MEMBONGKAR KESESATAN DAN PENYIMPANGAN GERAKAN DAKWAH IKHWANUL MUSLIMIN

Oleh: Ustadz Abu Ihsan Al-Atsary Al-Medany

Sejarah Ikhwanul Muslimin

Ikhwanul Muslimin adalah pergerakan Islam – yang didirikan oleh Hasan Al-Banna (1906-1949 M) di Mesir pada tahun 1941 M. Di antara tokoh-tokoh pergerakan itu ialah: Said Hawwa, Sayyid Quthub, Muhammad Al-Ghazali, Umar Tilimsani, Musthafa As-Siba`i, dan lain sebagainya.

Sejak awal mula didirikan pergerakan ini banyak dipengaruhi oleh pemikiran Jamaludin Al-Afghani, seorang penganut Syi`ah Babiyah, yang berkeyakinan wihdatul wujud. Dan keyakinan bahwa kenabian dan kerasulan diperoleh lewat usaha, sebagaimana halnya menulis dan mengarang. Dia (Jamaludin Al-Afghani) kerap mengajak kepada pendekatan Sunni-Syiah [1] bahkan juga mengajak kepada persatuan antar agama [2]

Gerakan itu lalu bergabung ke banyak negara seperti: Syiria, Yordania, Iraq, Libanon, Yaman, Sudan dan lain sebagainya [3]. Ia (JAMALUDIN AL-AFGHANI) telah dihukumi /dinyatakan oleh para ulama negeri Turki, dan sebagian masyayikh Mesir sebagai ORANG MULHID, KAFIR, ZINDIQ, DAN KELUAR DARI ISLAM.

Farid bin Ahmad bin Manshur menyatakan bahwa Ikhwanul Muslimin banyak dipengaruhi oleh pemikiran Jamaludin Al-Afghani pada beberapa hal, di antaranya:

  1. Menempatkan politik sebagai prioritas utama
  2. Mengorganisasikan secara rahasia
  3. Menyerukan peraturan hukum demokrasi
  4. Menghidupkan dan menyebarkan seruan nasionalisme
  5. Mengadakan peleburan dan pendekatan dengan Syiah Rafidhah, berbagai kelompok sesat, bahkan kaum Yahudi dan Nasrani. [4]

Oleh sebab itu, jamaah Ikhwanul Muslimin banyak memiliki penyimpangan dari kaidah-kaidah Islam yang dipahami As-Salaf As-Shalih. Di antara penyimpangan tersebut misalnya:

  • Tidak memerhatikan masalah akidah dengan benar
  • Menghidupkan bid’ah
  • Ta’ashub / fanatik terhadap pendapat ulamanya
  • Manhaj dakwah yang melenceng dari syariat
  • Mendahulukan urusan politik daripada syariat

Yang berikut adalah penjelasannya:

Tidak Memerhatikan Masalah Akidah dengan Benar

Syaikh Abdul Aziz bin Bazz berkata sebagaimana dalam majalah Al-Majalah edisi 806 tanggal 25/2/1416 H halaman 24:

”Harakah Ikhwanul Muslimin telah dikritik oleh para ahlul ‘ilmi yang mu’tabar (terkenal). Salah satunya (karena) mereka tidak memerhatikan masalah dakwah kepada tauhid dan memberantas syirik serta bid’ah. Maka sewajibnya bagi Ikhwanul Muslimin untuk memerhatikan dakwah Salafiyah, dakwah kepada tauhid, mengingkari ibadah kepada kubur-kubur, dan meminta pertolongan kepada orang-orang yang sudah mati seperti Hasan, Husein, Badawi dan sebagainya. Wajib bagi mereka untuk memunyai perhatian khusus dengan makna Laa Ilaaha Illallah, karena inilah pokok agama dan suatu yang pertama kali didakwahkan oleh Rasulullah ﷺ yang mulia di kota Mekkah!!. Bukti nyata bahwa jamaah Ikhwanul Muslimin tidak memerhatikan perkara akidah dengan benar, adalah banyaknya anggota yang jatuh dalam kesyirikan dan kesesatan, serta tidak memiliki konsep akidah yang jelas.

Hal itu juga bahkan terjadi pada para pemimpin dan tokoh-tokohnya, yang menjadi ikutan bagi anggota-anggotanya seperti: Hasan Al-Banna, Said Hawwa, Sayyid Quthub, Muhammad Al-Ghazali, Umar Tilimsani, Musthafa As-Siba`i dan lain sebagainya.

Seorang tokoh Islam (Muhammad bin Saif Al-A`jami) menceritakan, bahwa Umar Tilimsani yang menjabat Al-Mursyidu Al-`Am dalam organisasi Ikhwanul Muslimin dalam jangka waktu yang lama, pernah menulis buku yang berjudul “Syahidu Al-Mihrab Umar bin Al-Khattab (Umar bin Al-Khattab yang Wafat Syahid Dalam Mihrab) “Buku ini penuh dengan ajakan kepada syirik, menyembah kuburan, membolehkan beristighatsah kepada kuburan, dan berdoa kepada Allah Azza wa Jalla di samping kubur. Tilimsani juga menyatakan bahwa kita tidak boleh melarang dengan keras penziarah kubur yang melakukan amalan seperti itu.

Coba simak teks perkataannya pada hal 225-226: “Sebagian orang menyatakan bahwa Rasulullah ﷺ memohonkan ampun untuk mereka (penziarah kubur) tatkala beliau masih hidup saja. Tetapi saya tidak mendapatkan alasan pembatasan itu pada masa hidup beliau saja. Dan di dalam Alquran, tidak ada yang menunjukkan adanya pembatasan tersebut”.

Di sini, dia (Umar Tilimsani –pent) menganggap, bahwa memohon kepada Rasulullah ﷺ sesudah kematian beliau, beristighatsah dan beristghfar dengan perantaraannya, hukumnya boleh-boleh saja. Pada hal 226 dia juga menyatakan: “Oleh karena itu saya cenderung kepada pendapat yang menyatakan bahwa beliau ﷺ telah memohonkan ampunan di kala beliau masih hidup, maupun sesudah matinya – bagi siapa yang mendatangi kuburan yang mulia”.

Pada halaman yang sama dia juga menyebutkan: ”Oleh karena itu, kita tidak perlu berlaku keras dalam mengingkari orang yang meyakini karamah para wali, sambil berlindung kepada mereka di kuburan-kuburan mereka yang disucikan, berdoa kepada mereka tatkala tertimpa kesusahan. Yang juga mereka yakini, bahwa karamah para wali tersebut termasuk kemukjizatan para nabi.”

Kemudian pada halaman 231 ia menyatakan: “Maka kita tidak perlu memerangi wali-wali Allah Azza wa Jalla dan orang-orang yang menziarahi serta berdoa disamping kuburan-kuburan mereka”.

Demikianlah, tidak ada satu pun bentuk syirik terhadap kuburan yang tidak dibolehkan, sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Mursyidu Al-`Am dari Ikhwanul Muslimin itu. Karena kegandrungannya dan kecintaannya yang mendalam terhadap bentuk-bentuk perbuatan syirik dan kufur semacam inilah, sehingga Tilimsani menyatakan: “Maka kita tidak perlu memerangi (orang yang mereka anggap) wali-wali Allah Azza wa Jalla dan orang-orang yang menziarahi, serta berdoa di samping kuburan-kuburan mereka”.

Tilimsani sendiri juga hidup di Mesir, yang terdapat banyak kuburan, di mana dilakukan syirik terbesar, bahkan lebih besar dari syirik ummat jahiliyah pertama. Kuburan-kuburan dijadikan tempat berthawaf dan tempat memohon segala sesuatu yang seharusnya hanya ditujukan kepada Allah .

Di antara yang mereka anggap wali, kebanyakannya adalah kumpulan orang-orang zindiq dan mulhid, seperti: Sayyid Da`iyyah Fathimi yang tak pernah melakukan shalat. Di antaranya juga ada Kaum Sufi yang “Keblinger”, seperti: Syadzili, Dasuki, Qonawi dan lain sebagainya, yang ada di setiap kota dan pedesaan. Orang-orang itulah yang jadi wali-wali mereka. Dan kuburan-kuburan mereka itulah yang dipublikasikan oleh ”Al-Mursyidu Al-`Am/pemimpin umum” dari Ikhwanul Muslimin itu.

Dia kembali menyatakan pada halaman 231 sebagai berikut: ”Meskipun hati saya sudah demikian cinta, suka dan bergantung kepada wali-wali Allah itu, meskipun saya amat gembira dan senang menziarahi mereka di tempat-tempat kediaman abadi mereka dengan melakukan hal-hal merusak akidah tauhid – menurut anggapannya – akan tetapi saya tidak berorientasi penuh untuk memropagandakannya. Hal itu hanya sebatas soal intuisi/perasaan.

Dan saya katakan kepada mereka yang bersikap ekstrim dalam mengingkarinya: “Tenanglah, di dalam masalah ini tidak ada perbuatan syirik, penyembahan berhala, maupun ilhad/kekufuran.”

Maka apalagi yang bisa diharapkan dari keyakinan yang merancukan akidah dan tauhid, sehingga berdoa kepada orang yang sudah mati di samping kuburan-kuburan mereka kala ditimpa kesusahan, dianggap hanya soal perasaan yang tidak mengandung syirik dan penyembahan berhala, seperti yang diungkapkan Al-Mursyidu Al-`Am dari Ikhwanul Muslimun tersebut?

Mushthafa As-Siba`i, Al-Mursyidu Al-`Am dari Ikhwanul Muslimin dari Syiria pernah menggubah qashidah yang dibacakannya di kuburan Nabi. Yang di antara bait-baitnya adalah:

”Wahai tuanku, wahai kekasih Allah.

Aku datang di ambang pintu kediamanmu, mengadukan kesusahanku karena sakit.

Wahai tuanku, telah berlarut rasa sakit di badanku.

Karena sangat sakitnya, aku pun tak dapat mengantuk maupun tidur…..” [5]

Dari kedua bait di atas, kita dapat memahami, bahwa dia telah melakukan istighatsah kepada Rasulullah ﷺ, yang jelas merupakan perbuatan syirik yang dilarang oleh Allah dan Rasulullah-Nya ﷺ .

Hasan Al-Banna juga mengambil akidah dari Thariqot Sufiah Quburiah yang bernama Al-Hashofiah. Dia berkata dalam kitabnya Mudzakkirot Ad-Dakwah Ad-Adalah’iah hal-27: ”Aku bersahabat dengan para anggota kelompok Hasafiah di Damanhur. Dan aku selalu hadir setiap malam (bersama mereka) di mesjid At-Taubah.”

Berkata Jabir Rozaq dalam kitabnya “Hasan Al-Banna Bi Aqlami Talamidzatihi Wa Ma’asirihi” hal-8: ”Dan di Damanhur mejadi kokohlah hubungan Hasan Al-bana dengan anggota-anggota al-Hashofiah,dan beliau selalu hadir setiap malam bersama mereka di masjid at-Taubah. Dia ingin mengambil (pelajaran) Thariqot mereka, sehingga berpindah dari tingkatan Mahabbah Ke tingkatan At-Taabi’ Al-Mubaya”[6]

Bahkan Hasan Al-Banna sendiri pun sebagai pendiri Jamaah Ikhwanul Muslimin, nampak sebagai orang yang awam dalam perkara akidah tauhid. Disebutkan dalam buku Al-Waqafat hal. 21-22, bahkan dia pernah berkata: ”Dan doa kepada Allah, apabila disertai tawassul/mengambil perantaraan salah satu makhluknya adalah perselisihan furu` dalam cara berdoa, dan bukan termasuk perkara akidah.”

Dalam masalah Asma’ dan Sifat Allah, dia termasuk pengikut Madzhab Tafwidh, yaitu madzhab yang tidak mau tahu dan meyerahkan begitu saja perkara Asma’ dan Sifat Allah, tanpa meyakini apa-apa. Itu adalah MADZHAB SESAT, bukan sebagaimana madzhab As-Salaf As-Shalih yang meyakini makna-makna Asma’ dan Sifat Allah, namun menyerahkan hakikat/bagaimana Asma’ dan Sifat tersebut kepada-Nya.

Hasan Al-Banna menyatakan dalam buku Al-Aqaid hal. 74: ”Sesungguhnya pembahasan dalam masalah ini (Asma’ dan Sifat), meski dikaji secara panjang lebar, akhirnya akan menghasilkan kesimpulan yang sama, yaitu Tafwidh (tersebut di atas)[7]

Tokoh besar mereka yang lain yang serupa keadaannya adalah Sa`id Hawwa. Dia beranggapan bahwa umat Islam pada setiap masanya, (lebih banyak -red) yang berakidah Asy-`Ariyyah-Maturidiyyah (termasuk golongan pentakwil sifat). Sehingga dengan itu beliau beranggapan, bahwa itulah akidah yang sah dalam Islam[8].

Sayyid Quthub pun memiliki akidah Wihdatul Wujud. Dia berkata dalam kitabnya Dzilalu Alquran jilid 6 hal-4002: “Hakikat yang ada adalah wujud yang satu. Maka di alam ini tidak ada yang hakikat kecuali hakikat Allah. Dan di sana tidak ada wujud yang hakiki, kecuali wujud-Nya. Perwujudan selain Allah hanyalah sebagai perwujudan yang bersumber dari perwujudan yang hakiki itu”.

Tentang Sayyid Qutb, maka sungguh Syaikh Robi’ Ibnu Hadi Al-Madkhali telah mewakili segenap para ‘ulama dan para penuntut ilmu dalam mengungkap kesesatan dan penyimpangannya (Sayyid Qutb), yaitu dalam empat buah kitabnya:

  1. Adzwa’ Islamiyyah ‘alaa Aqidati Sayyid Quthub,
  2. Mathoin Sayyid Quthub fii Ash-Shahabah
  3. Al-Awaashim Minma Fii Kutubi Sayyid Quthub Min Al-Qawasim
  4. Al-Haddul Faashil Bainal Haqqi Wal Bathil.

Ringkasnya “Celaannya (Sayyid Qutb) kepada Musa Alaihi Salam, celaannya kepada para sahabat Radhiallahu anhum, khususnya Ustman bin Affan Radhiallahu anhu , perkataannya bahwa Alquran adalah Mahluk, dan WIihadtul Wujud, Menta’thil (mengingkari) sifat-sifat Allah sebagaimana Jahmiyyah, tidak menerima hadis-hadis ahad yang shahih dalam akidah,..dsb- lebih jelasnya bacalah kitab-kitab di atas dan sudah tercetak.

Selain itu dia juga tidak bisa membedakan antara Tauhid Rububiah dan Tauhid Uluhiah. Dan dia menyangka, bahwa yang menjadi perselisihan antara para Nabi dengan umat mereka adalah dalam masalah Tauhid Rububiah, bukan Uluhiah.

Dia berkata dalam Dziilalu Alquran 4/1847: ”Bukanlah perselisihan seputar sejarah antara jahiliah dan Islam, dan bukan pula peperangan antara kebenaran dan thogut pada masalah uluhiah Allah ….” dan juga perkataannya dalam hal-1852: “Hanya saja perselisihan dan permusuhan adalah pada masalah siapakah Rob manusia yang menghukumi manusia dengan syariat-Nya dan mengatur mereka dengan perintah-Nya dan memerintahkan mereka untuk beragama dan taat kepada-Nya” [9]

Menghidupkan Bid’ah

Jamaah Ikhwanul Muslimin juga banyak sekali menghidupkan bidah. Sa’id Hawwa menyatakan dalam bukunya At-Tarbiyyah Ar-Ruhiyyah (Pembinaan Mental): ”Ustadz Al-Banna beranggapan, bahwa menghidupkan hari-hari besar Islam (selain dua hari `Ied), adalah termasuk tugas harakah-harakah (gerakan) Islam. Beliau juga menganggap, bahwa suatu hal yang aksiomatik alias pasti, kalau dikatakan bahwa pada zaman modern ini memeringati hari besar semacam Maulid Nabi dan yang sejenisnya, dapat diterima secara fikih dan harus mendapat prioritas tersendiri.

Dikisahkan juga oleh Mahmud Abdul Halim dalam bukunya Ahdats Shana`atha At-Tarikh (1/109) bahwa ia sering bersama-sama Hasan Al-Banna menghadiri Maulid Nabi. Ia (Hasan Al-Banna) sendiri terkadang maju kepentas untuk menyanyikan nasyid (nyanyian) maulid nabi dengan suara keras dan nyaring. Setelah menukil banyak kisah Al-Banna tersebut, Syaikh Farid berkomentar:

”Semoga Allah memerangi pelaku-pelaku bidah. Alangkah bodohnya mereka, alangkah lemahnya akal mereka. Sesungguhnya mereka melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak pantas dilakukan, bahkan oleh anak kecil sekalipun.”

Dalam lembaran-lembaran majalah Ad-Dakwah, yang dipimpin oleh Umar At-Tilimsani tatkala dia masih menjabat salah satu Mursyid partai Ikhwanul Muslimin (nomor 21 hal 16/Rabi`ul Awwal 1398 H), tercetus banyak ungkapan yang penuh dengan kebidahan dan ghuluw (pengkultusan/berlebih-lebihan) terhadap Nabi.

Di antaranya dalam makalah di bawah judul: Fi dzikra Maulidika Ya Dhiya` Al-Alamin (Dalam Memeringati Hari Kelahiranmu, Wahai Sinar Alam Semesta)

Ta’ashub / Fanatik Terhadap Pendapat Ulamanya

Syaikh Muqbil menyatakan dalam Al-Makhraj Minal Fitan hal. 86: ”(Banyak) dari kalangan pengikut Ikhwanul Muslimin yang mengetahui, bahwa mereka bodoh dalam masalah dien. Apabila kita menyatakan kepadanya: Ini halal, atau ini haram, adalah sudah kita tegakkan dalil-dalilnya, ia akan mengelak sambil menjawab: Yusuf Qordhawi di dalam Al-Halal Wal Haram bilang begini, Sayyid Sabiq dalam Fiqhus Sunnah, atau Hasan Al-Banna di dalam Ar-Rasail atau Sayid Quthub dalam tafsir Fi Dzi lalil Quran bilang begini! Bolehkah dalil-dalil yang jelas dipatahkan dengan ucapan-ucapan mereka?”

Karena itulah banyak di antara mereka yang masih meremehkan hukum ”Merokok” misalnya, yang telah ditegaskan keharamannya oleh ulama Ahlul Hadis, lewat berbagai tinjauan, karena mengikuti fatwa syaikh mereka Yusuf Qordhawi, yang tidak jelas dalam menerangkan hukumnya.

Manhaj Dakwah yang Melenceng dari Syariah

Kerusakan manhaj dakwah mereka diawali oleh propaganda “Tauhidu As-Sufuf” (Menyatukan Barisan) kaum Muslimin yang mereka dengung-dengungkan. Di mana propaganda itu berkonotasi mengabaikan adanya berbagai penyimpangan akidah yang membaluti tubuh umat Islam. Menurut mereka, cukup kita meneriakkan: “Wa Islamah (wahai Islam), maka kita pun bersatu”.

Hasan Albana pernah berkata: “Dakwah Ikhwanul Muslimin tidaklah ditujukan untuk melawan satu akidah, agama, ataupun golongan, karena faktor pendorong perasaan jiwa para pengemban dakwah jamaah ini adalah berkeyakinan fundamental, bahwa semua agama Samawi berhadapan dengan musuh yang sama, yaitu Atheisme [10]

Utsman Abdus Salam Nuh mengomentari ucapan itu dalam bukunya At-Thoriq ila Jama’ati Al-Umm halaman 173: “Bagaimana bisa disebut dakwah Islamiah, kalau tidak sudi memerangi akidah-akidah yang menyimpang, sedangkan Islam sendiri diturunkan untuk memberantas berbagai penyimpangan keyakinan dan membersihkan hati manusia dari keyakinan-keyakinan itu.

Inti pemahaman inilah yang akhirnya melahirkan gerakan yang disebut Pan Islamisme, yang menyatukan umat Islam dengan berbagai keyakinannya di bawah satu panji. Ikhwanul Muslimin juga banyak memergunakan berbagai sarana yang tidak sesuai dengan syariat untuk mengembangkan dakwahnya.

Di antaranya: Mengadakan pertunjukan sandiwara. Dalam hal ini, Syaikh Muqbil memberikan tanggapan: ”Sesungguhnya pertunjukan sandiwara itu, kalaupun tidak dikatakan dusta, amatlah dekat dengan kedustaan. Kita meyakini keharamannya, selain itu juga bukan merupakan sarana dakwah yang dipergunakan ulama kita terdahulu.”

Imam Ahmad meriwayatkan satu hadis dari Ibnu Mas’ud , bahwasanya Rosulullah ﷺ bersabda: Manusia yang paling keras disiksa Hari Kiamat nanti ada tiga: Orang yang membunuh seorang nabi atau dibunuh olehnya, Seorang pemimipin yang sesat dan menyesatkan, dan Pemain lakon (Mumatsil).[11]

Beliau melanjutkan: ”Yang dimaksud Mumatsil di situ adalah pelukis, atau orang yang melakonkan perbuatannya di hadapan orang lain. Sebagaimana ditegaskan dalam kamus”. [12]. Para ulama juga lebih mengharamkan (sandiwara) lagi, tatkala sering terjadi dalam sandiwara, seseorang harus memerankan diri sebagai orang kafir, bahkan penyembah berhala yang mempraktikkan ibadahnya di hadapan patung. Dan banyak lagi yang lainnya.

Syaikh Dr. Sholeh Al Fauzan menjelaskan: ”Pendapat saya, bahwa sandiwara (itu) TIDAK BOLEH karena bebarapa sebab:

  1. Tujuan sandiwara adalah membuat para hadirin tertawa
  2. Tasyabuh dengan orang-orang yang tidak baik
  3. Cara dakwah seperti ini bukanlah cara dakwah yang dicontohkan nabi ﷺ dan para Salafusholih.

Sandiwara-sandiwara tersebut tidaklah dikenal, kecuali dari orang-orang kafir yang menular kepada kaum Muslimin dengan alasan dakwah. Dan menjadikan sandiwara sebagai wasilah dakwah, ini juga TIDAK BENAR, karena wasilah dakwah adalah Taufiqiyah/ sudah tetap diatur.[13]

Syaikh Bakar Abu Zaid berkata dalam bukunya: At-Tamstil” hal 18: “Akhirnya para ulama peneliti mengetahui, bahwa bibit sandiwara ini dari syiar ibadah orang-orang Yunani.” Syaikh Hamud ibnu Abdillah at-Tuwajiri juga menegaskan: ”Sesungguhnya menjadikan sandiwara sebagai sarana dakwah kepada Allah bukanlah termasuk Sunnah Rasul dan Sunnah Khulafaur Rasyidin. Akan tetapi ini adalah cara dakwah yang diada-adakan di jaman kita. Lihat Al Hujjatul Qowiyyah hal:64-64 oleh Syaikh Abdussalam Ibnu Barjas, cet Daarussalaf

Mendahulukan Urusan Politik Daripada Syariat

Meski secara lahir jamaah Ikhwanul Muslimin selalu menggembar-gemborkan harus tegaknya kekuasaan Islam, namun secara mengenaskan mereka hanya menjadikan itu sebagai slogan umum yang aplikasinya meninggalkan dakwah tauhid dan menjejali orang awam hanya dengan propaganda politik mereka.

Kita sudah bosan dengan dengungan politik yang membuat manusia jahil dengan agamanya. Mereka hidup terpecah belah dengan tidak mengenal agamanya, tidak mengenal bagaimana shalat yang sesuai dengan sunnah Rasul-Nya ﷺ. Apakah kita akan menyibukkan manusia dengan politik??? Padahal keadaan umat seperti ini??? Mengapa manusia tertipu dengan slogan ini? Padahal jika mansuia belajar dien, maka dengan sendirinya manusia akan menolak yang berasal dari luar agamanya.

Contohnya, ketika mereka mengakui bahwa syarat pemimpin Islam yang ideal adalah ilmu dan takwa, mereka justru mengangkat Mujadidi sebagai pemimpin Afghanistan, hanya demi menyenangkan banyak pihak termasuk dunia Barat.

Hal itu diungkapkan oleh Abdullah Al-Azham dalam majalah Al-Jihad nomor 52 maret 1989: “Mujadidi adalah profil pemimpin ideal menurut dunia Internasional, khususnya Barat. Hal itu akan memuluskan jalan Afghanistan untuk menjadi negara yang diakui di dunia secara formal…..” [14]. Juga akan kita dapati, bahwa para pengikut gerakan Ikhwanul Muslimin lebih banyak berbicara dan mengulas tentang politik daripada akidah, dalam majalah, buku-buku bahkan di podium-podium, sampai-sampai di kala menyampaikan khutbah Jumat.”

Masih banyak lagi penyimpangan dakwah Ikhwanul Muslimin yang tak mungkin dirinci di sini satu persatu. Semuanya sudah banyak diulas ulang oleh para ulama Ahlul Hadis. Yang jelas, gerakan ini turut membidani kelahiran berbagai gerakan sejenis di berbagai negara. Di Libanon seperti At-Tauhid, di Palestina Hammas, di Mesir Jamaah Islamiah, di Aljazair FIS, di Malaysia Darul Arqom, di Indonesia seperti NII (Negara Islam Indonesia) yang sebelumnya dikenal dengan Darul Islam atau DI TII, Al-Usroh, Komando Jihad, JAMUS (Jamaah Muslimin), dan lain-lain.

 

[Disalin dari tulisan Membongkar Kesesatan Dan Penyimpangan Gerakan-Gerakan Islam, Penulis Abu Ihsan Al-Atsari Al-Medany, Ta’liq Abu Unaisah Al-Atsary dan Ibnu Bilal Al-Banyuwangi]

_______

Catatan Kaki

[1].Tidak. Demi Allah. Hal ini tidak akan terwujud. Semua ini hanyalah khayalan biasa laksana menanam di lautan. Bagaimana tidak, dapatkah api bersatu dengan air??

[2]. Lihat dakwah Ikhwanul Muslimin fi Mizanil Islam. Oleh Farid bin Ahmad bin Manshur hal. 36

[3]. Lihat Al-Mausu’ah Al-Muyassarah hal. 19-25

[4]. Lihat Ad-Dakwah hal 47

[5]. Lihat Al-Waqafat hal. 21-22

[6]. Lihat Dakwah al-Ikhwan al-Muslimin hal-63

[7]. Syaikhul Islam berkata dalam kitabnya “Daaru ta’arubil aqli wa naqli , Juz 1 hal 201-205:”Adapun tafwidh, maka sudah merupakan hal yang maklum, bahwa Allah memerintahkan kita semuanya untuk merenungi Alquran, memahaminya, dan menghayatinya, maka bagaimanakah kita akan berpaling dari memahaminya dan mendalaminya,…hingga beliau berkata: “Dari sini jelaslah bahwa perkataan ahlu tafwidh yang mengaku mengikuti Sunnah dan Salaf termasuk sejelek-jelek perkataan Ahlu Bid’ah dan Ilhad (Lihat pula Qowaidhul Mutsla hal 44 oleh Syaikh Sholeh Utsaimin)

[8]. Lihat jaulah fil fiqhain – Sa`id Hawwa

[9]. Lihat Adwa’un Islahiah karya Syaikh Robi’ pada hal-65

[10]. Lihat Qofilah Al-Ikhwan As-siisi 1/211

[11]. Llihat Al-Makhroj? Minal Fitan halaman 90

[12]. Dalam musnadnya I/407, berkata Ahmad Syakir dalam ta’liknya IV/65: Sanadnya Shahih , dan di shahihkan pula oleh Syaikh Al Bany dalam Ash Shohihah no. 281

[13]. Lihat. Al Ajwibatu mufidah hal:62-63

[14]. Lihat At-Thoriq 214

 

Sumber: https://almanhaj.or.id/1653-membongkar-kesesatan-dan-penyimpangan-gerakan-dakwah-ikhwanul-Muslimin.html