بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

 

 

CAHAYA KEHIDUPAN
>> Nasihat al-ustadz Khaidir Bin Muhammad Sunusi hafizhahullah

Berikut ini adalah faidah-faidah yang disampaikan Ustadz Khaidir hafizhahullah selama kurang lebih 37 menit. Beliau menyampaikan nasihat di sela-sela dauroh Asy-Syaikh Utsman As-Saalimi Al-Yamani hafizhahullah di Depok, kepada rombongan Bandung di Masjid Fatahillah, Depok.

Al-Ustadz Khaidir bin Muhammad Sunusi hafizhahullah mengisahkan:

Ada seseorang dari Kabilah Azd bernama Dhimad bin Tsa’labah Al-Azdi. Dia adalah ahli ruqyah. Dia mendengar berita/isu. Orang-orang bodoh Mekkah (menyebar isu): “Sesungguhnya Muhammad gila!”

Dhimad (dalam hati): “Alangkah baiknya kalau aku menemui orang ini (Muhammad). Semoga Allah menyembuhkannya dengan perantaraanku.”

Dhimad menemui Nabi Muhammad ﷺ.

Dhimad (memberi nasihat): “Hai Muhammad. Sesungguhnya aku ini adalah ahli ruqyah. Dan Allah menyembuhkan siapa saja yang Dia kehendaki melalui perantaraanku. Apa engkau berminat (untuk diruqyah)?”

Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya segala puji hanya bagi Allah. Kita memuji-Nya, meminta tolong kepada-Nya, dan memohon ampunan kepada-Nya. Kita juga berlindung kepada Allah dari keburukan jiwa-jiwa kita dan kejelekan amal perbuatan kita. Barang siapa yang Allah beri petunjuk, tidak ada yang bisa menyesatkannya. Dan barang siapa yang Allah sesatkan, tidak ada yang bisa memberinya petunjuk.

Aku bersaksi bahwa tidak ada Sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Allah yang Maha Esa, yang tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.”

Dhimad (tersentuh hatinya): “Ulangilah kata-katamu tadi.”
Rasulullah ﷺ mengulangi Khutbatul Haajah beliau sampai tiga kali.

Dhimad: “Aku pernah mendengar kata-kata dukun, tukang sihir dan para penyair, tetapi aku belum pernah mendengar yang semisal dengan kata-katamu tadi. Kata-katamu tadi telah mencapai tengah lautan. Ulurkan tanganmu, aku berbaiat kepadamu dalam Islam.”

Dhimad pun berbaiat kepada Rasulullah ﷺ. [HR. Muslim 868]

——–

Jadi pada awalnya Dhimad ingin menyembuhkan Nabi ﷺ. Namun setelah bertemu dengan beliau ﷺ, maka Dhimad-lah yang tersembuhkan penyakitnya yang sesungguhnya, yaitu kesyirikan.

Pada kisah di atas Dhimad menyebutkan, bahwa Allah-lah yang menyembuhkan, dan dia hanya sebagai perantara. Padahal saat itu Dhimad masih belum masuk Islam. Hal ini sebagai bukti, bahwa orang-orang musyrik di zaman Nabi ﷺ mengakui akan Rububiyyah Allah. Namun keyakinan ini tidak memasukkannya ke dalam Islam.

Dalam kisah ini Dhimad telah memahami kalimat-kalimat yang datang dari utusan Allah. Apalagi jika seseorang mampu memahami kalimat-kalimat yang langsung merupakan ucapan Allah yakni Alquran, maka luar biasa cahaya yang akan dia miliki, dan hebatnya itu merupakan sumber kehidupan yang dia peroleh.

Mengapa?

Karena Alquran adalah cahaya dalam kehidupan kita, sumber kehidupan, dan dialah air kehidupan kita, sebagaimana kehidupan alam ini ditentukan dua sumber utama, yakni air dari hujan yang turun dan cahaya yang menerangi. Itulah fungsi Alquran yang khusus, sangat utama, bahkan terhebat. Siapa yang memiliki nilai-nilai tersebut, maka hidupnya seperti hidupnya pohon yang tumbuh dengan sangat mengagumkan, indah, kokoh, bebas penyakit, memesona, naungannya memberikan keteduhan/ kesejukan, buahnya memberikan kenikmatan. Di samping itu ia mampu membersihkan udara, dan di bawahnya terdapat kehidupan. Seperti itulah Alquran. Hidup yang sebenarnya adalah siapa yang mengambil dari Rasulullah ﷺ dan terkhusus Alquran.

Segala sesuatu yang mengganggu kehidupan kita, kekhawatiran, kesedihan, ketakutan, maka akan sirna, akan hilang, dengan sumber, cahaya, dan air kehidupan yakni Alquran.

Rasulullah ﷺ mengajarkan doa untuk menghilangkan gangguan sebagaimana di atas:

اللَّهُمَّ إِنِّي عَبْدُكَ وَابْنُ عَبْدِكَ وَابْنُ أَمَتِكَ نَاصِيَتِي بِيَدِكَ مَاضٍ فِيَّ حُكْمُكَ عَدْلٌ فِيَّ قَضَاؤُكَ أَسْأَلُ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِي كِتَابِكَ أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ أَوْ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِي عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ أَنْ تَجْعَلَ الْقُرْآنَ رَبِيعَ قَلْبِي وَنُورَ صَدْرِي وَجِلَاءَ حُزْنِي وَذَهَابَ هَمِّي

ALLOHUMMA INNII ‘ABDUK, WABNU ‘ABDIK, WABNU AMATIK, NAASHIYATII BIYADIK, MAADHIN FIYYA HUKMUK, ‘ADLUN FIYYA QODHOO-UK, AS-ALUKA BIKULLISMIN HUWALAK, SAMMAYTA BIHI NAFSAK, AW ANZALTAHU FII KITAABIK, AW ‘ALLAMTAHU AHADAN MIN KHOLQIK, AWIS TA’ TSAR TA BIHI FII ‘ILMIL GHOIBI ‘INDAK, AN TAJ’ALAL QUR-AANA ROBBII’A QOLBII, WA NUURO SHODRII, WA JALAA-A HUZNII, WA DZAHAABA HAMMII.

Artinya:
“Ya Allah, sesungguhnya aku adalah hamba-Mu, anak hamba laki-laki-Mu, dan anak hamba perempuan-Mu. Ubun-ubunku berada di tangan-Mu. Hukum-Mu berlaku pada diriku. Ketetapan-Mu adil atas diriku. Aku memohon kepada-Mu dengan segala nama yang menjadi milik-Mu, yang Engkau namakan diri-Mu dengannya, atau Engkau turunkan dalam Kitab-Mu, atau yang Engkau ajarkan kepada seorang dari makhluk-Mu, atau yang Engkau rahasiakan dalam ilmu ghaib yang ada di sisi-Mu, agar Engkau jadikan Alquran sebagai penyejuk hatiku, cahaya bagi dadaku dan pelipur kesedihanku serta pelenyap bagi kegelisahanku.” [HR. Ahmad I/391, 452, al-Hakim I/509, Ibnu Hibban no. 2372 dan disahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam al-Kalimuth Thayyib hal. 119 no. 124 dan Silsilah Ahaadits ash-Shahiihah no. 199]

Rabi’ dapat dimaknai sebagai musim semi, yaitu kondisi alam terindah, atau hujan yang menjadikan hati tumbuh. Alquran menjadi pelenyap kesedihan dan kegelisahan, karena di situ terletak penghancur kesedihan dan kegelisihan.

Sumber kehidupan ini dapat dianggap hidup, walaupun di saat roh terpisah dari jasad, karena ia memiiki hakikat kehidupan. Namun orang kafir menolak Alquran, dan orang munafik bermain-main di dalamnya. Waspadailah kemunafikan, karena orang-orang munafik terkadang merasakan manfaat cahaya dari Alquran, namun mereka tidak memiliki sumber cahaya itu sendiri, dan lama kelamaan cahaya itu akan sirna.

Allah ﷻ memberikan perumpamaan orang munafik ini dalam Surat Al-Baqarah ayat 17-18:

مَثَلُهُمْ كَمَثَلِ الَّذِي اسْتَوْقَدَ نَارًا فَلَمَّا أَضَاءَتْ مَا حَوْلَهُ ذَهَبَ اللَّهُ بِنُورِهِمْ وَتَرَكَهُمْ فِي ظُلُمَاتٍ لا يُبْصِرُونَ

صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لا يَرْجِعُونَ

“Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api. Maka setelah api itu menerangi sekelilingnya, Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat. Mereka tuli, bisu dan buta. Maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar). Mereka tuli, bisu dan buta. Maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar).”

Orang munafik ibarat orang yang meminta api kepada orang-orang baik (beriman). Mengapa mereka meminta? Karena mereka tidak memiliki cahaya. Namun dengan ini mereka tahu jalan. Kemudian cahaya itu pergi. Maka mereka berada dalam kegelapan yang berlipat-lipat.

Maksud dari:
• Tuli yang sesungguhnya, yaitu tidak mendengar kebenaran,
• Bisu yang sesungguhnya, yaitu tidak mampu mengatakan kebenaran, dan
• Buta yang sesungguhnya, yaitu tidak mampu melihat cahaya Alquran, padahal cahayanya lebih terang dari cahaya matahari.

Sebagaimana Rasulullah ﷺ katakan:
“Kutinggalkan kalian dalam keadaan malamnya sama dengan siangnya.”

Orang munafik seperti orang yang telah melihat kebenaran kemudian meninggalkannya. Dan ulama mengibaratkannya seperti malam yang menghilangkan cahaya siang. Dia bergantung cahaya dari orang lain. Mungkin ketika ada orang yang menyampaikan nasihat atau ceramah dia bisa memahami (seperti jalan yang terang dan mampu memilih jalan). Namun hatinya tidak mampu menerima, penuh kebimbangan, serta tidak ada keinginan untuk memiliki cahaya. Cahaya (yang menyinarinya) ini tidak memiliki sumber dan bahan bakarnya. Seberapa besar pun cahaya yang dia peroleh, lama kelamaan akan lenyap. Seperti itulah keadaan orang munafik. Karena itu waspadalah jika kita hanya mendapat cahaya dari orang lain. Oleh karena itu wujudkan dan upayakan cahaya untuk kita sendiri, yang nantinya akan menerangi bagi kehidupan kita, dan bisa melangkah bersama dengan saudara-saudara kita. Itulah makna dari ayat “Tolong menolong dalam kebaikan dan takwa”. Karena hal itu mencakup semua cahaya yang disatukan, sehingga kegelapan tidak akan mampu mengalahkannya.

Ya ikhwah,

Banyak orang yang membaca ayat ini, namun tidak mampu mengambil pelajarannya. Ayat ini adalah perumpamaan, dan perumpamaan itu sangat jelas. Tapi mengapa kita tak terpahami? Khawatir jika kita termasuk orang-orang munafik yang hanya mendapatkan penerangan dari orang lain. Allah memberikan fasilitas hati untuk menerima, dan cahaya telah diturunkan dengan sempurna.

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا

“ … Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu. Dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku. Dan telah Aku ridai Islam sebagai agama bagimu …” [QS. Al-Maa’idah: 3]

Maka sudah sempurna agama ini. Nikmat di atas segala kecukupan. Agama yang di situlah letak rida Allah, dan selain itu Allah murkai.

Allah ﷻ berfirman:

وَالتِّينِ وَالزَّيْتُونِ. وَطُورِ سِينِينَ . وَهَذَا الْبَلَدِ الأمِينِ . لَقَدْ خَلَقْنَا الإنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ

“Demi (buah) Tin dan (buah) Zaitun, dan demi bukit Sinai, dan demi kota (Mekah) ini yang aman, sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” [QS. At-Tiin: 1-4]

Perhatikan ayat di atas, bahwa Allah ﷻ bersumpah dengan tiga kali sumpah, bahwa kita diciptakan dalam bentuk yang sebaik-baiknya, yang hal ini merupakan nikmat yang sungguh luar biasa. Dan siapa yang mengingkari nikmat penciptaan ini, maka Allah ﷻ jelaskan pada ayat selanjutnya:

ثُمَّ رَدَدْنَاهُ أَسْفَلَ سَافِلِينَ

“Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (Neraka).” [QS. At-Tiin: 5]

Al-Ikhwah,

Kokohlah dalam menuntut ilmu, karena cahaya harus kita upayakan, kita pelajari, dan kita resapkan dalam hati. Cahaya itu harus betul-betul kita siapkan bahan bakarnya, jangan sampai tidak. Inilah perjalanan seorang Muslim, yakni perjalanan mengumpulkan cahaya. Dan di atas cahaya itulah hakikat kita hidup di Akhirat, sebab manusia di Akhirat membutuhkan cahaya.

Orang munafik ketika di Akhirat tidak mempunyai cahaya, dan berkata kepada umat Muslim: “Aku dulu bersama kalian.” Ya, mereka ikut bersama umat Muslim sebagaimana ketika di dunia. Tapi cahaya itu bukan milik mereka. Di saat mereka membutuhkan cahaya, orang-orang beriman meninggalkan mereka, sehingga mereka berada dalam kegelapan, dan dihijab oleh Allah. Akibatnya mereka jatuh ke dalam jurang-jurang Jahannam.

Mereka tertipu. Jarang-jarang orang memahami hal ini. Cermati betul bahwa “Hidup adalah untuk mengumpulkan cahaya, dan milikilah cahaya itu sendiri. Jangan sampai tidak memilikinya, agar tidak seperti orang munafik.”

Kembalikan semua itu dalam Surat al-Ashr yang barang siapa tidak mengamalkan, maka dia celaka:

وَالْعَصْرِ . إِنَّ الإنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ . إِلا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ

“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, dan nasihat menasihati supaya menaati kebenaran, dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran.” [QS. Al-Ashr: 1-3]

Perhatikan ayat ini: إِلا الَّذِينَ آمَنُوا

Pada ayat tersebut, kata ilmu langsung diungkap dengan kata iman. Berarti maknanya adalah “Ilmu yang benar-benar tertanam, bukan sekadar terhapal.”

Kalau kita sekadar menghapal ketika pengajian, “Oh ini bagus … bagus … luar biasa.“ Jadi kalau sekadar menghapal, apakah sudah mengakar?

Kalau belum mengakar dan sekadar menghapal saja, maka belum masuk pada syarat pertama. Cermati betul perkara ini.

Jika kita merasakan sungguh enaknya (misal dalam mendengarkan ceramah dsb), maka sungguh teramat khawatir bila kita seperti orang munafik yang juga merasakan indahnya Islam, padahal dirinya belum mau mengambilnya, dan mengukuhkan dalam kehidupannya.

Jangan sampai hidup kita seperti ini. Kita harus memiliki cahaya sendiri.

Setelah yakin, amalkan, kemudian dakwahkan. Kemudian bersabar dalam proses hidup kita, sampai ajal menjemput, serta terus semangat dalam memelajari ilmu agama Allah.

Tetapi ketahuilah ya ikhwah,

Hati adalah sumber kekuatan kita. Yang mengatur dan yang menguasai hanyalah Allah. Kerahkan segenap kemampuan, dan tetap meminta kepada Sang Pemiliknya.

يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِى عَلَى دِينِكَ

Ya Muqollibal Qulub, Tsabbit Qolbi ‘ala Diinik.

“Wahai Yang membolak balikkan hati, kokohkan hatiku di atas agama ini.”

Minta … Terus minta. Perbanyak doa ini kapan pun dan di mana pun. Apalagi saat jadi musafir. Musafirnya pun untuk menuntut ilmu.

Perbanyak doa ini. Dan sebaik-baik doa adalah yang mengikutkan saudaranya.

Ikutkan saudara kita dalam doa karena apa?

Karena jika kita menjadi sebab saudara kita mendapatkan kebaikan, maka kebaikan itu akan kembali kepada kita. Dan ini merupakan rahasia kehebatan doa. Banyak orang terlalaikan dengan hal ini.

Kita Bisa Mendapatkan Sesuatu Yang Terbanyak Karena Doa

Kalau dalam bisnis, orang harus terlibat dari bawah. Tidak ada orang yang sudah memiliki perusahaan besar, dengan berpenghasilan dalam hitungan detik ratusan juta, kemudian begitu enaknya menawarkan kepada kita: “Ayo, terserah siapa yang mau masuk mengambil bagian.”

Tentu hal ini sulit. Perusahaan akan memberikan banyak persyaratan, dan dia akan menjadi paling kikir untuk berbagi dalam perkara ini.

Tapi ternyata …

Di dalam Islam ada perdagangan yang lebih hebat, yaitu PERDAGANGAN YANG TIDAK ADA RUGINYA.

Coba antum lihat masyaikh. Masyaikh ini ibarat perdagangannya sudah sangat luar biasa. Mereka mendunia ilmunya. Pahalanya sudah sangat luar biasa.

Jadi langsung ikut saja. Dengan itu doa antum sudah bisa ikut. Doakan mereka misalnya “Ya Allah rahmatilah syaikh. Kokohkan hatinya.”

Jika doa kita diterima, maka kita telah terlibat kebaikan besar-besaran. Tak perlu ada perjanjian dengan Syaikh.

SEHEBAT APAPUN IBADAH DAN USAHA KITA UNTUK MERAIH CAHAYA, TETAP MINTA PERTOLONGAN KEPADA ALLAH ADALAH KUNCI KEHEBATAN.

Oleh karena itu:

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

“Hanya Engkaulah yang Kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah Kami meminta pertolongan.”

Jangan sampai tidak berdoa.

HARUS MEMOHON DAN MEMOHON KEPADA ALLAH. SEBAB DOA TIDAK HANYA MEMBERIKAN KEKUATAN, TETAPI DOA JUGA SUMBER KEKUATAN.

Meminta pertolongan berfungsi untuk menjaga amalan. Misalnya ketika kita berhasil dalam mengamalkan suatu amalan besar, dan yakin bahwa itu sebab pertolongan dari Allah, maka akan lahir KESYUKURAN.

Kemudian setelah berhasil:

لَئِنْ شَكَرْتُمْ لأزِيدَنَّكُمْ

“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu.” [QS. Ibrahim: 7]

Namun apabila tanpa disertai dengan isti’anah (meminta pertolongan kepada Allah), maka ketika berhasil akan muncul perasaan, “Oh, ini karena kehebatan saya, atau keilmuan saya, atau karena pengalaman saya.”

Mengapa?

Karena beribadah tanpa di atas isti’anah dan mengandalkan kekuatannya semata, di saat berada pada keberhasilan, maka akan MENGHANCURKAN AMALAN, karena ada perasaan TAKABUR.

Isti’anah adalah yang mengontrol ibadah. Dan ketika berada di puncak ibadah, maka isti’anah ini yang akan menjaga ibadah tersebut, kemudian mendorong kita untuk melakukan ibadah yang lain.

TERUSLAH MENERUS ISTI’ANAH (MEMOHON PERTOLONGAN KEPADA ALLAH), SEBAGAIMANA IBADAH HARUS TERUS KITA LAKUKAN.

Jazaakumullah khairan

Semoga tulisan ini bermanfaat.
Baarakallahu fiykum.
Maka sesungguhnya beserta kesulitan ada kemudahan.

 

(Ditranskrip oleh: Al-Akh Abu Yusuf Rizal Kurnia Rohman hafizhahullah)
(Diedit oleh: Al-Akh Abu Umar Andri Maadsa)
Sumber: Ahlussunnah Bone

 

══════

Mari sebarkan dakwah sunnah dan meraih pahala. Ayo di-share ke kerabat dan sahabat terdekat! Ikuti kami selengkapnya di:

WhatsApp: +61 405 133 434 (silakan mendaftar terlebih dahulu)
Website: https://nasihatsahabat.com/
Email: [email protected]
Twitter: @NasihatSalaf
Facebook: https://www.facebook.com/nasihatsahabatcom/
Instagram: NasihatSahabatCom
Telegram: https://t.me/nasihatsahabat
Pinterest: https://id.pinterest.com/nasihatsahabat