بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
 
PELAJARAN PENTING DALAM KHOTBAH HAJAH NABI
A. Pengantar
 
Tahukah Anda faktor apakah yang mendorong sahabat mulia Dhimad al-Azdi untuk memeluk agama Islam?! Dia mengucapkan Syahadat masuk Islam usai mendengar Nabi ﷺ membacakan Khotbah Hajat kepadanya, lalu dia berkomentar:
“Aku telah mendengar ucapan para dukun, para penyihir dan para penyair. Namun aku belum pernah mendengar kata-kata engkau tersebut. Sungguh, kata-kata itu telah sampai ke dasar lautan (karena kedalaman makna yang dikandungnya -pent).” [HR.Muslim: 868]
 
Ya, demikianlah pengaruh dahsyat Khotbah Hajat bagi orang-orang yang memahaminya. Bagaimana tidak, bagi orang yang merenungi isi kandungan khotbah ini secara sekilas, maka akan nampak jelas baginya bahwa khotbah ini merupakah “Ikatan Undang-Undang Islam dan Iman.” [Majmu’ Fatawa14/223 Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah]
 
Lantas apakah isi kandungannya?!
 
1. Pujian kepada Zat Pencipta Alam.
 
2. Ibadah seorang hamba dan kebutuhannya kepada Allah, serta permintaannya kepada Allah dalam segala urusannya.
 
3. Persaksian bahwa tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah saja, dan tidak ada rasul yang diikuti kecuali Rasulullah ﷺ.
 
Faidah: Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berkata:
“Barang siapa memerhatikan khotbah-khotbah nabi dan para sahabatnya, niscaya dia akan mendapatinya penuh dengan penjelasan petunjuk dan tauhid, sifat-sifat Allah, pokok-pokok keimanan, kebesaran nikmat Allah, Hari Akhir, perintah mengingat dan bersyukur kepada Allah. Sehingga tatkala para pendengar keluar, maka mereka keluar dengan kecintaan kepada Allah. Berbeda dengan khotbah-khotbah zaman sekarang yang hanya indah penampilan luarnya, tetapi kosong dari tujuan utamanya!!”. [Zadul Ma’ad 1/419-410 -secara ringkas-).
 
4. Agungnya kedudukan Alquran dan Sunnah, yang dikatakan oleh Nabi ﷺ:
 
أَلاَ إِنِّيْ أُوْتٍيْتُ الْقُرْاَنَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ
 
Ketahuilah, bahwa saya diberi wahyu Alquran dan semisalnya (hadis) bersamanya [HR. Abu Dawud 4604, al-Khathib dalam al-Faqih wal Mutafaqqih 1/89, Ibnu Nashr dalam as-Sunnah 353 dan lain-lain dengan sanad Sahih].
 
5. Bahaya perkara bidah dalam agama, dan semua bidah adalah sesat yang menjerumuskan pelakunya ke Neraka.
 
Masalah ini semakin bertambah sangat jelas, bila kita ingat apabila khotbah ini sering diulang-ulang dan ditekankan. Hal ini menunjukkan tingginya kedudukannya dan pentingnya isi kandungannya. [Lihat Ilmu Ushul Bida’, Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi hal. 6-7].
 
B. Tujuan Penulisan
 
Hati ini terdorong untuk menulis masalah ini dengan dua tujuan inti:
 
• Pertama: Menghidupkan dan menyebarkan sunnah Khotbah Hajat ini.
• Kedua: Memahami isi kandungan Khotbah Hajat yang penuh dengan mutiara-mutiara hikmah.
 
Kita berdoa kepada Allah agar menjadikan kita termasuk hamba-hamba yang menghidupkan Sunnah Nabi-Nya ﷺ dan memahami makna kandungannya. Aamiin.
 
Teks Khotbah Hajat
 
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا.
 
مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.
 
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ.
 
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأََرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا.
 
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا.
 
أَمَّا بَعْدُ:
 
فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ.
Segala puji hanya bagi Allah, kami memuji-Nya, memohon pertolongan dan ampunan kepada-Nya. Kami berlindung kepada Allah dari kejahatan diri-diri kami dan kejelekan amal perbuatan kami. Barang siapa yang Allah beri petunjuk, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya. Dan barang siapa yang Allah sesatkan, maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk.
 
Aku bersaksi bahwasanya tidak ada Sesembahan yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah saja, tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwasanya Nabi Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya.
 
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya. Dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” [QS. Ali ‘Imran: 102]
 
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakanmu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya, dan daripada keduanya Allah memerkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (menggunakan) Nama-Nya, kamu saling meminta satu sama lain. Dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.” [QS. An-Nisaa’: 1]
 
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar. Niscaya Allah memerbaiki bagimu amalan-amalanmu, dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” [QS. Al-Ahzaab: 70-71]
 
Amma ba’du:
 
Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah Kitabullah (Alquran), dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad (as-Sunnah). Seburuk-buruk perkara adalah perkara yang diada-adakan (dalam agama). Setiap yang diada-adakan (dalam agama) adalah bidah. Setiap bidah adalah sesat. Dan setiap kesesatan tempatnya di Neraka.
 
C. Takhrij Hadis [Diringkas dari risalah “Khuthbah Hajat Al-Lati Kaana Rasululullah Yu’allimuha Ashabahu” oleh Syaikh Muhammad Nasiruddin al-Albani, cet Maktabah Ma’arif.]
 
Ketahuilah wahai saudaraku -semoga Allah memberkahimu- bahwa khotbah berberkah ini diriwayatkan dari enam sahabat, yaitu Abdullah bin Mas’ud, Abu Musa al-Asy’ari, Abdullah bin Abbas, Jabir bin Abdullah, Nubaith bin Syarith dan Aisyah, serta seorang tabi’in yaitu Zuhri.
 
Pertama: Riwayat Abdullah bin Mas’ud
 
Ada empat jalur dari beliau:
 
1. Abu Ubaidah
Diriwayatkan Abu Dawud 1/331, Nasa’i 1/208, al-Hakim 2/182, 183, ath-Thoyyalisi 338, Ahmad 3720, 4115, Abu Ya’la 1/342, al-Baihaqi 7/146.
 
Sanad hadis ini seluruh perawinya terpercaya, hanya saja terputus, sebab Abu Ubaidah tidak mendengar dari ayahnya (Ibnu Mas’ud).
 
2. Abul Ahwash
Diriwayatkan Nasa’i 2/29, Tirmidzi 2/178, Ibnu Majah 1/584, 585, ath-Thohawi 1/4, al-Baihaqi 3/214.
 
Sanad hadis ini Sahih menurut syarat Muslim. Tirimidzi berkata: “Hadis Hasan.“
 
3. Abu ‘Iyadh
Diriwayatkan Abu Dawud 1/172, 331, al-Baihaqi 3/215, 7/146.
 
Sanad ini lemah, sebab Abu Iyadh adalah seorang yang majhul (tidak dikenal).
 
4. Syaqiq
Diriwayatkan al-Baihaqi 7/146, 147
 
Sanad ini lemah, karena di dalamnya terdapat Huraits al-Fazari, dia seorang yang lemah hadisnya.
 
Kedua: Riwayat Abu Musa al-Asy’ari
 
Diriwayatkan Abu Ya’la 1/342. Al-Haitsami membawakan dalam Majma’ Zawaid 4/288 dan berkata: “Diriwayatkan Abu Ya’la dan ath-Thobarani dalam al-Ausath dan al-Kabir secara ringkas.
Seluruh perawinya terpercaya. Dan hadis Abu Musa sanadnya bersambung“.
 
Ketiga: Riwayat Abdullah bin Abbas
 
Diriwayatkan Muslim 3/12, al-Baihaqi, Ahmad 3275, Ibnu Majah 1/585 dan ath-Thohawi.
 
Sanad hadis ini Sahih.
 
Keempat: Riwayat Jabir bin Abdillah
 
Diriwayatkan Muslim 3/11, Ahmad 3/371, al-Baihaqi 3/214.
 
Sanad hadis Sahih sesuai syarat Muslim.
 
Kelima: Riwayat Nubaith bin Syarith
 
Diriwayatkan al-Baihaqi 3/215.
 
Sanad ini seluruh perawinya terpercaya kecuali Musa bin Muhammad al-Anshari.
 
Keenam: Riwayat Aisyah
 
Diriwayatkan Abu Bakar bin Abu Dawud dalam Musnad Aisyah 2/57.
 
Sanadnya Jayyid (bagus).
 
Ketujuh: Riwayat Sahl bin Sa’ad
 
Dikeluarkan Simmawaih dalam Fawaidnya sebagaimana dalam Husnu Tanabbuh fi Tarki Tasyabbuh karya Syaikh Muhammad al-Ghozzi 5/8.
 
Kedelapan: Riwayat Zuhri
 
Diriwayatkan Abu Dawud 1/172, al-Baihaqi 3/215.
 
Sanad hadis ini seluruh rawinya terercaya, hanya saja dia mursal. Oleh karena itu, dia termasuk hadis lemah dan tidak bisa dijadkan hujjah.
 
D. Syubhat dan Jawaban [Lihat Dzail Khotbah Hajat “Al-Umdah fi Raddi Syubuhat Abi Ghuddah” oleh Syaikh Salim bin I’ed al-Hilali, cet Dar Tauhid, Mesir]
 
Sebagian kalangan mengatakan, bahwa Khotbah Hajat ini hanyalah untuk akad pernikahan saja, bukan untuk segala hajat seperti Khotbah Jumat, pengajian, tulisan dan sebagainya. Oleh karenanya, para ulama salaf sejak dahulu hingga sekarang selalu meninggalkan Khotbah Hajat dalam tulisan-tulisan mereka (!). Dan karenanya pula para ulama ahli hadis mencantumkan khotbah ini dalam kitab nikah. [Lihat Majalah Markaz Buhuts Sunnah was Siroh, tulisan Syaikh Abdul Fattah Abu Ghuddah, edisi 9, tahun 1417 H).
 
Jawaban:
 
1. Khotbah Hajat Khusus dalam Akad Nikah?!
 
Bagi pemerhati hadis-hadis di atas akan jelas baginya, bahwa khotbah ini digunakan pada setiap khotbah, baik khotbah nikah, Khotbah Jumat dan sebagainya, bukan hanya khusus ketika akad pernikahan saja, sebagaimana anggapan sebagian orang. Lebih jelasnya, perhatikanlah riwayat Abu Dawud dalam hadis Ibnu Mas’ud berikut:
 
عَلَّمَنَا رَسُوْلُ اللهِ خُطْبَةَ الْحَاجَةِ فِيْ النِّكَاحِ وَغَيْرِهِ: الْحَمْدَ لِلَّهِ…
 
“Rasulullah ﷺ mengajari kami Khotbah Hajat dalam pernikahan dan selainnya.”
 
Dalam hadis ini sahabat Ibnu Mas’ud menyebutnya dengan “Khotbah Hajat,” yang hal itu berarti mencakup seluruh hajat dan kebutuhan yang penting. Tidak ragu lagi bahwa buah karya dan tulisan merupakan kebutuhan penting kaum Muslimin. Lantas kenapa harus dibeda-bedakan?!
 
Dan dalam riwayat lainnya:
 
عَلَّمَنَا رَسُوْلُ اللهِ التَّشَهُّدَ فِيْ الصَّلاَةِ وَالتَّشَهُّدَ فِيْ الْحَاجَةِ
 
“Rasulullah ﷺ mengajari kami Tasyahhud dalam salat, dan Tasyahhud dalam hajat.”
 
Dalam riwayat ini sahabat Ibnu Mas’ud mengiringkan antara Tasyahhud dalam salat dengan Tasyahhud dalam hajat. Pengiringan ini menunjukkan tentang pentingnya dan populernya. Maka sebagaimana Tasyahhud salat itu mencakup semua salat, baik salat wajib maupun salat sunnah, maka demikian juga Tasyahhud dalam hajat mencakup semua hajat, baik khotbah, muhadharah, kitab, dan sebagainya.
Hal yang memerkuat keumuman disyariatkannya khotbah ini dalam amal saleh adalah hadis Ibnu Abbas riwayat Imam Muslim (868) tentang kisah datangnya Dhimad ke Mekkah, dan Nabi ﷺ menyampaikan khotbah berberkah ini padanya, lalu kemudian dia masuk Islam setelah mendengarnya. Padahal saat itu tidak ada akad pernikahan sama sekali. (Namun perlu ditegaskan juga di sini, bahwa Khotbah Hajat hukumnya sunnah, sehingga jangan ada anggapan bahwa kami mewajibkannya. Bahkan kalau memang dikhawatirkan ada anggapan wajib, maka selayaknya untuk ditinggalkan kadang-kadang, agar tidak dianggap wajib. Wallahu a’lam)!!
 
2. Para ulama salaf bersepakat untuk meninggalkannya dalam tulisan?
 
Anggapan ini tidak benar dan bertentangan dengan kenyataan, karena para ulama salaf sendiri menyatakan tentang disyariatkannya hal itu dalam tulisan juga. Berikut beberapa ucapan mereka:
 
a. Imam ath-Thohawi dalam Muqaddimah kitabnya yang menakjubkan “Syarh Musykil Atsar” 1/6-7:
 
“Saya memulainya dengan apa yang dianjurkan oleh Rasululullah ﷺ dalam membuka segala hajat, sebagaimana telah diriwayatkan dari beliau beberapa hadis yang akan saya paparkan setelah ini insya Allah”. Lalu beliau membawakan Khotbah Hajat dan hadis-hadisnya.
 
b. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata:
“Oleh karena itu, khotbah ini dianjurkan dan dilakukan dalam pembicaraan dengan manusia, baik secara umum maupun secara khusus, berupa mengajarkan Alquran dan sunnah beserta penjelasannya, menasihati manusia, dan berdialog dengan mereka, hendaknya semua itu dibuka dengan Khotbah Syar’iyyah Nabawiyyah ini. Kami mendapati para ulama pada zaman kami, mereka memulai pelajaran tafsir atau fikih di masjid dan sekolah dengan khotbah selainnya, sebagaimana saya juga mendapati suatu kaum yang membuka akad pernikahan bukan dengan Khotbah Syar’iyyah ini, dan setiap kaum memiliki jenis sendiri yang berbeda-beda.
 
Hal itu karena hadis Ibnu Mas’ud tidaklah khusus berkaiatan tentang nikah, namun khotbah untuk setiap hajat dalam berdialog antara sesama manusia. Dan nikah termasuk di antaranya. Karena menjaga perkara sunnah dalam ucapan dan perbuatan pada semua ibadah dan adat merupakan jalan yang lurus. Adapun selainnya, maka hal itu kurang, sebab sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad”. [Majmu’ Fatawa 18/287-288]
 
Syaikh al-Albani berkata:
“Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah adalah di antara ulama yang paling semangat dalam memulai risalah dan kitab-kitabnya dengan khotbah ini. Hal itu merupakan di antara bukti-bukti kongkrit tentang kecintaan beliau kepada Nabi ﷺ dan sunnah beliau, serta semangat beliau dalam menghidupkannya”. [al-Ihtijaj bil Qodar hal. 3, Haqiqatus Shiyam hal. 9-10]
 
c. Al-Muhaqqiq as-Sindi berkata dalam Hasyiyah Nasa’i 3/105 mengomentari hadis Ibnu Mas’ud:
 
“Zahir hadis ini mencakup keumuman hajat, dalam pernikahan dan selainnya. Syaikh Ibnu Utsaimin juga menguatkan hal ini dalam Syarh Muqaddimah Tafsir hal. 5, katanya:
“Khotbah ini disebut dengan Khotbah Hajat, yang digunakan oleh seseorang tatkala hendak membicarakan tentang kebutuhannya, baik pernikahan maupun keperluan lainnya yang berkaitan dengan agama dan dunia. Oleh karena itu dia disebut Khotbah Hajat.”
 
Hal ini diperkuat dengan sebagian riwayat. Maka hendaknya seorang untuk mengamalkan khotbah ini dalam untuk kesempurnaan hajat/ kebutuhannya…”.
 
3. Para Ulama Ahli Hadis Mencantumkannya Dalam Kitab Nikah Saja?!
 
Pembatasan ini pun tidak benar, sebab banyak juga di antara ahli hadis yang mencantumkannya pada selain kitab nikah, di antaranya:
 
1. Imam Muslim mencantumkannya dalam kitab Jumat.
 
2. Imam Baihaqi dalam Sunan Kubro mencantumkannya dalam kitab Jumat.
 
3. Imam Nasa’i dalam Amalul Yaum wa Lailah membuat bab “Ucapan yang dianjurkan ketika hajat”. Dalam Sunannya beliau mencantumkan dalam Salat I’edain dan Jumat.
 
4. Abu Dawud dalam Sunannya dan al-Marasil mencantumkannya dalam kitab Jumat.
 
Semua itu menunjukkan bahwa khotbah ini mencakup umum dalam nikah, Khotbah Jumat, Khotbah Ied, pelajaran, pengajian, kitab dan selainnya. Wallahu a’lam.
 
E. Mutiara Khotbah Hajat
 
Sesungguhnya Khotbah Hajat ini menyimpan mutiara-mutiara yang amat berharga bagi orang yang merenunginya. Oleh karenanya, selayaknya bagi kita untuk menyelam guna menggapainya. Sungguh, betapa sering kita mendengarnya! Betapa sering kita menyampaikannya! Tapi sudahkah kita benar-benar memahaminya?!! Berikut ini saya mengajak saudara-saudara kami untuk bersama-sama menggali sebagian mutiara tersebut. Semoga bisa dijadikan sebagai jembatan untuk meluaskan jalannya:
 
1. Memuji Allah, Pembuka Khotbah
 
Faidah: Khotbah diambil dari kata “khotb” yaitu kesulitan atau urusan besar. Hal itu karena orang-orang Arab dulu apabila tertimpa masalah besar, maka mereka berpidato, lalu orang-orang berdatangan untuk berkumpul dan berfikir bersama untuk mencari solusinya. [Kitab at-Ta’yin fi Syarhil Arba’in ath-Thufi hal. 3]
 
Nabi Muhammad ﷺ selalu membuka khotbahnya dengan al-hamdalah (memuji Allah). Tidak ada satu hadis pun yang menunjukkan bahwa beliau membukanya dalam khotbah hari raya maupun selainnya dengan takbir. [Zadul Ma’ad Ibnu Qayyim 1/431]
 
Adapun makna ( الْحَمْدُ ) adalah menyebut kebaikan yang dipuji dengan kecintaan dan pengagungan [Majmu Fatawa 8/378]. Berbeda dengan kata ( الْمَدْحُ ) maksudnya adalah sekadar pujian, walaupun tanpa pengagungan dan kecintaan, seperti halnya pujian para penyair kepada para pemimpin, yang biasanya hanya sekadar untuk meraup harta dari mereka. [Badaiul Fawaid Ibnu Qayyim 2/536]
 
Sedangkan (الْ) berfungsi istighroq, yang bermakna bahwa semua dan segala pujian hanya bagi Allah semata. [Majmu Fatawa 1/89]
 
Mengapa Allah berhak untuk dipuji?! Jawabannya karena kesempurnaan nama dan sifat-Nya dari segala segi. Demikian juga karena banyaknya kenikmatan yang Dia berikan kepada kita semua.
 
وَمَا بِكُم مِّن نِّعْمَةٍ فَمِنَ اللهِ
 
“Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya). [QS. An-Nahl: 53) [Syarh Aqidah Wasithiyyah Ibnu Utsaimin 1/39]
 
2. Meminta Pertolongan Kepada Allah dan Memohon Ampunan Kepada Allah
 
Hal itu karena seorang hamba di antara dua hal:
 
Pertama: Perbuatan Allah kepadanya berupa nikmat, maka hal ini membutuhkan pujian dan syukur.
 
Kedua: Perbuatan hamba sendiri yang tidak lepas dari kebaikan yang membutuhkan kepada pertolongan Allah, dan kejelekan yang membutuhkan ampunan Allah. [Majmu’ Fatawa 18/285]
 
3. Bersandar Kepada Allah dari Kejahatan Jiwa
 
Kita bersandar kepada Allah dari kejahatan-kejahatan jiwa kita. Perhatikanlah wahai saudaraku, setelah kita diajarkan untuk memohon Maghfirah kepada Allah, sesudah itu kita diajarkan untuk bersandar kepada Allah dari dosa-dosa yang belum terjadi.
 
Maghfirah adalah menutupi dosa di dunia dan mengampuninya di Akhirat. Diambil dari kata “Mighfar” yaitu topeng besi yang biasa dipakai orang perang untuk menutupi kepalanya dari senjata musuh. [al-Qaulul Mufid, Ibnu Utsaimin 2/330]
 
Bila ada yang bertanya: Apakah jiwa memiki kejahatan?! Jawabnya: Ya, sebagaimana firman Allah:
 
وَمَآأُبَرِّئُ نَفْسِي إِنَّ النَّفْسَ لأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ
 
“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan.” [QS. Yusuf: 53]
 
Perlu diketahui bahwa kejahatan jiwa berputar pada dua perkara:
 
• Pertama: Ajakan kepada kemaksiatan.
• Kedua: Menghambat dari ketaatan.
 
Obat dua penyakit ini adalah kesempurnaan iman kepada Allah, dan merenungi akibat perbuatan, sehingga dapat mengerem seseorang dari lembah kemaksiatan. [Syarh Ushul min Ilmi Ushul Ibnu Utsaimin hal. 16]
 
4. Berlindung dari Jeleknya Amal Perbuatan
 
Amal hamba tidak terlepas dari tiga macam:
 
Pertama: Amal saleh
Kedua: Amal tidak saleh (jelek)
Ketiga: Amal tidak saleh dan tidak jelek (baca: mubah)
Ketahuilah wahai saudaraku, bahwa amal yang jelek memiliki dampak negatif bagi pribadi dalam hati, lisan, dan anggota badannya. Salah seorang salaf pernah berkata:
“Apabila saya bermaksiat, maka saya dapat mengetahui pengaruhnya pada kendaraan dan keluargaku”.
 
Kemaksian juga memiliki dampak negatif bagi masyarakat dalam perekonomian dan keamanan mereka. Perhatikanlah firman Allah:
 
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
 
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” [QS. Ar-Ruum: 41] [Syarh Ushul fi Tafsir Ibnu Utsaimin hal. 9]
 
5. Hidayah dan Kesesatan Hanya di Tangan Allah
 
Yakni barang siapa yang ditakdirkan oleh Allah mendapat petunjuk, maka tidak ada seorang pun yang dapat menyesatkannya, sekalipun semua manusia sedunia dan dengan segala cara. Demikian juga sebaliknya, apabila Allah menakdirkan seseorang untuk tersesat, maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk, sekalipun dia seorang Nabi. Karena hanya di tangan Allah-lah segala urusan. Allah berfirman kepada Nabi-Nya tatkala bersemangat untuk mengislamkan paman kesayangannya, Abu Thalib:
 
إِنَّكَ لاَتَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللهَ يَهْدِي مَن يَشَآءُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
 
“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya. Dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk. [QS. Al-Qoshos: 56]
 
Hal ini memberikan kepada kita beberapa faidah:
 
a. Iman kepada takdir
 
b. Banyak berdoa kepada Allah agar menetapkan kita di atas hidayah, dan menjauhkan kita dari kesesatan, karena semua itu ada di tangan-Nya saja.
 
c. Tidak bersandar pada diri sendiri, karena hal itu akan mengantarkan kepada penyakit ujub (bangga diri).
 
d. Hiburan bagi para dai apabila dakwahnya tidak diterima, agar dia tidak sedih dan gelisah apabila dia telah menunaikan kewajiban dakwahnya.
 
6. Memahami Makna Syahadatain
 
Hal ini sangat penting, karena inilah kunci kebahagiaan dunia dan Akhirat. Makna saya bersaksi yakni: “Saya yakin dan percaya dengan sepenuh hati, seperti saya menyaksikan sendiri dengan mata kepala saya.”
 
Perhatikanlah dalam Syahadat digunakan dhomir mufrod/ tunggal yaitu “aku,” sedangkan sebelumnya dalam pujian, minta tolong dan ampunan digunakan dhomir nahnu “kami”. Apakah rahasia di balik itu?! Hal itu karena persaksian tidak bisa diwakilkan oleh orang lain. Berbeda dengan minta tolong dan minta ampunan. Hal lainnya karena persaksian berarti menyampaikan isi hatinya, karena dia tahu tentang dirinya sendiri. Berbeda dengan isi hati orang lain, dia tidak mengetahuinya. [Lihat Tahdzib Sunan Ibnu Qayyim 3/54]
 
Syahadat ( لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ ) maksudnya adalah:
 
Tidak ada Sesembahan yang berhak untuk diibadahi dengan benar kecuali hanya Allah semata, sebagaimana tidak pencipta, pemberi rezeki dan pengatur alam selain Allah.
 
Dan perlu diketahui bahwa Syahadat ini memiliki dua rukun yang utama:
 
Pertama: Nafi (peniadaan) yang terdapat pada kata “Tiada Sesembahan” ( لاَ إِلَهَ ) dan dikuatkan dengan kata “Tiada sekutu bagi-Nya” (شَرِيْكَ لَهُ لاَ) untuk membuang dan meniadakan semua Sesembahan selain Allah siapapun dia, baik malaikat atau nabi.
 
Kedua: Itsbat (penetapan) yang terdapat pada kata “kecuali Allah” (إِلاَّ اللَّهُ ), dan dikuatkan dengan kata “hanya Dia saja” (وَحْدَهُ ) untuk menetapkan bahwa hanya Allah semata yang berhak untuk diibadahi, bukan selain-Nya.
 
Adapun makna Syahadat Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya adalah:
 
1. Mengerjakan semua perintahnya
 
2. Menjauhi segala larangannya
 
3. Membenarkan beritanya
 
4. Tidak beribadah kepada Allah kecuali dengan syariat yang dibawanya.
 
Persaksian kita bahwa Muhammad adalah “hamba,” berarti tidak boleh bagi kita untuk berlebihan kepadanya, dan mengangkatnya di atas kedudukan yang telah diberikan Allah, seperti meminta pertolongan kepada beliau setelah wafatnya, atau menyifati beliau mengetahui ilmu gaib secara mutlak dan lain sebagainya.
 
Dan persaksian kita bahwa beliau adalah “Rasul” berarti kita harus memuliakannya, membenarkan ucapannya, dan tidak meremehkannya.
 
7. Takwa dan Pembenahan Batin
 
Hal ini dipetik dari kandungan tiga ayat yang dibaca oleh Rasulullah ﷺ, yang semuanya menganjurkan untuk takwa dan pembenahan batin. Karena memang takwa merupakan kunci kebahagian dunia dan Akhirat, dan pembenahan hati berarti pembenahan anggota tubuh lainnya. Maka merupakan kewajiban bagi kita semua untuk lebih memerhatikan masalah batin daripada hanya sekadar penampilan luar.
 
8. Sunnahnya Ucapan: Amma Ba’du (Adapun setelah itu)
 
Hal ini juga merupakan Sunnah Nabi yang sering dilakukan oleh beliau. Imam Bukhari membuat bab dalam Sahihnya 1/292: “Bab: Orang Yang Mengatakan: Amma Ba’du setelah memuji Allah dalam khotbah”. Sebagian ahli hadis mengumpulkan riwayat-riwayat penyebutan “Amma ba’du” sehingga mencapai tiga puluh dua sahabat. [Subulus Salam ash-Shan’ani 2/136]
 
Kalimat “Amma Ba’du” digunakan untuk:
 
Perpindahan dari pembukaan menuju tema pembicaraan, bukan sebagimana dikatakan oleh sebagian ahli Bahasa, bahwa kata tersebut untuk perpindahan dari uslub (gaya bahasa) ke uslub lainnya, seperti dari perintah ke uslub khabar atau sebaliknya [Syarh Nuzhatun Nadzar, Ibnu Utsaimin hal. 20].
 
Al-Hafizh Ibnu Rajab menjelaskan:
“Tujuan memisah antara memuji Allah dengan ucapan setelahnya adalah sindiran, bahwa semua perkara dunia dan agama, sekalipun besarnya bagaimana, semua itu pada hakikatnya mengikuti pujian Allah”. [Fathul Bari 5/484]
 
9. Keunggulan Alquran
 
Kebaikan dan keunggulan Alquran mencakup beberapa perkara berikut:
 
1. Kejujuran beritanya dan keadilan hukumnya
 
وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ صِدْقًا وَعَدْلاً
 
Telah sempurnalah kalimat Rabbmu (Alquran), sebagai kalimat yang benar dan adil. [QS. Al-An’am: 115]
 
2. Kefasihan bahasanya. Oleh karena itu menantang para sastra Arab untuk mendatangkan semisalnya!
 
3. Kedahsyatan pengaruhnya bagi pribadi secara khusus berupa kesejukan hati bagi pembacanya, dan manusia secara umum, sehingga betapa banyak negeri ditaklukkan dengannya!!
 
10. Berpegang Teguh dengan Petunjuk dan Jalan Nabi Muhammad
 
Ketahuilah bahwa pada kata ( وَخَيْرَ الْهَُدَْيِ هَُدَْيُ مُحَمَّدٍ ) ada dua bacaan:
 
Pertama: ( الْهُدَى ) dengan mendhommah ha’ dan menfathah dal bermakna petunjuk, lawan dari kesesatan.
 
Kedua: ( الْهَدْيِ ) dengan menfathah ha’ dan mensukun dal bermakna jalan. [Syarh Muslim Nawawi 6/154]
Faidah dari ungkapan ini adalah anjuran bagi kita untuk berpegang teguh dengan jalan dan petunjuk Nabi kita, baik dalam ibadah maupun muamalat. Dan hal ini memiliki beberapa faidah, di antaranya:
 
• Menjadikan Nabi kita ﷺ sebagai suri tauladan
• Merasa tegar karena dia berpegang pada pegangan yang kuat
• Berusaha untuk berakhlak seperti akhlak Nabi ﷺ
• Menjadi panutan di masyarakatnya
 
11. Bahaya Bidah dalam Agama
 
Bidah adalah suatu jalan baru dalam agama yang menyerupai syariat, di mana pelakunya melakukan hal itu dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah. [Al-I’tishom asy-Syathibi 1/43, tahqiq Masyhur Hasan]
 
Adapun masalah-masalah dunia, maka tidak disebut bidah yang tercela, seperti penemuan-penemuan modern yang tidak ada pada zaman Nabi. Fahamilah hal ini baik-baik!!
 
Maka waspadalah saudaraku dari perkara-perkara baru dalam agama, baik berupa ucapan, perbuatan, keyakinan yang menggeliat pada zaman sekarang. Karena semua itu sejelek-jelek perkara yang diperingatkan oleh Nabi kita ﷺ. Sungguh benar sabda beliau tatkala menyifati bidah sebagi perkara yang terjelek, karena konsekuansi bidah adalah sangat berat, di antaranya:
 
• Mendustakan kesempurnaan agama Islam. Seakan-akan dia mengatakan bahwa agama Islam ini belum sempurna, sehingga perlu ditambahi dengan bidah tersebut.
• Menuduh Nabi ﷺ dengan dua sifat yang sama-sama pahitnya, yaitu dengan “khianat” karena beliau ﷺ menyembunyikan dan tidak menyampaikannya kepada umat. Atau “jahil” karena Nabi ﷺ tidak mengetahui apa yang diketahui oleh pelaku bidah tersebut.
• Menjadikan tandingan bagi Allah dalam membuat syariat.
• Menyebabkan perpecahan dan pertikaian di antara umat.
• Mematikan Sunnah Nabi ﷺ.
 
12. Semua bidah sesat
 
Demikianlah sabda Nabi ﷺ yang tegas, sekalipun hal itu dianggap baik oleh kebanyakan manusia, dan menamainya dengan Bidah Hasanah!! Aduhai, dari manakah mereka mendapatkan wahyu pengecualian tersebut?!! Bukankah ini berarti sebuah kritikan kepada hadis Nabi ﷺ dan pengkhususan dari keumuman tanpa dalil?!! Sekali lagi, janganlah engkau tertipu dengan label “Bidah Hasanah” dalam agama, karena istilah itu sendiri merupakan sebuah istilah yang bidah!! [Syaikh Salim al-Hilali telah menepis syubhat-syubhat para penganut faham “Bidah Hasanah,” dan meruntuhkannya satu persatu secara bagus dalam risalahnya “Al-Bidah wa Atsaruha Sayyi’ fil Ummah” hal. 207-247 -Jami’ Rosail-]
 
Demikianlah penjelasan secara ringkas. Sebenarnya masih banyak dalam benak ini beberapa masalah yang ingin dituangkan. Tetapi semoga saja yang sedikit ini bisa bermanfaat dan berberkah bagi diri kami dan saudara-saudara kami semua. Allahu a’lam.
 
 
Disusun oleh: Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi
 
 
 
Ikuti kami selengkapnya di:
WhatsApp: +61 (450) 134 878 (silakan mendaftar terlebih dahulu)
Website: https://nasihatsahabat.com/
Twitter: @NasihatSalaf
Facebook: https://www.facebook.com/nasihatsahabatcom/
Instagram: NasihatSahabatCom
Telegram: https://t.me/nasihatsahabat
Pinterest: https://id.pinterest.com/nasihatsahabat
Baca juga:
PELAJARAN PENTING DALAM KHOTBAH HAJAH NABI
PELAJARAN PENTING DALAM KHOTBAH HAJAH NABI
PELAJARAN PENTING DALAM KHOTBAH HAJAH NABI
PELAJARAN PENTING DALAM KHOTBAH HAJAH NABI
PELAJARAN PENTING DALAM KHOTBAH HAJAH NABI
PELAJARAN PENTING DALAM KHOTBAH HAJAH NABI
PELAJARAN PENTING DALAM KHOTBAH HAJAH NABI
PELAJARAN PENTING DALAM KHOTBAH HAJAH NABI
PELAJARAN PENTING DALAM KHOTBAH HAJAH NABI