MALAM PERTAMA DAN ADAB BERSENGGAMA

Saat pertama kali pengantin pria menemui istrinya setelah akad nikah, dianjurkan melakukan beberapa hal, sebagai berikut:

Pertama: Pengantin pria hendaknya meletakkan tangannya pada ubun-ubun istrinya, seraya mendoakan baginya. Rasulullah ﷺ bersabda:

إِذَا تَزَوَّجَ أَحَدُكُمْ امْرَأَةً أَوِ اشْتَرَى خَادِمًا فَلْيَأْخُذْ بِنَاصِيَتِهَا (وَلْيُسَمِّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ) وَلْيَدْعُ لَهُ بِالْبَرَكَةِ، وَلْيَقُلْ: اَللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ مِنْ خَيْرِهَا وَخَيْرِ مَا جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّهَا وَشَرِّ مَا جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ.

“Apabila salah seorang dari kamu menikahi wanita atau membeli seorang budak, maka peganglah ubun-ubunnya, lalu bacalah ‘Basmalah’ (ucapan Bismillaahirrohmanirrohim), serta doakanlah dengan doa berkah seraya mengucapkan:

Allahumma inni as-aluka khoiro-ha wa khoiro ma jabaltaha ‘alaihi wa a-‘udzu bika min syarriha wa min syarri ma jabaltaha ‘alaihi

Artinya:

Ya Allah, aku memohon kebaikannya dan kebaikan tabiat yang ia bawa. Dan aku berlindung dari kejelekannya dan kejelekan tabiat yang ia bawa. [Hadis Shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2160), Ibnu Majah (no. 1918), al-Hakim (II/185) dan ia menShahihkannya, juga al-Baihaqi (VII/148), dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallaahu ‘anhuma. Lihat Adabuz Zifaf (hal. 92-93)].

Kedua: Hendaknya ia mengerjakan sholat sunnah dua rakaat bersama istrinya

Syaikh al-Albani rahimahullaah berkata: “Hal itu telah ada sandarannya dari ulama Salaf (Sahabat dan Tabi’in).

  1. Hadis dari Abu Sa’id maula (budak yang telah dimerdekakan) Abu Usaid

Ia berkata: “Aku menikah ketika aku masih seorang budak. Ketika itu aku mengundang beberapa orang Sahabat Nabi, di antaranya ‘Abdullah bin Mas’ud, Abu Dzarr dan Hudzaifah radhiyallaahu ‘anhum. Lalu tibalah waktu sholat. Abu Dzarr bergegas untuk mengimami sholat. Tetapi mereka berkata: ‘Kamulah (Abu Sa’id) yang berhak!’ Ia (Abu Dzarr) berkata: ‘Apakah benar demikian?’ ‘Benar!’ jawab mereka. Aku pun maju mengimami mereka sholat. Ketika itu aku masih seorang budak. Selanjutnya mereka mengajariku: ‘Jika istrimu nanti datang menemuimu, hendaklah kalian berdua sholat dua rakaat. Lalu mintalah kepada Allah kebaikan istrimu itu dan mintalah perlindungan kepada-Nya dari keburukannya. Selanjutnya terserah kamu berdua…!’”[ Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (X/159, no. 30230 dan ‘Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf (VI/191-192). Lihat Adabuz Zifaf fis Sunnah al-Muthahharah (hal. 94-97), cet. Darus Salam, th. 1423 H].

  1. Hadis dari Abu Waail

Ia berkata: “Seseorang datang kepada ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu, lalu ia berkata: ‘Aku menikah dengan seorang gadis, aku khawatir dia membenciku.’ ‘Abdullah bin Mas’ud berkata: ‘Sesungguhnya cinta berasal dari Allah, sedangkan kebencian berasal dari setan, untuk membenci apa-apa yang dihalalkan Allah. Jika istrimu datang kepadamu, maka perintahkanlah untuk melaksanakan sholat dua rakaat di belakangmu, lalu ucapkanlah (berdoalah):

اَللَّهُمَّ بَارِكْ لِي فِي أَهْلِيْ، وَبَارِكْ لَهُمْ فِيَّ، اَللَّهُمَّ ارْزُقْنِي مِنْهُمْ، وَارْزُقْهُمْ مِنِّي، اَللَّهُمَّ اجْمَعْ بَيْنَنَا مَا جَمَعْتَ إِلَى خَيْرٍ، وَفَرِّقْ بَيْنَنَا إِذَا فَرَّقْتَ إِلَى خَيْرٍ

Allohumma baariklii fii ahlii wabaariklahum fiyya. Allohummaj ma’  baynanaa maa jama’ta bikhoirin wa farriq baynanaa idzaa farraqta ilaa khoirin

Artinya:

“Ya Allah, berikanlah keberkahan kepadaku dan istriku, serta berkahilah mereka dengan sebab aku. Ya Allah, berikanlah rezeki kepadaku lantaran mereka, dan berikanlah rezeki kepada mereka lantaran aku. Ya Allah, satukanlah antara kami (berdua) dalam kebaikan, dan pisahkanlah antara kami (berdua) dalam kebaikan.” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf (VI/191, no. 10460, 10461)].

Ketiga: Bercumbu rayu dengan penuh kelembutan dan kemesraan. Misalnya dengan memberinya segelas air minum atau yang lainnya

Hal ini berdasarkan hadis Asma’ binti Yazid binti as-Sakan radhiyallaahu ‘anha, ia berkata: “Saya merias ‘Aisyah untuk Rasulullah ﷺ. Setelah itu saya datangi dan saya panggil beliau ﷺ supaya menghadiahkan sesuatu kepada ‘Aisyah. Beliau ﷺ pun datang lalu duduk di samping ‘Aisyah. Ketika itu Rasulullah ﷺ disodori segelas susu. Setelah beliau minum, gelas itu beliau sodorkan kepada ‘Aisyah. Tetapi ‘Aisyah menundukkan kepalanya dan malu-malu.” ‘Asma binti Yazid berkata: “Aku menegur ‘Aisyah dan berkata kepadanya: ‘Ambillah gelas itu dari tangan Rasulullah ﷺ!’ Akhirnya ‘Aisyah pun meraih gelas itu dan meminum isinya sedikit.” [Hadis Shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (VI/438, 452, 453, 458). Lihat Adabuz Zifaf fis Sunnah al-Muthahharah (hal. 91-92), cet. Darus Salam, th. 1423 H].

Keempat: Berdoa sebelum jima’ (bersenggama), yaitu ketika seorang suami hendak menggauli istrinya, hendaklah ia membaca doa:

بِسْمِ اللهِ، اَللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا.

Bismillah, allahumma jannibnaasy syaithoona wa jannibisy syaithoona maa rozaqtanaa

Artinya:

“Dengan menyebut nama Allah, Ya Allah, jauhkanlah aku dari setan dan jauhkanlah setan dari anak yang akan Engkau karuniakan kepada kami.”

Rasulullah ﷺ bersabda: “Maka, apabila Allah menetapkan lahirnya seorang anak dari hubungan antara keduanya, niscaya setan tidak akan membahayakannya selama-lamanya.” [Hadis Shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 141, 3271, 3283, 5165), Muslim (no. 1434), Abu Dawud (no. 2161), at-Tirmidzi (no. 1092), ad-Darimi (II/145), Ibnu Majah (no. 1919), an-Nasa-i dalam ‘Isyratun Nisaa’ (no. 144, 145), Ahmad (I/216, 217, 220, 243, 283, 286) dan lainnya, dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma].

Kelima: Suami boleh menggauli istrinya dengan cara bagaimana pun yang disukainya, asalkan pada kemaluannya

Allah Ta’ala berfirman:

نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّىٰ شِئْتُمْ ۖ وَقَدِّمُوا لِأَنْفُسِكُمْ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ مُلَاقُوهُ ۗ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ

“Istri-Istrimu adalah ladang bagimu. Maka datangilah ladangmu itu kapan saja dengan cara yang kamu sukai. Dan utamakanlah (yang baik) untuk dirimu. Bertakwalah kepada Allah, dan ketahuilah bahwa kamu (kelak) akan menemui-Nya. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang yang beriman.” [Al-Baqarah : 223]

Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma berkata: “Pernah suatu ketika ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallaahu ‘anhu datang kepada Rasulullah ﷺ, lalu ia berkata: ‘Wahai Rasulullah, celaka saya.’ Beliau ﷺ bertanya: ‘Apa yang membuatmu celaka?’ ‘Umar menjawab: ‘Saya membalikkan pelana saya tadi malam.’ [Pelana adalah kata kiasan untuk istri. Yang dimaksud ‘Umar bin al-Khaththab adalah menyetubuhi istri pada kemaluannya tetapi dari arah belakang. Hal ini karena menurut kebiasaan, suami yang menyetubuhi istrinya berada di atas, yaitu menunggangi istrinya dari arah depan. Jadi, karena ‘Umar menunggangi istrinya dari arah belakang, maka dia menggunakan kiasan “membalik pelana”. (Lihat an-Nihayah fii Ghariibil Hadiits (II/209))]. Dan beliau ﷺ tidak memberikan komentar apa pun, hingga turunlah ayat kepada beliau:

نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّىٰ شِئْتُمْ

“Istri-Istrimu adalah ladang bagimu, maka datangilah ladangmu itu kapan saja, dengan cara yang kamu sukai…” [Al-Baqarah : 223]

Lalu Rasulullah ﷺ bersabda:

أَقْبِلْ وَأَدْبِرْ، وَاتَّقِ الدُّبُرَ وَالْحَيْضَةَ.

“Setubuhilah istrimu dari arah depan atau dari arah belakang, tetapi hindarilah (jangan engkau menyetubuhinya) di dubur dan ketika sedang haid”  [Hadis Hasan: Diriwayatkan oleh Ahmad (I/297), an-Nasa-i dalam ‘Isyratun Nisaa’ (no. 91) dan dalam Tafsiir an-Nasa-i (I/256, no. 60), at-Tirmidzi (no. 2980), Ibnu Hibban (no. 1721-al-Mawarid) dan (no. 4190-Ta’liiqatul Hisaan ‘ala Shahiih Ibni Hibban), ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabir (no. 12317) dan al-Baihaqi (VII/198). At-Tirmidzi berkata: “Hadis ini Hasan.” Hadis ini dishahihkan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fat-hul Baari (VIII/291)].

Juga berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ:

مُقْبِلَةٌ مُدْبِرَةٌ إِذَا كَانَتْ فِي الْفَرْجِ

“Silakan menggaulinya dari arah depan atau dari belakang, asalkan pada kemaluannya” [Hadis Shahih: Diriwayatkan oleh ath-Thahawi dalam Syarah Ma’anil Aatsaar (III/41) dan al-Baihaqi (VII/195). Asalnya hadis ini diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari (no. 4528), Muslim (no. 1435) dan lainnya, dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallaahu ‘anhuma. Lihat al-Insyirah fii Adabin Nikah (hal. 48) oleh Abu Ishaq al-Huwaini]

Seorang Suami Dianjurkan Mencampuri Istrinya Kapan Waktu Saja

  • Apabila suami telah melepaskan hajat biologisnya, janganlah ia tergesa-gesa bangkit, hingga istrinya melepaskan hajatnya juga. Sebab dengan cara seperti itu terbukti dapat melanggengkan keharmonisan dan kasih sayang antara keduanya. Apabila suami mampu dan ingin mengulangi jima’ sekali lagi, maka hendaknya ia berwudhu’ terlebih dahulu. Rasulullah ﷺ bersabda:

إِذَا أَتَى أَحَدُكُمْ أَهْلَهُ ثُمَّ أَرَادَ أَنْ يَعُوْدَ فَلْيَتَوَضَّأْ

“Jika seseorang di antara kalian menggauli istrinya kemudian ingin mengulanginya lagi, maka hendaklah ia berwudhu’ terlebih dahulu.” [Hadis Shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (308 (27)) dan Ahmad (III/28), dari Sahabat Abu Sa’id al-Khudri radhiyallaahu ‘anhu].

  • Yang afdhal (lebih utama) adalah mandi terlebih dahulu. Hal ini berdasarkan hadis dari Abu Rafi’ radhi-yallaahu ‘anhu, bahwasanya Nabi ﷺ pernah menggilir istri-istrinya dalam satu malam. Beliau ﷺ mandi di rumah Fulanah dan rumah Fulanah. Abu Rafi’ berkata: “Wahai Rasulullah, mengapa tidak dengan sekali mandi saja?” Beliau ﷺ menjawab:

هَذَا أَزْكَى وَأَطْيَبُ وَأَطْهَرُ

“Ini lebih bersih, lebih baik dan lebih suci.” [Hadis Hasan: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 219), an-Nasa-i dalam Isyratun Nisaa’ (no. 149), dan yang lainnya. Lihat Shahih Sunan Abi Dawud (no. 216) dan Adabuz Zifaf (hal. 107-108)].

  • Seorang suami dibolehkan jima’ (mencampuri) istrinya kapan waktu saja yang ia kehendaki; pagi, siang, atau malam. Bahkan, apabila seorang suami melihat wanita yang mengagumkannya, hendaknya ia mendatangi istrinya. Hal ini berdasarkan riwayat, bahwasanya Rasulullah ﷺ melihat wanita yang mengagumkan beliau ﷺ. Kemudian beliau ﷺ mendatangi istrinya -yaitu Zainab radhiyallaahu ‘anha- yang sedang membuat adonan roti. Lalu beliau ﷺ melakukan hajatnya (berjima’ dengan istrinya). Kemudian beliau ﷺ bersabda:

إِنَّ الْمَرْأَةَ تُقْبِلُ فِيْ صُوْرَةِ شَيْطَانٍ وَتُدْبِرُ فِيْ صُوْرَةِ شَيْطَانٍ فَإِذَا أَبْصَرَ أَحَدُكُمُ امْرَأَةً فَلْيَأْتِ أَهْلَهُ، فَإِنَّ ذَلِكَ يَرُدُّ مَا فِيْ نَفْسِهِ

“Sesungguhnya wanita itu menghadap dalam rupa setan, dan membelakangi dalam rupa setan  [Maksudnya isyarat dalam mengajak kepada hawa nafsu]. Maka, apabila seseorang dari kalian melihat seorang wanita (yang mengagumkan), hendaklah ia mendatangi istrinya. Karena yang demikian itu dapat menolak apa yang ada di dalam hatinya.” [Hadis Shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1403), at-Tirmidzi (no. 1158), Adu Dawud (no. 2151), al-Baihaqi (VII/90), Ahmad (III/330, 341, 348, 395) dan lafazh ini miliknya, dari Sahabat Jabir bin ‘Abdillah radhiyallaahu ‘anhuma. Lihat Silsilah ash-Shahiihah (I/470-471)].

Imam an-Nawawi rahimahullaah berkata: “ Dianjurkan bagi siapa yang melihat wanita hingga syahwatnya tergerak, agar segera mendatangi istrinya – atau budak perempuan yang dimilikinya -kemudian menggaulinya, untuk meredakan syahwatnya, juga agar jiwanya menjadi tenang.” [Syarah Shahiih Muslim (IX/178)].

Sebagaimana telah kita ketahui, bahwasanya menahan pandangan itu wajib hukumnya, karena hadis tersebut di atas adalah berkenaan dan berlaku untuk pandangan secara tiba-tiba.

Allah Ta’ala berfirman:

قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَزْكَىٰ لَهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ

“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya. Yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat” .[An-Nuur : 30]

Dari Abu Buraidah, dari ayahnya radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata: “Rasulullah ﷺ bersabda kepada ‘Ali:

يَا عَلِيُّ، لاَ تُتْبِعِ النَّظْرَةَ النَّظْرَةَ فَإِنَّ لَكَ اْلأُوْلَى وَلَيْسَتْ لَكَ اْلآخِرَةُ

“Wahai ‘Ali, janganlah engkau mengikuti satu pandangan ke pandangan lainnya, karena yang pertama untukmu, dan yang kedua bukan untukmu” [Hadis Hasan: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 2777) dan Abu Dawud (no. 2149)].

  • Haram menyetubuhi istri pada duburnya dan haram menyetubuhi istri ketika ia sedang haid/ nifas.

Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ ۖ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ ۖ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ ۖ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ

“Dan mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang haid. Katakanlah: ‘Itu adalah sesuatu yang kotor.’ Karena itu jauhilah istri [Jangan bercampur dengan istri pada waktu haid] pada waktu haid; dan janganlah kamu dekati sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, campurilah mereka sesuai dengan (ketentuan) yang diperintahkan Allah kepadamu. Sungguh, Allah menyukai orang yang bertaubat dan menyucikan diri.” [Al-Baqarah : 222]

Juga sabda Rasulullah ﷺ:

مَنْ أَتَى حَائِضًا أَوِ امْرَأَةً فِي دُبُرِهَا أَوْ كَاهِنًا: فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ

“Barang siapa yang menggauli istrinya yang sedang haid, atau menggaulinya pada duburnya, atau mendatangi dukun, maka ia telah kafir terhadap ajaran yang telah diturunkan kepada Muhammad ﷺ.” [Hadis Shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 3904), at-Tirmidzi (no. 135), Ibnu Majah (no. 639), ad-Darimi (I/259), Ahmad (II/408, 476), al-Baihaqi (VII/198), an-Nasa-i dalam ‘Isyratun Nisaa’ (no. 130, 131), dari Sahabat Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu].

Juga sabda beliau ﷺ:

مَلْعُوْنٌ مَنْ أَتَى امْرَأَتَهُ فِي دُبُرِهَا

“Dilaknat orang yang menyetubuhi istrinya pada duburnya.” [Hadis Hasan: Diriwayatkan oleh Ibnu Adi dari ‘Uqbah bin ‘Amr dan dikuatkan dengan hadis Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2162) dan Ahmad (II/444 dan 479). Lihat Adaabuz Zifaf fis Sunnah al-Muthahharah (hal. 105)].

  • Kaffarat bagi suami yang menggauli istrinya yang sedang haid

Syaikh al-Albani rahimahullaah berkata: “Barang siapa yang dikalahkan oleh hawa nafsunya, lalu menyetubuhi istrinya yang sedang haid sebelum suci dari haidnya, maka ia harus bersedekah dengan setengah pound emas Inggris, kurang lebihnya atau seperempatnya. Hal ini berdasarkan hadis Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhu dari Nabi ﷺ tentang orang yang menggauli istrinya yang sedang haid, lalu Nabi ﷺ bersabda:

يَتَصَدَّقَ بِدِيْنَارٍ أَوْ نِصْفِ دِيْنَارٍ

“Hendaklah ia bersedekah dengan satu Dinar atau setengah Dinar.’” [Hadis Shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 264), an-Nasa-i (I/153), at-Tirmidzi (no. 136), Ibnu Majah (no. 640), Ahmad (I/172), dishahihkan oleh al-Hakim (I/172) dan disetujui oleh Imam adz-Dzahabi. Lihat Adabuz Zifaf (hal. 122)].

  • Apabila seorang suami ingin bercumbu dengan istrinya yang sedang haid, ia boleh bercumbu dengannya selain pada kemaluannya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ:

اِصْنَعُوْا كُلَّ شَيْءٍ إِلاَّ النِّكَاح

“Lakukanlah apa saja kecuali nikah (jima’/ bersetubuh).” [Hadis Shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 302), Abu Dawud (no. 257), dari Sahabat Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu. Lihat Adabuz Zifaf (hal. 123)].

  • Apabila suami atau istri ingin makan atau tidur setelah jima’ (bercampur), hendaklah ia mencuci kemaluannya dan berwudhu’ terlebih dahulu, serta mencuci kedua tangannya. Hal ini berdasarkan hadis dari ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda:

كَانَ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَنَامَ وَهُوَ جُنُبٌ تَوَضَّأَ وُضُوْءَهُ لِلصَّلاَةِ وَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَأْكُلَ أَوْ يَشْرَبَ وَهُوَ جُنُبٌ غَسَلَ يَدَيْهِ ثُمَّ يَأْكُلُ وَيَشْرَبُ

“Apabila beliau ﷺ hendak tidur dalam keadaan junub, maka beliau ﷺ berwudhu’ seperti wudhu’ untuk sholat. Dan apabila beliau ﷺ hendak makan atau minum dalam keadaan junub, maka beliau ﷺ mencuci kedua tangannya, kemudian beliau makan dan minum.” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 222, 223), an-Nasa-i (I/139), Ibnu Majah (no. 584, 593) dan Ahmad (VI/102-103, dari ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha. Lihat Silsilah ash-Shahiihah (no. 390) dan Shahiihul Jaami’ (no. 4659)].

Dari ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha, ia berkata:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَنَامَ وَهُوَ جُنُبٌ غَسَلَ فَرْجَهُ وَتَوَضَّأَ لِلصَّلاَةِ

“Apabila Nabi ﷺ hendak tidur dalam keadaan junub, beliau mencuci kemaluannya dan berwudhu’ (seperti wudhu’) untuk sholat.” [Hadis Shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 288), Muslim (no. 306 (25)), Abu Dawud (no. 221), an-Nasa-i (I/140). Lihat Shahiihul Jaami’ (no. 4660)].

  • Sebaiknya tidak bersenggama dalam keadaan sangat lapar atau dalam keadaan sangat kenyang, karena dapat membahayakan kesehatan.
  • Suami istri dibolehkan mandi bersama dalam satu tempat, dan suami istri dibolehkan saling melihat aurat masing-masing.

Adapun riwayat dari ‘Aisyah yang mengatakan bahwa ‘Aisyah tidak pernah melihat aurat Rasulullah ﷺ adalah riwayat yang bathil, karena di dalam sanadnya ada seorang pendusta [Lihat Adabuz Zifaf hal. 109]

  • Haram hukumnya menyebarkan rahasia rumah tangga dan hubungan suami istri

Setiap suami maupun istri dilarang menyebarkan rahasia rumah tangga dan rahasia ranjang mereka. Hal ini dilarang oleh Rasulullah ﷺ. Bahkan, orang yang menyebarkan rahasia hubungan suami istri adalah orang yang paling jelek kedudukannya di sisi Allah. Rasulullah ﷺ bersabda:

إِنَّ مِنْ أَشَرِّ النَّاسِ عِنْدَ اللهِ مَنْزِلَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ الرَّجُلُ يُفْضِى إِلَى امْرَأَتِهِ وَتُفْضِى إِلَيْهِ ثُمَّ يَنْشُرُ سِرَّهَا

“Sesungguhnya manusia yang paling jelek kedudukannya pada Hari Kiamat adalah laki-laki yang bersenggama dengan istrinya, dan wanita yang bersenggama dengan suaminya, kemudian ia menyebarkan rahasia istrinya.” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (no. 17732), Muslim (no. 1437), Abu Dawud (no. 4870), Ahmad (III/69) dan lainnya. Hadis ini ada kelemahannya karena dalam sanadnya ada seorang rawi yang lemah bernama ‘Umar bin Hamzah al-‘Amry. Rawi ini dilemahkan oleh Yahya bin Ma’in dan an-Nasa-i. Imam Ahmad berkata tentangnya, “Hadis-hadisnya munkar.” Lihat kitab Mizanul I’tidal (III/192), juga Adabuz Zifaf (hal. 142). Makna hadis ini semakna dengan hadis-hadis lain yang Shahih yang melarang menceritakan rahasia hubungan suami istri].

Dalam hadis lain yang Shahih, disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Jangan kalian lakukan (menceritakan hubungan suami istri). Perumpamaannya seperti setan laki-laki yang berjumpa dengan setan perempuan di jalan, lalu ia menyetubuhinya (di tengah jalan), dilihat oleh orang banyak…” [Diriwayatkan oleh Ahmad (VI/456-457)].

Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullaah berkata: “Apa yang dilakukan sebagian wanita berupa membeberkan masalah rumah tangga dan kehidupan suami istri kepada karib kerabat atau kawan, adalah perkara yang diharamkan. Tidak halal seorang istri menyebarkan rahasia rumah tangga atau keadaannya bersama suaminya kepada seseorang. Allah Ta’ala berfirman:

فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ

“Maka perempuan-perempuan yang saleh adalah mereka yang taat (kepada Allah), dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka).” [An-Nisaa’ : 34]

Nabi ﷺ mengabarkan, bahwa manusia yang paling buruk kedudukannya di sisi Allah pada hari Kiamat adalah laki-laki yang bersenggama dengan istrinya, dan wanita yang bersenggama dengan suaminya, kemudian ia menyebarkan rahasia pasangannya” [Fataawaa al-Islaamiyyah (III/211-212)].

[Disalin dari buku Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa Bogor – Jawa Barat, Cet Ke II Dzul Qa’dah 1427H/Desember 2006]

 

Sumber: https://almanhaj.or.id/3228-malam-pertama-dan-adab-bersenggama.html