بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

 

SIMPANAN YANG TAK AKAN SIRNA

 

Manusia umumnya gemar menumpuk atau menimbun harta. Namun mungkin tak pernah disadari, bahwa harta mereka yang hakiki adalah yang dipergunakan kepada kebaikan.

Banyak orang berlomba-lomba mencari harta dan menabungnya untuk simpanan di hari tuanya. Menyimpan harta tentunya tidak dilarang, selagi ia mencarinya dari jalan yang halal, dan menunaikan apa yang menjadi kewajibannya atas harta tersebut, seperti zakat dan nafkah yang wajib.

Namun ada simpanan yang jauh lebih baik dari itu, yaitu amal ketaatan dengan berbagai bentuknya yang ia suguhkan untuk Hari Akhir. Suatu hari yang tidak lagi bermanfaat harta, anak, dan kedudukan. Harta memang membuat silau para pecintanya, dan membius mereka sehingga seolah harta segala-galanya. Tak heran jika banyak orang menempuh cara yang tidak dibenarkan oleh syariat dan fitrah kesucian, seperti korupsi, mencuri, dan menipu.

Padahal betapa banyak orang bekerja namun ia tidak bisa mengenyam hasilnya. Tidak sedikit pula orang menumpuk harta, namun belum sempat ia merasakannya, kematian telah menjemputnya, sehingga hartanya berpindah kepada orang lain. Orang seperti ini jika tidak memiliki amal kebaikan, maka ia rugi di dunia dan di Akhirat. Sungguh betapa sengsaranya.

Allah ﷻ berfirman:

ٱلْمَالُ وَٱلْبَنُونَ زِينَةُ ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا ۖ وَٱلْبَٰقِيَٰتُ ٱلصَّٰلِحَٰتُ خَيْرٌ عِندَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلًا

“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia. Tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Rabbmu, serta lebih baik untuk menjadi harapan.” [QS. Al-Kahfi: 46]

Dan firman-Nya:

مَا عِندَكُمْ يَنفَدُ ۖ وَمَا عِندَ ٱللَّهِ بَاقٍ

“Apa yang di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal.” [QS. An-Nahl: 96]

Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullahu meriwayatkan dengan sanadnya dari sahabat Tsauban radhiyallahu ‘anhu ia berkata: “Tatkala turun ayat:

وَٱلَّذِينَ يَكْنِزُونَ ٱلذَّهَبَ وَٱلْفِضَّةَ

“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak…” [QS. At-Taubah: 34]

Tsauban radhiyallahu ‘anhu berkata: Dahulu kami bersama Nabi ﷺ pada sebagian safarnya. Lalu sebagian sahabat berkata: “Telah diturunkan ayat mengenai emas dan perak seperti apa yang diturunkan. Kalau seandainya kita tahu, harta apa yang terbaik untuk kami miliki?” Maka Nabi ﷺ bersabda:

أَفْضَلُهُ لِسَانًا ذَاكِرًا، وَقَلْبًا شَاكِرًا، وَزَوْجَةً مُؤْمِنَةً تُعِينُهُ عَلَى إِيمَانِهِ

“Yang utama adalah lisan yang berzikir, hati yang syukur, dan istri mukminah yang membantunya (dalam melaksanakan) agamanya.” [HR. Sahih Sunan At-Tirmidzi, 3/246-247, no. 3094, cet. Al-Ma’arif]

Tingkatan-tingkatan Amalan

Amal ketaatan yang dijadikan sebagai simpanan memiliki tingkatan keutamaan dari sisi penekanan dalam pelaksanaannya, dan dari sisi pengaruh yang muncul darinya. Adapun dari sisi penekanan, amal-amal yang wajib didahulukan dari yang sunnah. Disebutkan dalam Hadis Qudsi bahwa Allah ﷻ berfirman:

وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيهِ

“Dan tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang paling Aku cintai dari apa yang Aku wajibkan atasnya.” [HR. Al-Bukhari, no. 6502]

Demikian pula sesuatu yang maslahatnya lebih besar didahulukan dari yang lebih kecil. Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata:

طَلَبُ الْعِلْمِ أَفْضَلُ مِنْ صَلَاةِ النَّافِلَةِ

“Menimba ilmu lebih utama daripada salat Sunnah.” [Mawa’izh Al-Imam Asy-Syafi’i, hal. 53]

Hal itu karena manfaat dari ilmu sangat luas, yaitu untuk dia dan orang lain. Demikian pula suatu amalan lebih mulia dari yang lainnya karena kondisi, waktu, tempat, dan orang yang melakukannya. Suatu contoh, sedekah yang dikeluarkan oleh sahabat Nabi ﷺ, walaupun sebesar dua cakupan tangan, tidak bisa tertandingi nilainya dengan sedekah kita, meskipun sebesar gunung Uhud. Dalam kondisi seorang tidak bisa menggabungkan antara amalan yang mulia dengan yang di bawahnya, maka dia mendahulukan yang lebih mulia. Termasuk kesalahan jika seorang mementingkan amalan yang sunnah sehingga meninggalkan yang wajib.

Luasnya Rahmat Allah ﷻ

Kasih sayang Allah ﷻ terhadap hamba-Nya begitu luas. Kalau saja orang kafir dan ahli maksiat di dunia ini masih selalu diberi rezeki oleh Allah ﷻ, padahal mereka berada di atas kesesatannya, maka tentunya orang yang beriman dan beramal saleh akan mendapatkan berbagai limpahan nikmat dan karunia-Nya di dunia ini, serta terus bersambung hingga di Hari Kiamat nanti. Allah ﷻ berfirman:

مَنْ عَمِلَ صَٰلِحًا مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُۥ حَيَوٰةً طَيِّبَةً ۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ

“Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” [QS. An-Nahl: 97]

Orang yang menggabungkan antara iman dan amal saleh akan Allah ﷻ beri kehidupan yang baik di dunia ini, berupa tentramnya jiwa dan rezeki yang halal lagi baik. Adapun di Akhirat kelak, dia akan memeroleh berbagai kelezatan yang mata belum pernah melihatnya, telinga belum pernah mendengarnya, dan belum pernah terbetik dalam hati manusia.

Termasuk bentuk luasnya rahmat Allah ﷻ adalah dilipatgandakannya pahala amalan, sebagaimana firman Allah ﷻ:

مَن جَآءَ بِٱلْحَسَنَةِ فَلَهُۥ عَشْرُ أَمْثَالِهَا ۖ وَمَن جَآءَ بِٱلسَّيِّئَةِ فَلَا يُجْزَىٰٓ إِلَّا مِثْلَهَا وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ

“Barang siapa membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya. Dan barang siapa yang membawa perbuatan yang jahat, maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikit pun tidak dianiaya(dirugikan).” [QS. Al-An’am: 160]

Demikian pula amal kebaikan akan mengangkat derajat pelakunya dan menghapus dosa yang dilakukannya.

Berkah Keikhlasan

Tidak akan pernah merugi orang yang mendekatkan diri kepada Allah ﷻ dengan amalan yang sesuai petunjuk syariat, dan dibarengi dengan keikhlasan hati. Orang yang memiliki sifat tersebut akan mendapat berkah pada hartanya, anak keturunannya, dirinya, serta akan diselamatkan dari marabahaya. Dahulu, di zaman Bani Israil ada seorang lelaki yang saleh lalu wafat dan meninggalkan dua anaknya sebagai anak yatim. Kedua anak tersebut, karena kecil dan lemahnya, Allah ﷻ jaga harta warisan dari orang tuanya sehingga tidak hilang atau rusak, seperti dalam Surat Al-Kahfi ayat 82.

Suatu ketika ada tiga orang dari umat sebelum Nabi Muhammad ﷺ bermalam di suatu goa. Ketika mereka berada di dalamnya, tiba-tiba jatuh batu besar hingga menutupi pintunya. Mereka yakin bahwa mereka tidak akan bisa keluar kecuali dengan ber-tawassul (menjadikan amal sebagai perantara) kepada Allah ﷻ. Masing-masing menyebutkan amalannya yang ia pandang paling ikhlas. Allah ﷻ kabulkan permohonan mereka. Batu tersebut bergeser sehingga mereka bisa keluar dari goa.

Perhatikanlah, bahwa orang yang mengenal Allah ﷻ dengan melakukan berbagai ketaatan di saat lapang, maka Allah ﷻ akan mengenalnya di saat dia susah. Sungguh manusia mendambakan kedamaian hidup dan terhindar dari berbagai bencana, tetapi mereka tidak mendapatkannya kecuali ketika mereka tunduk terhadap aturan Allah ﷻ dan bersimpuh di hadapan-Nya.

Tidak Meremehkan Kebaikan Sekecil Apapun

Allah Maha Adil dan tidak menzalimi hamba-Nya. Barang siapa yang melakukan kebaikan sekecil apapun, pasti dia akan melihat balasan kebaikannya. Sebagaimana kalau ia berbuat dosa selembut apapun, niscaya dia melihat pembalasannya. Nabi ﷺ bersabda:

يَا نِسَاءَ الْمُسْلِمَاتِ لَا تَحْقِرَنَّ جَارَةٌ لِجَارَتِهَا وَلَوْ فِرْسِنَ شَاةٍ

“Wahai wanita muslimah, janganlah seorang tetangga menganggap remeh (pemberian) tetangganya, walaupun sekadar kaki kambing.” [HR. Al-Bukhari dalam Kitabul Adab dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu]

Hadis ini adalah larangan bagi yang akan memberikan hadiah untuk menganggap remeh apa yang akan ia berikan kepada tetangganya, walaupun sesuatu yang sedikit. Karena yang dinilai adalah keikhlasan dan kepedulian terhadap tetangganya. Juga, karena memberi sesuatu yang banyak tidak bisa dimampu setiap saat. Demikian pula hadis ini melarang orang yang diberi hadiah dari meremehkan pemberian tetangganya. [Lihat Fadhlullah Ash-Shamad, 1/215-216]

Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan hadis Nabi ﷺ:

أَنَّ امْرَأَةً بَغِيًّا رَأَتْ كَلْبًا فِى يَوْمٍ حَارٍّ يُطِيفُ بِبِئْرٍ قَدْ أَدْلَعَ لِسَانَهُ مِنَ الْعَطَشِ فَنَزَعَتْ لَهُ بِمُوقِهَا فَغُفِرَ لَهَا

“Ada seorang wanita pezina melihat seekor anjing di hari yang panasnya begitu terik. Anjing itu mengelilingi sumur tersebut sambil menjulurkan lidahnya karena kehausan. Lalu wanita itu melepas khuf (sepatu dari kulit yang menutupi mata kaki) miliknya, kemudian ia mengambil air dengannya, dan memberi minum anjing tersebut. Maka ia diampuni (oleh Allah ﷻ) karenanya.” [Riyadhush Shalihin, Bab ke-13, hadis no. 126]

Karena memberi minum seekor binatang yang kehausan, dia mendapatkan ampunan dari Allah ﷻ. Maka orang yang memberi minum manusia, baik dengan cara menggali sumur atau mengalirkan parit dan semisalnya, tentunya sangat besar pahalanya di sisi Allah ﷻ. Sebagaimana sabda Nabi ﷺ:

سبعٌ يجري للعبد أجرهن وهو في قبره بعد موته : من علَّم عِلْماً ، أو أجرى نهراً ، أو حَفَر بئراً ، أو غرس نخلاً أو بنى مسجداً ، أو ورَّث مصحفاً ، أو ترك ولداً يستغفر له بعد موته

“Tujuh (perkara) yang pahalanya mengalir bagi hamba sedangkan dia berada di kuburannya setelah matinya: (yaitu) orang yang mengajarkan ilmu, atau mengalirkan sungai, atau menggali sumur, atau menanam pohon kurma, atau membangun masjid atau mewariskan (meninggalkan) mushaf (Alquran), atau meninggalkan anak yang memintakan ampunan baginya setelah matinya.” [HR. Al-Bazzar dan dihasankan oleh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Al-Jami’, no. 3602]

Dan tersebut dalam hadis:

مَرَّ رَجُلٌ بِغُصْنِ شَجَرَةٍ عَلَى ظَهْرِ طَرِيقٍ، فَقَالَ: وَاللهِ لَأُنَحِّيَنَّ هَذَا عَنِ الْمُسْلِمِينَ لَا يُؤْذِيهِمْ فَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ

“Ada seorang lelaki melewati suatu dahan pohon di tengah jalan lalu dia mengatakan: ‘Demi Allah, aku akan menyingkirkan dahan ini dari kaum Muslimin, sehingga tidak mengganggu mereka.’ Maka orang tersebut dimasukkan (oleh Allah ﷻ) ke dalam Jannah (Surga).” [HR. Muslim, Riyadhus Shalihin Bab Fi Bayani Katsrati Thuruqil Khair)

Coba renungkan hadis tadi dengan baik. Bagaimana orang tersebut dimasukkan ke dalam Jannah karena melakukan cabang keimanan yang terendah, yaitu menyingkirkan gangguan dari jalan. Bagaimana kiranya orang yang melakukan cabang iman yang lebih tinggi dari itu?

Inti dari ini semua, lapangan untuk kita beramal saleh sangatlah banyak. Jika kita tidak mampu mengamalkan suatu kebaikan, maka ada pintu lain yang bisa kita masuki. Juga terkadang seseorang menganggap suatu amalan itu remeh, padahal di sisi Allah ﷻ itu besar. Kemudian yang terpenting pula dari itu, bahwa pahala Akhirat itu tidak bisa dibandingkan dengan kenikmatan dunia. Inilah Nabi ﷺ bersabda dalam hadisnya:

وَلِمُسْلِمٍ: «رَكْعَتَا الْفَجْرِ خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا»

“Dua rakaat fajar lebih baik dari dunia dan seisinya.” [HR. Muslim dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha]

Salat sunnah sebelum Salat Subuh lebih baik daripada dunia dan seisinya, karena apa yang ditujukan kepada Allah ﷻ akan kekal. Sedangkan dunia, seberapapun seorang mendapatkannya, maka ia akan lenyap.

Harta Kita yang Sesungguhnya

Umumnya kita menganggap, bahwa harta yang disimpan itulah harta kita yang sesungguhnya. Padahal sebenarnya harta kita yang sesungguhnya adalah harta yang telah kita pergunakan untuk kebaikan. Nabi ﷺ bertanya:

«أَيُّكُمْ مَالُ وَارِثِهِ أَحَبُّ إِلَيْهِ مِنْ مَالِهِ؟» قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا مِنَّا أَحَدٌ إِلَّا مَالُهُ أَحَبُّ إِلَيْهِ، قَالَ: «فَإِنَّ مَالَهُ مَا قَدَّمَ، وَمَالُ وَارِثِهِ مَا أَخَّرَ»

“Siapakah di antara kalian yang lebih mencintai harta untuk ahli warisnya daripada hartanya sendiri?” Mereka (sahabat) menjawab: “Wahai Rasulullah, tidak ada dari kita seorang pun, kecuali hartanya lebih ia cintai.” Nabi ﷺ bersabda: ”Sesungguhnya hartanya sendiri itu apa yang telah dipergunakannya (disedekahkannya), dan harta ahli warisnya ialah apa yang ditinggalkannya.” [HR. Al-Bukhari]

Ibnu Baththal rahimahullahu berkata: “Dalam hadis ini ada anjuran untuk memergunakan apa yang mungkin bisa dipergunakan dari harta pada sisi-sisi taqarrub kepada Allah ﷻ dan kebaikan, supaya ia nantinya bisa mengambil manfaat darinya di Akhirat. Karena segala sesuatu yang ditinggalkan oleh seseorang, maka akan menjadi hak milik ahli warisnya. Jika nantinya ahli waris menggunakan harta itu dalam ketaatan kepada Allah ﷻ, maka hanya ahli warisnya yang dapat pahala dari itu, sedangkan yang mewariskannya hanya dia yang lelah mengumpulkannya….” [Fathul Bari, 11/260]

‘Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah menuturkan, bahwa dahulu sahabat menyembelih kambing. Maka Nabi ﷺ bertanya: “Apa yang masih tersisa dari kambing itu?” ‘Aisyah berkata: “Tidak tersisa darinya kecuali tulang bahunya.” Nabi ﷺ bersabda: “Semuanya tersisa, kecuali tulang bahunya.” (Shahih Sunan At-Tirmidzi no. 2470)

Maksudnya, apa yang kamu sedekahkan, maka itu sebenarnya yang kekal di sisi Allah ﷻ. Dan yang belum disedekahkan, maka itu tidak kekal di sisi-Nya. Wallahu a’lam bish-shawab.

 

Penulis: Al-Ustadz Abu Muhammad Abdulmu’thi, Lc
Sumber: https://pengusahamuslim.com/658-simpanan-yang-tak-akan-sirna.html

 

══════

 

Mari sebarkan dakwah sunnah dan meraih pahala. Ayo di-share ke kerabat dan sahabat terdekat! Ikuti kami selengkapnya di:

WhatsApp:
+61 405 133 434 (silakan mendaftar terlebih dahulu)
Website: https://nasihatsahabat.com/
Email: [email protected]
Twitter: @NasihatSalaf
Facebook: https://www.facebook.com/nasihatsahabatcom/
Instagram: NasihatSahabatCom
Telegram: https://t.me/nasihatsahabat
Pinterest: https://id.pinterest.com/nasihatsahabat