بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

KRITIK ILMIAH ATAS PEMIKIRAN DR. QURAISH SHIHAB (BAGIAN KEDUA)

Disusun oleh: Al-Ustadz Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi

Pada edisi lalu, telah kita bahas beberapa contoh ketimpangan pandangan Dr. Muhammad Quraish Shihab dalam masalah akidah. Adapun pada edisi ini pembahasan kita lanjutkan dengan beberapa contoh ketimpangan pemikirannya dalam hadis dan fikih.

Dan perlu diingat kembali bahwa tulisan ini bukan bertujuan untuk membuka aib atau menjelek-jelekkan orang lain, melainkan sebagai penjelasan agama kepada umat dan bentuk nasihat bagi umat Islam di mana pun berada. Sebab kita tidak boleh membiarkan kesalahan-kesalahan tanpa usaha untuk meluruskannya.

Semoga Allah menjadikan tulisan ini ikhlas murni hanya mengharapkan wajah Allah, dan bermanfaat bagi hamba-hamba Allah. Aamiin.

Ketimpangan Dr. Quraish Shihab Dalam Masalah Hadis

Dr. Muhammad Quraish Shihab banyak terjatuh dalam ketimpangan seputar hadis Nabi ﷺ. Dia MENOLAK hadis-hadis yang Shahih, melemahkan hadis-hadis lemah dan palsu, serta banyak memahami hadis dengan akal dan pemahaman Ahli Kalam dan filsafat.

Baiklah, agar bantahan ini ilmiah, bukan omong kosong belaka, maka kami akan memberikan beberapa contoh dan fakta tentang apa yang kami sampaikan di atas:

A. Dr. Quraish Menolak Hadis yang Shahih

  1. Menolak Hadis “Di mana Allah”

Dr. M. Quraish Shihab mengatakan dalam bukunya ““Membumikan Alquran”” hlm. 371–372 terbitan Al-Mizan, Bandung pada judul “Selamat Natal Menurut Alquran!!!”:

Nabi shallallahu’alaihi wa sallam [1]  sering menguji pemahaman umat tentang Tuhan. Beliau tidak sekalipun bertanya “Di mana Tuhan?” Tertolak riwayat yang menggunakan redaksi itu karena ia menimbulkan kesan keberadaan Tuhan pada satu tempat, hal yang mustahil bagi-Nya dan mustahil pula diucapkan oleh Nabi ﷺ.

Jawaban:

Hadis yang dimaksud adalah Shahih, diriwayatkan oleh banyak para ulama Ahli Hadis dalam kitab-kitab mereka, dan dishahihkan oleh sejumlah pakar hadis tanpa memermasalahkannya dengan syubhat seperti di atas. Berikut ini perinciannya:

a. Takhrij Hadis

Hadis ini memiliki beberapa jalur:

1) Jalur al-Imam Malik

Hal ini sebagaimana riwayat beliau sendiri dalam al-Muwaththa’ (2/772/No. 8), al-Imam asy-Syafi’i dalam ar-Risalah (No. 242—tahqiq asy-Syaikh Ahmad Syakir), an-Nasa’i dalam Sunan Kubra sebagaimana dalam Tuhfatul Asyraf (8/427) oleh al-Mizzi, Utsman ibn Sa’id ad-Darimi dalam ar-Radd ’ala Jahmiyyah (No. 62), Ibnu Khuzaimah dalam Kitab Tauhid (hlm. 132—tahqiq asy-Syaikh Khalil Haras), al-Baihaqi dalam Sunan Kubra (10/98/No. 19984), al-Baghawi dalam Syarh Sunnah (9/246/No. 2365), Ibnu Abdil Barr dalam at-Tamhid (9/69–70) dan al-Ashbahani dalam al-Hujjah fi Bayanil Mahajjah (2/102/No. 57).

2) Jalur Yahya ibn Abi Katsir

Sepanjang penelitian saya, ada empat orang yang meriwayatkan dari Yahya bin Abi Katsir. Berikut perinciannya:

a) Hajjaj ibn Abu Utsman ash-Shawwaf

Diriwayatkan al-Imam Ahmad dalam Musnad-nya (5/448), al-Bukhari dalam Juz’ul Qira’ah (hlm. 70), Abu Dawud (No. 931 dan 3282), an-Nasa’i dalam Sunan Kubra sebagaimana dalam Tuhfatul Asyraf (8/427), Ibnu Khuzaimah dalam Kitab Tauhid (hlm. 132), al-Baghawi dalam Syarh Sunnah (3/237–239/No. 726) dan ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabir (19/398/No. 9 dari Yahya ibn Sa’id al-Qhaththan dari Hajjaj dengannya.

Dan diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (6/162/No. 30333) dan al-Iman (84), Muslim dalam Shahih-nya (No. 537), Ahmad (5/447), Abu Dawud (No. 931), Ibnu Hibban (165), Utsman ibn Sa’id ad-Darimi dalam ar-Radd ’ala Jahmiyyah (No. 61), Ibnu Abi Ashim dalam as-Sunnah (490), dan Ibnu Jarud dalam al-Muntaqa (No. 212—Ghautsul Makdud oleh al-Huwaini) dari Isma’il ibn Ibrahim (ibn ’Ulayyah) dari Hajjaj dengannya.

b) Al-Auza’i

Diriwayatkan al-Imam Muslim dalam Shahih-nya (537), Abu Awanah dalam al-Mustakhraj (2/141), an-Nasa’i dalam Sunan Sughra (3/14–18/No. 1216), Ibnu Khuzaimah dalam Kitab Tauhid (hlm. 121), ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabir (19/398/No. 937), al-Baihaqi dalam as-Sunan Kubra (10/98/19984) dan al-Asma’ wash Shifat (2/326/890–891), ath-Thahawi dalam Syarh Musykil Atsar (13/367), Ibnu Abdil Barr dalam at-Tamhid (9/71) dan al-Ashbahani dalam al-Hujjah fi Bayanil Mahajjah (2/100/No. 69).

c) Aban ibn Yazid al-Aththar

Diriwayatkan Abu Awanah dalam al-Mustakhraj ’ala Shahih Muslim (2/1141), ath-Thayyalisi dalam Musnad-nya (1105), Ahmad dalam Musnad-nya (5/448), Ibnu Abi Ashim dalam as-Sunnah (489), Utsman ibn Sa’id ad-Darimi dalam ar-Radd ’ala Jahmiyyah (No. 60) dan Naqdh ’alal Marisi (122), ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabir (939), al-Baihaqi dalam al-Asma’ wash Shifat (2/326/890–891), dan al-Lalika’i dalam Syarh Ushul I’tiqad Ahli Sunnah (3/434–435/No. 652).

d) Hammam ibn Yahya

Diriwayatkan Ahmad ibn Hanbal dalam Musnad-nya (5/448).

Hadis ini juga memiliki Syawahid (Penguat) dari Sahabat Abu Hurairah, Abu Juhaifah, Ibnu Abbas, Ukkasyah al-Ghanawi, dan Abdurrahman ibn Hathib—radhiyallahu ’anhum—secara Mursal [2].

b. Komentar Para Ulama Ahli Hadis

Hadis ini disepakati keabsahannya oleh seluruh ulama kaum Muslimin. Berikut ini sebagian komentar mereka:

1) Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani berkata: “Hadis ini disepakati keabsahannya oleh para ulama Muslimin semenjak dahulu hingga sekarang, dan dijadikan hujjah oleh imam-imam besar seperti Malik, asy-Syafi’i, Ahmad, dan lainnya. Dan dishahihkan oleh Muslim, Abu Awanah, Ibnu Jarud, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan orang-orang yang mengikuti mereka dari para pakar, dan sebagian mereka adalah para penakwil seperti al-Baihaqi, al-Baghawi, Ibnul Jauzi, adz-Dzahabi, (Ibnu Hajar) al-Asqalani, dan lainnya. Lantas, bagaimana pendapat seorang Muslim yang berakal terhadap orang jahil dan sombong yang menyelisihi para imam dan pakar tersebut, bahkan mencela lafazh Nabi ﷺ yang telah dishahihkan oleh para ulama tersebut?!!” [3]

2) Al-Imam al-Baihaqi berkata: “Hadis ini Shahih, dikeluarkan Muslim.” [4]

3) Al-Imam al-Baghawi berkata: “Hadis ini Shahih, dikeluarkan Muslim dari Abu Bakar ibn Abi Syaibah dari Isma’il ibn Ibrahim dari Hajjaj.”[5]

4) Al-Imam al-Ashbahani berkata: “Dan sungguh telah Shahih dari Nabi ﷺ, bahwasanya beliau bertanya kepada seorang budak wanita yang akan dibebaskan oleh tuannya: ‘Di mana Allah?’ Jawab budak tersebut: ‘Di atas langit…’” [6]

5) Al-Imam Ibnu Qudamah berkata: “Hadis ini Shahih.” [7]

6) Al-Imam adz-Dzahabi berkata: “Hadis ini Shahih, dikeluarkan Muslim, Abu Dawud, an-Nasa’i, dan imam-imam lainnya dalam kitab-kitab mereka, dengan memerlakukannya sebagaimana datangnya tanpa Takwil dan Tahrif.” [8]

7) Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Hadis Shahih, diriwayatkan Muslim.” [9]

8) Al-Wazir al-Yamani berkata: “Hadis ini Tsabit (Shahih), diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya.” [10]

9) Al-Imam Muhammad Nashiruddin al-Albani berkata:

وَهٰذَاالْحَدِيْثُصَحِيْحٌبِلَارَيْبٍلَايَشُكُّفِيْذٰلِكَإِلَّاجَاهِلٌأَوْمُغْرِضٌمِنْذَوِيْالْأَهْوَاءِالَّذِيْنَكُلَّمَاجَاءَهُمْنَصٌّعَنْرَسُوْلِاللهِيُخَالِفُمَاهُمْعَلَيْهِمِنَالضَّلَالِحَاوَلُواالْخَلَاصَمِنْهُبِتَأْوِيْلِهِبَلْتَعْطِيْلِهِ،فَإِنْلَمْيُمْكِنْهُمْذٰلِكَحَاوَلُوْاالطَّعْنَفِيْثُبُوْتِهِكَهٰذَاالْحَدِيْثِفَإِنَّهُمَعَصِحَّةِإِسْنَادِهِوَتَصْحِيْحِأَئِمَّةِالْحَدِيْثِإِيَّاهُدُوْنَخِلَافٍبَيْنَهُمْفِيْمَاأَعْلَمُهُ.

“Hadis ini Shahih dengan tiada keraguan. Tidak ada yang meragukan hal itu kecuali orang jahil atau pengekor hawa nafsu, yang setiap kali datang pada mereka dalil dari Rasulullah ﷺ yang menyelisihi keyakinan sesat mereka, maka mereka langsung berusaha membebaskan diri darinya, dengan menakwilkannya bahkan meniadakannya. Dan apabila mereka tidak mampu, maka mereka berupaya untuk mementahkan keabsahannya, seperti hadis ini yang Shahih sanadnya, serta dishahihkan oleh seluruh ulama Ahli Hadis TANPA ADA PERSELISIHAN pendapat di kalangan mereka, sepanjang pengetahuan saya.”[11]

c. Membantah Syubhat

Adapun syubhat yang dilontarkan oleh Dr. Quraish Shihab “Karena ia menimbulkan kesan keberadaan Tuhan pada satu tempat, hal yang mustahil bagi-Nya dan mustahil pula diucapkan oleh Nabi ﷺ”.

Jawaban:

Apabila yang dimaksud “Tempat” adalah yang tersirat dalam benak pikiran kita, yaitu setiap yang meliputi dan membatasi, seperti langit, bumi, Kursi, ‘Arsy, dan sebagainya, maka benar hal itu mustahil bagi Allah, karena Allah tidak mungkin dibatasi dan diliputi oleh makhluk. Bahkan Dia lebih besar dan agung. Bahkan kursi-Nya saja meliputi langit dan bumi. Allah ﷻ berfirman:

وَمَاقَدَرُوا اللهَ حَقَّ قَدْرِهِ وَاْلأَرْضُ جَمِيعًا قَبْضَتُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَالسَّمَاوَاتُ مَطْوِيَّاتٌ بِيَمِينِهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ

“Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya, padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada Hari Kiamat, dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha Suci Tuhan dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. az-Zumar [39]: 67)

Dan telah Shahih dalam riwayat al-Bukhari (6519) dan Muslim (7050) dari Nabi ﷺ, bahwa beliau bersabda:

«يَقْبِضُاللهُبِالأَرْضِوَيَطْوِيْالسَّمَاوَاتِبِيَمِيْنِهِثُمَّيَقُوْلُ: أَنَاالْمَلِكُأَيْنَمُلُوْكُالأَرْضِ؟»

“Allah menggenggam bumi dan melipat langit dengan tangan kanan-Nya, kemudian berfirman: ‘Aku adalah Raja, manakah raja-raja bumi?’”

Adapun apabila maksud “Tempat” adalah sesuatu yang tidak meliputi, yakni di luar alam semesta, maka Allah di luar alam semesta, sebagaimana keberadaan-Nya sebelum menciptakan makhluk. Jadi, Allah di tempat yang bermakna kedua ini bukan makna pertama [12].

  1. Mengingkari Hadis Turunnya Isa ibn Maryam

Dr. Quraish Shihab mengatakan:

Ada ulama yang menyatakan “Isa ‘alaihissalam masih hidup di langit” bukanlah suatu kewajiban untuk memercayainya. Serta beberapa hadis yang berkaitan dengan kenaikan Isa al-Masih dan akan turun kelak menjelang Kiamat. Hadis-hadis tersebut kesemuanya bermuara pada dua orang saja, yang keduanya bekas penganut agama Kristen, yaitu Ka’ab Al-Akhbar dan Wahb bin Munabbih (yang masih punya keterkaitan pada kepercayaan lamanya). Dengan demikian, pengertian QS. 3:55 di atas bukan dalam arti diangkat fisiknya, tapi diangkat derajatnya ke sisi Allah ﷻ [13].

Jawaban:

a. Hadisnya Mutawatir

Pakar ilmu hadis menetapkan, bahwa hadis-hadisnya mencapai derajat Mutawatir, di antaranya adalah al-Imam ath-Thabari dalam Jami’ul Bayan (3/291), Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya (2/566), asy-Syaukani dalam risalahnya at-Taudhih, Shiddiq Hasan Khan dalam al-Idha’ah (hlm. 160), al-Kattani dalam Nazhmul Mutanatsir (hlm. 147), Syaraful Haq Azhim Abadi dalam Aunul Ma’bud (11/307), asy-Syaikh Ahmad Syakir dalam Syarhul Musnad (7/98–99 dan 8/20), asy-Syaikh al-Albani dalam ta’liq Syarh Akidah Thahawiyyah (hlm. 501), asy-Syanqithi dalam Adhwa’ul Bayan (7/128, 130–136) dan Daf’u Iham Idhthirab (hlm. 56), Komisi Fatwa Arab Saudi yang diketuai asy-Syaikh Abdul Aziz ibn Baz dalam Fatawa Lajnah Da’imah (3/307), Samahatusy Syaikh Abdul Aziz ibn Baz dalam Majmu’ Fatawa-nya (1/453), asy-Syaikh Muhammad Anwar Syah al-Kisymiri dalam kitabnya at-Tashrih Bima Tawatara fi Nuzuli Masih, asy-Syaikh Abdullah al-Ghumari dalam ’Akidah Ahli Islam fi Nuzuli ’Isa ’Alaihissalam (hlm. 5), asy-Syaikh Muqbil ibn Hadi al-Wadi’i dalam Rudud Ahli ’Ilmu (hlm. 25), asy-Syaikh Khalil Harras dalam Fashlul Maqal (hlm. 49), asy-Syaikh Sulaiman Hamdan dalam al-Barahin wal Adillah (hlm. 33), dan sebagainya.

Berdasarkan dalil-dalil yang sangat jelas di atas, maka seluruh ulama terpercaya bersepakat, bahwa turunnya Isa ‘Alaihissalam kelak di Akhir Zaman merupakan akidah Islam yang wajib diimani oleh setiap Muslim. TIDAK ADA yang mengingkarinya, kecuali para ahli filsafat dan penyimpang agama yang sesat, menyesatkan, dan menyelisihi Alquran, hadis, dan kesepakatan Ahlussunnah [14].

b. Membantah Kritikan

Ucapan Dr. Quraish Shihab ini telah didahului sebelumnya oleh Syaikh Mahmud Syaltut [15] dalam tulisannya yang dimuat dalam Majalah ar-Risalah. Syaikh al-Albani berkata: “Saya telah meneliti hadis-hadis tentang turunnya Isa ‘alaihissalam dari sumber aslinya (kitab-kitab hadis) seperti Kutub Sittah dan sebagainya, sehingga saya dapat mengumpulkan banyak hadis dari beberapa jalur yang Mutawatir, lebih dari empat puluh sahabat. Saya sangat terkejut ketika saya tidak menemukan nama Wahb ibn Munabbih dan Ka’ab al-Ahbar pada jalur sanad-sanad tersebut, sekalipun dalam hadis yang lemah sanadnya. Saya lalu berkeyakinan, bahwa Syaikh Syaltut hanya menulis sesuai dengan apa yang terlintas dalam benaknya saja, tanpa meneliti kitab-kitab hadis. Lalu saya menulis sebuah risalah terpisah untuk membantah fatwanya itu, tetapi…”[16]

c. Membantah Syubhat

Adapun Tahrif (Perubahan makna) yang dilakukan oleh Dr. Quraish, bahwa yang diangkat bukanlah fisik tetapi kedudukan Isa ‘alaihissalam, maka ini merupakan tahrif yang BATIL dan BERTENTANGAN dengan penafsiran dan pemahaman para ulama.

Sungguh alangkah bagusnya ucapan Samahatusy Syaikh Abdul Aziz ibn Abdullah ibn Baz Rahimahullahuta’ala tatkala membantah penafsiran ini: “Merupakan kebatilan yang sangat keji dan kelancangan yang sangat kelewat batas terhadap Allah dan Rasul-Nya, adalah perubahan makna sebagian kalangan tidak seperti zahir (tekstualnya). Sebab dia telah mengumpulkan dua bencana:

Pertama: Mendustakan dan tidak mengimani dalil-dalil yang tegas tentang turunnya Isa ‘alaihissalam.

Kedua: Menuduh Rasul ﷺ yang paling mengerti syariat dan ahli penasihat, sebagai orang yang berbicara mengacau dan rancu, maksud ucapannya tidak seperti beliau sabdakan secara zahir. Sungguh ini merupakan KEDUSTAAN yang tiada taranya, dan penipuan terhadap umat yang Nabi ﷺ berlepas diri darinya. Ucapan seperti ini serupa dengan pendapat kaum PENYELEWENG yang menisbahkan pada diri Rasul kerancuan, demi maslahat mayoritas manusia.” [17].

Sebagai kesimpulan, asy-Syaikh al-Allamah Abdul Aziz ibn Baz Rahimahullahuta’ala menegaskan, “Turunnya Isa ‘alaihissalam telah ditetapkan berdasarkan Alquran, hadis Mutawatir, dan Ijma’ ulama Islam, sehingga mereka selalu menyebutnya dalam kitab-kitab akidah. Barang siapa mengingkarinya dengan alasan hadisnya ‘Ahad’ tidak menunjukkan qath’i atau menakwilkan, bahwa maksud sebenarnya adalah manusia pada Akhir Zaman berpegang teguh dengan akhlak Isa al-Masih ‘Alaihissalam berupa kasih sayang dan lemah lembut, atau manusia menerapkan ruh syariat dan intinya, maka semua itu adalah KEBATILAN nyata yang BERTENTANGAN dengan akidah para imam kaum Muslimin. Bahkan nyata-nyata merupakan bentuk PENENTANGAN nash-nash Shahih dan Mutawatir, kejahatan terhadap syariat yang mulia, kelancangan yang sangat terhadap Islam dan hadis Nabi ﷺ, menuhankan hawa nafsu, keluar dari rel kebenaran dan petunjuk. Orang tersebut tidak memiliki ilmu mapan tentang syariat dan keimanan yang kuat, serta pengagungan terhadap dalil dan hukum Islam.”[18]

B. Dr. Quraish Menshahihkan Hadis Palsu dan Lemah

Di samping Dr. Quraish Shihab melemahkan hadis-hadis yang Shahih sebagaimana contoh di atas, anehnya dia juga banyak menshahihkan hadis-hadis lemah dan palsu. Berikut ini beberapa contohnya:

  1. Hadis Perpecahan Umat

Dr. M. Quraish Shihab dalam bukunya “Membumikan Alquran” hlm. 363, bahwa dalam suatu riwayat (versi) yang telah dinilai Shahih oleh al-Hakim, Nabi ﷺ bersabda: “Umatku akan berkelompok menjadi tujuh puluh sekian kelompok, semuanya di Surga kecuali satu.”

Jawaban:

Hadis yang dimaksud adalah sebagai berikut:

تَفْتَرِقُأُمَّتِيْعَلَىبِضْعٍوَسَبْعِيْنَفِرْقَةً،كُلُّهَافِيْالْجَنَّةِوَوَاحِدَةٌفِيْالنَّارِ.

“Umatku akan berpecah menjadi tujuh puluh kelompok lebih, semuanya di Surga kecuali satu, yaitu orang-orang Zindiq.”

MAUDHU’. Dikeluarkan oleh al-Uqaili dalam adh-Dhu’afa’ (4/201), Ibnul Jauzi dalam al-Maudhu’at (1/267) dari jalan Mu’adz ibn Yasin az-Zayyat: Menceritakan kepada kami al-Abrad ibn al-Asyrasy dari Yahya ibn Sa’id dari Anas Radhiallahu’anhu secara Marfu’.

Ibnul Jauzi mengatakan: “Para ulama menyatakan: ‘Hadis ini DIPALSUKAN oleh al-Abrad, dan dicuri oleh Yasin az-Zayyat, sehingga membalik sanadnya dan mencampurnya, dicuri pula oleh Utsman ibn Affan (BUKAN khalifah pada zaman sahabat), padahal dia adalah MATRUK. Demikian pula Hafsh dia adalah pendusta.’ Hadis yang Shahih adalah berbunyi ‘satu di Surga yaitu al-Jama’ah’.”

Perkataan ini disetujui oleh as-Suyuthi dalam al-’Ala’i al-Mashnu’ah (1/128), Ibnu Arraq dalam Tanzih Syari’ah (1/301), asy-Syaukani dalam al-Fawa’id al-Majmu’ah (hlm. 502), dan lain-lain.

Di samping sanad hadisnya yang hancur seperti di atas, matan (isi) hadisnya juga lebih hancur lagi ditinjau dari dua segi:

Pertama: Menyelisihi riwayat-riwayat yang Shahih dan masyhur dengan lafazh “Semuanya di Neraka kecuali satu” sebagaimana ditegaskan oleh mayoritas Ahli Hadis.

Kedua: Menyelisihi ketegasan Alquran, di mana hadis menjelaskan, bahwa perpecahan berbagai kelompok tersebut menjurus ke Surga yang merupakan rahmat Allah. Padahal kalau kita perhatikan ayat-ayat Alquran, niscaya kita akan mendapati, bahwa rahmat Allah berada dalam persatuan, seperti dalam firman-Nya:

وَلَوْ شَآءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلاَيَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ {118} إِلاَّمَن رَّحِمَ رَبُّكَ وَلِذَلِكَ خَلَقَهُمْ وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ لأَمْلأَنَّ جَهَنَّمَ مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ {119}

“Jikalau Rabbmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu. Tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Rabbmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka. Kalimat Rabbmu (keputusan-Nya) telah ditetapkan, ‘Sesungguhnya Aku akan memenuhi Neraka Jahannam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya.’” (QS Hud [11]: 118–119) [19].

  1. Hadis tentang Keutamaan Akal

Dr. Quraish Shihab berkata:

Konon Malaikat Jibril datang kepada kakek kita Adam ‘alaihissalam, menyampaikan bahwa diperintahkan Tuhan, agar Adam memilih salah satu dari tiga pilihan yang disodorkan: Akal, rasa malu dan agama. Maka Adam memilih akal … Demikian riwayat yang disandarkan kepada Sayyidina Ali. Memang “Tiada agama tanpa akal, dan tiada juga agama tanpa rasa malu” [20].

Jawaban:

Ini adalah riwayat yang TIDAK SHAhih. Asy-Syaikh al-Albani mengatakan: “Perlu menjadi perhatian bersama, bahwa seluruh riwayat tentang keutamaan akal, TIDAK ADA yang Shahih satu pun. Semuanya berkisar antara Dha’if dan Maudhu’. Saya telah memeriksa setiap hadis yang dipaparkan oleh Abu Bakar ibn Abi Dunya dalam kitabnya al-Aql wa Fadhluhu, ternyata sesuai dengan perkataan saya tadi, yaitu TIDAK ADA yang Shahih satu pun. Al-Allamah Ibnul Qayyim berkata dalam al-Manar (hlm. 25): ‘Hadis-hadis tentang akal seluruhnya dusta belaka.’ [21]

Perlu menjadi catatan pula, bahwa agama Islam ini TIDAK dibangun di atas akal, tetapi di atas WAHYU dari Rabbil’alamin. Alangkah indahnya ucapan Ali ibn Thalib Radhiallahu’anhu:

لَوْكَانَالدِّيْنُبِالرَّأْيِلَكَانَأَسْفَلُالْخُفِّأَوْلَىبِالْمَسْحِمِنْأَعْلَاهُ،وَقَدْرَأَيْتُرَسُوْلَاللهِn يَمْسَحُعَلَىظَاهِرِهِ.

“Seandainya agama itu berdasarkan akal, tentu bagian bawah sepatu lebih utama untuk diusap, daripada bagian atasnya. Tetapi saya melihat Rasulullah ﷺ mengusap bagian atasnya.” [22].

Inilah yang Shahih dari Sahabat Ali ibn Abi Thalib Radhiallahu’anhu. Bukan malah seperti yang disandarkan oleh Dr. Quraish kepada beliau tentang pengagungan kepada akal.

C. Dr. Quraish Shihab Memahami Hadis dengan Akal

Hal ini sangatlah tampak bagi yang meneliti tulisan-tulisannya. Dan sepanjang pengamatan saya, dia banyak terpengaruh oleh pemikiran Dr. Muhammad al-Ghazali al-Mishri, sehingga banyak menukil pendapat dan pemikirannya dalam beberapa karyanya. Hal itu tidak aneh, lantaran dia adalah jebolan Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir.

Di antara hal menarik untuk diketahui dalam masalah ini adalah, tatkala Syaikh Muhammad al-Ghazali al-Mishri [23] menulis karya buku hitam yang penuh dengan tikaman terhadap Sunnah Nabi ﷺ dengan judul as-Sunnah an-Nabawiyyah Baina Ahli Fiqh wa Ahli Hadis [24], buku ini langsung mendapatkan sambutan hangat dari para Ahli Bidah, sehingga diterjemahkan oleh seorang Syiah bernama Muhammad al-Baqir ke dalam versi Indonesia dengan judul “Studi Kritis Atas Hadis Nabi, Antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual”, yang diterbitkan oleh Penerbit Al-Mizan, Bandung (penerbit buku-buku Syiah)!!! Dan tak lupa, Prof. Dr. M. Quraish Shihab ikut andil memberikan kata pengantar edisi terjemahan untuk melariskannya!!!

Maka bantahan serta kritikan para ulama Sunnah kepada Syaikh al-Ghazali sebenarnya mengarah juga kepada Quraish Shihab!!

Ketimpangan Pemikiran Quraish Shihab dalam Masalah Fikih

Dr. Quraish Shihab memiliki beberapa pemikiran dan pendapat nyeleneh yang dikemukakan di muka masyarakat, sehingga menimbulkan keresahan dan kebingungan di tengah-tengah mereka, dengan alasan kemudahan. Seringkali dia juga hanya memaparkan pendapat nyeleneh tersebut ke muka umum tanpa tanggapan dan sanggahan untuk memerjelas pendapat yang kuat.

Inilah metode yang sering dilakukannya dalam karya-karya tulisnya. Dr. Quraish Shihab mengatakan:

Sayang, rahmat dan kemudahan itu sering tidak dirasakan, bahkan boleh jadi ditutupi atau tertutupi oleh kaum Muslimin sendiri, akibat pemahaman dan penerapan mereka yang tidak tepat terhadap ajaran Islam [25].

Dia juga sering mencari-mencari ketergelinciran ulama atau pendapat nyeleneh sebagian kalangan, lalu dijadikan sebagai alasan pendapat yang diutarakan. Dr. Quraish mengatakan:

Yang penulis maksud, tidak lain hanyalah ingin membuktikan, bahwa ada juga ulama-ulama yang diakui otoritasnya yang menganut, atau bahkan mencetuskan pendapat-pendapat yang berbeda dengan ulama-ulama terdahulu.

Terlepas dari siapa pencetus ide tentang pakaian wanita, yang sedikit dan banyak berbeda dengan pendapat ulama terdahulu, namun yang jelas, bahwa para pencetus dan pendukung ide serta pendapat-pendapat ulama terdahulu, memiliki juga dalil yang menjadi dasar pendapat mereka [26].

Oleh karenanya, sebelum saya menanggapi masalah-masalah terperinci, saya akan menjelaskan terlebih dahulu, bahwa cara seperti ini berbahaya sekali:

Pertama: Benar, Islam adalah agama yang sangat mudah. Banyak sekali dalil yang menunjukkan hal itu. Al-Imam asy-Syathibi mengatakan: “Dalil-dalil tentang kemudahan bagi umat ini telah mencapai derajat yang pasti.” [27 ]. Namun perlu diperhatikan, bahwa maksud kemudahan Islam bukan berarti kita menyepelekan sebagian syariat Islam, mencari-cari ketergelinciran atau pendapat lemah sebagian ulama, atau menyebarkan pendapat-pendapat ganjil. Yang benar, kemudahan itu dengan MENGIKUTI Alquran dan as-Sunnah. Perhatikanlah contoh berikut:

عَنْأَبِيهُرَيْرَةَa قَالَ: أَتَىالنَّبِيَّn رَجُلٌأَعْمَىفَقَالَ: يَارَسُولَاللّٰهِ،إِنَّهُلَيْسَلِيقَائِدٌيَقُودُنِيإِلَىالْمَسْجِدِفَسَأَلَرَسُولَاللّٰهِn أَنْيُرَخِّصَلَهُفَيُصَلِّيَفِيبَيْتِهِ،فَرَخَّصَلَهُ،فَلَمَّاوَلَّىدَعَاهُفَقَالَ: «هَلْتَسْمَعُالنِّدَاءَبِالصَّلَاةِ؟» قَالَ: نَعَمْ،قَالَ:«فَأَجِبْ».

Dari Abu Hurairah Radhiallahu’anhu berkata: “Pernah ada seorang lelaki buta datang kepada kepada Nabi ﷺ seraya mengatakan: ‘Wahai Rasulullah, saya tidak memiliki orang yang menuntunku ke masjid.’ Lalu orang tersebut meminta agar Nabi ﷺ memberikan keringanan baginya untuk shalat di rumahnya. Nabi ﷺ pun memberikan keringanan kepadanya. Tatkala orang tersebut berpaling, Nabi ﷺ memanggilnya seraya berkata: ‘Apakah engkau mendengar panggilan shalat?’ Dia menjawab, ‘Ya.’ Nabi ﷺ bersabda: ‘Kalau begitu, penuhilah panggilan tersebut.’” (HR Muslim: 653)

Dalam riwayat Ahmad (3/423) terdapat tambahan: “Sesungguhnya antara rumah saya dan masjid ada pohon kurma dan pohon-pohon, sedangkan saya tidak mendapati penuntut pada setiap waktu”.

Dalam riwayat Abu Dawud (553) terdapat tambahan: “Sesungguhnya Madinah banyak binatang buasnya”.

Perhatikanlah, wahai saudaraku, sekalipun orang tersebut telah mengajukan alasan-alasan yang begitu kuat, Nabi ﷺ tidak memberikan udzur baginya untuk shalat di rumahnya, dengan alasan Islam agama yang mudah!!

Sangat disayangkan, banyak orang -termasuk Dr. Quraish – menyalahgunakan kemudahan syariat ini, sehingga terjatuh dalam lembah kegelapan dan jalan yang meruwetkan. Mereka memungut pendapat-pendapat ganjil ulama sesuai dengan hawa nafsu mereka dalam masalah hukum fikih, bahkan dalam masalah akidah!! [28]

Kedua: Para ulama salaf telah memberikan peringatan keras terhadap metode mencari-cari ketergelinciran ulama, pendapat-pendapat ganjil dan aneh

Sulaiman at-Taimi mengatakan: “Apabila engkau mengambil setiap ketergelinciran ulama, maka telah berkumpul pada dirimu seluruh kejelekan.” Ibnu Abdil Barr berkomentar: “Ini adalah Ijma’, saya tidak mendapati perselisihan ulama tentangnya.” [29].  Al-Auza’i berkata: “Barang siapa memungut keganjilan-keganjilan ulama, maka dia akan keluar dari Islam.” [30]. Hasan al-Bashri berkata: “Sejelek-jelek hamba Allah adalah mereka yang memungut masalah-masalah ganjil untuk menipu para hamba Allah.” [31]. Abdurrahman ibn Mahdi berkata: “Seorang tidaklah disebut alim, bila dia menceritakan pendapat-pendapat yang ganjil.” [32]. Al-Imam Ahmad menegaskan, bahwa orang yang mencari-cari pendapat ganjil adalah seorang yang fasik [33]. Bahkan al-Imam Ibnu Hazm menceritakan Ijma’ (Kesepakatan Ulama), bahwa orang yang mencari-cari keringanan madzhab, tanpa bersandar pada dalil, merupakan kefasikan dan tidak halal [34].

Maka hendaknya seorang Muslim takut kepada Allah, dan mengingat bahwa dirinya akan berdiri di hadapan Allah untuk dimintai pertanggungjawaban. Dengan mengingat hal itu, dia tidak menggampangkan diri untuk mencari-cari ketergelinciran ulama, dan menyebarkan pendapat-pendapat ganjil, karena hal itu bisa menggolongkan dirinya termasuk orang yang menjadikan ayat-ayat Allah sebagai senda gurau [35]. Al-Imam asy-Syathibi menyebutkan beberapa dampak negatif mencari-cari kesalahan ini, di antaranya:

  1. Keluar dari agama, karena tidak mengikuti dalil tetapi mengikuti perselisihan.
  2. Meremehkan agama.
  3. Mencampuradukkan pendapat sehingga keluar dari Ijma’ ulama.
  4. Meninggalkan sesuatu yang maklum menuju sesuatu yang bukan maklum.
  5. Merusak undang-undang politik syar’i yang dibangun di atas keadilan sehingga akan mengakibatkan kerusakan [36]

Ketiga: Perlu diketahui, bahwa tidak semua perbedaan itu diterima. Lihatlah dahulu siapa yang berbeda pendapat, dan sejauh mana kuatnya argumen yang dibawakan. Jika memang bertentangan dengan dalil yang jelas, maka tidaklah diterima. Al-Imam asy-Syafi’i berkata: “Perselisihan itu ada dua macam, apabila sudah ada dalilnya yang jelas dari Allah dan Sunnah Rasul ﷺ atau Ijma’ kaum Muslimin, maka tidak boleh bagi kaum Muslimin yang mengetahuinya untuk menyelisihinya. Adapun apabila tidak ada dalilnya yang jelas, maka boleh bagi ahli ilmu untuk berijtihad dengan mencari masalah yang menyerupainya dengan salah satu di antara tiga tadi (Alquran, as-Sunnah, dan Ijma’).” [37].

Asy-Syaikh al-Allamah Muhammad ibn Utsaimin berkata: “Termasuk di antara pokok-pokok Ahlussunnah wal Jama’ah dalam masalah Khilafiyyah adalah, apabila perselisihan tersebut bersumber dari Ijtihad, dan masalah tersebut memungkinkan untuk ijtihad, maka mereka saling bertoleransi, tidak saling dengki, bermusuhan, atau lainnya, bahkan mereka bersaudara, sekalipun ada perbedaan pendapat di antara mereka. Adapun masalah-masalah yang tidak ada ruang untuk berselisih di dalamnya, yaitu masalah-masalah yang bertentangan dengan jalan para sahabat dan tabi’in, seperti masalah akidah yang telah tersesat di dalamnya orang yang tersesat, dan tidak dikenal perselisihan tersebut, kecuali setelah generasi utama, maka orang yang menyelisihi sahabat dan tabi’in tadi tidak dianggap perselisihannya.” [38].

وَلَيْسَكُلُّخِلَافٍجَاءَمُعْتَبَرًا

إِلَّاخِلَافًالَهُحَظٌّمِنَاْلنَّظَرِ

Tidak seluruh perselisihan itu dianggap

Kecuali perselisihan yang memang memiliki dalil yang kuat [39].

Hal ini sangat penting dipahami, khususnya bagi kaum Muslimin di Indonesia yang masih banyak yang menilai, bahwa semua perbedaan bisa ditampung dan diakomodasi dengan alas an, bahwa negara Indonesia adalah negara demokrasi, sehingga pendapat-pendapat nyeleneh yang jelas-jelas bertentangan dengan Alquran, Hadis, dan Ijma’ pun harus dihormati, sebagai bentuk perbedaan pendapat, dan perbedaan adalah rahmat!!

Baiklah, kita ambil beberapa contoh masalah fikih yang merupakan pendapat lemah Dr. Quraish Shihab:

A. Jilbab

Dr. Quraish Shihab menulis buku berjudul “Jilbab Pakaian Wanita Muslimah: Pandangan Ulama Masa Lalu dan Cendekiawan Kontemporer” terbitan Lentera Hati, Jakarta, untuk menuangkan ide pemikiran nyelenehnya yang penuh syubhat. Alhamdulillah, buku tersebut sudah dibantah oleh Dr. Ahmad Zain an-Najah, M.A. (Doktor Syari’ah Islam Universitas al-Azhar, Kairo) secara ilmiah dalam bukunya Jilbab Menurut Syar’iat Islam (Meluruskan Pandangan Prof. Dr. Quraish Shihab) terbitan Cakrawala Publishing, Jakarta.

Dari judulnya saja kita sudah dapat menilai, bahwa Dr. Quraish ingin menampakkan, bahwa masalah kewajiban jilbab adalah masalah Khilafiyyah (Perbedaan pendapat) yang dibolehkan, sehingga dia membandingkan pendapat para ulama dahulu yang bersepakat tentang wajibnya jilbab yang menutupi aurat wanita, dengan pendapat sampah sebagian kalangan yang ingin menghidupkan budaya jahiliyyah untuk menanggalkan jilbab, seperti Qasim Amin, al-Asmawai, dan lain-lain!! Inilah salah satu contoh metode rusak (mencari-cari ketergelinciran ulama dengan alasan kemudahan dan perbedaan) yang diterapkan Dr. Quraish Shihab yang telah kita singgung di atas.

Di antara ucapan Dr. Quraish adalah:

Boleh jadi dapat dinilai sebagai pembenaran atas pendapat yang menyatakan, bahwa yang terpenting dari pakaian adalah yang menampilkan mereka dalam bentuk terhormat, sehingga tidak mengundang gangguan dari mereka yang usil [40].

Dia juga mengatakan:

Namun dalam saat yang sama kita tidak wajar menyatakan terhadap mereka yang tidak memakai kerudung, atau yang menampakkan setengah tangannya, bahwa mereka secara pasti telah melanggar petunjuk agama. Bukankah Alquran tidak menyebut batas aurat? Para ulama pun ketika membahasnya berbepa pendapat [41].

Bahkan, dengan nada menghina wanita-wanita berjilbab sesuai tuntunan agama, Dr. Quraish menulis:

Pakaian longgar, berwarna hitam yang tidak menampakkan kecuali sepasang, bahkan sebiji bola mata, yang juga tidak jarang ditutup dengan kaca mata hitam, sungguh tidak mengandung nilai-nilai kecantikan dan hiasan. Penulis tidak akan berkata seperti tulis beberapa orang, bahwa pakaian seperti yang diwajibkan oleh sementara ulama itu menjadikan wanita tampil seperti sosok hantu, atau bahwa pakaian itu seperti kafan dan menjadikan pemakainya bagaikan mayat-mayat yang berjalan. Sama sekali penulis tidak akan berkata demikian [42].

Pendapat sang profesor ini, dan fakta bahwa putrinya yang tidak mengenakan jilbab dijadikan legitimasi oleh salah satu majalah tentang tidak perlunya wanita mengenakan jilbab. Pada 22 Maret 2005, majalah tersebut membuat judul cover “TERHORMAT MESKI TANPA JILBAB”.

Saya tidak perlu membantah secara luas ucapan-ucapan kacau di atas. Silakan para pembaca merujuk kepada bantahan Dr. Ahmad Zain an-Najah yang telah saya isyaratkan tadi, sedangkan sebagiannya telah kita bantah dalam penjelasan kerusakan metode Dr. Quraish Shihab di atas tadi. Cukuplah bagi kita ketegasan Allah Ta’ala yang telah mewajibkan kepada segenap wanita Muslimah yang telah mencapai usia baligh untuk memakai jilbab. Hal ini termaktub dalam Alquran:

يَآأَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَآءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلاَبِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَن يُعْرَفْنَ فَلاَ يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللهُ غَفُورًا رَّحِيمًا

“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang-orang Mukmin, hendaknya mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS al-Ahzab [33]: 59)

Ayat yang mulia ini secara tegas dan jelas menunjukkan, bahwa jilbab merupakan perintah dan syariat Allah Ta’ala kepada segenap wanita Muslimah. Bukan seperti yang didengungkan sebagian kalangan, termasuk Dr. Qurais, yang menilai, bahwa hal itu disesuaikan dengan budaya dan zaman yang berbeda-beda, antara satu zaman dengan zaman lain, dan antara satu negara dengan negara lain [43].

Yakinlah bahwa pendapat apa pun yang MENYELISIHI ketegasan Alquran, Hadis dan Ijma’ para ulama, adalah pendapat yang BATIL, siapa pun pelontarnya, dan seindah apapun untaian kata-kata yang dirangkainya.

Dan berdasarkan penelitian para ulama dapat disimpulkan, bahwa jilbab yang syar’i itu harus memenuhi beberapa kriteria sebagai berikut:

  1. Menutup seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan (ada perselisihan, sekalipun menutupnya lebih utama).
  2. Tidak ketat sehingga menggambarkan lekuk tubuh.
  3. Tidak tipis/transparan/tembus pandang sehingga menampakkan kulit tubuh.
  4. Tidak menyerupai pakaian laki-laki.
  5. Tidak menyerupai pakaian khas wanita kafir.
  6. Tidak mencolok dan menarik perhatian.
  7. Tidak diberi parfum dan wewangian [44]

B. Membolehkan Katup Jantung Babi

Dr. Muhammad Quraish Shihab mengatakan ketika menafsirkan Surat al-Ma’idah ayat 3:

Atas dasar ini pula agaknya kita dapat berkata, bahwa penggunaan katup jantung babi sebagai pengganti katup jantung manusia yang sakit dapat dibenarkan, karena tidak digunakan untuk dimakan [45].

Jawaban:

Sesungguhnya babi termasuk hewan yang diharamkan dalam Islam.

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنزِيرِ وَمَآأُهِلَّ لِغَيْرِ اللهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَآأَكَلَ السَّبُعُ إِلاَّ مَاذَكَّيْتُمْ

Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya. (QS al-Ma’idah [5]: 3)

Babi diharamkan oleh Allah, baik babi peliharaan maupun liar. Dan mencakup seluruh anggota tubuh babi, sekalipun minyaknya. Ibnu Hazm dalam al-Fishal 4/197 berkata, tatkala menyebutkan salah seorang Mu’tazilah bernama Abu Ghifar: “Dia menganggap bahwa lemak babi dan otaknya adalah halal.”(!!) Kemudian, Ibnu Hazm berkomentar: “Ini adalah kekufuran yang nyata.” [46].

Maka apa yang dikatakan oleh sebagian kalangan, bahwa Dawud azh-Zhahiri mengharamkan daging babi saja, adapun selain daging hukumnya boleh, ucapan ini perlu dikoreksi ulang, sebab Ibnu Hazm sendiri dalam kitabnya al-Muhalla 7/390–430 menukil Ijma’ tentang haramnya seluruh bagian babi, padahal beliau adalah orang yang mengerti tentang Madzhab Dawud (azh-Zhahiri). Seandainya saja beliau menyelisihi, niscaya beliau akan membantahnya dengan penyelisihan Dawud!!

Tentang keharamannya, telah ditandaskan dalam Alquran, Hadis, dan Ijma’ ulama. Al-Imam adz-Dzahabi berkata: “Saya tidak mengira akan ada seorang Muslim yang dengan sengaja makan babi, karena yang memakan babi hanyalah orang-orang Zindiq Jabaliyyah dan Tayaminah yang keluar dari Islam. Dalam hati orang-orang yang beriman, makan babi lebih besar dosanya daripada minum khamar.” [47].

Hikmah pengharamannya, karena babi memiliki beberapa sifat berikut:

  1. Babi adalah hewan yang sangat menjijikkan. Makanan kesukaan hewan ini adalah barang-barang yang najis dan kotor [48]
  2. Daging babi mengandung satu virus tunggal yang dapat mematikan dan mengandung penyakit ganas yang sulit obatnya bagi pemakan daging babi, sebagaimana terbukti oleh riset kedokteran [49].
  3. Salah satu sifat hewan babi adalah tinggi/kuat syahwatnya, sehingga babi jantan menaiki babi betina padahal sedang makan rumput. Bahkan sekalipun si betina telah berjalan beberapa meter, si jantan akan terus menumpanginya!! [50 ]. Oleh karena itu, penelitian telah menyibak, bahwa babi memunyai pengaruh dan dampak negatif dalam masalah iffah (kehormatan) dan kecemburuan, sebagaimana kenyataan penduduk negeri yang biasa makan babi [51].

Setelah kita mengetahui bahwa babi termasuk hewan yang diharamkan, maka ketahuilah, bahwa apa yang dikatakan Dr. Quraish Shihab di atas tanpa sanggahan dan perincian, adalah sebuah KESALAHAN yang AMAT FATAL, sebab masalah tersebut harus diperinci sebagai berikut, sehingga tidak menimbulkan kerancuan:

Pertama: Penggunaan katup jantung babi bagi orang sakit dalam kondisi ideal, maka hukumnya haram dengan kesepakatan ulama [52] berdasarkan hadis:

«إِنَّاللهَلَميَجْعَلْشِفَاءَكُمْفِيْمَاحَرَّمَعَلَيْكُمْ».

“Sesungguhnya Allah tidak menjadikan obat kalian dalam apa yang diharamkan kepada kalian.” (HR al-Bukhari 10/78)

Kedua: Penggunaan katup jantung babi bagi orang sakit dalam kondisi darurat. Inilah yang diperselisihkan para ahli fikih:

Sebagian ulama mengatakan tidak boleh, sekalipun kondisi darurat. Ini adalah madzhab Malikiyyah dan Hanabilah [53]

Mayoritas ulama mengatakan boleh – selain khamar -, dengan syarat, tidak ada obat lainnya, dan berdasarkan petunjuk dokter Muslim terpercaya. Ini adalah Madzhab Hanafiyyah, Syafi’iyyah, dan Zhahiriyyah [54]. Hingga para ulama mengatakan, jika ada katup kera, misalnya, maka itu lebih didahulukan daripada babi, karena babi jelas haramnya, sedangkan kera ada perselisihan tentang keharamannya.

Oleh karenanya, penggunaan katup jantung babi pada zaman sekarang TIDAK BOLEH secara mutlak, sekalipun dalam kondisi darurat, karena tidak memenuhi syarat yang disebutkan ulama. Sebab para ahli kedokteran sekarang menyebutkan, bahwa pada katup jantung babi malah terkandung virus yang bisa menyerang kesehatan manusia. Lebih-lebih pada zaman sekarang sudah ada pengganti yang lebih aman, yaitu alat-alat medis buatan manusia sekarang, yang jauh lebih aman dari katup hewan atau kalaupun harus menggunakan katup hewan, sekarang juga sudah ada katup sapi, yang jauh lebih aman dan tidak najis/haram [55].

C. Mengingkari Hukum Jenggot

Dr. Quraish Shihab—semoga Allah memberinya petunjuk—menyatakan bahwa:

Tujuan tuntunan Nabi ﷺ itu bersifat sementara, yaitu untuk membedakan antara pria kaum Mukminin dengan pria yang bukan Mukmin (yang ketika itu memelihara kumis dan mencukur jenggot mereka). Kini karena non-Muslim pun sudah banyak yang memelihara jenggot dan mencukur kumis, maka sebenarnya cara pembedaan seperti itu sudah tidak relevan lagi, dan karena itu ia tidak berlaku lagi. Demikian Wallahu A’lam [56]

Jawaban:

Rasulullah ﷺ dalam hadis-hadis yang Shahih mewajibkan untuk memelihara jenggot dan melarang mencukurnya, dengan redaksi yang beragam, baik dengan ucapan, perbuatan, dan persetujuan. Adapun ucapan, Nabi ﷺ bersabda dengan redaksi yang berbeda-beda:

أَحْفُوْاالشَّوَارِبَوَأَعْفُوْااللِّحَى

“Cukurlah kumis dan peliharalah jenggot.” [57]

خاَلِفُوْاالمُشْرِكِيْنَوَفِرُّوْااللِّحَىوَأَحْفُوْاالشَّوَارِبَ

“Selisihilah orang-orang musyrik, lebatkanlah jenggot dan cukurlah kumis.” [58]

جَزُّوْاالشَّوَارِبَ،وَأَرْحُوْااللِّحَى،خَالِفُوْاالمَجُوْسَ

“Cukurlah kumis, biarkanlah jenggot, selisihilah orang-orang Majusi.” [59]

خَالِفُوْاالمُشْرِكِيْنَأَحْفُوْاالشَّوَارِبَوَأَوْفُوْااللِّحَى

“Selisihilah orang-orang musyrik, lebatkanlah jenggot dan cukurlah kumis.” [60]

عَنِابْنِعُمَرَرَضِيَاللهُعَنْهُقَالَعَنِالنَّبِيِّn أَنَّهُأَمَرَبِإِحْفَاءِالشَّوَارِبَوَإِعْفَاءِاللِّحْيَةِ

Dari Ibnu Umar Radhiallahu’anhuma, “Dari Nabi ﷺ, sungguh beliau memerintahkan untuk mencukur kumis dan memelihara jenggot.” [61]

Hadis-hadis dengan redaksi di atas sangat jelas menunjukkan perintah memelihara jenggot, sedangkan dalam kaidah Ushul Fikih dikatakan, bahwa asal sebuah perintah adalah menunjukkan wajib, hingga ada dalil yang memalingkannya [62]. Padahal TIDAK ADA dalil yang memalingkan dalam masalah ini. Bahkan hadis-hadis tersebut saling menguatkan.

Para ulama dan ahli fikih secara tegas menyatakan bahwa mencukur jenggot itu haram.

Al-Imam Ibnu Hazm berkata: “Para ulama sepakat, bahwa pencukur jenggot merupakan perbuatan mutslah (memerburuk) yang terlarang.” [63].

Ibnul Qaththan berkata: “Para ulama bersepakat, bahwa mencukur seluruh jenggot tidak boleh.” [64]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Diharamkan mencukur jenggot berdasarkan hadis-hadis yang Shahih dan tidak ada seorang ulama pun yang membolehkannya.” [65]

Asy-Syaikh Ali Mahfuzh berkata: “Empat madzhab telah bersepakat tentang wajibnya memelihara jenggot dan haramnya mencukur jenggot.” Setelah memaparkan ucapan para imam madzhab, asy-Syaikh Ali Mahfuzh berkomentar: “Dengan penjelasan di muka, maka nyatalah bagimu, bahwa memelihara jenggot termasuk agama Allah dan syariat-Nya yang telah digariskan untuk hamba-Nya. Menyelisihinya merupakan ketololan, kesesatan, kefasikan, kejahilan, dan penyimpangan dari petunjuk Nabi Muhammad ﷺ.” [66].

Adapun syubhat yang dilontarkan oleh Dr. Quraish di atas, maka syubhat ini sangat rapuh. Hal itu ditinjau dari beberapa segi:

Saya berpikir dan membayangkan, seandainya Rasulullah ﷺ hidup di tengah-tengah kita, lalu beliau memerintahkan kepada kita untuk memelihara jenggot, dan kita pun mendengarnya langsung dengan telinga kita, akankah ada seorang di antara kita yang berani protes kepada Nabi ﷺ dengan menampilkan syubhat di atas?!! TIDAK. Itulah keyakinan penulis. Nah, kalau memang kita tidak berani di hadapan beliau ﷺ, apakah kemudian kita berani di hadapan hadis beliau ﷺ ?!!

Ucapan “Kini karena non-Muslim sudah banyak yang memelihara jenggot dan mencukur kumis” perlu diteliti kembali. Dari manakah sensus yang menunjukkan data seperti ini?! Siapakah mereka (orang non-Muslim)?! Benar, kita mengakui memang ada di antara mereka yang demikian, tetapi berapa persenkah bila dibandingkan dengan mereka yang mencukur jenggot?!! Tidak ragu lagi bagi orang yang mau adil dalam masalah ini, bahwa mencukur jenggot adalah ciri khas kaum kuffar. Bahkan mereka melancarkan serangan kepada orang-orang yang berjenggot.

Nabi ﷺ membarengkan perintah memelihara jenggot dengan perintah merapikan kumis. Seandainya perintah memelihara jenggot dimentahkan dengan alasan karena kini orang-orang kafir memelihara jenggot, sehingga kita harus menyelisihi mereka dan mencukurnya, maka konsekuensinya kita juga harus memanjangkan kumis dan membiarkannya, karena kini orang-orang kafir juga merapikan kumis mereka. Apakah kalian menyetujuinya?!!

Menyelisihi orang kafir bukanlah satu-satunya alasan perintah memelihara jenggot. Tetapi banyak alasan lainnya seperti: mengubah ciptaan Allah, menyerupai wanita, menyelisihi fitrah, pemborosan, terang-terangan maksiat, sebagaimana keterangan di atas. Anggaplah mencukur jenggot tidak termasuk meniru orang kafir, tetapi apakah dapat lolos dari kemungkaran-kemungkaran lainnya?!

Memelihara jenggot termasuk fitrah sebagaimana kata Nabi ﷺ. Dengan demikian, adanya sebagian orang kafir memelihara jenggot bukanlah berarti kita tasyabbuh dengan mereka, tetapi merekalah sebenarnya yang meniru kita. Hal ini hendaknya menyembul semangat kita dalam berpegang teguh terhadap Sunnah Nabi ﷺ dan bangga dengan agama kita, karena diakui keindahannya oleh musuh-musuh Islam.

Begitulah, adanya sebagian orang kafir yang memelihara jenggot, bukan berarti kita harus mencukur jenggot [67]. Kalau demikian, berarti jika ada sebagian orang kafir merapikan kumis, maka kita harus memanjangkannya, untuk menyelisihi mereka. Kalau mereka khitan, maka kita tidak khitan untuk menyelisihi mereka. Kalau mereka memotong kuku, mereka maka berarti kita memanjangkannya, untuk menyelisihi mereka, dan sebagainya dari perkara-perkara fitrah. Demikian pula, kalau mereka masuk Islam (agama fitrah), berarti kita keluar darinya untuk menyelishi mereka. Adakah orang berakal yang berpendapat seperti ini?!! [68]

Jadi, maksud kita menyelisihi kaum Majusi dan orang kafir itu bukan berarti dalam segala hal yang benar dan sesuai dengan fitrah serta akhlak yang mulia. Akan tetapi maksudnya adalah, menyelisihi mereka dalam hal-hal yang mereka menyimpang dari kebenaran dan keluar dari fitrah yang bersih [69].

Demikianlah beberapa kritikan ilmiah yang bisa kami utarakan. Semoga Dr. Quraish Shihab dan orang-orang yang mengagumi pemikirannya bisa mengoreksi ulang dan kembali kepada jalan yang benar. Janganlah melihat siapa yang mengatakan, tetapi lihatlah apa yang diucapkan. Tidaklah kami menampilkan, kecuali argumen-argumen dari Alquran, Hadis, dan ucapan para ulama yang Mu’tabar.

 

Disusun oleh Al-Ustadz Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi

 

Catatan Kaki:

[1] Ringkasan shalawat seperti ini tidak dibenarkan. Hendaknya shalawat ditulis secara sempurna, sebagaimana diingatkan oleh para ulama. Lihat Ma’rifah ’Ulum Hadis Ibnu Shalah hlm. 195–196 , Ikhtishar ’Ulum Hadis Ibnu Katsir 2/386–387, Fathul Mughits as-Sakhawi 2/182, Tadrib Rawi as-Suyuthi 1/503, 507, Mu’jam al-Manahi Lafzhiyyah hlm. 351 oleh asy-Syaikh Dr. Bakr ibn Abdillah Abu Zaid.

[2] Lihat as-Sunnah Ibnu Abi Ashim (hlm. 226–227—Zhilalul Jannah al-Albani—) atau (1/344—tahqiq Dr. Basim al-Jawabirah—) dan Silsilah Ahadis ash-Shahihah No. 3161 oleh asy-Syaikh al-Albani.

[3] Silsilah Ahadis ash-Shahihah 1/11

[4] Al-Asma’ wash Shifat hlm. 532–533 terbitan Dar Kutub Ilmiah

[5] Syarh Sunnah 3/239 dan 9/247

[6] Al-Hujjah fi Bayanil Mahajjah 2/118

[7] Itsbat Shifatil ’Uluw hlm. 47

[8] Al-’Uluw lil ’Aliyyin ’Azhim 1/249, tahqiq Abdullah ibn Shalih al-Barrak

[9] Fathul Bari 13/359

[10] Al-Qawashim wal ’Awashim 1/379–380

[11] Mukhtashar al-’Uluw hlm. 82

[12] Muqaddimah Mukhtasar al-’Uluw hlm. 70–71 oleh al-Albani

[13] Republika, 18 Nopember 1994 hlm. 10. Dikutip dari Kenaikan dan Kebangkitan Isa as dalam Bybel dan Alquran hlm. 14 oleh Hj. Irene Handono. (Majalah al-Muslimun 398 Mei 2003 hlm. 22–23)

[14] Demikian ditegaskan oleh as-Saffarini dalam Lawami’ Anwar 2/94–95 dan asy-Syaikh Syaraful Haq Azhim Abadi dalam Aunul Ma’bud 11/312.

[15] Terlepas apakah beliau telah kembali meralat ucapannya ini ataukah tidak, namun yang terpenting bagi kita adalah mengingatkan umat dari kesalahan pendapat beliau yang termuat dalam al-Fatawa. Kami katakan hal ini, sebab dalam risalahnya al-Bidah Asbabbuha wa Madharuha hlm. 30 beliau menguatkan hadis-hadis tentang turunnya Isa. Diperkuat lagi oleh apa yang diceritakan Dr. al-Buthi dalam kitabnya Kubra Yaqiniyyat al-Kauniyyah hlm. 269, “Sebagian para ulama al-Azhar yang dekat dengan Syaikh Syaltut meriwayatkan bahwa beliau di akhir kehidupannya, di saat beliau terkena penyakit stroke di rumahnya, dia membakar semua kertas dan kitab yang berisi pendapat-pendapatnya yang ganjil, khususnya masalah turunnya Isa ibn Maryam, dan beliau bersaksi di hadapan mereka bahwa beliau telah bertaubat kepada Allah dari keyakinan tersebut dan kembali memeluk akidah mayoritas kaum Muslimin Ahli Sunnah wal Jama’ah.” (Dinukil dari muqaddimah asy-Syaikh Ali Hasan al-Halabi dalam al-Fatawa al-Muhimmat karya Syaikh Mahmud Syaltut hlm. 13–15). Para ulama telah membantah pendapat Syaikh Syaltut tentang pengingkarannya terhadap turunnya Isa, seperti asy-Syaikh Humud at-Tuwaijiri dalam Ithaf Jama’ah 3/128–136, asy-Syaikh al-Albani dalam Muqaddimah Qishshatul Masih, dll. Dan asy-Syaikh al-Allamah Abdullah ibn Ali ibn Yabis memiliki sebuah kitab berjudul menarik I’lamul Anam min Mukhalafah Syaikh Azhar Syaltut lil Islam (Pemberitahuan kepada manusia tentang penyimpangan Syaikh Syaltut terhadap Islam).

[16] Qishshatul Masih Dajjal wa Nuzul ’Isa hlm. 24

[17] Majmu’ Fatawa Ibnu Baz 1/455 terbitan Dar al-Wathan

[18] Majmu’ Fatawa Ibnu Baz 1/454

[19] Nushul Ummah fi Fahmi Hadis Iftiraq Ummah hlm. 46–47 karya asy-Syaikh Salim al-Hilali

[20] Dia di Mana-Mana hlm. 135

[21] Silsilah adh-Dha’ifah No. 1

[22] HR Abu Dawud 162 dan dishahihkan al-Albani dalam Irwa’ul Ghalil: 103

[23] Asy-Syaikh al-Muhaddits al-Albani berkata tentangnya, “Melalui bukunya yang berjudul as-Sunnah Nabawiyyah sangat tampak bahwa dia berpemikiran Mu’tazilah yang tidak menghargai jerih payah Ahli Hadis dan fikih, sehingga mengambil dan melemparkan semaunya tanpa pijakan yang kuat.” (Catatan kaki Shifat Shalat Nabi hlm. 37–38). Para ulama Sunnah ramai-ramai membantah buku hitam dan keji ini sebagai pembelaan kepada agama dan hadis Nabi yang mulia, di antaranya yang paling bagus adalah asy-Syaikh Shalih ibn Abdul Aziz alusy Syaikh, asy-Syaikh Asyraf ibn Abdul Maqshud, asy-Syaikh Rabi’ ibn Hadi al-Madkhali, asy-Syaikh Abu Ishaq al-Huwaini, dan sebagainya banyak sekali.

[24] Alangkah bagusnya ucapan asy-Syaikh Shalih ibn Abdul Aziz alusy Syaikh (Menteri Agama Arab Saudi sekarang) tatkala berkata: “Al-Ghazali mengangkat dirinya sebagai hakim yang mengadili. Tetapi antara siapa? Antara Ahli Hadis dan ahli fikih dalam memahami Sunnah. Hal ini menunjukkan kedangkalan ilmunya dan kepicikan pandangannya. Sebab, mayoritas ahli fikih dahulu adalah Ahli Hadis dan mayoritas Ahli Hadis dahulu adalah ahli fikih. Contohnya al-Imam Malik, asy-Syafi’i, Ahmad, al-Auza’i, Laits, ats-Tsauri, dll. Bukankah mereka adalah para pakar ilmu hadis?! Dan bukankah mereka adalah ahli fikih?!” (al-Mi’yar li ’Ilmi al-Ghazali hlm. 13)

[25]  Jilbab Pakaian Wanita Muslimah hlm. 10 karya Dr. M. Quraish Shihab

[26] Idem hlm.117

[27] Al-Muwafaqat 1/231.

[28]  Lihat secara luas masalah ini dalam Manhaj Taisir Mu’ashir Abdullah ibn Ibrahim ath-Thawil.

[29] Jami’ Bayanil ’Ilmi wa Fadhlihi 2/91–92

[30] Sunan Kubra al-Baihaqi 10/211

[31] Adab Syar’iyyah 2/77

[32] Hilyatul Auliya’ Abu Nu’aim 9/4

[33] Al-Inshaf al-Mardawi 29/350

[34] Maratibul Ijma’ hlm. 175 dan dinukil asy-Syathibi dalam al-Muwafaqat 4/134

[35] Lihat masalah ini secara luas dan contoh-contohnya dalam kitab Irsal Syuwath ’ala Man Tatabba’a Syawadh oleh Shalih ibn Ali asy-Syamrani.

[36] Lihat al-Muwafaqat 4/222, tahqiq Masyhur ibn Hasan.

[37]  Jima’ul ’Ilmi hlm. 96, ar-Risalah hlm. 560.

[38] Syarh al-Ushul as-Sittah hlm. 155–156

[39] Lihat al-Itqan fi ’Ulum Qur’an 1/24 oleh al-Hafizh as-Suyuthi.

[40] Jilbab Pakaian Wanita Muslimah hlm. 166–167

[41] Idem hlm. 174

[42] Idem hlm. 107

[43] Lihat Jilbab Pakaian Wanita Muslimah hlm. 109 dan 153.

[44] Lihat kitab Jilbab Mar’ah Muslimah karya asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani.

[45] Tafsir Al-Mishbah Volume 3 hlm. 16.

[46] Lihat pula at-Tibyan Lima Yahillu wa Yahrumu minal Hayawan, Ahmad al-Aqfahisi hlm. 84.

[47] Al-Kaba’ir hlm. 267–269

[48] Menakjubkanku ucapan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah tatkala menjelaskan kemiripan antara sifat hewan babi dengan kelompok Rafidhah. Beliau berkata: “Sesungguhnya babi adalah hewan yang paling kotor dan jelek tabiatnya. Salah satu sifatnya, dia meninggalkan makanan yang baik, tetapi malah makan yang kotor, seorang yang baru saja bangkit dari buang air besar langsung akan diserbunya. Perhatikanlah hal ini pada kaum Rafidhah, mereka malah memusuhi makhluk yang terbaik, para kekasih Allah, namun mereka justru loyal kepada kaum yahudi, nashara, dan musyrikin dan membantu mereka dalam setiap waktu untuk memerangi kaum Mukminin yang cinta kepada para sahabat. Perhatikanlah, alangkah miripnya dua sifat ini.” (Lihat Miftah Dar Sa’adah 1/253.)

[49] Seorang dokter hewan bernama Ahmad Jawwad mengupas masalah ini secara terperinci dalam bukunya al-Khinzir Baina Mizani Syar’i wa Mindharil ’Ilmi (Babi Antara Timbangan Syariat dan Ilmu Kedokteran). Lihat pula Tafsir al-Manar 2/98, 6/135–136, Fi Zhilalil Qur’an Sayyid Quthub 1/156, Ruhuddin al-Islami Afif Thabarah hlm. 437–438, al-Ath’imah Shalih al-Fauzan hlm. 216–218.

[50] Hayatul Hayawan, ad-Damiri 1/424

[51] Lihat penjelasan asy-Syaikh Abdul Aziz ibn Baz dalam Fatawa Islamiyyah 3/394–395.

[52] Lihat Hasyiyah Ibni ’Abidin 4/113, al-Fawakih ad-Dawani 2/441, Kasyaful Qana’ 24/76.

[53] Mawahibul Jalil 1/120, Ghayatul Muntaha 1/10.

[54] Hasyiyah Ibni ’Abidin 5/228, al-Majmu’ 9/249, al-Muhalla 1/221.

[55] Lihat Ahkamul Badail al-Hayawaniyyah wa Shina’iyyah fi Jismil Insan hlm. 72–75 oleh Dr. Fahd ibn Shalih al-’Uraid, terbitan Maktabah Shuma’i, KSA.

[56] Republika, Jum’at 7 Mei 2004, hlm. 6.

[57] HR al-Bukhari No. 1893 dan Muslim No. 159

[58] HR al-Bukhari No. 2892

[59] HR Muslim No. 260

[60] HR Muslim No. 259

[61] HR Muslim No. 259

[62] Lihat Irsyadul Fuhul asy-Syukani 94–97, Mudzakkirah Ushul Fiqh asy-Syinqithi hlm. 191–192, al-Ushul min ’Ilmil Ushul Ibnu Utsaimin hlm. 24–25.

[63] Maratibul Ijma’ hlm. 157

[64] Al-Iqna’ fi Masa’il Ijma’ 2/299

[65] Al-Ikhtiyarat al-’Ilmiah hlm. 10

[66] Al-Ibda’ fi Madharil Ibtida’ hlm. 384

[67] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah telah menegaskan hal ini dalam kitabnya Iqtidha’ Shirathil Mustaqim hlm. 177, “Apabila orang-orang musyrik memelihara jenggot mereka, maka fitrah mereka dalam segi ini selamat, karena sesuai dengan fitrah dan petunjuk para nabi … Bagaimana pun juga, tidak boleh bagi kita untuk menolak apa yang disyariatkan dan difitrahkan Allah kepada kita, hanya sekadar karena non-Muslim melakukannya.”

[68] Lihat Fatawa Ibnu Utsaimin 2/908–909

[69] Fatawa Lajnah Da’imah 5/143