بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

#SifatSholatNabi
#FatwaUlama
HUKUM MENYALATI MAYIT YANG DAHULU TIDAK SHALAT
Pertanyaan:
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah ditanya tentang hukum menyalati seorang mayit yang dahulunya (semasa hidupnya) tidak melakukan shalat. Apakah dengan itu seseorang mendapatkan pahala atau tidak? Apakah seseorang berdosa bila meninggalkannya, sementara dia tahu bahwa dahulu si mayit tidak shalat? Demikian pula mayit yang dahulunya meminum khamr dan tidak shalat, bolehkah bagi yang mengetahui keadaannya untuk menyalatinya?
Jawaban:
Seseorang yang menampakkan keislaman, maka berlaku padanya hukum-hukum Islam yang zhahir (tampak), semacam pernikahan, warisan, dimandikan dan dishalati, dan dikuburkan di pekuburan Muslimin, dan yang semacamnya.
Adapun yang mengetahui adanya kemunafikan dan kezindiqan [Yakni misalnya dia mencela Islam, atau menghina sebagian ajarannya semacam shalat, puasa, atau yang lain. (-red.)] pada dirinya (mayit), dia tidak boleh menyalatinya, walaupun si mayit (dahulunya) menampakkan keislaman. Karena Allah ﷻ melarang Nabi-Nya ﷺ untuk menyalati orang-orang munafik. Firman-Nya:
“Dan janganlah kamu sekali-kali menyolatkan (jenazah) seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik.” (At-Taubah: 84)
“Sama saja bagi mereka, kamu mintakan ampunan atau tidak kamu mintakan ampunan bagi mereka, Allah tidak akan mengampuni mereka.” (Al-Munafiqun: 6)
Adapun yang menampakkan kefasikan bersamaan dengan adanya iman pada dirinya, seperti para pelaku dosa besar, maka sebagian Muslimin tetap diharuskan menyalati (jenazah) mereka. Tapi (bila) seseorang tidak menyalatinya dalam rangka memeringatkan orang-orang yang semacamnya dari perbuatan seperti itu, sebagaimana Nabi ﷺ tidak mau menyalati seseorang yang mati bunuh diri, orang yang mencuri harta rampasan perang sebelum dibagi, serta yang mati meninggalkan utang dan tidak memiliki (sesuatu) untuk membayarnya, juga sebagaimana dahulu banyak dari kalangan salaf (pendahulu) berhalangan untuk menyalati ahli bid’ah, maka pengamalannya terhadap sunnah ini bagus.
Dahulu putra Jundub bin Abdillah Al-Bajali berkata kepada ayahnya: “Aku semalam tidak dapat tidur karena kekenyangan.” Jundub radhiyallahu ‘anhu mengatakan: “Seandainya kamu mati, maka aku tidak mau menyalatimu.” Seolah Jundub mengatakan: “Kamu bunuh dirimu dengan kebanyakan makan.”
Yang semacam ini sejenis dengan pemboikotan terhadap orang-orang yang menampakkan dosa besar, agar mereka mau bertaubat. Bila perlakuan semacam ini membuahkan maslahat yang besar, maka sikap itu baik.
Barang siapa tetap menyalatinya dengan mengharapkan rahmat Allah ﷻ untuknya, sementara jika dia tidak menyalatinya juga tidak ada maslahat yang besar, maka sikap yang demikian juga baik.
Atau, seandainya dia menampakkan bahwa dia tidak mau menyalatinya, namun tetap mendoakannya, walaupun tidak menampakkan doanya, untuk menggabungkan dua maslahat, maka memadu dua maslahat lebih baik daripada meninggalkan salah satunya.
Orang yang tidak diketahui kemunafikannya, sedangkan dia adalah seorang Muslim, boleh memintakan ampunan untuknya. Bahkan itu disyariatkan dan diperintahkan. Sebagaimana firman Allah ﷻ:
“Dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang Mukmin, laki-laki dan perempuan.” (Muhammad: 19)
Semua orang yang menampakkan dosa besar, boleh dihukum dengan diboikot dan cara yang lain, sampai pada mereka yang bila di-hajr (boikot) akan mengakibatkan maslahat yang besar. Sehingga dihasilkanlah maslahat yang syari dalam sikap tersebut semampu mungkin.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah ditanya tentang seseorang yang terkadang shalat, tetapi banyak meninggalkan atau tidak shalat. Apakah (bila mati) dia dishalati?
Jawaban:
Terhadap orang yang seperti ini, kaum Muslimin tetap menyalatinya. Bahkan kaum munafik yang menyembunyikan kemunafikannya, kaum Muslimin tetap menyalati dan memandikannya, dan diterapkan atasnya hukum-hukum Islam, sebagaimana kaum munafik di zaman Nabi ﷺ.
Bila mengetahui kemunafikannya, maka ia tidak boleh menyalatinya. Sebagaimana Nabi ﷺ dilarang menyalati orang yang beliau ﷺ ketahui kemunafikannya. Adapun seseorang yang dia ragukan keadaannya, maka diperbolehkan menyalatinya, bila ia menampakkan keislamannya. Sebagaimana Nabi ﷺ menyalati orang yang beliau ﷺ belum dilarang untuk menyalatinya. Di antara mereka ada yang belum beliau ﷺ ketahui kemunafikannya, sebagaimana Allah ﷻ firmankan:
“Di antara orang-orang Arab Badui yang di sekelilingmu itu ada orang-orang munafik; dan (juga) di antara penduduk Madinah. Mereka keterlaluan dalam kemunafikannya. Kamu (Muhammad) tidak mengetahui mereka, (tetapi) Kamilah yang mengetahui mereka.” (At-Taubah: 101)
Terhadap orang yang semacam mereka, tidak boleh dilarang untuk menyalatinya. Namun shalat Nabi ﷺ dan kaum Mukminin terhadap orang munafik tidak bermanfaat untuknya. Sebagaimana Nabi ﷺ berkata ketika memakaikan gamisnya kepada Ibnu Ubai (seorang munafik): “Dan tidak akan bermanfaat gamisku untuk menolongnya dari hukuman Allah.” Allah ﷻ juga berfirman:
“Sama saja bagi mereka, kamu mintakan ampunan atau tidak kamu mintakan ampunan bagi mereka, Allah tidak akan mengampuni mereka.” (Al-Munafiqun: 6)
Orang yang terkadang meninggalkan shalat dan yang sejenisnya, yang menampakkan kefasikan, bila para ulama meng-hajr (memboikot) nya dan tidak menyalatinya akan membuahkan manfaat bagi Muslimin, di mana hal itu akan menjadi pendorong mereka untuk menjaga shalat, maka hendaknya mereka memboikotnya dan tidak menyalatinya. Sebagaimana Nabi ﷺ tidak mau menyalati orang yang mati bunuh diri, orang yang mencuri harta rampasan perang, serta orang yang mati meninggalkan utang dan tidak ada yang untuk melunasinya. Orang ini (yang meninggalkan shalat) lebih jelek dari mereka.
(Majmu’ Fatawa, 24/285-288)
 
Asy Syariah Edisi 044
Sumber: http://asysyariah.com/menyalati-mayit-yang-dahulu-tidak-shalat/