بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ 

#MuslimahSholihah

HUKUM MENUTUP MUKA BAGI WANITA (CADAR)

Oleh: Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani

Pertanyaan:

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani ditanya: “Bagaimana hukum wanita menutup muka (cadar) ?”

Jawaban:

Kami tidak mengetahui ada seorang pun dari sahabat yang mewajibkan hal itu. Tetapi lebih utama dan lebih mulia bagi wanita untuk menutup wajah. Adapun mewajibkan sesuatu harus berdasarkan hukum yang jelas dalam syariat. Tidak boleh mewajibkan sesuatu yang tidak diwajibkan Allah.

Oleh karena itu saya telah membuat satu pasal khusus dalam kitab ‘Hijabul Mar’aatul Muslimah’, untuk membantah orang yang menganggap bahwa menutup wajah wanita adalah bid’ah. Saya telah jelaskan bahwa hal ini (menutup wajah) adalah lebih utama bagi wanita.

Hadis Ibnu Abbas menjelaskan bahwa wajah dan kedua telapak tangan bukan termasuk aurat, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam ‘Al-Mushannaf’.

Pendapat kami adalah bahwa hal ini bukanlah hal yang baru. Para ulama dari kalangan ‘As Salafus Shalih’ dan para ahli tafsir seperti Ibnu Jarir Ath-Thabari dan lain-lain mengatakan bahwa wajah bukan termasuk aurat tetapi menutupnya lebih utama.

Sebagian dari mereka berdalil tentang wajibnya menutup wajah bagi wanita dengan kaidah.

“Artinya: Mencegah kerusakan didahulukan daripada mengambil kemanfaatan”

Tanggapan saya:

Memang kaidah ini bukan bid’ah tapi sesuatu yang berdasarkan syariat. Sedangkan orang yang pertama menerima syariat adalah Rasulullah ﷺ. Kemudian orang-orang yang menerima syariat ini dari beliau ﷺ adalah para sahabat. Para Sahabat tentu sudah memahami kaidah ini, walaupun mereka belum menyusunnya dengan tingkatan ilmu Ushul Fiqih seperti di atas.

Telah kami sebutkan dalam kitab ‘Hijaab Al-Mar’aatul Muslimah’ kisah seorang wanita ‘Khats’amiyyah’ yang dipandangi oleh Fadhl bin ‘Abbas ketika Fadhl sedang dibonceng oleh Nabi ﷺ, dan wanita itu pun melihat Fadhl. Ia adalah seorang yang tampan dan wanita itu pun seorang yang cantik. Kecantikan wanita ini tidak mungkin bisa diketahui, jika wanita itu menutup wajahnya dan Rasulullah ﷺ ketika itu memalingkan wajah Fadhl ke arah lain. Yang demikian ini menunjukkan, bahwa wanita tadi membuka wajahnya.

Sebagian mereka mengatakan, bahwa wanita tadi dalam keadaan berihram, sehingga boleh baginya membuka wajah. Padahal tidak ada tanda-tanda sedikit pun bahwa wanita tadi sedang berihram. Dan saya telah mentarjih (menguatkan) dalam kitab tersebut, bahwa wanita itu berada dalam kondisi setelah melempar jumrah, yaitu setelah ‘Tahallul’ awal.

Dan seandainya benar wanita tadi memang benar sedang berihram, mengapa Rasulullah ﷺ tidak menerapkan kaidah di atas, yaitu kaidah mencegah kerusakan?!

Kemudian kami katakan, bahwa pandangan seorang lelaki terhadap wajah wanita, tidak ada bedanya dengan pandangan seorang wanita terhadap wajah lelaki, dari segi syariat dan dari segi tabiat manusia. Oleh sebab itu Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Artinya: Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: ‘Hendaknya mereka menahan pandangannya” [An-Nuur : 30]
Maksudnya dari (memandang) wanita.
Dan Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Artinya: Dan katakanlah kepada wanita yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya” [An-Nuur : 31]
Maksudnya yaitu jangan memandangi seorang laki-laki.
 
Kedua ayat di atas mengandung hukum yang sama. Ayat pertama memerintahkan menundukkan pandangan dari wajah wanita, dan ayat kedua memerintahkan menundukkan pandangan dari wajah pria.
Sebagaimana kita tahu pada ayat kedua tidak memerintahkan seorang laki-laki untuk menutup. Demikian pula ayat pertama tidak memerintahkan seorang wanita untuk menutup wajah.
 
Kedua ayat di atas secara jelas mengatakan, bahwa di zaman Rasulullah ﷺ, ada sesuatu yang biasa terbuka dan bisa dilihat, yaitu wajah. Maka Allah, Sang Pembuat Syariat dan Yang Maha Bijaksana memerintahkan kepada kedua jenis menusia (laki-laki dan perempuan) untuk menundukkan pandangan masing-masing.
 
Adapun hadis:
“Artinya: Wanita adalah aurat”
Tidak berlaku secara mutlak. Karena sangat mungkin seseorang boleh menampakkan auratnya di dalam shalat.[1]
 
Yang berpendapat, bahwa wajah wanita itu aurat adalah Minoritas Ulama. Sedangkan yang berpendapat bahwa wajah bukan aurat adalah Mayoritas Ulama (Jumhur). Hadis di atas yang berbunyi:
“Artinya: Wanita adalah aurat, jika ia keluar maka setan memerindahnya”, tidak bisa diartikan secara mutlak, karena ada kaidah yang berbunyi:
“Dalil umum yang mengandung banyak cabang hukum, di mana cabang-cabang hukum itu tidak bisa diamalkan berdasarkan dalil umum tersebutt, maka kita tidak boleh berhujah dengan dalil umum tersebut, untuk menentukan cabang-cabang hukum tadi”.

Misalnya: Orang-orang yang menganggap bahwa ‘bid’ah-bid’ah’ itu baik adalah berdasarkan dalil yang sifatnya umum. Contoh: Di negeri-negeri Islam seperti Mesir, Siria, Yordania dan lain-lain…. banyak orang yang membaca sholawat ketika memulai adzan. Mereka melakukan ini berdasarkan dalil yang sangat umum yaitu firman Allah:

“Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya” [Al-Ahzaab : 56]

Dan dalil-dalil lain yang menjelaskan keutamaan sholawat kepada Nabi ﷺ yang merupakan dalil-dalil umum (yang tidak bisa daijadikan hujjah dalam azan yang memakai sholawat, karena ia membutuhkan dalil khusus, wallahu a’lam, -pent-).

Mewajibkan wanita menutup wajah berdasarkan hadis: “Wanita adalah aurat”, adalah sama dengan kasus di atas. Karena wanita (Shahabiyah) ketika melaksanakan shalat, mereka umumnya membuka wajah. Demikian pula ketika mereka pulang dari masjid, sebagian mereka menutupi wajah, dan sebagian yang lain masih membuka wajah.

Jika demikian hadis di atas (wanita adalah aurat), tidak termasuk wajah dan telapak tangan. Prinsip ini tidak pernah bertentangan dengan praktik orang-orang salaf (para sahabat).

 

[Disalin dari kitab Majmu’ah Fatawa Al-Madina Al-Munawarah, Penulis Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa AlBani, Penerbit Pustaka At-Tauhid]

 

_________

Foote Note

[1]. Maksud beliau adalah bahwa orang yang berpendapat tentang wajibnya menutup wajah bagi wanita pun bersepakat tentang bolehnya wanita membuka wajahnya, yang menurut mereka adalah aurat, ketika shalat. Maka hal ini menunjukkan bahwa hadis di atas tidaklah berlaku secara mutlak [-pent]

 

Sumber: http://almanhaj.or.id/content/780/slash/0/hukum-menutup-muka-bagi-wanita-cadar/