بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

 

MENG-QASHAR SALAT KETIKA SAFAR

Saat safar, apakah wajib mengqashar salat?

Asalnya salat itu sempurna, bukan qashar. Apakah hukum qashar salat saat safar itu wajib (fardhu) ataukah boleh (mubah)?

Ulama Syafi’iyyah dan ulama Hanbali berpendapat, bahwa qashar salat itu dibolehkan dan merupakan keringanan bagi musafir, karena safar itu umumnya menyulitkan musafir. Dalil akan bolehnya qashar adalah firman Allah ﷻ:

وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا

“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu meng-qashar salat-(mu), jika kamu takut diserang oleh orang-orang kafir.” [QS. An-Nisa’: 101]

Dalam ayat, qashar salat dikaitkan dengan rasa takut, karena pada umumnya safar seperti itu.

Qashar adalah suatu keringanan (rukhsah). Dalam hadis disebutkan:

صَدَقَةٌ تَصَدَّقَ اللَّهُ بِهَا عَلَيْكُمْ فَاقْبَلُوا صَدَقَتَهُ

“(Qashar salat) adalah sedekah yang diberikan oleh Allah kepada kalian. Maka terimalah sedekah tersebut.” [HR. Muslim, no. 686]

Mayoritas ulama berpendapat, bahwa qashar salat itu boleh, karena merupakan bagian dari rukhsah (keringanan). Inilah pendapat Jumhur Ulama dari Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanbali. Kemudian mereka berselisih pendapat, manakah yang lebih afdhal: Apakah qashar salat ataukah itmam (tanpa qashar)?

Adapun ulama Hanafiyyah, salah satu pendapat dari Malikiyyah, dan ulama Zhahiriyah berpandangan, bahwa qashar salat adalah bagian dari kewajiban. Yang berpendapat seperti ini berselisih pendapat lagi, apakah salatnya batal ataukah tidak, jika salat tersebut dikerjakan secara sempurna (itmam). Dalil yang menyatakan bahwa mengqashar salat itu wajib saat safar adalah hadis:

فُرِضَتِ الصَّلاَةُ رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ فِى الْحَضَرِ وَالسَّفَرِ فَأُقِرَّتْ صَلاَةُ السَّفَرِ وَزِيدَ فِى صَلاَةِ الْحَضَرِ

“Dulu salat diwajibkan sebanyak dua rakaat, dua rakaat ketika tidak bersafar dan ketika bersafar. Kewajiban salat dua rakaat ini masih berlaku ketika safar. Namun jumlah rakaatnya ditambah ketika tidak bersafar.” [HR. Bukhari, no. 350 dan Muslim, no. 685]

Di antara pendalilan Jumhur atau Mayoritas Ulama adalah dari hadis yang menceritakan praktik amalan ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu. Diriwayatkan dari ‘Abdurrahman bin Yazid, ia berkata:

صَلَّى بِنَا عُثْمَانُ بِمِنًى أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ فَقِيلَ ذَلِكَ لِعَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ فَاسْتَرْجَعَ ثُمَّ قَالَ صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِمِنًى رَكْعَتَيْنِ وَصَلَّيْتُ مَعَ أَبِى بَكْرٍ الصِّدِّيقِ بِمِنًى رَكْعَتَيْنِ وَصَلَّيْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ بِمِنًى رَكْعَتَيْنِ فَلَيْتَ حَظِّى مِنْ أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ رَكْعَتَانِ مُتَقَبَّلَتَانِ

“’Utsman pernah salat bersama kami di Mina sebanyak empat rakaat. Hal itu lantas diceritakan kepada ‘Abdullah bin Mas’ud. Kemudian Ibnu Mas’ud ber-istirja’ (mengucapan inna lillahi wa inna ilaihi raji’un). Kemudian Ibnu Mas’ud berkata: ‘Aku pernah salat bersama Rasulullah ﷺ di Mina sebanyak dua rakaat, bersama Abu Bakar Ash-Shiddiq di Mina sebanyak dua rakaat, dan bersama ‘Umar bin Al-Khatthab di Mina sebanyak dua rakaat. Andai saja ‘Utsman mengganti empat rakaat menjadi dua rakaat yang diterima.” [HR. Bukhari, no. 1084 dan Muslim, no. 695]

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar, ia berkata:

عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِمِنًى رَكْعَتَيْنِ وَأَبُو بَكْرٍ بَعْدَهُ وَعُمَرُ بَعْدَ أَبِى بَكْرٍ وَعُثْمَانُ صَدْرًا مِنْ خِلاَفَتِهِ ثُمَّ إِنَّ عُثْمَانَ صَلَّى بَعْدُ أَرْبَعًا. فَكَانَ ابْنُ عُمَرَ إِذَا صَلَّى مَعَ الإِمَامِ صَلَّى أَرْبَعًا وَإِذَا صَلاَّهَا وَحْدَهُ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ.

“Rasulullah ﷺ melaksanakan salat di Mina sebanyak dua rakaat, begitu pula Abu Bakr setelah itu, dan ‘Umar setelahnya. Adapun ‘Utsman pada masa-masa awal kekhalifahannya melaksanakan qashar salat. Namun setelah itu ia melaksanakan salat empat rakaat.” Jika Ibnu ‘Umar salat (bermakmum) di belakang imam, ia salat sempurna empat rakaat (tanpa qashar). Adapun jika ia salat sendiri, ia salat dua rakaat. [HR. Muslim, no. 694]

Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan:
“Ibnu Mas’ud berandai-andai, jika saja ‘Utsman mau mengerjakan dua rakaat, bukan empat rakaat seperti yang ia lakukan. Sebagaimana Nabi ﷺ, begitu pula Abu Bakr, ‘Umar, dan ‘Utsman pada masa-masa awal khilafahnya melakukan qashar salat. Maksud Ibnu Mas’ud, praktik amalan yang dilakukan ‘Utsman itu menyelisihi amalan Rasulullah ﷺ, begitu pula menyelisihi praktik dari Abu Bakr dan ‘Umar. Oleh karenanya, Ibnu Mas’ud masih memerbolehkan salat dengan sempurna (tanpa qashar). Ibnu Mas’ud juga pernah salat bermakmum di belakang ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu dengan sempurna tanpa qashar. Seandainya menurut Ibnu Mas’ud qashar salat itu wajib, tentu ia tidak memerbolehkan untuk meninggalkan qashar salat ketika seseorang bermakmum (dalam salat) di belakang siapa pun.” [Syarh Shahih Muslim, 5:182]

Alasan Jumhur atau Mayoritas Ulama, amalan Nabi ﷺ yang semata beliau ﷺ lakukan terus-menerus tidaklah menunjukkan bahwa amalan tersebut wajib. Dengan demikian, kesimpulannya adalah qashar salat itu tidak wajib, namun dia bagian dari rukhsah (keringanan).

Intinya:
• Ketika seorang musafir bersafar, lebih afdhal baginya untuk meng-qashar salat dibandingkan tidak meng-qashar, jika dia menjadi makmum di belakang imam yang juga musafir, atau bila dia salat sendirian.
• Ketika seorang musafir bermakmum di belakang imam yang mukim (tidak bersafar) yang mengerjakan salat tanpa meng-qashar, maka musafir tersebut tetap mengerjakan salat tanpa meng-qashar.

Catatan: Perlu diingat, bahwa meng-qashar salat tetap boleh dilakukan walaupun safar yang dilakukan penuh kemudahan. Keringanan qashar salat itu ada karena seseorang melakukan safar, bukan karena dia ditimpa kesulitan. Nabi ﷺ bersabda:

إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ شَطْرَ الصَّلاَةِ

“Allah ‘Azza wa Jalla melepaskan dari musafir separuh salat.” [HR. Abu Daud, no. 2408 dan Tirmidzi, no. 715. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadis ini Hasan]

Lama Waktu untuk Qashar Salat

Disebutkan dalam Majmu’ah Al-Fatawa karya Ibnu Taimiyyah: “Ada seseorang yang ingin bersafar ke suatu tempat. Dia ingin bermukim di tempat tersebut selama sebulan atau lebih. Apakah salatnya dikerjakan secara tamam (sempurna, yaitu empat rakaat untuk Salat Ruba’iyyah)? Ataukah diqashar (menjadi dua rakaat untuk Salat Ruba’iyyah)?”

Jawaban Ibnu Taimiyyah rahimahullah:
“Jika seseorang berniat mukim selama empat hari atau kurang dari itu, salatnya boleh diqashar. Sebagaimana yang dipraktikkan oleh Nabi ﷺ; beliau mengerjakan salat di Mekkah kala beliau mukim selama empat hari di sana. Saat itu beliau meng-qashar salat.

Adapun jika mukimnya lebih dari empat hari, para ulama berselisih pendapat. Yang lebih hati-hati adalah mengerjakan salat secara sempurna (tamam), yaitu tidak diqashar.

Adapun jika ia mengatakan: “Besok aku akan bersafar lagi,” atau ia berkata bahwa setelah besok, dia akan bersafar lagi dan ia tidak berniat untuk mukim, maka ia boleh terus-terusan meng-qashar salat, karena Nabi ﷺ pernah tinggal di Mekkah selama sekitar sepuluh hari, dan beliau meng-qashar salat. Begitu pula Nabi ﷺ menetap di Tabuk selama 20 malam. Ketika itu beliau meng-qashar salat. Wallahu a’lam.” [Majmu’ah Al-Fatawa, 24:17]

Jika musafir berniat untuk mukim lebih dari empat hari, sikap yang lebih hati-hati adalah dia mengerjakan salat secara sempurna (tidak diqashar). Inilah pendapat Jumhur atau Mayoritas Ulama dari ulama Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanbali.

Di antara dalil yang digunakan oleh Jumhur Ulama adalah hadis Al-‘Ala’ bin Al-Hadhrami. Ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah ﷺ bersabda:

يُقِيمُ الْمُهَاجِرُ بِمَكَّةَ بَعْدَ قَضَاءِ نُسُكِهِ ثَلاَثًا

“Orang Muhajirin bermukim selama tiga hari di Mekkah setelah menunaikan manasiknya.” [HR. Muslim, no. 1352]

Ulama Syafi’iyyah berdalil, bahwa jika seorang musafir menetap (mukim) selama tiga hari, maka tidaklah berlaku hukum mukim kepadanya. Orang dengan keadaan seperti itu tetap dikenai hukum musafir. Ulama Syafi’iyyah menyatakan, bahwa jika musafir berniat mukim di suatu negeri selama tiga hari, selain dari hari masuknya atau keluarnya dari negeri tersebut, maka ia boleh mengambil keringanan saat safar, yaitu meng-qashar salat, tidak berpuasa, dan keringanan lainnya. Tidak berlaku baginya hukum mukim. [Lihat Syarh Shahih Muslim, 9:108]

 

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal, MSc
Sumber: https://rumaysho.com/27273-syarhus-sunnah-qashar-shalat-dan-pilihan-puasa-saat-safar.html

══════

Mari sebarkan dakwah sunnah dan meraih pahala. Ayo di-share ke kerabat dan sahabat terdekat! Ikuti kami selengkapnya di:

WhatsApp: +61 405 133 434 (silakan mendaftar terlebih dahulu)
Website: https://nasihatsahabat.com/
Email: [email protected]
Twitter: @NasihatSalaf
Facebook: https://www.facebook.com/nasihatsahabatcom/
Instagram: NasihatSahabatCom
Telegram: https://t.me/nasihatsahabat
Pinterest: https://id.pinterest.com/nasihatsahabat