بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

? BEBERAPA SYUBHAT (KERANCUAN) TENTANG SYRIK DALAM NIAT (BESERTA JAWABAN ATAS KERANCUAN TERSEBUT)

 

Kita menetapkan, bahwa hukum asal dalam ibadah dan amal saleh adalah TIDAK BOLEH ada niat/keinginan dunia padanya [Lihat keterangan Syaikh al-‘Utsaimin dalam kitab “al-Qaulul Mufiid ‘Ala Kitaabit Tauhiid” (2/245)].

Akan tetapi, dalam masalah ini ada beberapa syubhat/kerancuan yang timbul karena kesalahpahaman atau hawa nafsu, di antaranya:

? A. Pendapat yang mengatakan bolehnya meniatkan balasan duniawi dengan amal-amal saleh. Pendapat ini berargumentasi dengan beberapa hadis Rasulullah ﷺ yang menyebutkan balasan duniawi pada beberapa amal saleh. Misalnya sabda beliau ﷺ: “Barang siapa yang senang untuk dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaknya dia menyambung (hubungan baik dengan) kerabatnya” [HSR al-Bukhari (no. 1961) dan Muslim (no. 2557)].

Dalam hadis lain, Rasulullah ﷺ bersabda: “Barang siapa yang membunuh orang kafir (di medan jihad), dan dia memunyai bukti (atas pembunuhan tersebut), maka dia (yang berhak) mendapatkan harta yang ada pada orang kafir tersebut” [HSR al-Bukhari (no. 2973) dan Muslim (no. 1751)].

Bagaimana cara mendudukkan hadis-hadis ini dan yang semakna dengannya? Karena tidak mungkin Rasulullah ﷺ justru menjelaskan, dan tidak mengingkari perbuatan yang jelas-jelas tercela dalam agama.

Syaikh Saleh bin ‘Abdil ‘Aziz Alu asy-Syaikh telah menjelaskan dan memerinci hal ini, beliau berkata: “Amal-amal saleh yang dilakukan oleh seorang hamba dengan menghadirkan (keinginan mendapatkan) balasan duniawi ada dua macam:

  1. Amal yang dilakukannya itu dengan menghadirkan dan menginginkan balasan duniawi, serta tidak menginginkan balasan di Akhirat, (padahal) amal tersebut tidak dianjurkan dalam syariat dengan menyebutkan balasan duniawi, seperti shalat, puasa dan amal-amal ketaatan lainnya, maka amal seperti ini TIDAK BOLEH diniatkan untuk (balasan) duniawi. Kalau dia menginginkan (balasan) duniawi dengan amal seperti ini, maka (berarti) dia telah berbuat syirik dalam niat.
  1. Amal-amal yang dijelaskan dalam syariat akan mendatangkan balasan di dunia dan dianjurkan dalam Islam dengan menyebutkan balasannya di dunia, seperti silaturahim (menyambung hubungan baik dengan kerabat), berbakti kepada orang tua dan yang semisalnya, Rasulullah ﷺ telah bersabda: “Barang siapa yang senang untuk dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaknya dia menyambung (hubungan baik dengan) kerabatnya” [HSR al-Bukhari (no. 1961) dan Muslim (no. 2557)].

Amal-amal seperti ini, ketika seorang hamba yang melakukannya dia menghadirkan (menginginkan) balasan duniawi tersebut, (meskipun) dia ikhlas kerena Allah, (tapi) dia tidak menghadirkan (menginginkan) balasan Akhirat, maka dia masuk dalam ancaman (buruknya perbuatan ini) dan ini termasuk jenis syirik dalam niat. Akan tetapi jika dia menghadirkan (menginginkan) balasan duniawi dan balasan Akhirat (secara) bersamaan, (yaitu dengan) dia mengharapkan balasan di sisi Allah di Akhirat (nanti), menginginkan Surga dan takut (dengan siksa) Neraka, tapi dia (juga) menghadirkan balasan duniawi dalam amal ini, maka (yang seperti) ini TIDAK MENGAPA (tidak berdosa), karena syariat Islam tidaklah memotivasi (untuk) mengerjakan amal tersebut dengan menyebutkan balasan duniawi, kecuali untuk mendorong (kita).

Sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ: “Barang siapa yang membunuh orang kafir (di medan jihad), dan dia memunyai bukti (atas pembunuhan tersebut), maka dia (yang berhak) mendapatkan harta yang ada pada orang kafir tersebut” [HSR al-Bukhari (no. 2973) dan Muslim (no. 1751)].

Maka barang siapa yang membunuh orang kafir di (medan) jihad untuk mendapatkan harta yang ada pada orang kafir tersebut, akan tetapi tujuan (utamanya) berjihad adalah mengharapkan balasan di sisi Allah Ta’ala dan semata-mata mencari wajah-Nya, meskipun keinginannya (terhadap balasan duniawi) ini sebagai tambahan motivasi baginya. (Ringkasnya), keinginan orang ini tidak terbatas pada balasan duniawi ini, karena hatinya juga terikat dengan (balasan) Akhirat, maka perbuatan seperti ini TIDAK mengapa (tidak berdosa) dan Tidak termasuk jenis (perbuatan syirik) yang pertama [Kitab “at-Tamhiid Lisyarhi Kitaabit Tauhiid” (hal. 406-407)].

? B. Menyebutkan manfaat-manfaat duniawi ketika menjelaskan beberapa hikmah dan faidah amal-amal ibadah. Misalnya, di antara faidah shalat adalah untuk olah raga dan melatih otot, demikian juga puasa, di antara faidahnya adalah mengurangi kelebihan cairan dalam tubuh, mengatur jadwal makan (diet), menyehatkan lambung dan saluran pencernaan. Apakah ini diperbolehkan?

Syaikh Muhammad bin Saleh al-‘Utsaimin menjawab pertanyaan ini dalam ucapan beliau:

“Semestinya kita tidak boleh menjadikan (menyebutkan) manfaat-manfaat duniawi sebagai asal (yang utama). Karena Allah tidak menyebutkan hal-hal tersebut dalam Alquran. Tetapi yang Allah sebutkan (dalam Alquran) adalah, bahwa shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar (buruk). Juga tentang puasa adalah sebab untuk (meraih) takwa kepada-Nya. Maka faidah-faidah agama dalam ibadah inilah (yang dijadikan) asal (yang utama), sedangkan faidah-faidah duniawi (dijadikan) nomor kedua (sekunder). Oleh karena itu, ketika kita menjelaskan hal ini di depan orang-orang awam, maka (hendaknya) kita menyampaikan kepada mereka segi-segi (faidah dan hikmah) yang berhubungan dengan agama. (Terkecuali) tatkala kita menjelaskan hal ini di depan orang yang tidak merasa puas kecuali dengan sesuatu (faidah) yang bersifat duniawi, maka (kita boleh) menjelaskan kepadanya segi-segi (faidah dan hikmah) yang berhubungan dengan agama dan dunia (sekaligus). Penjelasan yang kita sampaikan (hendaknya) disesuaikan dengan kondisi (orang yang ada di hadapan kita)” [Kitab “al-Qaulul Mufiid ‘Ala Kitaabit Tauhiid” (2/245)].

? C. Menuntut ilmu agama di universitas-universitas Islam negeri yang kurikulumnya berdasarkan manhaj Ahlus sunnah wal jama’ah, seperti universitas-universitas di Arab Saudi, kemudian setelah lulus akan mendapatkan ijazah dan gelar, baik itu Lc (Licence), MA (Master of arts) ataupun Dr (doktor), apakah ini diperbolehkan dan tidak termasuk melakukan amal saleh dengan keinginan duniawi?

Syaikh Muhammad bin Saleh al-‘Utsaimin menjawab pertanyaan ini dengan perincian sebagai berikut:

  • Kalau niat dan keinginan orang yang belajar di universitas-universitas tersebut hanya untuk mendapatkan gelar tersebut dan tidak ada niat untuk agama, maka jelas ini termasuk perbuatan buruk.
  • Kalau niatnya untuk agama dan Akhirat, akan tapi dia menjadikan gelar tersebut hanya sebagai sarana untuk memudahkan dia diterima dan mendapat pengakuan masyarakat, sehingga dengan itu dia lebih mudah mendakwahi dan mengajak mereka ke jalan Allah, karena di jaman sekarang kebanyakan orang sangat memperhitungkan gelar resmi, maka ini diperbolehkan dan niat ini adalah niat yang benar [Lihat kitab “Al-Qaulul Mufiid” (2/244) dan “Al-‘Ilmu” (hal. 21)].

 

Penulis: Ustadz Abdullah Taslim Al Buthony, MA.

[Artikel Muslim.Or.id]

Sumber: https://Muslim.or.id/13945-jangan-nodai-ibadah-anda-dengan-niat-duniawi.html