بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

 

DELAPAN KAIDAH SEPUTAR RIBA

Kaidah Pertama: Mengambil manfaat dari utang adalah riba.

Ulama sepakat dengan prinsip ini, bahwa semua utang yang menghasilkan manfaat apapun, maka statusnya riba.

Ibnu Qudamah mengatakan:

وَكُلُّ قَرْضٍ شَرَطَ فِيهِ أَنْ يَزِيدَهُ ، فَهُوَ حَرَامٌ ، بِغَيْرِ خِلَافٍ

“Semua utang yang memersyaratkan harus dilebihkan (pelunasannya), hukumnya haram tanpa ada perbedaan (sepakat ulama).” [Al-Mugni, 4/390]

Keterangan lain disampaikan Ibnul Mundzir:
“Ulama sepakat, bahwa apabila orang yang memberi utang memersyaratkan pihak yang diutangi harus memberi tambahan atau hadiah, kemudian dilakukan transaksi utang piutang dengan kesepakatan itu, maka mengambil tambahan tadi statusnya riba.”
[Al’Ijma’, hlm 90]

Kaidah Kedua: Tambahan utang sebagai ganti dari tempo pembayaran adalah riba.

Al-Qurthubi menyatakan, kaum Muslimin sepakat tambahan yang disepakati adalah riba. Inilah model riba jahiliyah yang diceritakan Zain bin Aslam. Mereka menetapkan adanya tambahan sebagai ganti dari lama keberadaan uang itu di tangan orang yang berutang

Islam menyadarkan, bahwa memberi utang hakikatnya adalah sedekah. Dan namanya amal sedekah, semakin beresiko semakin berpahala. Dari Ibnu Mas’ud, Nabi ﷺ bersabda:

كل قرض صدقة

“Setiap mengutangi orang lain adalah sedekah.” [HR. Thabrani dalam Mu’jam as-Shaghir 402]

Kaidah Ketiga: Riba tidak dibolehkan, sedikit maupun banyak.

Ibnu Qudamah mengatakan:
“Semua yang berlaku riba dalam jumlah besar, juga berlaku riba dalam jumlah kecil.” [Al-Mugni, 4/139]

Ibnu abdil Bar membuat kesimpulan:
“Riba tidak dibolehkan, sedikit maupun banyak. Tidak seperti gharar. Yang itu dibolehkan jika sedikit, dan tidak boleh jika banyak.” [At-Tamhid Syarh Muwatha, 14/213]

Kaidah Keempat: Riba hukumnya haram dilakukan di lingkungan orang Kafir Harbi, sebagaimana hukumnya haram ketika dilakukan di lingkungan Islam.

Kaidah Kelima: Kenaikan harga barang tidak diperhitungkan dalam utang.

Salah satu pemicu terbesar terjadinya riba adalah ketakutan inflasi. Di masa Nabi ﷺ pernah terjadi inflasi, hingga beberapa sahabat mendatangi beliau dan meminta agar beliau membuat ketetapan menurunkan harga.

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu menceritakan, banyak orang mengadu kepada Nabi ﷺ: “Ya Rasulullah, harga barang naik, turunkanlah harga bagi kami.

Jawab Nabi ﷺ:

إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمُسَعِّرُ الْقَابِضُ الْبَاسِطُ الرَّازِقُ وَإِنِّى لأَرْجُو أَنْ أَلْقَى اللَّهَ وَلَيْسَ أَحَدٌ مِنْكُمْ يُطَالِبُنِى بِمَظْلَمَةٍ فِى دَمٍ وَلاَ مَالٍ

“Sesungguhnya Allah menetapkan harga, menyempitkan dan melapangkan rezeki. Aku berharap ketika bertemu Allah, tidak ada seorang pun yang menuntutku karena kezaliman masalah darah dan harta.” [HR. Abu Daud 3453, Tirmidzi 1362 dan dishahihkan al-Albani]

Kita tidak menjumpai riwayat, Nabi ﷺ membuat keputusan yang berbeda terkait masalah utang dalam kondisi krisis, sehingga hukum riba tetap berlaku.

Kaidah Keenam: Riba berlaku dalam semua mata uang

Syaikhul Islam mengomentari bentuk riba Jahiliyah:
“Inilah riba yang tidak diragukan lagi keharamannya, dengan sepakat ulama Salaf. Inilah riba yang dibahas dalam Alquran, nampak sangat jelas unsur kezaliman dan bahayanya.” [Majmu’ al-Fatawa, 20/349]

Kaidah Ketujuh: Saling rida tidak diperhitungkan dalam transaksi riba.

Sebenarnya pernyataan ini membuktikan, bahwa para karyawan bank telah mengakui, bahwa penghasilan bank adalah riba. Hanya saja mereka memiliki pembagian masalah riba. Ada riba yang haram. itulah riba yang dipaksakan. Dan ada riba yang saling rida. Tentu saja anggapan ini tidak benar. Orang yang melakukan transaksi riba, sekalipun saling rida, terap dilarang dan nilainya dosa besar.

Kaidah Kedelapan: Tidak boleh menetapkan syarat dalam utang piutang

Syarat dalam transaksi utang, dapat kita kelompokkan menjadi dua:

1). Syarat untuk kemaslahatan bersama, tidak semata menguntungkan pihak kreditor

2). Syarat yang menguntungkan pihak pemberi utang (Kreditor)

*Syarat jenis pertama diperbolehkan dan tidak termasuk riba. Contohnya seperti syarat pencatatan, atau syarat adanya barang jaminan (gadai), atau syarat adanya penjamin utang (kafil).

*Syarat kedua hukumnya tidak diperbolehkan, karena ini memberi manfaat kepada pemberi utang. Dan semua utang yang menghasilkan manfaat adalah riba. Misalnya denda keterlambatan, utang dengan syarat ada jual beli, atau utang dengan syarat sewa-menyewa.

 

Dinukil dari buku berjudul: “ADA APA DENGAN RIBA” oleh: Ustadz Ammi Nur Baits hafizhahullah

 

══════

 

Mari sebarkan dakwah sunnah dan meraih pahala. Ayo di-share ke kerabat dan sahabat terdekat! Ikuti kami selengkapnya di:

WhatsApp:
+61 405 133 434 (silakan mendaftar terlebih dahulu)
Website: https://nasihatsahabat.com/
Email: [email protected]
Twitter: @NasihatSalaf
Facebook: https://www.facebook.com/nasihatsahabatcom/
Instagram: NasihatSahabatCom
Telegram: https://t.me/nasihatsahabat
Pinterest: https://id.pinterest.com/nasihatsahabat