بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

 

MASIH MEMILIKI UTANG PUASA KETIKA MENINGGAL DUNIA

 

Abu Syuja’ rahimahullah berkata:
“Barang siapa memiliki utang puasa ketika meninggal dunia, hendaklah dilunasi dengan cara memberi makan (kepada orang miskin), satu hari tidak puasa dibayar dengan satu mud.”

Satu mud yang disebutkan di atas adalah 1/4 sho’. Di mana satu sho’ adalah ukuran yang biasa dipakai untuk membayar Zakat Fitri. Satu sho’ sekitar 2,5-3,0 kg seperti yang kita setorkan saat bayar Zakat Fitri.

Yang lebih utama dari fidyah (memberi makan kepada orang miskin) adalah dengan membayar utang puasa dengan berpuasa yang dilakukan oleh kerabat dekat atau orang yang diizinkan atau ahli waris si mayit. Dalil yang mendukung hal ini hadis dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:

مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ

“Barang siapa yang meninggal dunia lantas masih memiliki utang puasa, maka keluarga dekatnya (walau bukan ahli waris) yang memuasakan dirinya.” [HR. Bukhari no. 1952 dan Muslim no. 1147]

Begitu pula hadis dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Ada seseorang pernah menemui Rasulullah ﷺ lantas ia berkata:

يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّى مَاتَتْ وَعَلَيْهَا صَوْمُ شَهْرٍ أَفَأَقْضِيهِ عَنْهَا فَقَالَ « لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكَ دَيْنٌ أَكُنْتَ قَاضِيَهُ عَنْهَا ». قَالَ نَعَمْ. قَالَ « فَدَيْنُ اللَّهِ أَحَقُّ أَنْ يُقْضَى »

“Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia dan ia masih memiliki utang puasa sebulan. Apakah aku harus membayarkan qadha puasanya atas nama dirinya?” Beliau lantas bersabda: “Seandainya ibumu memiliki utang, apakah engkau akan melunasinya?” “Iya”, jawabnya. Beliau ﷺ lalu bersabda: “Utang Allah lebih berhak untuk dilunasi.” [HR. Bukhari no. 1953 dan Muslim no. 1148]

Pembahasan di atas adalah bagi orang yang tidak puasa karena ada uzur (seperti sakit), lalu ia masih punya kemampuan dan memiliki waktu untuk mengqadha ketika uzurnya tersebut hilang sebelum meninggal dunia.

Sedangkan bagi yang tidak berpuasa karena uzur lantas tidak memiliki kemampuan untuk melunasi utang puasanya, dan ia meninggal dunia sebelum hilangnya uzur, atau ia meninggal dunia setelahnya namun tidak memiliki waktu untuk mengqadha puasanya, maka tidak ada qadha baginya, tidak ada fidyah, dan tidak ada dosa untuknya. Demikian keterangan dari Syaikh Musthofa Al Bugho yang penulis sarikan dari At Tadzhib fii Adillati Matan Al Ghoyah wat Taqrib, hal. 114.

Intinya, orang yang dilunasi utang puasanya adalah orang yang masih memiliki kesempatan untuk melunasi qadha puasanya namun terlanjur meninggal dunia. Sedangkan orang yang tidak memiliki kesempatan untuk mengqadha lalu meninggal dunia, maka tidak ada perintah qadha bagi ahli waris, tidak ada kewajiban fidyah, dan juga tidak ada dosa.

Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan pula:

ولو كان عليه قضاء شئ من رمضان فلم يصم حتي مات نظرت فان أخره لعذر اتصل بالموت لم يجب عليه شئ لانه فرض لم يتمكن من فعله إلي الموت فسقط حكمه كالحج وإن زال العذر وتمكن فلم يصمه حتى مات أطعم عنه لكل مسكين مد من طعام عن كل يوم ومن

“Barang siapa masih memiliki utang puasa Ramadan, ia belum sempat melunasinya lantas meninggal dunia, maka perlu dirinci. Jika ia menunda utang puasanya karena ada uzur lantas ia meninggal dunia sebelum memiliki kesempatan untuk melunasinya, maka ia tidak punya kewajiban apa-apa. Karena ini adalah kewajiban yang tidak ada kesempatan untuk melakukannya hingga meninggal dunia, maka kewajiban itu gugur sebagaimana dalam haji. Sedangkan jika uzurnya hilang dan masih memiliki kesempatan untuk melunasi, namun tidak juga dilunasi hingga meninggal dunia, maka puasanya dilunasi dengan memberi makan kepada orang miskin, di mana satu hari tidak puasa memberi makan dengan satu mud.” [Al Majmu’, 6: 367]

Dalil bolehnya melunasi utang puasa orang yang telah meninggal dunia dengan menunaikan fidyah (memberi makan kepada orang miskin) adalah beberapa riwayat berikut:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ إِذَا مَرِضَ الرَّجُلُ فِى رَمَضَانَ ثُمَّ مَاتَ وَلَمْ يَصُمْ أُطْعِمَ عَنْهُ وَلَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ قَضَاءٌ وَإِنْ كَانَ عَلَيْهِ نَذْرٌ قَضَى عَنْهُ وَلِيُّهُ.

Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata: “Jika seseorang sakit di bulan Ramadan lalu ia meninggal dunia dan belum lunasi utang puasanya, maka puasanya dilunasi dengan memberi makan kepada orang miskin, dan ia tidak memiliki qadha. Adapun jika ia memiliki utang nazar, maka hendaklah kerabatnya melunasinya.” [HR. Abu Daud no. 2401, sahih kata Syaikh Al Albani]

عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامُ شَهْرٍ فَلْيُطْعِمْ عَنْهُ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا

“Dari Ibnu ‘Umar, dari Nabi ﷺ, beliau bersabda: “Barang siapa yang meninggal dunia lantas ia masih memiliki utang puasa sebulan, maka hendaklah memberi makan (menunaikan fidyah) atas nama dirinya bagi setiap hari tidak puasa.” [HR. Tirmidzi no. 718. Abu ‘Isa berkata: “Kami tidak mengetahui hadis Ibnu ‘Umar marfu’ sebagai perkataan Nabi ﷺ kecuali dari jalur ini. Namun yang tepat hadis ini mauquf, hanya perkataan Ibnu ‘Umar.” Hadis ini Dhaif kata Syaikh Al Albani]

Imam Syafi’i dalam pendapat lamanya (qodim) mewajibkan bagi yang meninggal dunia lantas masih memiliki utang puasa, tidak diharuskan dilunasi dengan memberi makan (fidyah), namun boleh bagi kerabatnya melunasi utangnya dengan berpuasa atas nama dirinya. Bahkan pendapat terakhir inilah yang disunnahkan sebagaimana dinukil dari Imam Nawawi dari Syarh Muslim. Kata Imam Nawawi, pendapat qodim dari Imam Syafi’i itulah yang lebih tepat karena hadisnya yang begitu kuat. Sedangkan pendapat Imam Syafi’i yang jadid (terbaru), tidak bisa dijadikan hujjah (dukungan), karena hadis yang membicarakan memberi makan bagi orang yang meninggal dunia lantas masih memiliki utang puasa adalah hadis Dhaif, wallahu a’lam. Demikian nukilan kami dari Kifayatul Akhyar.

Intinya, orang yang punya utang puasa dan terlanjur meninggal dunia sebelum utangnya dilunasi, maka bisa ditempuh dua cara:
• Membayar utang puasa dengan kerabatnya melakukan puasa,
• Menunaikan fidyah dengan memberi makan kepada orang miskin.

Adapun bentuk memberikan fidyah, bisa dengan makanan siap saji dengan memberi satu bungkus makanan bagi satu hari tidak puasa, bisa pula dengan ketentuan satu mud yang disebutkan oleh Abu Syuja’ di atas.

Namun ukuran mud ini bukanlah ukuran standar dalam menunaikan fidyah. Syaikh Musthofa Al Bugho berkata: “Ukuran mud dalam fidyah di sini sebaiknya dirujuk pada ukuran zaman ini, yaitu ukuran pertengahan yang biasa di tengah-tengah kita menyantapnya, yaitu biasa yang dimakan seseorang dalam sehari berupa makanan, minuman dan buah-buahan. Karena saat ini makanan kita bukanlah lagi gandum, kurma, anggur atau sejenisnya. Fakir miskin saat ini biasa menyantap khubz (roti) atau nasi, dan kadang mereka tidak menggunakan lauk daging atau ikan. Sehingga tidaklah tepat jika kita mesti menggunakan ukuran yang ditetapkan oleh ahli fikih (fuqoha) di masa silam. Karena apa yang mereka tetapkan adalah makanan yang umum di tengah-tengah mereka.” [At Tadzhib, hal. 115]

Wallahu waliyyut taufiq.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Sumber: https://muslim.or.id/17096-fikih-puasa-8-masih-memiliki-utang-puasa-ketika-meninggal-dunia.html

 

══════

 

Mari sebarkan dakwah sunnah dan meraih pahala. Ayo di-share ke kerabat dan sahabat terdekat! Ikuti kami selengkapnya di:

WhatsApp: +61 405 133 434 (silakan mendaftar terlebih dahulu)
Website: https://nasihatsahabat.com/
Email: [email protected]
Twitter: @NasihatSalaf
Facebook: https://www.facebook.com/nasihatsahabatcom/
Instagram: NasihatSahabatCom
Telegram: https://t.me/nasihatsahabat
Pinterest: https://id.pinterest.com/nasihatsahabat