بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

#DakwahTauhid
BERUNTUNGLAH ORANG-ORANG YANG BERIMAN

  • Islam Adalah Agama Terakhir Yang Menghapus Agama Sebelumnya
  • Paham Pluralisme Agama Adalah Paham Yang Batil dan Tidak Sejalan Dengan Ajaran Islam

 
Oleh: Ustadz Nur Kholis bin Kurdian
 

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالنَّصَارَىٰ وَالصَّابِئِينَ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

Sesungguhnya, orang-orang Mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang Shabi’un, siapa saja di antara mereka yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir serta beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Rabb mereka. Tidak ada kekhawatiran bagi mereka, dan tidak pula mereka bersedih hati. [al-Baqarah/2:62]
Sabab Nuzul Ayat
As-Suddy rahimahullah mengatakan: “Ayat ini turun membahas tentang kawan-kawan Salman al-Farisy Radhiyallahu anhu. Waktu itu Salman menceritakan keadaan kawan-kawannya kepada Rasulullah ﷺ dengan mengatakan: bahwa mereka dulu melaksanakan puasa, melaksanakan shalat, beriman kepadamu dan mereka juga bersaksi, bahwa kamu akan diutus sebagai Nabi. Setelah Salman memuji mereka tersebut, Rasulullah ﷺ mengatakan kepadanya: “Wahai Salman, mereka termasuk penduduk Neraka”. Jawaban tersebut sangat menyedihkan hatinya. Maka Allah Azza wa Jalla menurunkan ayat tersebut sebagai jawabannya. Yang pada intinya, bahwa keimanan orang-orang Yahudi adalah dengan berpegang teguh terhadap Taurat dan tuntunan Nabi Musa sampai datangnya Nabi Isa. Ketika Nabi Isa datang, mereka yang berpegang teguh dengan Injil dan syariat Isa telah berada di atas keimanan yang sah, sampai datang Nabi Muhammad ﷺ. Barang siapa tidak mengikuti Nabi Muhammad ﷺ setelah kedatangannya dan tidak meninggalkan syariat Nabi Isa dan Injil, maka dia akan celaka. Dan diriwayatkan pula dari Sa’id bin Jubair [1].
Korelasi Ayat dengan Ayat Sebelumnya
Dalam ayat sebelumnya, Allah Azza wa Jalla menyebutkan keadaan orang-orang Yahudi dan perilaku nenek moyang mereka, serta balasan yang mereka dapatkan, sebagai pelajaran bagi generasi setelah mereka [2]. Allah berfirman dalam ayat ke-61:

وَإِذْ قُلْتُمْ يَا مُوسَىٰ لَنْ نَصْبِرَ عَلَىٰ طَعَامٍ وَاحِدٍ فَادْعُ لَنَا رَبَّكَ يُخْرِجْ لَنَا مِمَّا تُنْبِتُ الْأَرْضُ مِنْ بَقْلِهَا وَقِثَّائِهَا وَفُومِهَا وَعَدَسِهَا وَبَصَلِهَا ۖ قَالَ أَتَسْتَبْدِلُونَ الَّذِي هُوَ أَدْنَىٰ بِالَّذِي هُوَ خَيْرٌ ۚ اهْبِطُوا مِصْرًا فَإِنَّ لَكُمْ مَا سَأَلْتُمْ ۗ وَضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الذِّلَّةُ وَالْمَسْكَنَةُ وَبَاءُوا بِغَضَبٍ مِنَ اللَّهِ ۗ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ كَانُوا يَكْفُرُونَ بِآيَاتِ اللَّهِ وَيَقْتُلُونَ النَّبِيِّينَ بِغَيْرِ الْحَقِّ ۗ ذَٰلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُونَ

“Dan (ingatlah), ketika kamu berkata: “Hai Musa, kami tidak bisa sabar (tahan) dengan satu macam makanan saja. Oleh sebab itu, mohonkanlah untuk kami kepada Rabbmu, agar Dia mengeluarkan bagi kami dari apa yang ditumbuhkan bumi, yaitu sayur-mayurnya, ketimunnya, bawang putihnya, kacang adasnya, dan bawang merahnya.” Musa berkata: “Maukah kamu mengambil yang lebih rendah sebagai ganti dari yang lebih baik? Pergilah kamu ke suatu kota, pasti kamu memeroleh apa yang kamu minta!” Lalu ditimpahkanlah kepada mereka kenistaan dan kehinaan, serta mereka mendapat murka dari Allah. Hal itu (terjadi) karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa sebab yang benar. Yang demikian itu (terjadi) karena mereka selalu berbuat durhaka dan melampaui batas.” [al-Baqarah/2:61]
Lalu dalam selanjutnya, Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan bahwa nasab (keturunan, seperti Bani Israil maupun yang lainnya) TIDAK ada harganya di hadapan Allah Azza wa Jalla. Yang berharga adalah keimanan dan amal saleh yang menyucikan ruh manusia. Oleh karena itu, kaum Muslimin dan kaum Yahudi, Nasrani, Sabi’un maupun yang lainnya seperti kaum Majusi, barang siapa yang beriman kepada Allah Azza wa Jalla dan Hari Akhir dengan keimanan yang sebenarnya, serta melakukan amal saleh yang disyariatkan, maka tidak ada rasa takut baginya, setelah mereka bertaubat dan tidak ada kesedihan yang menimpa mereka di saat mereka mati [3].
Penjelasan Ayat
Dalam ayat ini Allah Azza wa Jalla menjelaskan, bahwa para pemeluk agama itu tidak akan mendapatkan suatu keutamaan dan kebaikan, kecuali jika mereka beriman kepada Allah Azza wa Jalla dan kepada Hari Akhir, serta melakukan amal saleh yang diridhai Allah Azza wa Jalla. Dan termasuk amal saleh adalah beriman kepada Muhammad ﷺ, karena iman seseorang TIDAK dianggap sah, kecuali dengannya [4].
Jika demikian keadaannya, maka baginya pahala yang besar, dan tidak ada kekhawatiran bagi mereka, dan tidak pula mereka bersedih hati. Adapun orang yang ingkar dan kufur terhadap itu semua, maka mereka akan ditimpa kekhawatiran dan kesedihan [5].
Ada satu permasalahan yang berhubungan dengan ayat di atas, yaitu di awal ayat Allah Azza wa Jalla berfirman إِنَّ الَّذِيْنَ آمَنُوْا dan di akhirnya Allah berfirman مَنْ آمَنَ بِاللهِ . Apa maksud dari pengulangan kata iman di sini? Dalam menjawab pertanyaan ini para Ulama berbeda pendapat, setidaknya ada dua pendapat secara garis besarnya:
Pendapat pertama, yang dimaksud إِنَّ الَّذِيْنَ آمَنُوْا adalah orang-orang yang beriman dengan keimanan yang sebenarnya [6]. Kemudian mereka berselisih pendapat dalam menentukan siapa mereka itu.

  1. Ada yang mengatakan: “Mereka adalah orang yang beriman di zaman fathrah (masa kekosongan rasul) dan mereka adalah para pencari agama. Pada saat yang sama, mereka juga berlepas diri dari kebatilan agama Yahudi dan Nasrani, seperti Habib al-Najjar, Quss bin Sa’idah, Zaid bin ‘Amr bin Nufail, Waraqah bin Naufal, Bahira Sang Pendeta, Salman al-Farisy, Abu Dzar al-Ghifary, dan utusan al-Najasyi [7]. Sebagian di antara mereka ada yang sempat bertemu dengan Rasulullah ﷺ lalu mengikutinya sementara sebagian yang lainnya tidak bertemu. Maka seakan-akan Allah Azza wa Jalla berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman sebelum diutusnya Muhammad ﷺ, serta orang-orang yang dahulunya para pemeluk agama yang batil dan yang telah diubah seperti Yahudi, Nasrani, dan Shabi’un, barang siapa yang beriman kepada Allah, Hari Akhir dan kepada Muhammad ﷺ, maka baginya pahala di sisi Rabbnya [8].
  1. Ada pula yang mengatakan: “Mereka adalah orang yang beriman dari umat ini [9].
  1. Ada pula yang mengatakan: “Mereka adalah orang-orang yang beriman kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam [10] .

Pendapat kedua, keimanan yang disebutkan pada permulaan ayat tersebut adalah keimanan yang tidak sebenarnya iman. Kemudian mereka berselisih pendapat dalam menentukan subtansinya:

  1. Ada yang mengatakan, mereka yang beriman kepada Para Nabi terdahulu, dan tidak beriman kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam [11].
  1. Ada yang mengatakan: “Mereka itu adalah orang-orang munafik yang beriman dengan lisan mereka, akan tetapi hati mereka tidak beriman,[12]. Oleh sebab itu mereka di kelompokkan dengan kaum Yahudi, Nasrani dan Shabi’un [13]. Seakan-akan Allah Azza wa Jalla berfirman: “Mereka semuanya, jika beriman dengan iman yang sebenarnya, maka mereka mendapatkan predikat Mukmin di sisi Allah Azza wa Jalla”[14].

Di antara sekian banyak pendapat tersebut, menurut penulis, jika hal itu dilihat dari keumuman lafal ayat, maka semuanya dapat saling melengkapi. Dan yang demikian itu menunjukkan, betapa cakupan makna ayat tersebut sangat luas. Dan jika dilihat dari kekhususan Sabab Nuzul (Sebab turun)nya, maka yang selaras dengan Sabab Nuzul ayat tersebut adalah pendapat yang mengatakan, bahwa yang dimaksud dengan orang yang beriman di awal ayat tersebut adalah: “Mereka yang beriman kepada Para Nabi terdahulu dan tidak beriman kepada Muhammad ﷺ setelah beliau diutus. Karena ayat tersebut turun sebagai jawaban atas pertanyaan Salman al-Farisy tentang kawan-kawannya yang dulunya beriman kepada para rasul dan kepada Rasulullah ﷺ sebelum beliau ﷺ diutus. Akan tetapi setelah beliau ﷺ diutus, mereka mengingkarinya. Oleh karena itu Rasulullah ﷺ menjawab: “Mereka masuk Neraka.” Wallahua’lam bishshawab.
Apakah Semua Agama Sama?
Sebagian orang memahami ayat di atas dengan pemahaman yang TIDAK benar. Mereka menganggap, bahwa ayat di atas telah melegitimasikan (membenarkan) agama-agama selain Islam. Artinya, menurut mereka semua agama adalah sama, sehingga muncul suatu kesimpulan, bahwa boleh bagi seseorang untuk memeluk Islam, esok hari masuk agama Yahudi, lusa masuk Nasrani dan seterusnya.
Pemahaman tersebut TIDAKLAH benar, karena tidak didasarkan pada dasar pijakan yang kuat. Ayat tersebut jika dipahami secara mendalam, sama sekali TIDAK menunjukkan hal itu. Bahkan pemahaman tersebut BERTENTANGAN dengan ayat itu sendiri, sebagaimana yang telah disebutkan oleh penulis di atas. Meskipun banyak penafsiran para Ulama tentang إن الذين آمنوا akan tetapi tidak satu pun di antara mereka yang menafsirkan, bahwa Islam, Yahudi, Nasrani dan yang lainnya adalah sama. Apakah para Ulama’ tafsir kurang memahami bahasa Arab dengan baik dan benar? Atau kurang mengetahui Sabab Nuzulnya? Atau kurang mengetahui ayat-ayat yang lainnya yang mendukung penafsiran mereka? Atau kurang mengetahui kaidah-kaidah penafsiran? Sehingga tidak satu pun penafsiran mereka mendukung pemahaman yang dianggap benar tersebut. Semua pertanyaan itu cukup dijawab dengan jawaban singkat “TIDAK! Bahkan sebaliknya, TIDAK adanya penafsiran para Ulama yang sesuai dengan pemahaman tersebut adalah bukti dangkalnya pemahaman tersebut. Adapun salah satu penafsiran Ulama yang mengatakan, orang yang beriman di awal ayat tersebut adalah mereka yang beriman dari umat ini, atau mereka yang beriman kepada Rasulullah ﷺ, maka hal itu sama sekali TIDAKLAH menyamakan antara mereka dengan para pemeluk agama lainnya. Karena perintah untuk beriman bagi mereka di akhir ayat adalah perintah agar mereka tetap dalam keadaan beriman sampai akhir hayat.
Di sisi lain, pemahaman tersebut juga bertentangan dengan ayat-ayat yang lainnya, di antaranya:

  1. Ayat yang menunjukkan bahwa agama yang benar di sisi Allah Azza wa Jalla adalah Islam. Allah Azza wa Jalla berfirman:

إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ

Sesungguhnya agama yang benar di sisi Allah adalah Islam [Ali Imran/3:19]

Ibn Juraij mengatakan: “Tidak ada agama milik Allah Azza wa Jalla, kecuali Islam.” [15]
Dari Ibn Sirin dari Abi al-Rabab al-Qusyairy dalam menafsiri ayat di atas ia mengatakan: “Allah Azza wa Jalla memerintahkan kepada manusia untuk memeluk agama Islam, dan melarang mereka memeluk agama yang lain.” [16]
Dalam ayat yang lain, Allah Azza wa Jalla juga berfirman:

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya, dan dia di Akhirat termasuk orang-orang yang merugi. [Ali ‘Imran/3:85]
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan: “Ayat ini menjelaskan, bahwa tidak ada satu agama pun yang diterima di sisi Allah Azza wa Jalla dari seseorang, kecuali Islam [17].
Kedua ayat tersebut menunjukkan, bahwa semua agama tidaklah sama, dan Islamlah agama yang benar di sisi Allah Azza wa Jalla. Barang siapa memeluk agama selain Islam setelah Nabi Muhammad ﷺ diutus, maka agamanya itu tidak akan diterima oleh Allah Azza wa Jalla.

  1. Bertentangan dengan ayat yang menunjukkan, bahwa pemeluk agama Yahudi, Nasrani maupun kaum musyrikin adalah kafir.

Allah Azza wa Jalla berfirman:

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا ۚ أُولَٰئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ

Sesungguhnya orang-orang kafir yakni Ahli Kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) Neraka Jahannam, mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk. [al-Bayyinah/98:6]
Abu Ja’far al-Thabary rahimahullah mengatakan: “Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan Rasul-Nya Muhammad ﷺ, serta mengingkari kenabiannya dari orang-orang Yahudi, Nasrani maupun orang-orang musyrik, mereka semuanya akan masuk Neraka dan tinggal di dalamnya selama-lamanya [18].
Di ayat yang lain Allah Azza wa Jalla berfirman:

لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ ثَالِثُ ثَلَاثَةٍ ۘ وَمَا مِنْ إِلَٰهٍ إِلَّا إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۚ وَإِنْ لَمْ يَنْتَهُوا عَمَّا يَقُولُونَ لَيَمَسَّنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: “Bahwasanya Allah salah satu dari tiga Tuhan”. Padahal sekali-kali tidak ada ilah (yang berhak diibadahi) selain Allah Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang kafir di antara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih.” [al-Maidah/5:73]
Kedua ayat di atas menunjukkan, bahwa TIDAKLAH sama antara Muslim dengan kafir.

  1. Bertentangan pula dengan ayat yang menunjukkan keumuman risalah Rasulullah ﷺ.

Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

Dan Kami tidak mengutus kamu, kecuali kepada umat manusia seluruhnya, sebagai pembawa kabar gembira, dan sebagai pemberi peringatan. Akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. [Saba/34:28]
Fakhruddin al-Razi mengatakan, ayat ini menunjukkan, bahwa Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan agama Islam sebagai penghapus atas agama-agama sebelumnya [19].
Jika suatu agama telah dihapus dan dibatalkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala Rabb semesta alam dengan Islam, maka tidaklah pantas sebagai makhluk Allah Azza wa Jalla mengesahkan dan membenarkan agama tersebut, setelah di-naskh (dibatalkan) oleh Allah.
Pemahaman di atas juga bertolak belakang dengan fakta sejarah dakwah Rasulullah ﷺ, yang mengajak Ahlu Kitab untuk masuk Islam dengan cara mengirim surat kepada mereka. Di antaranya beliau ﷺ mengutus Dihyah bin Khalifah al-Kalby untuk mengirim surat kepada raja Romawi, dan juga mengutus ‘Abdullah bin Hudzafah al-Sahmi kepada raja Persia, dan mengutus ‘Amr bin ‘Umaiyyah al-Dhamry kepada Najasyi (sebutan raja) Habasyah, dan mengutus Hathib bin Abi Balta’ah kepada al-Muqaiqis raja Mesir, dan juga mengutus Sulaith bin ‘Amr al-‘Amury kepada Haudzah bin ‘Ali al-Hanafy di Yamamah [20].
Ini menunjukkan, bahwa pemeluk agama Nasrani dan lainnya adalah bagian dari obyek dakwah yang harus diajak masuk Islam, dan meninggalkan agama lama yang ia yakini sebelumnya. Karena agama mereka jika dianggap benar dan sah atau sama dengan Islam setelah diutusnya Rasulullah ﷺ, maka untuk apa Rasulullah ﷺ bersusah-payah mengajak mereka masuk Islam?
Pelajaran Dari Ayat
Dari keterangan di atas dapat diambil pelajaran, di antaranya:

  1. Para pemeluk agama Samawi sebelum datangnya Islam, mereka yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, dan tidak berbuat syirik, atau mereka yang beriman kepada Rasulullah ﷺ setelah beliau ﷺ diutus, maka mereka akan mendapatkan keberuntungan. Adapun mereka yang berbuat syirik atau beriman kepada Allah dan Hari Akhir, akan tetapi setelah diutusnya Rasulullah ﷺ mereka ingkar dan tidak beriman kepadanya, maka mereka akan celaka.
  1. Islam adalah agama terakhir yang menghapus agama sebelumnya.
  1. Agama yang benar di sisi Allah subhanahu wa ta’ala adalah agama Islam.
  1. Rasulullah ﷺ diutus oleh Allah Azza wa Jalla ke seluruh lapisan umat. Berbeda dengan Nabi Musa dan Isa, mereka diutus hanya kepada Bani Israil saja sebelum datanya Rasulullah ﷺ. Bahkan Nabi Isa nanti ketika turun ke bumi, ia akan mengikuti syariat Nabi Muhammad ﷺ.
  1. Paham pluralisme agama yang menyatakan bahwa semua agama sama adalah paham yang batil dan tidak sejalan dengan ajaran Islam.

Washallallahu alaa Nabiyinaa Muhammad wa ‘ala aalihi washahbihi wasallam.
 
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XV/1433H/2012M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Catatan Kaki
[1]. Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, ‘Abdur Rahman bin Muhammad bin Idris al-Razy Ibn Abi Hatim (w. 327 H), Juz 1 (KSA; Maktabah Mushtafa Baz, 1419 H), hlm. 127. Lihat Asbab Nuzul al-Qur’an, ‘Ali bin Ahmad bin Muhammad al-Wahidy (w. 468 H), (Dammam; Dar al-Ishlah, 1992 M / 1412 H), hlm. 24. Riwayat Dari Mujahid. Lihat Lubabun Nuqul fi Asbabin Nuzul, ‘Abdur Rahman bin Abi Bakr Jalal al-Dien al-Suyuthy (w. 911 H), (Lebanon; Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tanpa tahun), hlm. 9. Riwayat Dari Mujahid. Lihat al-Durr al-Mantsur fit Tafsir bil Ma’tsur, al-Suyuthy, juz 1 (Beirut; Dar al-Fikr, tanpa tahun), hlm. 128. Dari Mujahid.
[2]. at-Tafsirul Munir fil ‘Aqidah was Syari’ah wal Manhaj, Dr. Wahbah bin Musthafa al-Zuhaily, Juz 1 (Damaskus; Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 1418 H), hlm. 177-178. Lihat al-Bahrul Muhith fit Tafsir, Abu Hayyan Muhammad bin Yusuf al-Andalusy, juz 1 (Beirut; Dar al-Fikr, 1420 H), hlm. 389.
[3]. Aisarut Tafasir li Kalamil ‘Aliyyil Kabir, Jabir bin Musa Abu Bakr al-Jazairy, juz 1 (Madinah Munawwarah; Maktabah Ulum wa al-Hikam, 1424 H/ 2003 M), hlm. 65.
[4]. Lubabut Ta’wil fi Ma’aniit Tanzil, ‘Ali bin Muhammad Abu al-Hasan al-Khazin (w. 741 H), Juz 2 (Beirut; Dar al-Kutub, 1415 H), hlm. 64.
[5]. Taisirul Karimir Rahman fi Tafsir Kalamil Mannan, Abdur Rahman bin Nasir al-Sa’dy (w. 1376 H), (Bairut; Muassasah al-Risalah, 1420 H / 2000 M), hlm. 54.
[6]. Lubabut Ta’wil, 1/50
[7]. Mafatihul Ghaib, Muhammad bin ‘Umar al-Razi (w. 606 H), juz 3 (Beirut; Dar Ihya’ Turats al-‘Araby, 1420 H), hlm. 536. Lihat Tafsir al-Qur’an, Manshur bin Muhammad Abu Mudzaffar al-Sam’any (w. 489 H), Juz 1 (Riyadh; Dar al-Wathan, 1418 H / 1997), hlm. 88.
[8]. Lubabut Ta’wil …, hlm. 50.
[9]. Zadul Masir fi ‘Ilm al-Tafsir, ‘Abdur Rahman bin ‘Ali Abu al-Faraj Ibn al-Jauzi (w. 597 H), Juz 1 (Beirut; Dar al-Kitab al-‘Araby, 1422 H), hlm. 72. Lihat Taisirul Karimir Rahman …, al-Sa’dy, hlm. 54.
[10]. Jami’ul Bayan fi Ta’wilil Qur’an, Muhammad bin Jarir Abu Ja’far al-Thabary (w. 301), juz 2 (Beirut; Muassasah al-Risalah, 1420 H/ 2000 M), hlm. 143. Lihat al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, Muhammad bin Ahmad al-Qurthuby (w. 671 H), Juz 1 (Mesir; Dar al-Kutub al-Misriyyah, 1384 H/ 1964 M), hlm. 432. Lihat Fathul Qadir, Muhammad bin ‘Ali al-Syaukany (w. 1250 H), juz 1 (Beirut; Dar Ibn Katsir, 1414 H), hlm. 110. Lihat Tafsirul Manar, Muhammad Rasyid bin ‘Ali Ridha (w. 1354 H), juz 1 (Mesir; al-Hai’ah al-Misriyyah al-‘Ammah li al-Kitab, 1990 M), hlm. 278. Lihat Tafsir al-Munir…, hlm. 178. Lihat Tafsirul Qur’anil ‘Azhim, Isma’il bin ‘Umar bin Kathir (w. 774), Juz 1 (Riyadh; Dar al-Taibah, 1420 H/ 1999 M), hlm. 284. Lihat Bahrul ‘Ulum, Nashr bin Muhammad al-Samarqandy (w. 373 H), Juz 1(tanpa disebutkan nama, tempat dan tahun cetakan), hlm. 59.
[11]. al-Wajiz fi Tafsir al-kitab al-‘Aziz, ‘Ali bin Ahmad al-Wahidy (w. 468 H), (Beirut; Dar al-Qalam, 1415 H), hlm. 110. Lihat Lubab al-Ta’wil…, hlm. 50.
[12]. Al-Kasysyaf ‘an Haqaiq Ghawamidh al-Tanzil, Mahmud bin ‘Amr al-Zamakhsyary (w. 538), juz 1 (Beirut; Dar al-Kitab al-‘Araby, 1407 H), hlm. 146. Lihat Madarik al-Tanzil wa Haqaiq al-Ta’wil, ‘Abdullah bin Ahmad al-Nasafy (w. 710 H), Juz 1 (Beirut; Dar Kalim al-Tayyib, 1419 H/ 1998 M), hlm. 94. Lihat Irsyad al-‘Aql al-Salim ila Mazaya al-Kitab al-Karim, Muhammad bin Muhammad Abu al-Su’ud (w. 982 H), juz 3 (Beirut; Dar Ihya’ al-Kitab al-‘Araby, tanpa tahun cetakan), hlm. 62.
[13]. al-Jami’ li Ahkamil Qur’an…, hlm. 432.
[14]. Lubabut Ta’wil…, hlm. 50.
[15]. Jami’ul Bayan…,6/503.
[16]. Tafsir al-Qur’anil ‘Azhim, ‘Abdur Rahman bin Muhammad Ibn Abi Hatim al-Razi (w. 327 H), Juz 2 (Arab Saudi; Maktabah Nizar Musthafa al-Baz, 1419 H), hlm. 617.
[17]. Tafsir al-Qur’anil ‘Azhim …,juz 2, hlm. 25.
[18]. Jami’ul Bayan 24/542.
[19]. Mafatihul Ghaib…, 6/523.
[20]. al-Sirah al-Nabawiyah al-Shahihah, Dr. Akram Dhiya’ al-‘Umary, juz 2 (Riyadh; Maktabah al-‘Ubeikan, 1424 H/2003 H), hlm. 454.
 
Sumber: https://almanhaj.or.id/3843-beruntunglah-orang-orang-yang-beriman.html