Bersuci dan Sholat Ketika Sakit

Pertanyaan:

Bismillah. Ibunda saya sudah sangat tua dan. Beliau tidak dapat bangun dari tempat tidur karena fisiknya sudah sangat lemah. Bagaimana saya bisa membantu ibunda saya agar beliau dapat tetap bersuci dan sholat sesuai petunjuk sunnah? Apakah beliau boleh bertayamum?

Jawaban:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,

Syaikh Dr. Sholeh bin Fauzan Al Fauzan hafidzahullah menyebutkan beberapa keadaan yang dapat menyebabkan seseorang bersuci dengan tayammum:

– Jika tidak ada air baik dalam keadaan safar/dalam perjalanan ataupun tidak. Asy Syaukani menambahkan keadaan yang dapat menyebabkan seseorang bersuci dengan tayammum dengan jauhnya air, kemudian beliau menambahkan batasan suatu jarak dikatakan tidak jauh dalam hal ini dengan adanya kemungkinan seseorang dapat mendapatkan air, kemudian berwudhu dengannya dan dapat sholat pada waktunya. [lihat As Saylul Jaror oleh Asy Syaukani rohimahullah hal. 129/I, terbitan Darul Kutub ‘Ilmiyah, Beirut, Lebanon.] namun Syaikh Muhammad bin  Sholeh Al ‘Utsaimin mengatakan bahwa batasan dikatakan tidak jauh itu adalah urf/penilaian masyarakat [lihat Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’ hal. 235/I ].

Tambahan:

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan, “….  Akan tetapi, mereka juga boleh cukup dengan tayamum jika memang harus memeroleh air yang tempatnya jauh. Mereka nanti bertayamum dan mengerjakan sholat di waktunya masing-masing. Namun yang lebih baik adalah melakukan jama’ suri seperti tadi dan tetap berwudhu dengan air, ini yang lebih afdhol (lebih utama). Walhamdulillah.”[ Majmu’ Al Fatawa, hal. 458/XXI.]

– Terdapat air (dalam jumlah terbatas pent.) bersamaan dengan adanya kebutuhan lain yang memerlukan air tersebut semisal untuk minum dan memasak.

– Adanya kekhawatiran jika bersuci dengan air akan membahayakan badan atau semakin lama sembuh dari sakit.

– Ketidakmapuan menggunakan air untuk berwudhu dikarenakan sakit dan tidak mampu bergerak untuk mengambil air wudhu dan tidak adanya orang yang mampu membantu untuk berwudhu bersamaan dengan kekhawatiran habisnya waktu sholat.

– Khawatir kedinginan jika bersuci dengan air dan tidak adanya yang dapat menghangatkan air tersebut.

[Yang berikut ini diambil dari tulisan berjudul “Kemudahan Agama Islam bagi Orang yang Sakit dalam Thoharoh dan Shalat Oleh: Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin yang diterjemahkan secara bebas dari risalah beliau yang berjudul Thoharotul Maridh wa Sholatuhu, oleh Muhammad Abduh Tuasikal, ST].

Bagaimana Cara Bersuci (Thoharoh) Bagi Orang Yang Sakit?

Wajib bagi orang yang sakit untuk bersuci dengan air yaitu dia wajib berwudhu ketika terkena hadats ashgor (hadats kecil). Jika terkena hadats akbar (hadats besar), dia diwajibkan untuk mandi wajib.

Jika tidak mampu bersuci dengan air karena tidak mampu atau karena khawatir sakitnya bertambah parah, atau khawatir sakitnya bisa bertambah lama sembuhnya, maka dia diharuskan untuk tayamum.

TATA CARA TAYAMUM adalah dengan menepuk kedua telapak tangan ke tanah yang suci dengan satu kali tepukan, lalu mengusap seluruh wajah dengan kedua telapak tangan tadi, setelah itu mengusap kedua telapak tangan satu sama lain.

Jika orang yang sakit tersebut tidak mampu bersuci sendiri, maka orang lain boleh membantunya untuk berwudhu atau tayamum. (Misalnya tayamum), orang yang dimintai tolong tersebut menepuk telapak tangannya ke tanah yang suci, lalu dia mengusap wajah orang yang sakit tadi, diteruskan dengan mengusap kedua telapak tangannya. Hal ini juga serupa jika orang yang sakit tersebut tidak mampu berwudhu (namun masih mampu menggunakan air, pen), maka orang lain pun bisa menolong dia dalam berwudhu (orang lain yang membasuh anggota tubuhnya ketika wudhu, pen).

Jika pada sebagian anggota tubuh yang harus disucikan terdapat luka, maka luka tersebut tetap dibasuh dengan air. Apabila dibasuh dengan air berdampak sesuatu (membuat luka bertambah parah, pen), cukup bagian yang terluka tersebut diusap dengan satu kali usapan. Caranya adalah tangan dibasahi dengan air, lalu luka tadi diusap dengan tangan yang basah tadi. Jika diusap juga berdampak sesuatu, pada saat ini diperbolehkan untuk bertayamum.

[Keterangan: Bedakan antara MEMBASUH dan MENGUSAP. Membasuh adalah dengan mengalirkan air pada anggota tubuh yang ingin dibersihkan, sedangkan mengusap adalah cukup dengan membasahi tangan dengan air, lalu tangan ini saja yang dipakai untuk mengusap, tidak dengan mengalirkan air lagi]

Jika sebagian anggota tubuh yang harus dibasuh mengalami patah, lalu dibalut dengan kain (perban) atau gips, maka cukup anggota tubuh tadi diusap dengan air sebagai ganti dari membasuh. Pada kondisi luka yang diperban seperti ini tidak perlu beralih ke tayamum karena mengusap adalah pengganti dari membasuh.

Boleh seseorang bertayamum pada tembok yang suci atau yang lainnya, asalkan memiliki debu . Namun apabila tembok tersebut dilapisi dengan sesuatu yang bukan tanah -seperti cat-, maka pada saat ini tidak boleh bertayamum dari tembok tersebut, kecuali jika ada debu.

Jika tidak ditemukan tanah atau tembok yang memiliki debu, maka tidak mengapa menggunakan debu yang dikumpulkan di suatu wadah atau di sapu tangan, kemudian setelah itu bertayamum dari debu tadi.

Jika kita telah bertayamum dan kita masih dalam keadaan suci (belum melakukan pembatal) hingga masuk waktu sholat berikutnya, maka kita cukup mengerjakan sholat dengan menggunakan tayamum yang pertama tadi, TANPA perlu mengulang tayamum lagi karena ini masih dalam keadaan thoharoh (suci) selama belum melakukan pembatal.

Wajib bagi orang yang sakit untuk membersihkan badannya dari setiap najis. Jika dia tidak mampu untuk menghilangkannya dan dia sholat dalam keadaan seperti ini, sholatnya tetap sah dan tidak perlu diulangi.

Wajib bagi orang yang sakit mengerjakan sholat dengan pakaian yang suci. Jika pakaian tersebut terkena najis, maka wajib dicuci atau diganti dengan pakaian yang suci. Jika dia tidak mampu untuk melakukan hal ini dan sholat dalam keadaan seperti ini, sholatnya tetap sah dan tidak perlu diulangi.

Wajib bagi orang yang sakit mengerjakan sholat pada tempat yang suci. Apabila tempat sholatnya (seperti alas tidur atau bantal, pen) terkena najis, wajib najis tersebut dicuci atau diganti dengan yang suci, atau mungkin diberi alas lain yang suci. Jika tidak mampu untuk melakukan hal ini dan tetap sholat dalam keadaan seperti ini, sholatnya tetap sah dan tidak perlu diulangi.

Tidak boleh bagi orang yang sakit mengakhirkan sholat hingga keluar waktunya dengan alasan karena tidak mampu untuk bersuci. Bahkan orang yang sakit ini TETAP WAJIB bersuci sesuai dengan kadar kemampuannya, sehingga dia dapat sholat tepat waktu; walaupun badan, pakaian, atau tempat sholatnya dalam keadaan najis dan tidak mampu dibersihkan (disucikan).

Bagaimana Cara Mengerjakan Sholat Bagi Orang Yang Sakit?

Wajib bagi orang yang sakit mengerjakan sholat fardhu dalam keadaan berdiri, walaupun tidak bisa berdiri tegak (berdiri miring), atau bersandar pada dinding atau tongkat.

Jika tidak mampu sholat sambil berdiri, dia diperbolehkan sholat sambil duduk. Ketika sholat sambil duduk, yang paling utama jika ingin melakukan gerakan berdiri (qiyam) dan ruku’ adalah dengan duduk mutarobi’an (duduk dengan kaki bersilang di bawah paha). Sedangkan jika ingin melakukan gerakan sujud, yang lebih utama adalah jika dilakukan dengan duduk muftarisyan (duduk seperti ketika tasyahud awwal).

Jika tidak mampu mengerjakan sholat sambil duduk, boleh sholat sambil tidur menyamping (yang paling utama tidur menyamping pada sisi kanan) dan badan mengarah ke arah Kiblat. Jika tidak mampu diarahkan ke Kiblat, boleh sholat ke arah mana saja. Jika memang terpaksa seperti ini, sholatnya tidak perlu diulangi.

Jika tidak mampu mengerjakan sholat sambil tidur menyamping, maka dibolehkan tidur terlentang. Caranya adalah: kaki dihadapkan ke arah Kiblat dan sangat bagus jika kepala agak sedikit diangkat supaya terlihat menghadap ke Kiblat. Jika kakinya tadi tidak mampu dihadapkan ke Kiblat, boleh sholat dalam keadaan bagaimanapun. Jika memang terpaksa seperti ini, sholatnya tidak perlu diulangi.

Wajib bagi orang yang sakit melakukan gerakan ruku’ dan sujud. Jika tidak mampu, boleh dengan memberi isyarat pada dua gerakan tadi dengan kepala. Dan sujud diusahakan lebih rendah daripada ruku’. Jika mampu ruku’, namun tidak mampu sujud, maka dia melakukan ruku’ sebagaimana ruku’ yang biasa dilakukan dan sujud dilakukan dengan isyarat. Jika dia mampu sujud, namun tidak mampu ruku’, maka dia melakukan sujud sebagaimana yang biasa dilakukan dan ruku’ dilakukan dengan isyarat.

Jika tidak mampu berisyarat dengan kepala ketika ruku’ dan sujud, boleh berisyarat dengan kedipan mata. Jika ruku’, mata dikedipkan sedikit. Namun ketika sujud, mata lebih dikedipkan lagi. Adapun isyarat dengan jari sebagaimana yang biasa dilakukan oleh sebagian orang yang sakit, maka ini tidaklah benar. Aku sendiri tidak mengetahui kalau perbuatan semacam ini memiliki landasan dari Al Kitab dan As Sunnah atau perkataan ulama.

Jika tidak mampu berisyarat dengan kepala atau kedipan mata, maka dibolehkan sholat dalam hati. Dia tetap bertakbir dan membaca surat, lalu berniat melakukan ruku’, sujud, berdiri dan duduk dengan dibayangkan dalam hati. Karena setiap orang akan memperoleh yang dia niatkan.

Wajib bagi setiap orang yang sakit untuk mengerjakan sholat di waktunya (tidak boleh sampai keluar waktu), dia mengerjakan sesuai dengan kemampuannya sebagaimana yang telah dijelaskan dan tidak boleh mengakhirkan satu sholat dari waktunya. Jika memang menyulitkan bagi orang yang sakit untuk mengerjakan sholat di waktunya, maka boleh baginya untuk menjama’ sholat (menggabungkan sholat) yaitu menjama’ sholat Dzuhur dan Ashar atau Maghrib dan Isya. Boleh dilakukan dengan jama’ taqdim atau pun jama’ takhir, terserah mana yang paling mudah. Jika mau, dia boleh mengerjakan sholat Ashar di waktu Dzuhur atau boleh juga mengerjakan sholat Dzuhur di waktu Ashar. Begitu pula boleh mengerjakan sholat Isya’ di waktu Maghrib atau boleh juga mengakhirkan sholat Maghrib di waktu Isya’. Adapun sholat shubuh, maka tidak perlu dijama’ (digabungkan) dengan sholat yang sebelum atau sesudahnya karena waktu sholat shubuh terpisah dengan waktu sholat sebelum atau sesudahnya. Allah Ta’ala berfirman:

 أَقِمِ الصَّلاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْآنَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْآنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُوداً

“Dirikanlah sholat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula sholat) subuh. Sesungguhnya sholat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).” (QS. Al Isro’ [17] : 78)

Jika orang yang sakit tersebut ingin bersafar (melakukan perjalanan jauh) karena harus berobat di negeri lain, dia boleh menqoshor sholat yaitu sholat empat rakaat (Dzuhur, ‘Ashar dan Isya’) diringkas menjadi dua rakaat. Mengqoshor sholat di sini boleh dilakukan hingga dia kembali ke negerinya, baik safar (perjalanan) yang dilakukan dalam waktu lama, atau pun singkat.

Hanya Allah-lah yang dapat memberi taufik. Semoga Allah memberikan kemudahan kepada kita untuk berbakti kepada orang tua. Aamiin.

 

Sumber Rujukan:

Tulisan berjudul: “Tenanglah Engkau Masih Bisa Shalat Di Kala Sakit” oleh Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal, MSc – https://rumaysho.com/86-tenanglah-engkau-masih-bisa-shalat-di-kala-sakit.html

Tulisan berjudul: “Panduan Tata Cara Tayammum” oleh Aditya Budiman – https://muslim.or.id/1918-panduan-tata-cara-tayammum.html