pembantunya (salat dua rakaat), yaitu Ibnu Abi Utbah untuk menjadi imam, ketika berada di Zawiyah. Dan beliau mengumpulkan istrinya dan anak-anaknya, dan beliau salat seperti Salat Id yang dikerjakan penduduk kota (yang tidak sedang safar), dan dengan cara takbir yang sama.
 
Ikrimah berkata: “Ahlus Sawad (orang yang tinggal di pedalaman gurun) di hari Id mereka mengumpulkan keluarganya, lalu salat dua rakaat sebagaimana salat yang diadakan oleh imam (ulil amri)
 
Atha’ berkata: “Jika seseorang tertinggal Salat Id, maka ia salat dua rakaat.” [selesai nukilan dari Sahih Bukhari].
 
Dalam atsar ini disebutkan, Anas bin Malik radhiallahu’anhu mengumpulkan keluarganya untuk mengerjakan Salat Id berjamaah di rumah, ketika beliau sedang safar di tempat bernama Zawiyah. Ini menunjukkan disyariatkannya Salat Id di rumah secara berjamaah, ketika tidak bisa menghadiri Salat Id di lapangan. Jika dikerjakan secara berjamaah, maka posisi imam dan makmum sama seperti pada salat berjamaah yang lainnya.
 
Namun Salat Id di rumah itu boleh dikerjakan sendiri-sendiri, tidak harus berjamaah. Ibnu Qudamah rahimahullah setelah membawakan atsar dari Anas bin Malik di atas, beliau menjelaskan:
 
وفكان على صفتها، كسائر الصلوات، وهو مخير، إن شاء صلاها وحده، وإن شاء في جماعة.
 
“(Salat Id di rumah) caranya sebagaimana salat-salat yang lainnya. Dan seseorang boleh memilih. Jika ia ingin, boleh salat sendirian. Jika ia ingin, boleh salat secara berjamaah.” [Al Mughni, 2/289]
 
Al Muzanni Asy Syafi’i rahimahullah mengatakan:
 
ويصلي العيدين المنفرد في بيته ، والمسافر ، والعبد ، والمرأة
 
“Disyariatkan Salat Id sendirian di rumah bagi musafir, budak, dan wanita” (Mukhtashar Al Umm, 8/125]
 
Tata Cara Salat Id Di Rumah
 
Waktu Pelaksanaan
 
Salat Id baru boleh dilaksanakan ketika waktu Dhuha. Ini adalah pendapat Jumhur Ulama dari Madzhab Hanafi, Maliki dan Hambali, dan salah satu pendapat dalam Madzhab Syafi’i. Dimulai ketika matahari meninggi setinggi tombak sampai sebelum Zawal, yaitu ketika matahari tegak lurus. Dari Amr bin Abasah radhiallahu’anhu, ia berkata:
 
قدِم النبيُّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم المدينةَ، فقدِمْتُ المدينةَ، فدخلتُ عليه، فقلتُ: أخبِرْني عن الصلاةِ، فقال: صلِّ صلاةَ الصُّبحِ، ثم أَقصِرْ عن الصَّلاةِ حين تطلُعُ الشمسُ حتى ترتفعَ؛ فإنَّها تطلُع حين تطلُع بين قرنَي شيطانٍ، وحينئذٍ يَسجُد لها الكفَّارُ، ثم صلِّ؛ فإنَّ الصلاةَ مشهودةٌ محضورةٌ، حتى يستقلَّ الظلُّ بالرُّمح
 
“Nabi ﷺ datang ke Madinah. Ketika itu aku pun datang ke Madinah. Maka aku pun menemui beliau, lalu aku berkata: “Wahai Rasulullah, ajarkan aku tentang salat.”
Beliau ﷺ bersabda: “Kerjakanlah Salat Subuh. Kemudian janganlah salat ketika matahari sedang terbit sampai ia meninggi. Karena ia sedang terbit di antara dua tanduk setan. Dan ketika itulah orang-orang kafir sujud kepada matahari. Setelah ia meninggi, baru salatlah. Karena salat ketika itu dihadiri dan disaksikan (malaikat), sampai bayangan tombak mengecil.” [HR. Muslim no. 832]
 
Sebagian ulama mengatakan, bahwa waktu Dhuha itu sekitar 15 menit setelah matahari terbit. Syaikh Abdul Aziz bin Baz menjelaskan:
 
ووقتها يبتدئ من ارتفاع الشمس قيد رمح في عين الناظر، وذلك يقارب ربع ساعة بعد طلوعها
 
“Waktu Salat Dhuha adalah dimulai ketika matahari meninggi setinggi tombak bagi orang yang melihatnya (matahari). Dan itu sekitar 15 menit setelah ia terbit.” [Fatawa Ibnu Baz, https://ar.islamway.net/fatwa/14645]
 
Dan boleh mengerjakan sepanjang waktu setelah masuk waktu Dhuha sampai Zawal (waktu Zuhur). Itu adalah batasan akhir waktu Salat Id. Dari Abu Umari bin Anas bin Malik, ia berkata:
 
حدَّثني عُمومتي، من الأنصارِ من أصحابِ رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم قالوا: أُغْمَي علينا هلالُ شوال، فأصبحنا صيامًا، فجاءَ ركبٌ من آخِر النهار، فشهِدوا عندَ النبيِّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم أنَّهم رأوُا الهلالَ بالأمس، فأمَرَهم رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم أن يُفطِروا، وأنْ يَخرُجوا إلى عيدِهم من الغدِ
 
“Paman-paman kami dari kalangan sahabat Anshar menuturkan kepada kami, mereka mengatakan: Pernah kami tidak bisa melihat hilal Syawal. Maka keesokan paginya kami masih berpuasa. Kemudian datanglah rombongan kafilah pada waktu sore hari, dan mereka bersaksi di hadapan Nabi ﷺ, bahwa mereka telah melihat hilal kemarin malam. Maka Rasulullah ﷺ memerintahkan orang-orang untuk berbuka dan keluar menuju Salat Id besok harinya.” [HR. Ibnu Majah no.1348, Ahmad no.20603, disahihkan Al Albani dalam Sahih Ibnu Majah]
 
Dalam hadis ini Rasulullah ﷺ baru mengetahui terlihatnya hilal di sore hari, namun mereka tidak mengerjakan Salat Id di waktu tersebut. Beliau menunda hingga esok hari. Menunjukkan bahwa Salat Id memiliki batas waktu akhir, yaitu ketika Zawal. Dan ulama Ijma akan hal ini.
 
Jumlah Jamaah
 
Ulama berbeda pendapat tentang jumlah peserta Salat Jumat dan Salat Id, sehingga bisa sah disebut sebagai salat secara berjamaah. Para ulama menyamakan pembahasan masalah ini antara Salat Jumat dan Salat Id.
 
Terdapat beberapa riwayat dari Imam Ahmad, bahwa beliau mensyaratkan 7 orang (1 imam dan 6 makmum). Dalam riwayat lain lima orang (1 imam dan 4 makmum). Dalam riwayat lain 4 orang (1 imam dan 3 makmum). Dalam riwayat lain tiga orang [Hasyiyah Al Akhshar Libni Badran, 127]. Pendapat yang dikuatkan oleh Daud Azh Zhahiri dan Asy Syaukani adalah 2 orang (1 imam dan 1 makmum), sebagaimana Salat Fardhu.
 
Pendapat yang dirajihkan Syaikhul Islam, minimal Salat Jumat dan juga Salat Id adalah tiga orang, yaitu 1 orang imam dan 2 orang makmum. Karena kata “Jamaah” dalam bahasa Arab ini artinya “sekelompok orang”, yang minimal jumlahnya 2. Dan tercapai jamaah jika makmumnya minimal ada 2. Syaikh Abdul Aziz bin Baz juga mengatakan:
 
واختلف العلماء في العدد المشترط لهما، وأصح الأقوال أن أقل عدد تقام به الجمعة والعيد ثلاثة فأكثر، أما اشتراط الأربعين فليس له دليل صحيح يعتمد عليه
 
“Ulama khilaf mengenai jumlah yang dipersyaratkan (dalam jamaah Salat Id). Pendapat yang lebih tepat dalam masalah ini adalah, bahwa jumlah minimal peserta Salat Jumat dan Salat Id adalah tiga orang atau lebih. Adapun memersyaratkan 40 orang, maka ini tidak ada landasan dalilnya yang sahih.” [Majmu Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, juz 13 halaman 12]
 
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin mengatakan:
 
أقربُ الأقوال إلى الصواب: أنها تنعقد بثلاثة، وتجِب عليهم
 
“Pendapat yang paling mendekati kebenaran, bahwa jumlah minimalnya adalah tiga orang, dan tiga orang ini harus orang yang sudah terkena kewajiban Salat Jumat.” [Asy Syarhul Mumthi’, 5/41]
 
Namun Salat Id di rumah itu boleh dikerjakan sendiri-sendiri, tidak harus berjamaah, sebagaimana telah dijelaskan di atas.
 
Azan dan Iqamah
 
Dalam Salat Id di lapangan maupun di rumah, tidak disyariatkan azan atau iqamah. Diriwayatkan dari Jabir radhiallahu’anhu, beliau mengatakan:
 
شهدتُ مع النبيِّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم الصلاةَ يومَ العيدِ، فبدأ بالصَّلاةِ قبلَ الخُطبة بغيرِ أذانٍ ولا إقامةٍ
 
“Aku pernah menghadiri Salat Id bersama Nabi ﷺ. Beliau memulai dengan salat sebelum khotbah, tanpa ada azan maupun iqamah.” [HR. Bukhari no. 960, Muslim no. 886]
 
Tidak Ada Ucapan “Ash Salatu Jamiah”
 
Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan:
 
كان صلَّى اللهُ عليه وسلَّم إذا انتهى إلى المصلَّى، أخَذ في الصَّلاة من غير أذانٍ ولا إقامة، ولا قول: الصلاة جامعة، والسُّنة: أنه لا يُفعل شيءٌ من ذلك
 
“Nabi ﷺ ketika sampai di lapangan, beliau memulai Salat Id tanpa azan dan iqamah. Juga tidak ada ucapan “Ash salatu jami’ah”. Yang sesuai sunnah adalah tidak melakukan itu semua sama sekali.” [Zaadul Ma’ad, 1/442]
 
Niat Salat Id
 
Niat salat di cukup di dalam hati, tidak perlu dilafalkan. Rasulullah ﷺ tidak pernah mengajarkan lafal niat Salat Id atau lafal niat salat-salat yang lain. Tidak terdapat dalil bahwa beliau memulai salat dengan membaca suatu bacaan. Bahkan dalam hadis dari ‘Aisyah radhiallahu’anha, ia berkata:
 
كان رسول الله – صلى الله عليه وسلم – يستفتح الصَّلاة بالتّكبير
 
“Biasanya Rasulullah ﷺ memulai salatnya dengan takbir.” [HR. Muslim, no.498]
 
Menunjukkan tidak ada pelafalan niat salat. Demikian juga praktik salat para sahabat Nabi ridwanullah ‘alaihim ajma’in.
 
Abu Abdillah Muhammad bin Al Qasim At Tunisi Al Maliki berkata:
 
النيّة من أعمال القلوب، فالجهر بها بدعة، مع ما في ذلك من التشويش على الناس
 
“Niat itu termasuk amalan hati. Mengeraskannya bidah. Lebih lagi jika perbuatan itu membuat berisik orang lain.” [Majmuah Ar Rasail Al Kubra, 1/254-257]
 
Cukup hadirkan dalam hati, bahwa Anda akan melaksanakan Salat Id. Atau jika berjamaah, maka hadirkan niat salat sebagai imam atau sebagai makmum.
 
Jumlah Rakaat
 
Ulama berbeda pendapat dalam masalah jumlah rakaat Salat Id ketika dilakukan di rumah.
 
Pendapat Pertama: Dua Rakaat
 
 
Dalilnya adalah perbuatan Anas bin Malik radhiallahu’anhu, juga riwayat dari Ikrimah dan Atha’ yang sudah disebutkan di atas. Demikian juga diriwayatkan dari Ma’mar bin Abdillah radhiallahu’anhu:
 
إن فاتـت إنساناً الخطبة أو الصلاة يوم فطر أو أضحى ثم حضر بعد ذلك فإنه يصلي ركعتين
 
“Jika seseorang terlewat khotbah atau salat di hari Idul Fitri atau Idul Adha, kemudian ia baru hadir setelah itu, maka ia salat dua rakaat.” [HR. Abdurrazzaq dalam Al Mushannaf 3/301]
 
Qatadah juga mengatakan:
 
من فاتته صلاة يوم الفطر صلى كما يصلي الإمام
 
“Orang yang terlewat salat di hari Idul Fitri, maka ia salat sebagaimana salatnya imam (ulil amri].” [HR. Abdurrazzaq dalam Al Mushannaf 3/300]
 
Yaitu dua rakaat. Perkataan semisal juga diriwayatkan dari Ibrahim An Nakha’i dan Hammad bin Salamah. Inilah pendapat yang rajih, karena merupakan praktik dan pendapat Jumhur Salaf, dan juga merupakan Jumhur Ulama.
 
Pendapat Kedua: Empat Rakaat
 
Di antara dalilnya adalah riwayat dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu’anhu:
 
من فاته العيد فليصل أربعا، ومن فاتته الجمعة فليصل أربعا
 
“Barang siapa yang terlewat Salat Id, maka kerjakanlah salat empat rakaat. Barang siapa yang terlewat Salat Jumat, maka kerjakanlah salat empat rakaat.” [HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf no. 5850]
 
Ini juga adalah pendapat dari Sufyan Ats Tsauri rahimahullah. Namun Syaikh Al Albani dalam Irwaul Ghalil (3/121) mengatakan, bahwa riwayat Ibnu Mas’ud ini lemah karena munqathi’.
 
Namun praktik Salat Id empat rakaat ini diberi kelonggaran oleh sebagian ulama. Barang siapa yang mempraktikkannya, maka tidak kita ingkari. Ibnu Qudamah mengatakan:
 
فهو مخير، إن شاء صلاها أربعا، إما بسلام واحد ، وإما بسلامين
 
“Orang yang terlewat Salat Id, boleh memilih. Kalau ia ingin, ia boleh mengerjakan salat empat rakaat. Boleh dengan satu salam atau juga dengan dua salam.” [Al Mughni, 2/289]
 
Jumlah Takbir
 
Ketika Salat Id bertakbir sebanyak tujuh kali pada rakaat pertama, atau lima kali pada rakaat kedua. Takbir ini dinamakan Takbir Zawaid (tambahan). Hukumnya sunnah, dan ini adalah pendapat Jumhur Ulama dari Madzhab Hambali, Syafi’i dan Maliki. Dalilnya hadis ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, beliau berkata:
 
أن رسول الله – صلى الله عليه وسلم – كان يكبر في الفطر والأضحى: في الأولى سبع تكبيرات، وفي الثانية خمساً، سوى تكبيرتي الركوع
 
“Rasulullah ﷺ biasanya bertakbir pada Salat Idul Fitri dan Idul Adha tujuh kali di rakaat pertama, dan lima kali di rakaat kedua. Tidak termasuk takbir untuk rukuk.” [HR. Abu Daud 1150, Ibnu Majah 1280, disahihkan Al Albani dalam Irwaul Ghalil no.639]
 
Ulama sepakat, bahwa lima takbir di rakaat kedua tidak termasuk Takbir Intiqal (ketika bangun dari sujud). Sehingga total takbir di awal rakaat kedua adalah enam takbir.
 
Namun ulama khilaf, apakah tujuh takbir di rakaat pertama itu termasuk Takbiratul Ihram, ataukah tidak termasuk. Madzhab Hambali mengatakan tujuh takbir sudah termasuk Takbiratul Ihram. Yaitu satu Takbiratul Ihram, dan enam takbir tambahan. Dalam matan Al Akhshar disebutkan:
 
يكبر في الأولى بعد الإستفتاح و قبل التعوذ و القراءة ستا
 
“Bertakbir di rakaat pertama setelah membaca Istiftah dan sebelum membaca ta’awwudz dan Al Fatihah, sebanyak enam takbir.”
 
Ini juga merupakan pendapat Madzhab Maliki.
 
Sedangkan Syafi’iyyah berpendapat, bahwa tujuh takbir di rakaat pertama itu tidak termasuk Takbiratul Ihram. Sehingga 1 Takbiratul Ihram, dan tujuh takbir tambahan, total ada 8 takbir. Ini juga yang dirajihkan oleh Syaikh Shalih Al Fauzan, beliau berkata:
 
كما مر في الحديث سبع بعد تكبرة الإحرام و خمسة بعد تكبرات الإنتقال في الركعة الثانية
 
“Sebagaimana disebutkan dalam hadis, tujuh takbir setelah Takbiratul Ihram dan lima takbir setelah takbir intiqal di rakaat kedua” (Sumber: https://www.youtube.com/watch?v=tMRu2R1kRE8]
 
Ini pendapat yang lebih kami condongi, wallahu a’lam.
 
Mengangkat Tangan Ketika Takbir
 
Jumhur Ulama dari Madzhab Hambali, Syafi’i dan Hanafi menganjurkan mengangkat tangan ketika setiap kali takbir dalam Salat Id. Mereka berdalil dengan keumuman hadis dari Malik bin Huwairits radhiallahu’anhu:
 
إذا صلَّى كبَّر ورفَع يدَيهِ، وإذا أراد أن يركَع رفَع يدَيهِ، وإذا رفَع رأسَه من الرُّكوعِ رفَع يدَيهِ
 
“Nabi ﷺ dalam salat ketika beliau bertakbir, beliau mengangkat kedua tangannya. Ketika hendak rukuk, beliau mengangkat kedua tangannya. Dan ketika mengangkat kepalanya dari rukuk, beliau mengangkat kedua tangannya.” [HR. Al Bukhari, no. 737]
 
 
Juga keumuman hadis Wail bin Hujr radhiallahu’anhu, ia berkata:
 
رأيتُ رسول الله – صلَّى الله عليه وسلَّم – يرفع يدَيْه مع التكبير
 
“Aku melihat Rasulullah ﷺ mengangkat kedua tangannya bersamaan dengan takbir.” [HR. Ahmad [4/316], dihasankan Al Albani dalam Ashl Sifati Salatin Nabi [1/195]]
 
Ini juga pendapat yang dikuatkan oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz dan Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin. Ini pendapat yang rajih, insyaAllah.
 
Sebagian ulama berpendapat tidak disyariatkan mengangkat tangan dalam takbir Zawaid karena tidak ada dalil yang mendasarinya. Ini adalah pendapat Imam Malik dan Sufyan Ats Tsauri, dan dikuatkan oleh Syaikh Al Albani rahimahullah.
 
Surat Yang Dibaca
 
Rasulullah ﷺ biasanya membaca Surat Al A’laa dan Al Ghasiyah, terutama jika Hari Id jatuh pada hari Jumat, atau terkadang juga Surat Qaf dan Al Qamar.
 
Dari An Nu’man bin Basyir radhiallahu’anhu, ia berkata:
 
كان النبيُّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم يقرأُ في العيدينِ وفي الجُمُعةِ: بـسَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى، وهَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الغَاشِيَةِ، وربَّما اجتمعَا في يومٍ واحدٍ، فيقرأ بهما
 
“Nabi ﷺ dalam Salat Id dan Salat Jumat biasa membaca “Sabbihisma Rabbikal a’laa” (Surat Al A’laa) dan “Hal ataaka hadiitsul ghasyiyah” (Surat Al Ghasyiyah). Dan terkadang Hari Id bersamaan dengan hari Jumat, beliau membaca surat tersebut.” [HR. Muslim no. 878]
 
Dari Abu Waqid Al Laitsi radhiallahu’anhu, ia berkata:
 
كان رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم يقرأُ في الفِطرِ والأضحى بـق واقْتَرَبَتِ السَّاعَةُ
 
“Biasanya Rasulullah ﷺ dalam Salat Idul Fitri dan Idul Adha membaca Surat Qaf dan Surat “Iqtarabatis saa’ah” (Surat Al Qamar]” [HR. Muslim no. 891]
 
Dianjurkan membaca surat-surat di atas dgalam rangka meneladani Rasulullah ﷺ. Namun boleh juga membaca surat-surat lain dari Alquran.
 
Khotbah Id
 
Asalnya dalam Salat Id disyariatkan khotbah setelahnya. Sebagaimana dalam hadis Ibnu Abbas radhiallahu’anhu:
 
شهدتُ العيد مع رسول الله – صلى الله عليه وسلم – وأبي بكر وعمر وعثمان رضي الله عنهم، فكلهم كانوا يُصَلُّون قبل الخُطبة
 
“Aku ikut Salat Id bersama Rasulullah ﷺ, Abu Bakar, Umar dan Utsman radhiallahu’anhum. Mereka semua salat sebelum khotbah.” [HR. Bukhari no.962, Muslim no.884]
 
Melaksanakan khotbah dan mendengarkan khotbah hukumnya sunnah, dan tidak berpengaruh pada keabsahan Salat Id jika meninggalkannya. Ini adalah kesepakatan ulama Empat Madzhab. Beradasarkan hadis:
إنَا نخطب، فمن أحب أن يجلس للخطبة فليجلس، ومن أحب أن يذهب فليذهب
 
“Aku (Rasulullah) akan berkhotbah. Siapa yang ingin duduk mendengarkan, silakan. Siapa yang ingin pergi, juga silakan.” [HR. Abu Daud no.1155, disahihkan Al Albani dalam Sahih Al Jami no. 2289]
 
Andaikan khotbah Id itu wajib, maka akan diwajibkan pula untuk mendengarkannya.
 
Adapun ketika Salat Id dilakukan di rumah, sebagian ulama tetap menganjurkan untuk ada khotbah, ketika dilakukan secara berjamaah di rumah. Dalilnya, mereka mengqiyaskan dengan Salat Id dilapangan. Dalam kitab Mughnil Muhtaj (1/589) disebutkan:
 
ويسن بعدهما خطبتان للجماعة تأسيا به – صلى الله عليه وسلم – وبخلفائه الراشدين، ولا فرق في الجماعة بين المسافرين وغيرهم
 
“Disunnahkan setelah Salat Id ada khotbah bagi jamaah dalam rangka mencontoh Nabi ﷺ dan para Khulafa Ar Rasyidin. Tidak ada perbedaan antara jamaah musafir maupun selain mereka.”
 
Namun wallahu a’lam, yang lebih tepat dalam hal ini adalah tidak ada khotbah ketika Salat Id dilakukan di rumah. Sebagaimana praktik para salaf yang telah disebutkan riwayat-riwayatnya, dari Anas bin Malik, Ma’mar bin Abdillah, Ikrimah, Atha’, Qatadah, Ibrahim An Nakha’i dan lainnya, tidak menyebutkan bahwa mereka melakukan khotbah ketika tertinggal Salat Id atau ketika melakukan Salat Id di rumah.
 
Syaikh Abdurrahman bin Nashri Al Barrak ketika ditanya mengenai cara melaksanakan Salat Id di rumah karena adanya wabah, beliau menjelaskan:
 
فإنَّ صلاةَ العيد إذا تعذَّرت إقامتُها لمانعٍ، كما في هذه الأيام، فحكمُها هو حكمُ مَن فاتته هذه الصَّلاة، أعني صلاةَ العيد . وللعلماء في ذلك مذاهب، قيلَ: يُصلِّيها ركعتين، وقيلَ: أربعًا.
 
وقيلَ: يُصلِّيها على صفتها، وهو الصَّحيح، أي: يُصلِّيها ركعتين، ويُكبِّر التَّكبيرات الزَّوائد، ويجهرُ فيها بالقراءة ولا يخطب، كما هو الشَّأن في كلِّ عبادة مقضيَّة، أنَّها تؤدَّى على صفتها، وتُصلَّى فرادى وجماعة.
 
ويدلُّ لذلك فعلُ أنسٍ بن مالك -رضي الله عنه- أنَّه إذا فاتته صلاةُ العيد جمعَ أهله وبنيه، ثم قامَ عبدُ الله بن أبي عتبة مولاه فصلَّى بهم ركعتين، يكبرُ فيهما، كصلاة أهل المصر وتكبيرهم
 
 
“Salat Id ketika tidak bisa dilakukan (secara normal) karena ada penghalang sebagaimana kondisi sekarang ini, maka hukumnya sama dengan hukum orang yang terlewat Salat Id. Ada beberapa pendapat ulama dalam masalah ini. Sebagian ulama mengatakan: Salat dua rakaat. Sebagian lagi mengatakan: Salat empat rakaat.
 
Sebagian lagi mengatakan: Salat sebagaimana tata cara asalnya. Inilah pendapat yang tepat. Yaitu salat dua rakaat, bertakbir dengan takbir Zawaid, mengeraskan suara bacaannya, dan tidak ada khotbah. Sebagaimana tata cara semua ibadah yang di-qadha, maka dikerjakan sebagaimana tata cara asalnya. Boleh dikerjakan secara sendirian, boleh juga berjamaah.
 
Ini ditunjukkan oleh perbuatan Anas bin Malik radhiallahu’anhu, bahwasanya ketika ia terlewat Salat Id, maka beliau mengumpulkan istrinya dan anaknya, kemudian Abdullah bin Abi Utbah pembantu beliau mengimami mereka salat dua rakaat. Ia bertakbir (Zawaid) dalam salatnya, sebagaimana salat dan takbirnya penduduk kota (yang tidak sedang safar)” (Sumber: https://sh-albarrak.com/article/18234]
 
Tidak Ada Salat Qabliyah dan Bakdiyah
 
Tidak ada salat khusus sebelum (qabliyah) atau setelah (bakdiyah) Salat Id. Dalilnya hadis Ibnu ‘Abbas radhiallahu’anhu, beliau berkata:
 
أن النبي – صلى الله عليه وسلم – صلى يوم الفطر ركعتين، لم يُصَلِّ قبلَها ولا بعدها
 
“Nabi ﷺ salat di hari Idul Fitri dua rakaat tanpa menyambung dengan salat sebelum atau sesudahnya.” [HR. Bukhari no. 989]
 
Urutan Cara Salat Id di Rumah
 
Dari uraian di atas, kesimpulan urutan tata cara Salat Id ketika dikerjakan di rumah adalah sebagai berikut:
 
1. Jika dikerjakan secara berjamaah, maka orang-orang menempatkan diri pada posisi imam dan makmum sebagaimana dalam salat jamaah. Imam memerintahkan para makmum untuk meluruskan dan merapatkan saf. Namun Salat Id di rumah boleh juga dikerjakan sendiri-sendiri.
2. Tidak ada salat qabliyah
3. Tidak ada azan atau iqamah
4. Tidak ada ucapan “Ash salatu jami’ah”
5. Niat Salat Id dalam hati, tidak perlu dilafalkan
6. Takbiratul Ihram (satu kali)
7. Takbir Zawaid (tujuh kali)
8. Membaca Doa Istiftah
9. Membaca Ta’awwudz
10. Membaca Basmalah
11. Membaca Al Fatihah
12. Mengucapkan “Amiin”
13. Membaca Surat Al A’laa, atau boleh juga surat yang lain
14. Takbir Intiqal menuju rukuk …. dan seterusnya sama seperti salat biasanya, sampai sujud kedua.
15. Bangkit dari sujud sambil Takbir Intiqal
16. Takbir Zawaid (lima kali)
17. Membaca Ta’awwudz
18. Membaca Basmalah
19. Membaca Al Fatihah …. dan seterusnya sama seperti salat biasanya sampai salam
20. Membaca zikir setelah salat dan tidak ada khotbah
 
Demikian pemaparan singkat mengenai tata cara Salat Id ketika dilakukan di rumah.
Mudah-mudahan bermanfaat.
Wallahu waliyyut taufik was sadaad.
 
 
Penulis: Yulian Purnama
 
Ikuti kami selengkapnya di:
WhatsApp: +61 (450) 134 878 (silakan mendaftar terlebih dahulu)
Website: https://nasihatsahabat.com/
Twitter: @NasihatSalaf
Facebook:
https://www.facebook.com/nasihatsahabatcom/
Instagram: NasihatSahabatCom
Telegram: https://t.me/nasihatsahabat
Pinterest: https://id.pinterest.com/nasihatsahabat
Baca juga:
TATA CARA SALAT ID DI RUMAH