بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
 
CONTOH UNTUK DITELADANI, KISAH SHAHABIYAH YANG MULIA
>> Pesan-pesan untuk suami istri
 
Oleh Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq
 
Kisah Syuraih al-Qadhi
 
Diriwayatkan bahwa Syuraih al-Qadhi bertemu dengan asy-Sya’bi pada suatu hari, lalu asy-Sya’bi bertanya kepadanya tentang keadaannya di rumahnya.
 
Ia menjawab: “Selama 20 tahun aku tidak melihat sesuatu yang membuatku marah terhadap istriku.”
Asy-Sya’bi bertanya: “Bagaimana itu terjadi?”
Syuraih menjawab: “Sejak malam pertama aku bersua dengan istriku, aku melihat padanya kecantikan yang menggoda dan kecantikan yang langka. Aku berkata dalam hatiku: “Aku akan bersuci dan salat dua rakaat sebagai tanda syukur kepada Allah. Ketika aku salam dan mendapati istriku menunaikan salat dengan salatku dan salam dengan salamku, maka ketika rumahku telah sepi dari para sahabat dan rekan-rekan, aku berdiri menuju kepadanya. Aku ulurkan tanganku kepadanya.
Maka dia berkata: ‘Perlahan, wahai Abu Umayyah, seperti keadaanmu semula.’
Kemudian ia berkata: ‘Segala puji bagi Allah. Aku memuji-Nya dan memohon pertolongan kepada-Nya. Aku sampai-kan salawat dan salam atas Muhammad dan keluarganya. Sesungguhnya aku adalah wanita asing yang tidak mengetahui akhlakmu. Maka jelaskanlah kepadaku apa yang engkau sukai, sehingga aku akan melakukannya. Dan apa yang tidak engkau sukai, sehingga aku meninggalkannya.’
Ia melanjutkan: ‘Sesungguhnya pada kaummu terdapat wanita yang dapat engkau nikahi, dan pada kaumku terdapat pria yang sekufu denganku. Tetapi jika Allah menentukan suatu perkara, maka perkara itu terjadi. Engkau telah berkuasa, maka lakukanlah apa yang diperintahkan Allah kepadamu, yaitu menahan dengan yang makruf, atau mencerai dengan cara yang baik. Aku ucapkan sampai di sini saja. Dan aku memohon ampun kepada Allah untukku dan untukmu…!’
 
Syuraih berkata: “Demi Allah wahai asy-Sya’bi, ia membuatku membutuhkan kepada khotbah di tempat tersebut. Aku katakan: ‘Segala puji bagi Allah. Aku memuji-Nya dan memohon pertolongan kepada-Nya. Aku sampaikan salawat dan salam atas Nabi dan keluarganya. Sesungguhnya engkau mengatakan suatu pembicaraan, yang bila engkau teguh di atasnya, maka itu menjadi keberuntunganmu. Dan jika engkau meninggalkannya, maka itu menjadi hujjah (keburukan) atasmu. Aku menyukai demikian dan demikian, dan tidak menyukai demikian dan demikian. Apa yang engkau lihat baik, maka sebarkanlah. Dan apa yang engkau lihat buruk, maka tutupilah!’
 
Ia mengatakan: ‘Bagaimana kesukaanmu dalam mengunjungi keluargaku?’
Aku menjawab: ‘Aku tidak ingin mertuaku membuatku penat.’
Ia bertanya: ‘Siapa yang engkau sukai dari para tetanggamu untuk masuk ke rumahmu, sehingga aku akan mengizinkannya? Dan siapa yang tidak engkau sukai, sehingga aku tidak mengizinkannya masuk?’
Aku mengatakan: ‘Bani Fulan adalah kaum yang saleh, dan Bani Fulan adalah kaum yang buruk.’”
Syuraih berkata: “Kemudian aku bermalam bersamanya pada malam yang sangat nikmat (baik). Aku hidup bersamanya selama setahun, dan aku tidak melihat melainkan sesuatu yang aku sukai. Ketika di awal tahun aku datang dari majelis Qadha’ (peradilan), tiba-tiba ada seorang wanita di dalam rumah.
Aku bertanya: ‘Siapa dia?’
Mereka menjawab: ‘Mertuamu (yakni, ibu dari istrimu).’
Ia menoleh kepadaku dan bertanya kepadaku: ‘Bagaimana pendapatmu tentang istrimu?’
Aku menjawab: ‘Sebaik-baik istri.’
Ia mengatakan: ‘Wahai Abu Umayyah, wanita tidak menjadi lebih buruk keadaannya darinya dalam dua keadaan: Jika melahirkan anak, atau dimuliakan di sisi suaminya. Demi Allah, laki-laki tidak menemui di rumahnya yang lebih buruk daripada wanita yang manja. Oleh karena itu, hukumlah dengan hukuman yang engkau suka, dan didiklah dengan didikan yang engkau suka.’
Lalu aku tinggal bersamanya selama 20 tahun, dan aku tidak pernah menghukumnya mengenai sesuatu pun, kecuali sekali, dan aku merasa telah menzaliminya.” [1]
 
Kita berbicara tentang kaum wanita yang patut diteladani. Dan kita tidak bisa melupakan seorang wanita yang mencapai derajat kemauan tertinggi, dan mendapatkan kabar gembira (bahwa dia akan masuk) Surga, sedangkan dia berjalan di permukaan bumi. Dari wanita inilah kita belajar kemuliaan, kesabaran, dan memberi sumbangsih di jalan agama ini. Ia adalah al-Ghumaisha’ binti Milhan Ummu Sulaim radhiyallahu anha, yang Rasulullah ﷺ bersabda tentangnya:
 
دَخَلْتُ الْجَنَّةَ فَسَمِعْتُ خَشْفَةً، فَقُلْتُ: مَنْ هَذَا. قَالُوا: هَذِهِ الْغُمَيْصَاءُ بِنْتُ مِلْحَانَ، أُمُّ أَنَسِ بْنِ مَالِكِ.
 
“Aku memasuki Surga, lalu aku mendengar suara. Maka aku bertanya: ‘Siapakah ini?’ Mereka berkata: ‘Ini adalah al-Ghumaisha’ binti Milhan, Ummu Anas bin Malik.’” [2]
 
Bagaimana kisah Shahabiyah yang mulia ini?
 
Pertama: Mari kita dengar kisah pernikahannya
 
An-Nasa-i meriwayatkan dari hadis Anas radhiyallahu anhu, ia mengatakan: “Abu Thalhah (datang) melamar, lalu Ummu Sulaim berkata: ‘Demi Allah, orang semisalmu, wahai Abu Thalhah, tidak akan ditolak. Tetapi engkau adalah pria kafir, sedangkan aku wanita Muslimah, dan tidak halal bagiku menikahimu. Jika engkau masuk Islam, maka itulah maharku, dan aku tidak meminta kepadamu selainnya. Kemudian dia masuk Islam, lalu hal itu menjadi maharnya.’
Tsabit berkata: ‘Aku tidak mendengar seorang wanita pun yang lebih mulia maharnya dibanding Ummu Sulaim, (maharnya) yaitu Islam.’” [3]
 
Kedua: Kesabarannya
 
Anas bin Malik radhiyallahu anhu meriwayatkan, bahwa seorang anak dari Abu Thalhah sakit. Ketika Abu Thalhah keluar, anak itu meninggal.
 
Ketika Abu Thalhah kembali, dia bertanya: “Bagaimana anakku?”
Ummu Sulaim menjawab: “Ia dalam kondisi sangat tenang,” seraya menghidangkan makan malam kepadanya. Dan dia pun makan. Dalam sebuah riwayat disebutkan, bahwa Ummu Sulaim berkata: “Jangan beritahukan kepada Abu Thalhah tentang kematian anaknya.”
 
Kemudian ia melakukan tugasnya sebagai istri kepada suaminya. Lalu suaminya berhubungan intim dengannya. Ketika akhir malam, ia berkata kepada suaminya: “Wahai Abu Thalhah, bagaimana pendapatmu bila keluarga si Fulan meminjam suatu pinjaman, lalu memanfaatkannya. Kemudian ketika pinjaman itu diminta, mereka tidak suka?”
Ia menjawab: “Mereka tidak adil.”
Ummu Sulaim berkata: “Sesungguhnya anakmu, Fulan, adalah pinjaman dari Allah, dan Dia telah mengambilnya.”
Abu Thalhah beristirja’ (mengucapkan: Innaa lillaahi wa innaaa ilaih raaji’uun) dan memuji Allah seraya mengatakan: “Demi Allah, aku tidak membiarkanmu mengalahkanku dalam kesabaran.”
 
Pada pagi harinya dia datang kepada Rasulullah ﷺ. Tatkala beliau ﷺ melihatnya, beliau bersabda: “Semoga Allah memberkahi kalian berdua di malam hari kalian.” Keberkahan itu, sejak malam itu, mencakup Abdullah bin Abi Thalhah. Dan tidak ada pada kaum Anshar seorang pemuda yang lebih baik darinya. Dari Abdullah tersebut lahirlah banyak anak. Dan Abdullah tidak meninggal, sehingga dia dikaruniai sepuluh anak yang semuanya hafal Alquran, dan dia wajat di jalan Allah. [4]
 
Ketiga: Jihadnya di jalan Allah
 
Muslim meriwayatkan dari Anas radhiyallahu anhu, bahwa pada Perang Hunain, Ummu Sulaim membawa pisau kecil. Senjata itu bersamanya. Ketika Abu Thalhah melihatnya, maka dia mengatakan: “Wahai Rasulullah! Ini adalah Ummu Sulaim, ia membawa pisau kecil.”
Mengetahui hal itu, beliau ﷺ bertanya: “Untuk apa pisau kecil ini?”
Ia menjawab: “Aku membawanya; jika seorang dari kaum musyrik mendekat kepadaku, maka aku robek perutnya dengannya.”
Mendengar hal itu beliau ﷺ tertawa.
Ia berkata: “Wahai Rasulullah, akan kubunuh orang-orang yang masuk Islam setelah kita dari kalangan Thulaqa'[5] yang melarikan diri darimu!”
Rasulullah ﷺ menjawab: “Wahai Ummu Sulaim, Allah telah mencukupi dan berbuat baik.”[6]
 
Keempat: Kemuliaannya di rumahnya
 
Kita masih membicarakan shahabiyah mulia ini. Dan kita akan mendengarkan tentang kemuliaannya di rumahnya, dan pengetahuannya bahwa Allah ﷻ akan memberi ganti kepada orang-orang yang berinfak.[7]
 
Dalam Shahiih al-Bukhari dari hadis Anas radhiyallahu anhu, ia menuturkan bahwa Abu Thalhah berkata kepada Ummu Sulaim: “Aku telah mendengar suara Nabi ﷺ dalam keadaan lemah, yang aku ketahui beliau sedang lapar. Apakah engkau mempunyai sesuatu?”
Ia menjawab: “Ya.” Lalu ia mengeluarkan sejumlah roti yang terbuat dari gandum. Kemudian mengeluarkan kerudungnya, lalu membungkus roti tersebut dengan sebagiannya. Kemudian ia melilitkannya di bawah tanganku, lalu mengutusku kepada Rasulullah ﷺ. Aku pun pergi dan menjumpai Rasulullah ﷺ di masjid bersama sejumlah orang.
 
Ketika aku berada di hadapan mereka, beliau bertanya kepadaku: “Apakah Abu Thalhah mengutusmu?”
Aku menjawab: “Ya.”
Beliau bertanya: “Dengan membawa makanan?”
Aku menjawab: “Ya.”
Maka Rasulullah ﷺ bersabda kepada orang-orang yang bersamanya: “Berdirilah!”
 
Beliau beranjak dan aku pun beranjak dari hadapan mereka, hingga aku sampai kepada Abu Thalhah. Lalu aku mengabarkan kepadanya.
Abu Thalhah berkata: “Wahai Ummu Sulaim, Rasulullah ﷺ telah datang bersama sejumlah orang, sedangkan kita tidak mempunyai sesuatu untuk menjamu mereka.”
Ia menjawab: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Lalu Abu Thalhah pergi hingga bertemu Rasulullah ﷺ. Kemudian Rasulullah ﷺ datang dan Abu Thalhah menyertainya, lalu beliau berkata: “Kemarilah wahai Ummu Sulaim, apa yang engkau miliki?”
Maka ia membawa roti tersebut. Lantas Rasulullah ﷺ memerintahkan untuk membukanya, dan Ummu Sulaim membuat kuah untuk menguahinya. Kemudian Rasulullah ﷺ mengatakan pada makanan itu, apa yang hendak dikatakannya, kemudian beliau bersabda: “Izinkanlah untuk sepuluh orang orang!” Maka makanan itu mengizinkan mereka. Lalu mereka makan hingga kenyang. Lalu mereka keluar.
Kemudian beliau ﷺ bersabda: “Izinkanlah untuk sepuluh orang!” Maka ia mengizinkan mereka, lalu mereka makan hingga kenyang.
Lalu beliau bersabda: “Izinkahlah untuk sepuluh orang!” Maka ia menginzinkan mereka, lalu mereka makan hingga kenyang, kemudian mereka keluar.
Selanjutnya beliau mengatakan: “Izinkan untuk sepuluh orang!” Kemudian mereka semua makan hingga kenyang. Mereka semua berjumlah 70 atau 80 orang. [8]
 
Inilah seorang wanita yang mengajarkan kepada kaum pria untuk bersabar, terutama terhadap kaum wanita, dan mengajarkan kepada mereka supaya rida dengan ketentuan Allah. Kita memohon kepada Allah, semoga para wanita kita belajar bersabar ketika mengalami musibah yang menyedihkan, agar melahirkan untuk kita tokoh-tokoh seperti Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, Ali, Malik, Ahmad dan asy-Syafi’i.
 
Abul Faraj Ibnu al-Jauzi mengatakan, bahwa al-Ashma’i berkata:
“Aku dan kawanku keluar menuju dusun, lalu kami tersesat jalan. Tiba-tiba kami menjumpai gubuk di kanan jalan. Lalu kami menuju ke sana dan mengucapkan salam. Ternyata seorang wanita menjawab salam kami seraya bertanya: ‘Siapa kalian?’
Kami menjawab: ‘Kaum yang tersesat jalan. Kami datang kepada kalian untuk mengunjungi kalian.’
Ia mengatakan: ‘Wahai kaum, palingkan wajah kalian dariku, hingga aku menyelesaikan apa yang menjadi hak kalian.’
Kami pun melakukannya. Lalu ia melemparkan kepada kami alas tidur seraya mengatakan: ‘Duduklah di situ hingga putraku datang.’
Kemudian dia melihat-lihat kedatangan putranya, hingga dia bisa melihatnya seraya mengatakan: ‘Aku memohon kepada Allah keberkahan orang yang datang. Unta itu adalah unta putraku, sedangkan yang menungganginya bukan putraku.’
Ketika penunggang unta itu telah berdiri di hadapannya, ia mengatakan: ‘Wahai Ummu ‘Uqail, semoga Allah membesarkan pahalamu karena ‘Uqail.’
Dia bertanya: ‘Apakah putraku wafat?’
Ia menjawab: ‘Ya.’
Dia bertanya: ‘Apa penyebab kematiannya?’
Ia menjawab: ‘Unta berdesak-desakan padanya, lalu ia terlempar ke sumur.’
Dia mengatakan: ‘Turunlah, lalu penuhi hak bertamu kaum ini.’
Dia menyerahkan seekor domba kepadanya, lalu ia menyembelih dan mengolahnya serta menghidangkan makanan kepada kami. Kemudian kami makan dan kami kagum dengan kesabarannya. Ketika kami selesai, dia keluar kepada kami dalam keaadan tertutup hijab seraya mengatakan: ‘Wahai kaum, apakah di antara kalian ada yang dapat membaca Alquran dengan baik?’
Aku menjawab: ‘Ya.’
Ia mengatakan: ‘Bacakan kepadaku dari Kitabullah ayat-ayat yang aku menjadi terhibur dengannya.’
Aku mengatakan: ‘Allah ﷻ berfirman:
 
وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ أُولَٰئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ
 
“… Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: ‘Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun.’ Mereka itulah yang mendapatkan keberkahan yang sempurna dan rahmat dari Rabb-nya. Dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” [Al-Baqarah: 155-157].
 
Ia bertanya: ‘Apakah ayat-ayat ini dalam Kitabullah demikian?’
Aku menjawab: ‘Ayat-ayat ini dalam Kitabullah demikian.’
Dia mengatakan: ‘Assalaamu ‘alaikum. Kemudian dia meluruskan kedua telapak kakinya dan salat dua rakaat, kemudian mengucapkan, ‘Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun. Di sisi Allah mendapatkan ‘Uqail.’ Ia mengatakan demikian tiga kali. Ya Allah, aku melakukan apa yang Engkau perintahkan kepadaku, maka berikan kepadaku apa yang Engkau janjikan kepadaku.’”[9]
 
Inilah Ummu ‘Umarah, seorang mujahidah yang membela Rasulullah ﷺ dengan hidupnya. Membelanya karena agama, membelanya dan cemas terhadapnya adalah lebih penting baginya daripada dirinya sendiri. Di manakah kaum wanita sekarang jika di bandingkan dengan wanita-wanita yang membeli Akhirat dengan dunia? Kemauan wanita pada zaman sekarang ini adalah membeli segala keinginan dan menikmati kehidupan dunia berikut berbagai kelezatannya. Sementara dia tidak menghiraukan perkara agama. Bahkan di dalam rumahnya, bersama anak-anaknya. Ya Allah, selamatkanlah… selamatkanlah.
 
Inilah Ummu ‘Umarah Nasibah binti Ka’ab bin ‘Auf, seorang shahabiyah mujahidah. Ia keluar di tengah pasukan kaum Muslimin dalam perang Uhud, dan mendapatkan ujian yang baik. Rasulullah ﷺ telah bersabda tentangnya: “Sungguh kedudukan Nasibah binti Ka’ab pada hari ini lebih baik dibanding kedudukan Fulan dan Fulan.”[10]
 
Ia sebagai bintang perang umat Islam. Kemudian ia memalingkan wajahnya dari mereka, ternyata pedang-padang kaum musyrikin menimpa mereka, memenggal leher-leher mereka, dan menikam punggung-punggung mereka. Maka mereka bercerai berai dan mundur ke belakang. Dia pun pergi ke hadapan Rasulullah ﷺ. Ia mencabut panah dan memukul dengan pedang. Sedangkan di sekitarnya ada para tokoh seperti Ali, Abu Bakar, ‘Umar, Sa’ad, Thalhah, az-Zubair, al-‘Abbas, kedua putranya dan suaminya. Ia tidak ingin bahaya mendekati Rasulullah ﷺ, sehingga ia menjadi bentengnya. Sampai-sampai Rasulullah ﷺ bersabda:
 
مَا الْتَفَتُّ يَمِيْنًا وَلاَ شِمَالاً إِلاَّ وَأَنَا أَرَاهَا تُقَاتِلُ دُوْنِيْ.
 
“Tidaklah aku melihat ke kanan dan ke kiri, melainkan aku melihatnya berperang untuk membelaku.”[11]
 
Dari ‘Umarah bin Ghazyah, ia mengatakan, “Ummu ‘Umarah menuturkan: ‘Aku melihat orang-orang pergi dari Rasulullah ﷺ, dan tidak tersisa kecuali sekelompok orang yang kurang dari sepuluh orang. Aku, anakku, dan suamiku berada di depan Rasulullah ﷺ untuk melindungi beliau. Sementara orang-orang melewati beliau untuk melarikan diri, dan beliau melihatku tidak memakai perisai. Ketika beliau melihat orang yang melarikan diri sambil membawa perisai, maka beliau mengatakan: ‘Lemparkan perisaimu untuk dipakai orang yang berperang.’ Ia melemparkannya, lalu aku mengambilnya. Perisai tersebut aku pakai untuk melindungi Rasulullah ﷺ. Luka yang aku dapatkan hanyalah dari orang-orang berkuda. Seandainya mereka berjalan (tanpa tunggangan) seperti kami, niscaya kami dapat melukai mereka. Insya Allah. Ketika seseorang berkuda datang lalu menebasku, Nabi ﷺ berteriak: ‘Wahai putra Ummu ‘Umarah! Ibumu! Ibumu!’ Lalu putraku membantuku menghadapi pria tersebut, sehingga aku berhasil membunuhnya.’”[12]. Pada hari itu Ummu ‘Umarah radhiyallahu anha terluka sebanyak 13 luka.
 
Di antara wanita yang mengajarkan kepada kita, dan mengajarkan wanita-wanita kita agar yakin kepada Allah dan berinfak di jalan-Nya adalah Ummud Dahdah. Mari kita dengar kisahnya bersama suaminya dan ketaatannya kepadanya.
 
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu, ia menuturkan bahwa ketika turun ayat ini:
 
مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ
 
“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah)…” [QS. Al-Baqarah/2: 245].
 
Abud Dahdah al-Anshari bertanya: “Wahai Rasulullah, benarkah Allah menginginkan pinjaman dari kami?”
Beliau ﷺ menjawab: “Ya.”
Ia mengatakan: “Perlihatkan tanganmu kepadaku, wahai Rasulullah.”
Ketika beliau mengulurkan tangannya kepadanya, ia mengatakan: “Sesungguhnya aku telah meminjamkan kebun kepada Rabb-ku.”
Ia mempunyai kebun yang di dalamnya terdapat 600 pohon kurma, dan Ummud Dahdah beserta keluarganya berada di dalamnya.
Abud Dahdah datang dan memanggilnya, “Wahai Ummud Dahdah!”
Ia menjawab: “Aku penuhi panggilanmu.”
Ia mengatakan: “Keluarlah, sebab aku telah meminjamkannya kepada Rabb-ku ﷻ.”
Dalam satu Riwayat, bahwa Ummud Dahdah berkata kepadanya: “Jual belimu telah mendapat keuntungan, wahai Abud Dahdah.”
Lalu ia mengangkat darinya perabot dan anak-anaknya, dan Rasulullah ﷺ bersabda: “Alangkah banyaknya pohon kurma yang lebat di Surga milik Abud Dahdah.”[13]
 
Dari Muhammad bin al-Husain ia mengatakan, bahwa Abu Muhammad al-Hariri berkata:
“Aku berada di sisi Badr al-Maghazili, dan istrinya menjual intan seharga 30 Dinar.
Maka dia berkata kepada istrinya: ‘Kita pisahkan Dinar-Dinar ini untuk saudara-saudara kita, dan kita makan rezeki yang didapat sehari-hari.’
Istrinya memenuhi permintaan suaminya seraya mengatakan: ‘Engkau berzuhud, sedangkan kami menginginkan? Ini tidak akan terjadi.”[14]
 
Riyah al-Qaisi menikahi seorang wanita, lalu dia membangun rumah tangga dengannya. Ketika pagi hari, wanita ini beranjak menuju adonannya.
Maka Riyah mengatakan: “Seandainya engkau mencari seorang wanita yang dapat mengerjakan pekerjaanmu ini.”
Ia menjawab: “Aku hanyalah menikah dengan Riyah al-Qaisi, dan aku tidak membayangkan menikah dengan orang yang sombong lagi ingkar.
Pada malam harinya Riyah tidur untuk menguji istrinya. Ternyata ia bangun pada seperempat malam, kemudian memanggilnya seraya mengatakan: “Bangun, wahai Riyah.”
Dia menjawab: “Aku akan bangun.” Tapi ia tidak bangun.
Lalu ia bangun pada seperempat malam yang terakhir, kemudian memanggilnya seraya mengatakan: “Bangun, wahai Riyah.”
Dia menjawab: “Aku akan bangun.”
Maka ia mengatakan: “Malam telah berlalu, dan orang-orang yang berbuat kebajikan meraih keuntungan, sedangkan engkau tidur. Duhai siapa yang tega menipuku hingga aku menikah denganmu, wahai Riyah?”
Lalu ia bangun pada seperempat waktu yang tersisa.” [15]
 
Al-Husain bin ‘Abdirrahman berkata, “Sebagian sahabat kami bercerita kepadaku, ia mengatakan: ‘Istri Hubaib, yakni Abu Muhammad mengatakan, bahwa ia terjaga pada suatu malam, sedangkan suaminya tidur. Lalu ia membangunkannya pada waktu sahur seraya mengatakan: ‘Bangunlah wahai pria, sebab malam telah berlalu dan siang pun tiba, sedangkan di hadapanmu ada jalan yang panjang dan perbekalan yang sedikit. Para kafilah orang-orang saleh di depan kita, sedangkan kita di belakang.’”[16]
 
Ummu Ibrahim al-Bashariyyah, seorang wanita ahli ibadah.
 
Dikisahkan bahwa di Bashrah terdapat para wanita ahli ibadah, di antaranya adalah Ummu Ibrahim al-Hasyimiyah. Ketika musuh menyusup ke kantong-kantong perbatasan wilayah Islam, maka orang-orang tergerak untuk berjihad di jalan Allah. Kemudian Abdul Wahid bin Zaid al-Bashri berdiri di tengah orang-orang sambil berkhotbah untuk menganjurkan mereka berjihad. Ummu Ibrahim ini menghadiri majelisnya. Abdul Wahid meneruskan pembicaraannya, kemudian menerangkan tentang bidadari. Dia menyebutkan pernyataan tentang bidadari, dan bersenandung untuk menyifatkan bidadari:
 
Gadis yang berjalan tenang dan berwibawa
Orang yang menyifatkan memeroleh apa yang diungkapkannya
Dia diciptakan dari segala sesuatu yang baik nan harum
Segala sifat jahat telah dienyahkan Allah menghiasinya dengan wajah yang berhimpun padanya sifat-sifat kecantikan yang luar biasa
Matanya bercelak demikian menggoda
Pipinya mencipratkan aroma kesturi
Lemah gemulai berjalan di atas jalannya
Seindah-indah yang dimiliki dan kegembiraan yang berbinar-binar
Apakah kau melihat peminangnya mendengarkannya
Ketika mengelilingkan piala dan bejana
Di taman yang elok yang kita dengar suaranya
Setiap kali angin menerpa taman itu, bau harumnya menyebar
Dia memanggilnya dengan cinta yang jujur
Hatinya terisi dengannya hingga melimpah
Wahai kekasih, aku tidak menginginkan selainnya
Dengan cincin tunangan sebagai pembukanya
Janganlah kau seperti orang yang bersungguh-sungguh ke puncak hajatnya
Kemudian setelah itu ia meninggalkannya
Tidak, orang yang lalai tidak akan bisa meminang wanita sepertiku
Yang meminang wanita sepertiku hanyalah orang yang me-rengek-rengek
 
Maka sebagian orang bergerak pada sebagian lainnya, dan majelis itu pun bergerak. Lalu Ummu Ibrahim menyeruak dari tengah orang-orang seraya berkata kepada Abdul Wahid, “Wahai Abu Ubaid, bukankah engkau tahu anakku, Ibrahim. Para pemuka Bashrah meminangnya untuk putri-putri mereka, tetapi aku memukulnya di hadapan mereka. Demi Allah, gadis (bidadari) ini mencengangkanku, dan aku meridainya menjadi pengantin untuk putraku. Ulangi lagi apa yang engkau sebutkan tentang kecantikannya.” Mendengar hal itu Abdul Wahid kembali menyifatkan bidadari, kemudian bersenandung:
 
Cahayanya mengeluarkan cahaya dari cahaya wajahnya
Senda guraunya seharum parfum dari parfum murni
Jika menginjakkan sandalnya di atas pasir gersang niscaya seluruh penjuru menjadi menghijau dengan tanpa hujan
Jika engkau suka, tali yang mengikat pinggangnya seperti ranting pohon Raihan yang berdaun hijau
Seandainya meludahkan air liurnya di lautan niscaya penduduk merasakan segarnya meminum air lautan
Pandangan mata yang menipu nyaris melukai pipinya
Dengan luka keraguan hati dari luar kelopak mata.
 
Orang-orang pun menjadi semakin gaduh. Lalu Ummu Ibrahim maju seraya berkata kepada Abdul Wahid, “Wahai Abu Ubaid, demi Allah, gadis ini mencengangkanku dan aku meridainya sebagai pengantin bagi putraku. Apakah engkau sudi menikahkannya dengan gadis tersebut saat ini juga? Dan engkau ambil maharnya dariku sebanyak 10.000 Dinar, serta dia keluar bersamamu dalam peperangan ini. Mudah-mudahan Allah mengaruniakan syahadah (mati sebagai syahid) kepadanya, sehingga dia akan memberi syafaat untukku dan untuk ayahnya pada Hari Kiamat.” ‘
 
Abdul Wahid berkata kepadanya: “Jika engkau melakukannya, niscaya engkau dan anakmu akan mendapatkan keberuntungan yang besar.” Kemudian ia memanggil putranya: “Wahai Ibrahim!”
Dia bergegas maju dari tengah orang-orang seraya mengatakan: “Aku penuhi panggilanmu, wahai ibu.”
Ia mengatakan: “Wahai putraku! Apakah engkau rida dengan gadis (bidadari) ini sebagai istri, dengan syarat engkau mengorbankan dirimu di jalan Allah, dan tidak kembali dalam dosa-dosa?”
Pemuda ini menjawab: “Ya, demi Allah wahai ibu, aku sangat rida.”
Sang ibu mengatakan: “Ya Allah, aku menjadikan-Mu sebagai saksi, bahwa aku telah menikahkan anakku ini dengan gadis ini dengan pengorbanannya di jalan-Mu, dan tidak kembali dalam dosa. Maka terimalah dia dariku, wahai sebaik-baik Penyayang.”
 
Kemudian ia pergi, lalu datang kembali dengan membawa 10.000 Dinar seraya mengatakan: “Wahai Abu Ubaid, ini adalah mahar gadis itu. Bersiaplah dengan mahar ini.” Abu Ubaid pun menyiapkan para pejuang di jalan Allah. Sedangkan sang ibu pergi untuk membelikan kuda yang baik untuk putranya, dan menyiapkan senjata untuknya.
 
Ketika Abdul Wahid keluar, Ibrahim pun berangkat, sedangkan para pembaca Alquran di sekitarnya membaca:
 
إِنَّ اللَّهَ اشْتَرَىٰ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنْفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ
 
“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang Mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan Surga untuk mereka …” [QS. At-Taubah/9: 111].
 
Ketika sang ibu hendak berpisah dengan putranya, maka ia menyerahkan kain kafan dan wangi-wangian kepadanya seraya mengatakan kepadanya: “Wahai anakku, jika engkau hendak bertemu musuh, maka pakailah kain kafan ini, dan gunakan wangi-wangian ini. Janganlah Allah melihatmu dalam keadaan lemah di jalan-Nya.”
Kemudian ia memeluk putranya, dan mencium keningnya seraya mengatakan: “Wahai anakku, Allah tidak mengumpulkan antara aku denganmu, kecuali di hadapan-Nya pada Hari Kiamat.”
 
Abdul Wahid berkata: “Ketika kami sampai di negeri musuh, terompet pun ditiup, dan orang-orang mulai berperang. Maka Ibrahim berperang di barisan terdepan. Ia membunuh musuh dalam jumlah besar. Kemudian mereka mengepungnya, lalu ia terbunuh.”
 
Abdul Wahid berkata: “Ketika kami hendak kembali ke Bashrah, aku berkata kepada sahabat-sahabatku: ‘Jangan menceritakan kepada Ummu Ibrahim tentang berita yang menimpa putranya, sampai aku mengabarkan kepadanya dengan sebaik-baik hiburan, agar ia tidak bersedih sehingga pahalanya hilang.’
Ketika kami sampai di Bashrah, orang-orang keluar untuk menyambut kami, dan Ummu Ibrahim keluar di tengah-tengah mereka.”
Abdul Wahid berkata: “Ketika dia memandangku, ia bertanya: ‘Wahai Abu Ubaid, apakah hadiah dariku diterima, sehingga aku diberi ucapan selamat? Atau ditolak sehingga aku harus diberi belasungkawa?’
Aku menjawab: ‘Hadiahmu telah diterima. Sesungguhnya Ibrahim hidup bersama orang-orang yang hidup dalam keadaan diberi rezeki (insya Allah).’
Maka ia pun tersungkur dalam keadaan bersujud kepada Allah karena bersyukur, dan mengatakan: ‘Segala puji bagi Allah yang tidak mengecewakan dugaanku, dan menerima ibadah dariku.’ Kemudian ia pergi.
Keesokan harinya ia datang ke masjid Abdul Wahid lalu berseru: ‘Assalaamu ‘alaikum wahai Abu Ubaid, ada kabar gembira untukmu.’
Dia mengatakan: ‘Engkau senantiasa memberi kabar gembira.’
Ia mengatakan kepadanya: ‘Tadi malam aku bermimpi melihat putraku Ibrahim di sebuah taman yang indah. Di atasnya terdapat kubah hijau. Dia berada di atas ranjang yang terbuat dari mutiara, dan kepalanya memakai mahkota. Dia berucap: ‘Wahai ibu, bergembiralah. Sebab, maharnya telah diterima, dan aku bersanding dengan pengantin wanita.’” [17]
 
Mereka itulah para ibu kita terdahulu, bintang-bintang malam di langit kebesaran, dan cahaya yang indah di kening tekad yang menggebu. Itulah sedikit dari pembicaraan tentang jihad mereka yang tidak membiarkan seseorang mengatakan “konon”, tidak memberikan kesempatan kepada orang yang sombong yang menjadi saksi salah satu rahasia kekuatan terbesar, yang menyebabkan bangsa Arab yang “ummi” menjadi sebaik-baik umat yang dilahirkan untuk manusia. Itulah jiwa yang diberi celupan oleh Allah dengan rahmat-Nya, menyiraminya dari hikmah-Nya, menciptakannya untuk mendidik prajurit-Nya, serta menyiapkannya untuk menyucikan (makhluk) ciptaan-Nya.
 
سَلاَمٌ عَلَى تِلْكَ الْخَلاَئِقِ إِنَّهَا مُسَلَّمَةٌ مِنْ كُلِّ عَارٍ وَمَأْثَمٍ
 
Kesejahteraan atas para manusia
Karena terbebas dari segala aib dan dosa.[18]
 
Ini adalah kisah-kisah yang berisikan ibrah (pelajaran berharga) penulis kemukakan di sini, agar para wanita kita membacanya, dan belajar dari generasi pertama, bagaimana mereka menjadi istri, dan bagaimana mereka bersabar terhadap ketentuan Allah dan tidak bersedih. Juga agar mereka dapat belajar dari biografi mereka dalam berjihad. Betapa banyak mereka mengaitkan hati mereka kepada Allah, tidak kepada dunia berikut perhiasannya yang hina. Demikian pula agar mereka melihat bagaimana wanita membantu suami dan anaknya untuk menaati Allah Subhanahu wa Taala. Adakah jalan untuk kembali, dan adakah (kesempatan) kembali kepada agama kita?
 
[Disalin dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal Yaa, Penulis Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq. Edisi Indonesia Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Penerjemah Ahmad Saikhu, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir – Bogor]
 
Catatan Kaki:
 
[1]. Ahkaamun Nisaa’, Ibnul Jauzi (hal. 134-135) dan Ahkaamul Qur-aan, Ibnul ‘Arabi (I/417).
 
[2]. HR. Muslim (no. 2456) kitab Fadhaa-ilush Shahaabah, Ahmad (no. 13102).
 
[3]. HR. An-Nasa-i (no. 3341) kitab an-Nikaah, dan disahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiih an-Nasa-i.
 
[4]. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5470) kitab al-‘Aqiiqah, Muslim (no. 2144), kitab Fadhaa-ilush Shahaabah, Ahmad (no. 11617).
 
[5]. Ath-thulaqa’ adalah orang-orang yang masuk Islam dari penduduk Makkah pada hari Penaklukan Makkah. Mereka dinamakan demikian karena Nabi ﷺ memberi kebebasan kepada mereka, dan keislaman mereka sangatlah lemah. Oleh karena itu Ummu Sulaim berkeyakinan, bahwa mereka itu munafik yang berhak dibunuh, karena mereka melarikan diri.
 
[6]. HR. Muslim (no. 1809) kitab al-Jihaad was Siyar, Abu Dawud (no. 3718) kitab al-Jihaad, Ahmad (no. 11698).
 
[7]. Fiqhut Ta’aamul Bainaz Zaujaini, al-‘Adawi (hal. 100).
 
[8]. HR. Al-Bukhari (no. 3578) kitab al-Manaaqib, Muslim (no. 2040) kitab al-Asyribah, at-Tirmidzi (no. 3630) kitab al-Manaaqib, Ahmad (no. 13135), Malik (no. 1725) kitab al-Jaami’, ad-Darimi (no. 43), kitab al-Muqaddimah.
 
[9]. ‘Audatul Hijaab (II/549).
 
[10]. Ath-Thabaqaat (VIII/302); Siyar A’laamin Nubalaa’ (II/978).
 
[11]. Ath-Thabaqaat (VIII/303).
 
[12]. Ath-Thabaqaat (VIII/302).
 
[13]. Penulis Majmaa’uz Zawaa-id (VI/320) mengatakan: “Diriwayatkan oleh al-Bazzar dan para perawinya tsiqat.”
 
[14]. Ahkaamun Nisaa’ (hal. 147I.
 
[15]. Shifatush Shafwah (IV/43-44)
 
[16]. Shifatush Shafwah (IV/23).
 
[17]. ‘Audatul Hijaab (II/211), dan penulis menisbatkannya kepada ringkasan kitab Fakaahatul Azwaaq min Masyaari’il Asywaaq ilaa Mashaari’il ‘Isyaaq… (hal. 26-29).
 
[18]. ‘Audatul Hijaab (II/561).
 
 
 
 
Ikuti kami selengkapnya di:
WhatsApp: +61 (450) 134 878 (silakan mendaftar terlebih dahulu)
Website: https://nasihatsahabat.com/
Twitter: @NasihatSalaf
Facebook: https://www.facebook.com/nasihatsahabatcom/
Instagram: NasihatSahabatCom
Telegram: https://t.me/nasihatsahabat
Pinterest: https://id.pinterest.com/nasihatsahabat
 
 
 
Baca juga:
CONTOH UNTUK DITELADANI, KISAH SHAHABIYAH YANG MULIA
CONTOH UNTUK DITELADANI, KISAH SHAHABIYAH YANG MULIA
CONTOH UNTUK DITELADANI, KISAH SHAHABIYAH YANG MULIA
CONTOH UNTUK DITELADANI, KISAH SHAHABIYAH YANG MULIA
CONTOH UNTUK DITELADANI, KISAH SHAHABIYAH YANG MULIA