Renungan Surat Al-Kahfi

Bismillah was sholatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,

Setiap Jumat kita dianjurkan membaca surat al-Kahfi. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjanjikan, orang yang membacanya akan mendapatkan cahaya. Dari Abu Said al-Khudri Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ قَرَأَ سُورَةَ الْكَهْفِ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ أَضَاءَ لَهُ مِنَ النُّورِ فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْبَيْتِ الْعَتِيقِ

“Barang siapa yang membaca surat Al-Kahfi pada malam Jumat, dia akan disinari cahaya antara dirinya dan Kakbah.” (HR. ad-Darimi  3470 dan dishahihkan al-Albani dalam Shahihul Jami’, 6471)

Dalam riwayat lain beliau bersabda:

مَنْ قَرَأَ سُورَةَ الْكَهْفِ فِى يَوْمِ الْجُمُعَةِ أَضَاءَ لَهُ مِنَ النُّورِ مَا بَيْنَ الْجُمُعَتَيْنِ

“Barang siapa yang membaca surat Al-Kahfi pada hari Jumat, dia akan disinari cahaya di antara dua Jumat.” (HR. Hakim 6169, Baihaqi  635, dan dishahihkan al-Albani dalam Shahihul Jami’, no. 6470)

Bahkan, karena kuatnya pengaruh cahaya yang Allah berikan, orang yang memerhatikan surat al-Kahfi, akan dilindungi dari fitnah Dajjal. Dari Abu Darda’ Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ حَفِظَ عَشْرَ آيَاتٍ مِنْ أَوَّلِ سُورَةِ الْكَهْفِ عُصِمَ مِنَ الدَّجَّالِ

Siapa yang menghafal 10 ayat pertama surat al-Kahfi maka dia akan dilindungi dari fitnah Dajjal. (HR. Muslim 1919, Abu Daud 4325, dan yang lainnya)

Surat Pelindung Fitnah

Jika orang yang merenungi surat al-Kahfi terlindung dari fitnah Dajjal – sementara itu adalah salah satu fitnah terbesar – maka berpeluang besar bagi orang yang memahaminya untuk terlindung dari fitnah (ujian) lainnya.

Dalam surat al-Kahfi, terdapat empat kisah, yang semuanya memberikan pelajaran kita sikap yang tepat dalam menghadapi berbagai macam fitnah (ujian).

Pertama, ujian karena agama: Kisah Ashabul Kahfi yang lari meninggalkan kampung halamannya dalam rangka menjaga imannya.

Kedua, fitnah harta:  Kisah Shohibul Jannatain (Pemilik dua kebun), yang kufur kepada Tuhannya karena silau dengan dunianya.

Ketiga, ujian karena ilmu: Kisah Musa dengan Khidr. Musa diperintahkan untuk belajar kepada Khidr, sekalipun beliau seorang nabi yang memiliki Taurat. Karena di atas orang yang berilmu, ada yang lebih berilmu.

Keempat, fitnah kekuatan dan kekuasaan: Kisah Dzulqarnain. Seorang raja penguasa hampir semua permukaan dunia. Kekuasaannya membentang dari ujung Timur hingga ujung Barat. Namun beliau jadikan kekuasaannya untuk menegakkan keadilan dan syariat bagi seluruh manusia.

Surat Peneguh Hati

Mayoritas ulama mengatakan, surat al-Kahfi Allah turunkan sebelum hijrah. Sehingga surat ini digolongkan sebagai surat Makiyah. Tepatnya, surat ini diturunkan menjelang hijrahnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat. Seolah surat ini menjadi mukadimah, untuk perjuangan besar bagi kaum Muslimin, hijrah meninggalkan kampung halamannya, berikut harta dan keluarganya.

Tentu saja butuh perjuangan yang tidak ringan. Mereka harus siap dengan segala resiko, ketika mereka pindah ke Madinah. Semuanya serba menjadi taruhan. Memertaruhkan hartanya untuk ditinggal di Mekah. Memertaruhkan hubunngan keluarganya karena harus pisah di dua negeri yang berbeda. Memertaruhkan keselamatan jiwa sesampainya di Madinah, yang masih harus bersaing dengan Yahudi di sekitarnya.

Allah kuatkan hati mereka dengan kisah:

Ashabul Kahfi, mengajarkan bahwa manusia harus memertahankan agamanya, sekalipun dia harus terusir dari kampung halamannya.

Cerita Shohibul Jannatain (Pemilik Kebun), mengajarkan agar manusia tidak silau dengan harta, sehingga lebih memilih dunia dan meninggalkan agamanya.

Kisah Musa dan Khidir, bahwa orang harus mendatangi sumber ilmu dan hidayah, di mana pun dia berada.

Kisah Dzulqarnain, bahwa bumi ini akan Allah wariskan kepada siapapun yang Allah kehendaki di antara hamba-Nya.

Demikian istimewanya surat ini, hingga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam jadikan sebagai sumber cahaya bagi manusia. Sehingga mereka terhindari dari fitnah Dajjal, fitnah dunia, dan agama. Tentu saja, ini bagi mereka yang berusaha merenungi kandungan isi dan maknanya.

Berikut, kita akan mengaji beberapa renungan terhadap kandungan surat al-Kahfi:

Pertama, surat ini diawali dengan menetapkan segala pujian untuk Allah. Dan dalam Alquran, terdapat lima surat yang diawali dengan bacaan hamdalah: al-Fatihah, al-An’am, al-Kahfi, Saba’, dan Fathir.

Kita memuji Allah dalam semua keadaan, sekalipun makhluknya  sedang mendapatkan ujian dan musibah.

Kedua, bahwa Alquran adalah sumber ilmu yang lurus tanpa ada sedikit pun yang bengkok.

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَى عَبْدِهِ الْكِتَابَ وَلَمْ يَجْعَلْ لَهُ عِوَجًا ( ) قَيِّمًا لِيُنْذِرَ بَأْسًا شَدِيدًا مِنْ لَدُنْهُ وَيُبَشِّرَ الْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ الصَّالِحَاتِ

Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al Kitab (Alquran) dan Dia tidak mengadakan kebengkokan di dalamnya; sebagai bimbingan yang lurus, untuk memeringatkan siksaan yang sangat pedih dari sisi Allah dan memberi berita gembira kepada orang-orang yang beriman, yang mengerjakan amal saleh.

Ketiga, segala kenikmatan dunia hanya hiasan, dalam menguji manusia, siapakah di antara mereka yang tetap berusaha beribadah dan tidak tertipu dengannya.

إِنَّا جَعَلْنَا مَا عَلَى الْأَرْضِ زِينَةً لَهَا لِنَبْلُوَهُمْ أَيُّهُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا

Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka, siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya.

Keempat, dai yang ikhlas, bisa saja mendapatkan tekanan batin karena beban berat dakwah. Tak terkecuali, ini pun dialami manusia terbaik, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam. Allah ta’ala berfirman:

فَلَعَلَّكَ بَاخِعٌ نَفْسَكَ عَلَى آَثَارِهِمْ إِنْ لَمْ يُؤْمِنُوا بِهَذَا الْحَدِيثِ أَسَفًا

Barangkali kamu akan membunuh dirimu karena bersedih hati setelah mereka (orang kafir) berpaling, sekiranya mereka tidak beriman kepada keterangan ini (QS Al Kahfir: 6).

Kelima, manusia harus berusaha menyelamatkan agama dan aqidahnya, sekalipun dia harus terusir dari negerinya. Bahkan sekalipun dia harus tinggal di gua dengan segala keterbatasannya.

أَمْ حَسِبْتَ أَنَّ أَصْحَابَ الْكَهْفِ وَالرَّقِيمِ كَانُوا مِنْ آَيَاتِنَا عَجَبًا ( ) إِذْ أَوَى الْفِتْيَةُ إِلَى الْكَهْفِ فَقَالُوا رَبَّنَا آَتِنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً وَهَيِّئْ لَنَا مِنْ أَمْرِنَا رَشَدًا

Kamu mengira bahwa orang-orang yang mendiami gua dan (yang memunyai) raqim itu, mereka termasuk tanda-tanda kekuasaan Kami yang mengherankan? ( ) (Ingatlah) tatkala para pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua, lalu mereka berdoa: “Wahai Tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)”

Keenam, Allah akan memberi tambahan dan kekuatan hidayah bagi orang yanng komitmen dengan kebenaran dan berani menampakkan:

وَرَبَطْنَا عَلَى قُلُوبِهِمْ إِذْ قَامُوا فَقَالُوا رَبُّنَا رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ لَنْ نَدْعُوَ مِنْ دُونِهِ إِلَهًا لَقَدْ قُلْنَا إِذًا شَطَطًا

Kami meneguhkan hati mereka di waktu mereka berdiri, lalu mereka pun berkata, “Tuhan kami adalah Tuhan seluruh langit dan bumi; kami sekali-kali tidak menyeru Tuhan selain Dia. Sesungguhnya kami kalau demikian telah mengucapkan perkataan yang amat jauh dari kebenaran”.

Ketujuh, meninggalkan kemaksiatan belum dinilai sempurna hingga dia meninggalkan pelakunya:

وَإِذِ اعْتَزَلْتُمُوهُمْ وَمَا يَعْبُدُونَ إِلَّا اللَّهَ فَأْوُوا إِلَى الْكَهْفِ

Apabila kamu meninggalkan mereka dan apa yang mereka sembah selain Allah, maka carilah tempat berlindung ke dalam gua itu

Kedelapan, orang yang meninggalkan sesuatu karena Allah, maka Allah ganti dengan yang lebih baik. Asahbul Kahfi meninggalkan kehangatan kampung halamannya dan keluarganya, Allah ganti dengan kehangatan hidayah dan rahmat dari-Nya.

وَإِذِ اعْتَزَلْتُمُوهُمْ وَمَا يَعْبُدُونَ إِلَّا اللَّهَ فَأْوُوا إِلَى الْكَهْفِ يَنْشُرْ لَكُمْ رَبُّكُمْ مِنْ رَحْمَتِهِ وَيُهَيِّئْ لَكُمْ مِنْ أَمْرِكُمْ مِرفَقًا

Apabila kamu meninggalkan mereka dan apa yang mereka sembah selain Allah, maka carilah tempat berlindung ke dalam gua itu, niscaya Tuhanmu akan melimpahkan sebagian rahmat-Nya kepadamu dan menyediakan sesuatu yang berguna bagimu dalam urusan kamu.

Kesembilan, Allah jaga hamba-Nya yang saleh, meskipun mereka sedang istirahat. Ashabul Kahfi dijaga oleh Allah, sekalipun mereka sedang istirahat di gua. Sehingga tidak ada satu pun makhuk yang berani mengganggu maupun membangunkan mereka.

وَتَحْسَبُهُمْ أَيْقَاظًا وَهُمْ رُقُودٌ وَنُقَلِّبُهُمْ ذَاتَ الْيَمِينِ وَذَاتَ الشِّمَالِ وَكَلْبُهُمْ بَاسِطٌ ذِرَاعَيْهِ بِالْوَصِيدِ لَوِ اطَّلَعْتَ عَلَيْهِمْ لَوَلَّيْتَ مِنْهُمْ فِرَارًا وَلَمُلِئْتَ مِنْهُمْ رُعْبًا

Kamu mengira mereka itu bangun, padahal mereka tidur. Dan kami balik-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri, sedang anjing mereka mengunjurkan kedua lengannya di muka pintu gua. Dan jika kamu menyaksikan mereka tentulah kamu akan berpaling dari mereka dengan melarikan diri dan tentulah (hati) kamu akan dipenuhi oleh ketakutan terhadap mereka.

Kesepuluh, tawakkal yang sejati adalah pasrah kepada Allah setelah berusaha mengambil sebab. Ashabul Kahfi membawa uang untuk bekal mereka ketika mereka pergi meninggalkan kampungnya.

قَالُوا رَبُّكُمْ أَعْلَمُ بِمَا لَبِثْتُمْ فَابْعَثُوا أَحَدَكُمْ بِوَرِقِكُمْ هَذِهِ إِلَى الْمَدِينَةِ فَلْيَنْظُرْ أَيُّهَا أَزْكَى طَعَامًا فَلْيَأْتِكُمْ بِرِزْقٍ مِنْهُ

Berkata (yang lain lagi): “Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia lihat, manakah makanan yang lebih baik, maka hendaklah ia membawa makanan itu untukmu

Kita kembali lanjutkan beberapa pelajaran penting lainnya, yang bisa kita gali dari surat al-Kahfi:

Kesebelas, semangat orang kafir untuk memurtadkan orang beriman, sekalipun melalui cara kekerasan.

إِنَّهُمْ إِنْ يَظْهَرُوا عَلَيْكُمْ يَرْجُمُوكُمْ أَوْ يُعِيدُوكُمْ فِي مِلَّتِهِمْ وَلَنْ تُفْلِحُوا إِذًا أَبَدًا

Sesungguhnya mereka jika berhasil menangkap kalian, mereka akan merajam kalian atau mengembalikan kalian ke agama mereka, dan kalian tidak akan beruntung selamanya.

Kedua belas, keputusan raja dan penguasa tidak bisa jadi dalil sebuah kebenaran. Termasuk adanya bangunan di kuburan orang saleh.

وَكَذَلِكَ أَعْثَرْنَا عَلَيْهِمْ لِيَعْلَمُوا أَنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ وَأَنَّ السَّاعَةَ لا رَيْبَ فِيهَا إِذْ يَتَنَازَعُونَ بَيْنَهُمْ أَمْرَهُمْ فَقَالُوا ابْنُوا عَلَيْهِمْ بُنْيَانًا رَبُّهُمْ أَعْلَمُ بِهِمْ قَالَ الَّذِينَ غَلَبُوا عَلَى أَمْرِهِمْ لَنَتَّخِذَنَّ عَلَيْهِمْ مَسْجِدًا

Demikianlah kami pertemukan (manusia) dengan mereka, agar manusia itu mengetahui, bahwa janji Allah itu benar. Dan bahwa kedatangan Hari Kiamat tidak ada keraguan padanya. Ketika orang-orang itu berselisih tentang urusan mereka, orang-orang itu berkata: “Dirikan sebuah bangunan di atas (gua) mereka, Tuhan mereka lebih mengetahui tentang mereka”. Orang-orang yang berkuasa atas urusan mereka berkata: “Sesungguhnya kami akan mendirikan sebuah rumah peribadatan di atasnya”.

Setelah Ashabul Kahfi dibangunkan oleh Allah, keadaan mereka diketahui masyarakat sekitar. Hingga akhirnya penguasa mereka bermaksud mendirikan masjid di gua itu untuk mengenang kehebatan Ashabul Kahfi. Dan peristiwa ini bukan dalil anjuran membangun masjid di kuburan.

Ketiga belas, berbicara masalah ghaib tanpa dalil termasuk perbuatan tercela. Allah menyebutnya ‘Rajman bil ghaib’ (menebak-nebak yang ghaib).

سَيَقُولُونَ ثَلَاثَةٌ رَابِعُهُمْ كَلْبُهُمْ وَيَقُولُونَ خَمْسَةٌ سَادِسُهُمْ كَلْبُهُمْ رَجْمًا بِالْغَيْبِ وَيَقُولُونَ سَبْعَةٌ وَثَامِنُهُمْ كَلْبُهُمْ

Nanti (ada orang yang akan) mengatakan (jumlah mereka) adalah tiga orang, yang keempat adalah anjingnya, dan (yang lain) mengatakan: “(Jumlah mereka) adalah lima orang, yang keenam adalah anjingnya”. Menebak yang gaib; dan (yang lain lagi) mengatakan: “(Jumlah mereka) tujuh orang, yang ke delapan adalah anjingnya”

Keempat belas, Alquran bercerita tantang kejadian masa silam agar generasi selanjutnya mengambil pelajaran dariya. Karena itu, bagian yang tidak penting, tidak disebutkan Alquran. Allah tidak menyebutkan berapa jumlah yang pasti untuk Ashabul Kahfi, siapa nama mereka, dst.

Kelima belas, dalam kasus yang kita tidak memiliki sumber kebenarannya, tidak selayaknya diperdebatkan dengan serius. Perdebatan hanya dilakukan di permukaan (Mira’ dzahir), tidak sampai dimasukkan ke dalam hati.

قُلْ رَبِّي أَعْلَمُ بِعِدَّتِهِمْ مَا يَعْلَمُهُمْ إِلَّا قَلِيلٌ فَلَا تُمَارِ فِيهِمْ إِلَّا مِرَاءً ظَاهِرًا

Katakanlah: “Tuhanku lebih mengetahui jumlah mereka. Tidak ada orang yang mengetahui (bilangan) mereka kecuali sedikit”. Karena itu janganlah kamu (Muhammad) bertengkar tentang hal mereka, kecuali pertengkaran lahir saja…

Keenam belas, larangan untuk bertanya kepada orang yang tidak layak dimintai fatwa. Allah melarang Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk bertanya kepada orang Yahudi tentang Ashabul Kahfi, karena mereka tidak memiliki ilmu yang detail tentangnya.

وَلَا تَسْتَفْتِ فِيهِمْ مِنْهُمْ أَحَدًا

Jangan kamu menanyakan tentang mereka (pemuda-pemuda itu) kepada seorang pun di antara mereka.

As-Sa’di menyebutkan, dua jenis manusia yang tidak layak dimintai fatwa,

  1. Orang yang memiliki keterbatasan pengetahuan apa yang difatwakan
  2. Orang yang kurang peduli dengan apa yang dia ucapkan, tidak memiliki rasa takut terhadap konsekuensi buruk fatwa.

(Tafsir as-Sa’di, hlm. 473)

Ketujuh belas, Allah melarang Nabi-Nya untuk menyampaikan rencana ke depan, tanpa digandengkan dengan kehendak Allah. Jika nabi dilarang, tentu umatnya juga lebih dilarang lagi. Karena itu, ayat yang berisi perintah dan larangan untuk nabi, juga beraku untuk seluruh umatnya.

Kedelapan belas,  mengembalikan suatu rencana kepada kehendak Allah, maka rencana itu akan dimudahkan, diberkahi, dan diberi pertolongan oleh Allah.

وَلَا تَقُولَنَّ لِشَيْءٍ إِنِّي فَاعِلٌ ذَلِكَ غَدًا ( ) إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ

Jangan sekali-kali kamu mengatakan tentang sesuatu: “Sesungguhnya aku akan mengerjakan ini besok pagi, kecuali (dengan menyebut): “Insya Allah”.

Kesembilan belas, perintah untuk mengingat Allah ketika lupa.

وَاذْكُرْ رَبَّكَ إِذَا نَسِيتَ

“Dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa…”

Ulama berbeda pendapat tentang makna kata ‘lupa’ dalam ayat ini:

  1. Lupa mengucapkan insyaaAllah ketika mengucapkan rencana, sekalipun menyampaikan rencana itu dilakukan kemarin atau bahkan jauh sebelum itu. (Pendapat mayoritas ulama)
  2. Ingatlah Allah ketika engkau marah. (Pendapat Ikrimah)
  3. Ingatlah Allah ketika melakukan maksiat. Karena maksiat termasuk lupa. (Pendapat Ikrimah)
  4. Ingatlah Allah ketika lupa apapun, agar Allah mengingatkan kamu dari apa yang terlupakan. (Pendapat al-Mawardi)

Kedua puluh, hikmah mengucapkan insyaaAllah ketika mengungkapkan rencana, agar kita tidak termasuk berdusta ketika rencana itu gagal. Kita juga dianjurkan mengucapkan isyaaAllah, ketika bertekad untuk berusaha memiliki karakter yang baik.

Nabi Musa menyatakan di hadapan Khidr:

قَالَ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ صَابِرًا وَلَا أَعْصِي لَكَ أَمْرًا

Musa berkata: “Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusan pun”.

Kedua puluh satu, perintah untuk selalu memohon hidayah:

وَقُلْ عَسَى أَنْ يَهْدِيَنِ رَبِّي لِأَقْرَبَ مِنْ هَذَا رَشَدًا

Dan katakanlah: “Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya dari pada ini.”

Karena itulah, kita diwajibkan untuk selalu memohon hidayah dalam setiap sholat, melalui bacaan surat al-Fatihah.

Kedua puluh dua, kuasa Allah untuk menidurkan manusia selama 309 tahun, tanpa makan, tanpa minum, namun mereka bangun tetap dalam kondisi sehat bugar, dan tidak berubah raut mukanya. Semacam ini tidak perlu dibenturkan dengan ilmu kedokteran. Karena di luar kapasitas manusia.

وَلَبِثُوا فِي كَهْفِهِمْ ثَلَاثَ مِئَةٍ سِنِينَ وَازْدَادُوا تِسْعًا

“Dan mereka tinggal dalam gua mereka tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun (lagi)”

Catatan:

Dalam ayat dinyatakan: 300 + 9 tahun. Sebagian orang membuat perhitungan bahwa setiap perhitungan 300 tahun Masehi sama dengan 309 tahun Hijriyah. Atau dalam satu tahun Masehi sama dengan 1 tahun Hijriyah + 11 hari.

Kedua puluh tiga, mengembalikan pengetahuan hanya kepada Allah. Ini di antara adab yang Allah ajarkan ketika seseorang membicarakan sesuatu terkait masa silam atau terkait ajaran syariat. Tidak lupa mengucapkan ‘Allahu a’lam’. Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dilarang untuk bertanya masalah Ashabul Kahfi kepada orang Yahudi, Allah berikan wahyu kepada beliau, sebagian cerita tentang Ashabul Kahfi. Kemudian Allah perintahkan beliau untuk mengembalikan pengetahuan masalah ghaib itu kepada Allah semata.

قُلِ اللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا لَبِثُوا لَهُ غَيْبُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ أَبْصِرْ بِهِ وَأَسْمِع

Katakanlah: “Allah lebih mengetahui berapa lamanya mereka tinggal (di gua); Hanya milik-Nya semua yang tersembunyi di langit dan di bumi. Alangkah terang penglihatan-Nya dan alangkah tajam pendengaran-Nya;

Kedua puluh empat, membaca Alquran yang sempurna adalah dengan memahami makna dan mengikuti isinya. Dan itulah makna tilawah Alquran:

وَاتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنْ كِتَابِ رَبِّكَ

Dan bacakanlah apa yang diwahyukan kepadamu, yaitu kitab Tuhanmu (Al Quran).

Jika makna membaca hanya diartikan membaca dengan lisan, tanpa ada respon, tentu perintah ini tidak ada manfaatnya.

Kedua puluh lima, berkawan dengan orang baik, butuh kesabaran:

وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ

“Bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya …”

Kedua puluh enam, setiap manusia butuh komunitas yang baik, sekalipun dia manusia yang sempurna. Karena komunitas baik akan menjadi proteksi bagi lahir dan batin orang yang beriman.

وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ

“Bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap wajah-Nya..”

Allah perintahkan Nabi-Nya – manusia paling mulia – untuk bersabar bersama orang yang mengisi hidupnya dengan ketaatan.

Catatan:

Pagi dan sore adalah waktu yang istimewa untuk berdzikir

Dalam Alquran, Allah sering kali menyebut orang yang berdzikir di waktu pagi dan sore, beribadah ketika pagi dan sore, dst.

Dari Abu Umamah Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

فَلأَنْ أَقْعُدَ غُدْوَةً إِلَى أَنْ تُشْرِقَ الشَّمْسُ أَحَبُّ إِلَىَّ مِنْ أَنْ أُعْتِقَ أَرْبَعَ رِقَابٍ وَبَعْدَ الْعَصْرِ حَتَّى تَغْرُبَ الشَّمْسُ أَحَبُّ إِلَىَّ مِنْ أَنْ أُعْتِقَ أَرْبَعَ رِقَابٍ

Aku duduk berdzikir setelah Subuh hingga terbit matahari, lebih aku sukai dari pada membebaskan empat budak. Dan berdzikir setelah Ashar sampai terbenam matahari, lebih aku sukai dari pada membebaskan empat budak. (HR. Ahmad 22914, dan para perawinya dinilai Tsiqah).

Kedua puluh tujuh, Di antara manfaat besar ketika berkumpul dengan komunitas orang baik:

  1. Mengurangi rasa tamak terhadap dunia dan mengingatkan akan Akhirat

وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُم بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ وَلَا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا

Bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya. Dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini.

  1. Memutus peluang untuk mengikuti para ahli maksiat atau penganut kesesatan

وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَن ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا

“Dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya..”

Kedua puluh delapan, orang yang jauh dari peringatan Allah, pasti menjadi budak hawa nafsunya:

وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ

“Dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya..”

Kedua puluh sembilan, kebenaran dan kesesatan telah jelas. Sehingga manusia bisa berpikir, di posisi mana dia harus memilih. Yang semua itu akan dipertanggung jawabkan kelak di Akhirat.

وَقُلِ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ إِنَّا أَعْتَدْنَا لِلظَّالِمِينَ نَارًا أَحَاطَ بِهِمْ سُرَادِقُهَا

Katakanlah: “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu. Maka barang siapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir”. Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang orang dzalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka.

Catatan:

Ayat ini sama sekali bukan dalil tentang kebebasan beragama, sebagaimana anggapan JIL, dengan alasan:

  1. Ayat di atas hanya mengembalikan pilihan antara: beriman dan kafir. Sementara tidak ada satu pun agama yang bersedia disebut kafir, meskipun hakikatnya kafir.

وَقُلِ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ

“Katakanlah: “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu. Maka barang siapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir”

  1. Adanya ancaman neraka di lanjutan ayat:

إِنَّا أَعْتَدْنَا لِلظَّالِمِينَ نَارًا أَحَاطَ بِهِمْ سُرَادِقُهَا

“Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang orang dzalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka.”

  1. Siapa pun yang memilih selain Islam, dia kafir dan berhak mendapat ancaman itu.

Ketiga puluh, iman seringkali digandegkan dengan amal saleh

Karena iman mewakili syahadat Laa ilaaha illallah, sementara amal saleh mewakili syahadat Muhammad Rasulullah. Karena itu, satu amal tidak bisa disebut saleh, kecuali jika sesuai dengan petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

إِنَّ الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ إِنَّا لَا نُضِيعُ أَجْرَ مَنْ أَحْسَنَ عَمَلا

Sesunggunya mereka yang beriman dan beramal saleh, tentulah Kami tidak akan menyia-nyiakan pahala mereka.

Ketiga puluh satu, Allah tidak akan menyia-nyiakan amal hamba dan jaminan pahala dari Allah bagi orang yang beramal kebaikan:

إِنَّا لَا نُضِيعُ أَجْرَ مَنْ أَحْسَنَ عَمَلًا ( ) أُولَئِكَ لَهُمْ جَنَّاتُ عَدْنٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهِمُ الْأَنْهَارُ

Kami tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang mengerjakan amalan(nya) dengan yang baik. Mereka itulah (orang-orang yang) bagi mereka surga ‘Adn (kekal).

Ketiga puluh dua, gambaran umum kisah

Ada dua orang, yang satu as-Syakir, orang Mukmin yang pandai bersyukur, meskipun tidak memiliki harta yang berlimpah. Sementara satunya, orang yang kufur nikmat, namun dia diberi banyak harta nan berlimpah. Karena sifatnya berbeda, maka muncul dua karakter yang berbeda. Tingkah lakunya berbeda, ucapannya berbeda, semangatnya juga berbeda. Hingga akhirnya, Allah berikan balasan yang berbeda.

Sehingga pembaca bisa menentukan, ke manakah dia akan berpihak, dan siapakah yang akan mereka jadikan panutan.

Seperti yang pernah kita singgung di awal, bahwa surat al-Kahfi turun sebagai mukadimah hijrahnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat. Di sana memuat banyak cerita untuk semakin meneguhkan hati mereka ketika hendak berhijrah. Meninggalkan harta di Mekah, berpindah ke daerah lain, dengan konsekuensi harus jatuh miskin. Meniti karir mulai dari nol.

Kisah Sohibul Jannatain menggambarkan bahwa banyak harta bukan jaminan akan berujung pada kebahagiaan hidup. Bahkan bisa menjadi sumber fitnah bagi hidup manusia.

وَاضْرِبْ لَهُمْ مَثَلًا رَجُلَيْنِ جَعَلْنَا لِأَحَدِهِمَا جَنَّتَيْنِ مِنْ أَعْنَابٍ وَحَفَفْنَاهُمَا بِنَخْلٍ وَجَعَلْنَا بَيْنَهُمَا زَرْعًا . كِلْتَا الْجَنَّتَيْنِ آَتَتْ أُكُلَهَا وَلَمْ تَظْلِمْ مِنْهُ شَيْئًا وَفَجَّرْنَا خِلَالَهُمَا نَهَرًا

Berikanlah kepada mereka sebuah perumpamaan dua orang laki-laki, Kami jadikan bagi seorang di antara keduanya (yang kafir) dua buah kebun anggur dan kami kelilingi kedua kebun itu dengan pohon-pohon kurma dan di antara kedua kebun itu Kami buatkan ladang. Kedua buah kebun itu menghasilkan buahnya, dan kebun itu tiada kurang buahnya sedikit pun, dan Kami alirkan sungai di celah-celah kedua kebun itu.

Ketiga puluh tiga, Orang yang mengingkari adanya kiamat adalah orang yang mendzalimi dirinya sendiri:

وَدَخَلَ جَنَّتَهُ وَهُوَ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ قَالَ مَا أَظُنُّ أَنْ تَبِيدَ هَذِهِ أَبَدًا

Dia memasuki kebunnya, sedang dia dzalim terhadap dirinya sendiri. Ia berkata: “Aku kira kebun ini tidak akan binasa selama-lamanya

Ketiga puluh empat, terkadang ada orang menyangka, ketika dia diberi kenikmatan dunia, dia juga akan diberi kenikmatan Akhirat. Padahal dua hal ini sama sekali tidak ada hubungannya.

وَمَا أَظُنُّ السَّاعَةَ قَائِمَةً وَلَئِنْ رُدِدْتُ إِلَى رَبِّي لَأَجِدَنَّ خَيْرًا مِنْهَا مُنْقَلَبًا

Dan aku tidak mengira Hari Kiamat itu akan datang. Dan jika sekiranya aku kembalikan kepada Tuhanku, pasti aku akan mendapat tempat kembali yang lebih baik dari pada kebun-kebun itu.”

Seperti inilah standar kebahagiaan orang kafir. Semua diukur berdasarkan materi. Sampai yang dia bayangkan, andai dia dibangkitkan setelah mati, dia akan mendapatkan harta yang semisal dengan apa yang dia miliki saat ini.

Ketiga puluh lima, sebagian ulama berpendapat, kafir dan syirik adalah dua kata yang sinonim.

Orang Mukmin, temannya pemilik kebun, mengingatkan si pemilik kebun yang sombong bahwa dirinya telah kafir kepada Allah, karena mengingkari Hari Pembalasan. Kemudian, ketika Allah membinasakan kebun itu, dia baru sadar dan mengatakan, ‘Andai dulu aku tidak berbuat syirik.’

Allah berfirman, menceritakan nasihat yang diberikan teman yang Mukmin:

قَالَ لَهُ صَاحِبُهُ وَهُوَ يُحَاوِرُهُ أَكَفَرْتَ بِالَّذِي خَلَقَكَ مِنْ تُرَابٍ….

“Kawannya (yang Mukmin) berkata kepadanya — sedang dia bercakap-cakap dengannya: “Apakah kamu kafir kepada (Tuhan) yang menciptakan kamu dari tanah…”

Ketika pemilik kebun itu menyesal, dia mengatakan:

وَيَقُولُ يَا لَيْتَنِي لَمْ أُشْرِكْ بِرَبِّي أَحَدًا

Dia mengatakan, “Aduhai kiranya dulu aku tidak memersekutukan seorang pun dengan Tuhanku.”

Akan tetapi pendapat yang benar, kekufuran lebih umum dibandingkan kesyirikan. Semua kesyirikan adalah kekufuran, namun tidak semua kekufuran adalah kesyirikan.

Kekufuran adalah semua perbuatan yang menyebabkan seseorang keluar dari Islam

Kesyirikan adalah menyekutukan Allah, dalam bentuk menyamakan makhluk dengan selain Allah.

Dalam kasus Sohibul Jannatain, kekufurannya dinilai syirik, karena dia meyakini bahwa ada makhluk yang abadi selain Allah, yaitu kebunnya. Padahal Dzat yang abadi hanya Allah. Sementara meyakini ada makhluk yang memiliki sifat yang sama dengan salah satu sifat Allah, termasuk kesyirikan.

Ketiga puluh enam, anjuran memuji Allah ketika melihat semua yang mengagungkan.

وَلَوْلَا إِذْ دَخَلْتَ جَنَّتَكَ قُلْتَ مَا شَاءَ اللَّهُ لَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ إِنْ تَرَنِ أَنَا أَقَلَّ مِنْكَ مَالًا وَوَلَدًا

Mengapa kamu tidak mengatakan waktu kamu memasuki kebunmu “Maasyaallaah, laa quwwata illaa billaah”, Sekiranya kamu anggap aku lebih sedikit darimu dalam hal harta dan keturunan.

Orang itu mengingatkan si pemilik kebun untuk mengucapkan ‘Maasyaallaah, laa quwwata illaa billaah’ ketika dia terkagum-kagum dengan kebunnya. Karena karakter orang yang beriman, mereka mengembalikan semuanya kepada Allah.

Catatan 1:

Di antara manfaat memuji Allah ketika melihat sesuatu yang mengagumkan adalah agar tidak terkena dampak buruk karena ‘ain (pandangan mata karena keheranan/kekaguman).

Dari Abdullah bin Amir Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا رَأَى أَحَدُكُمْ مِنْ أَخِيهِ أَوْ مِنْ نَفْسِهِ أَوْ مِنْ مَالِهِ مَا يُعْجِبُهُ فَلْيُبَرِّكْهُ فَإِنَّ الْعَيْنَ حَقٌّ

“Apabila kalian melihat sesuatu yang menakjubkan pada saudaranya, atau dirinya, atau hartanya, maka hendaklah ia mendoakan keberkahan untuk yang dia lihat, karena sesungguhnya penyakit ‘ain benar-benar ada.” (HR. Ahmad 16110, Ibn Majah 3638, dan dishahihkan al-Albani).

Catatan 2:

Jatuh sakit karena pandangan mata, sering diistilahkan dengan kesambet atau sawanen. Tidak hanya menimpa fisik manusia, namun juga menimpa yang lainnya. Karena itulah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar kita mendoakan keberkahan dan memuji Allah ketika melihat semua yang menakjubkan dan membanggakan. Baik yang ada pada diri kita, benda di sekitar kita atau pada orang lain.

Catatan 3:

Apa hubungan antara pandangan mata dengan sakit yang dialami manusia?

Bahwa semua yang ada di sekitar kita adalah nikmat Allah. Diri kita, harta kita, termasuk yang dimiliki orang lain, Allah-lah Sang pemilik kenikmatan itu dan hanya Allah yang kuasa memberikannya.

Ketika kita lalai memuji Allah dan hanyut dalam kekaguman, bisa jadi Allah mengingatkan kita dengan teguran keras, yaitu dengan cara mencabut nikmat tersebut.

Karena Dia tidak rela bila ada dari hamba-Nya yang hanyut dalam kekaguman sehingga melimpahkan pujiannya kepada sesama makhluk, tanpa menyebut diri-Nya.

Kita telah diajari oleh Allah bahwa satu-satunya Dzat yang memiliki segala pujian hanya Allah, sebagaimana ditegaskan pada surat al-Fatihah.

Demikianlah penjelasan as-Sa’di dalam dalam tafsirnya tentang korelasi antara kekaguman, sanjungan dan efek buruk yang diakibatkannya, berupa penyakit atau lainnya. (Taisir Karim ar-Rahman, as-Sa’di, hlm. 477).

Keenam, bahwa untuk memakmurkan dunia, manusia butuh modal. Sebagaimana memakmurkan urusan Akhirat juga membutuhkan modal. Keduanya Allah sebut berinfaq. Namun kita bisa simak hasilnya. Ada yang Allah abadikan balasannya, dan ada yang hanya sementara. Bahkan modal yang kita kelurkan untuk memakmurkan dunia, terkadang mengalami kegagalan.

وَأُحِيطَ بِثَمَرِهِ فَأَصْبَحَ يُقَلِّبُ كَفَّيْهِ عَلَى مَا أَنْفَقَ فِيهَا وَهِيَ خَاوِيَةٌ عَلَى عُرُوشِهَا وَيَقُولُ يَا لَيْتَنِي لَمْ أُشْرِكْ بِرَبِّي أَحَدًا

Harta kekayaannya dibinasakan; lalu ia membulak-balikkan kedua tangannya (tanda menyesal) terhadap apa yang ia telah infakkan untuk itu, sedang pohon anggur itu roboh bersama janjangnya.

Berbeda dengan infaq untuk Akhirat. Orang berusaha menjaga amalan infaqnya, akan Allah abadikan pahalanya. Allah berfirman:

وَلَا يُنْفِقُونَ نَفَقَةً صَغِيرَةً وَلَا كَبِيرَةً وَلَا يَقْطَعُونَ وَادِيًا إِلَّا كُتِبَ لَهُمْ لِيَجْزِيَهُمُ اللَّهُ أَحْسَنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Semua yang mereka nafkahkan baik nafkah kecil dan maupun yang besar dan tidaklah mereka melintasi suatu lembah, melainkan dituliskan bagi mereka (amal saleh pula) karena Allah akan memberi balasan kepada mereka yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (QS. at-Taubah: 121).

Masih bersambung, insyaAllah ….

 

Penulis: Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

 

Renungan Surat Al-Kahfi Bagian 1: https://konsultasisyariah.com/23665-renungan-surat-al-kahfi-bagian-01.html

Renungan Surat Al-Kahfi Bagian 2: https://konsultasisyariah.com/23704-renungan-surat-al-kahfi-bagian-02.html

Renungan Surat Al-Kahfi Bagian 3: https://konsultasisyariah.com/23846-renungan-surat-al-kahfi-bagian-03.html

Renungan Surat Al-Kahfi Bagian 4: https://konsultasisyariah.com/23966-renungan-al-kahfi-bagian-04.html