BAGAIMANA WANITA ISTIHADAH BERSUCI?

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

BAGAIMANA WANITA ISTIHADAH BERSUCI?
Wanita Istihadah dan Cara Bersucinya

Wanita yang mengalami Istihadah, mendapatkan keringanan dalam bersuci. Mengingat darah tersebut sering keluar, sehingga sangat menyusahkan bila diwajibkan berwudhu dan membersihkan diri setiap kali darah itu keluar.

Sementara Islam adalah agama yang memberikan kemudahan kepada penganutnya. Allah ﷻ berfirman:

وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَج

“Dia (Tuhanmu) sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama ini suatu kesempitan.” [QS. al Haj: 78]

Dari ayat ini kemudian para ulama menyimpulkan sebuah Kaidah Fikih:

المَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرَ

“Sebuah kesulitan akan menjadi sebab datangnya kemudahan dan keringanan.”

Cara Bersuci Wanita Istihadah

Cara berwudhu untuk wanita mustahadoh adalah dengan melakukan dua hal berikut:

1. Cukup berwudhu setiap masuk waktu salat.
2. Membasuh kemaluan dan bagian tubuh yang terkena darah, kemudian mengenakan pembalut agar tidak menyebar, semampunya.

Pertama: Berwudhu setiap masuk waktu salat

Dasarnya adalah sabda Nabi ﷺ kepada Fatimah bintu Abu Hubaisy, saat bertanya kepada Nabi ﷺ perihal istihadah yang beliau alami:

ثُمَّ تَوَضَّئِي لِكُلِّ صَلَاةٍ حَتَّى يَجِيءَ ذَلِكَ الْوَقْتُ

“Berwudhulah kamu setiap kali salat, hingga waktu itu tiba.” [HR. Bukhori no. 226]

Maksudnya, setiap kali masuk waktu salat. Karena lam dalam kalimat likulli untuk menunjukkan waktu (lit tauqit). Seperti dalam firman Allah ﷻ:

أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَىٰ غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْآنَ الْفَجْرِ ۖ إِنَّ قُرْآنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا

“Dirikanlah salat di waktu telah tergelincirnya matahari, sampai gelap malam, dan (dirikanlah pula salat) Subuh. Sesungguhnya Salat Subuh itu disaksikan (oleh malaikat).” [QS. al Isra’: 78] [Lihat: Syarah Abi Dawud 2/86, karya al ‘Aini]

Ketentuan ini berlaku apabila hadas tersebut keluar setelah berwudhu. Adapun bila tidak keluar, maka boleh menggunakan wudhu salat sebelumnya untuk salat berikutnya.

Al Mardawi rahimahullah dalam kitab al Inshaf menjelaskan:

مراده بقوله: “وتتوضأ لوقت كل صلاة ” إذا خرج شيء بعد الوضوء ؛ فأما إذا لم يخرج شيء فلا تتوضأ على الصحيح من المذهب.

“Berwudhu setiap masuk waktu salat,” maksudnya adalah, apabila setelah wudhu tersebut keluar sesuatu (hadas). Adapun bila tidak keluar, maka tidak wajib wudhu Kembali, menurut pendapat yang Sahih dalam Mazhab (Hambali).” [Al Inshof fi Ma’rifati ar Rajih min al Khilaf, 1/286]

Kedua: Membasuh kemaluan dan bagian tubuh yang terkena darah, kemudian mengenakan pembalut

Landasannya adalah hadis Aisyah radhiyallahu’anha yang mebceritakan tentang Fatimah bintu Abu Hubaisy, saat bertanya kepada Nabi ﷺ perihal istihadah yang beliau alami, apakah menyebabkan tidak salat. Nabi ﷺ menjawab:

لَا إِنَّمَا ذَلِكَ عِرْقٌ وَلَيَْس بِحَيْض فَدَعِي اَلصَّلَاةَ وَإِذَا أَدْبَرَتْ فَاغْسِلِي عَنْكِ اَلدَّمَ ثُمَّ صَلِّي

“Tidak, itu hanyalah darah penyakit, bukan darah haid. Bila haidmu datang, tinggalkanlah salat. Dan bila darah itu berlanjut (dari jadwal haidmu), maka bersihkanlah dirimu dari darah itu, lalu salatlah.” [Muttafaqun ‘alaih]

Al Harowi rahimahullah menerangkan:

( فاغسلي عنك الدم ) أي أثر دم الاستحاضة واغتسلي مرة واحدة ، ولعل الاكتفاء بغسل الدم دون غسل انقطاع الحيض

“Bersihkanlah dirimu dari darah itu, maksudnya dari bekas darah istihadah, dengan sekali basuhan. Barangkali maksudnya adalah membasuh bagian yang terkena darah saja, bukan mandi seperti mandi karena berhenti dari haid.” [Mirqoh al Matafih Syarh Misykah al Mashobih, 2/499]

Apakah harus membasuh kemaluan, atau mengganti pembalut setiap masuk waktu salat berikutnya?

Selama ia sudah berusaha maksimal dalam membersihkan najis, kemudian menjaga najis supaya tidak menyebar dengan mengenakan pembalut, maka tidak harus diulang. Kalaupun ingin mengulangi, itu sebatas anjuran.

Kecuali bila ada keteledoran, maka ia diharuskan mengulang. Inilah pendapat yang dipegang oleh ulama Hanabilah, dan yang kami pilih dalam masalah ini. Wallahua’lam.

Dalam kitab Matholib Ulin Nuha diterangkan”

ولا يلزم إعادة غسل , ولا إعادة تعصيب لكل صلاة حيث لا تفريط في الشد ; لأن الحدث مع غلبته وقوته لا يمكن التحرز منه

“Tidak harus membasuh ulang, juga tidak harus mengganti pembalut setiap kali salat, selama tidak teledor dalam mengenakan pembalut (sehingga hadas benar-benar terjaga, pent). Mengingat hadas tersebut sering keluar, maka tidak mungkin untuk dihindari.”

Kemudian diterangkan:

فإن فرّط في الشد , وخرج الدم بعد الوضوء لزمت إعادته ; لأنه حدث أمكن التحرز منه

“Namun bila ia teledor dalam mengenakan pembalut, dan darah (istihadoh) keluar setelah wudhu, maka wajib mengulang wudhu dan mencuci kemaluan Kembali, karena ia (dihukumi kondisi) berhadas yang mungkin dihindari.” [Matholib Ulin Nuha 1/263]

Dalilnya adalah perkataan Aisyah radhiyallahu’anha:

اعْتَكَفَتْ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ امْرَأَةٌ مِنْ أَزْوَاجِهِ فَكَانَتْ تَرَى الدَّمَ وَالصُّفْرَةَ وَالطَّسْتُ تَحْتَهَا وَهِيَ تُصَلِّي

”Nabi ﷺ pernah beritikaf bersama salah seorang istri beliau. Ia melihat ada darah dan cairan berwarna kekuningan. Lalu di bawahnya diletakkan baskom, sementara ia tetap mengerjakan salat.” [HR. Bukhari]

Beliau melakukan ini tentu setelah berusaha maksimal, dan Nabi ﷺ tidak melarangnya.

Dalam Fatawa Syabakah Islamiyah (no. 53090) diterangkan:

وفي هذا يسر على المرأة، وعليه فلا حرج عليك أن تأخذي به، لأن الله يقول: وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ [سورة الحـج: 78].

“Pendapat ini memberi kemudahkan bagi para wanita. Oleh karenanya, tidak masalah Anda mengikuti pendapat ini. Karena Allah berfirman: “Dia (Tuhanmu) sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama ini suatu kesusahan.” [QS. al Haj: 78]”

Kapan Wudhunya Batal?

Wudhunya batal dikarenakan dua sebab berikut:

1. Keluar dari waktu salat
2. Keluar hadas lain selain darah Istihadah

Misalkan dia berwudhu untuk salat Subuh. Maka ketika terbit matahari, otomatis wudhunya batal, karena telah keluar dari waktu subuh. Oleh karena itu apabila ingin Salat Dhuha, wajib beruwudhu kembali.

Hal ini berdasarkan hadis:

ثُمَّ تَوَضَّئِي لِكُلِّ صَلَاةٍ حَتَّى يَجِيءَ ذَلِكَ الْوَقْتُ

“Berwudhulah kamu setiap masuk waktu salat, hingga waktu itu tiba.” [HR. Ahmad, Abu Dawud dan Tirmidzi]

Pada hadis ini dijelaskan, bahwa keabsahan wudhu wanita mustahadoh dikaitkan dengan waktu salat. Sehingga apabila telah keluar dari waktu salat, maka wudhu batal.

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin saat ditanya, apakah boleh bagi wanita yang mengalami uzur karena hadas yang sering keluar, menggunakan wudhu Subuh untuk Salat Dhuha? Beliau rahimahullah menjawab:

لا يصح ذلك، لأن صلاة الضحى مؤقتة، فلابد من الوضوء لها بعد دخول وقتها، لأن هذه المرأة كالمستحاضة، وقد أمر النبي صلى الله عليه وسلم ، المستحاضة أن تتوضأ لكل صلاة ،

“Seperti itu tidak boleh. Karena waktu Salat Dhuha itu sendiri (sudah keluar dari waktu Subuh). Ia harus berwudhu kembali untuk Salat Dhuha, setelah masuk waktunya. Kondisi wanita ini seperti wanita mustahadoh. Nabi ﷺ telah memerintahkan wanita mustahadoh untuk berwudhu setiap masuk waktu salat.” [Majmu’ Fatawa wa Rasail al ‘Utsaimin no. 241, 11/286]

Kemudian keluar hadas lain selain darah Istihadah, seperti (mohon maaf), keluar gas kentut, maka wudhunya batal. Meskipun ia masih di dalam waktu salat yang sama. Karena kentut adalah hadas normal yang menyebabkan batalnya wudhu. Sehingga ia dikembalikan ke hukum normal.

Keringanan Ini Juga Berlaku Untuk Hadas Daa-im Lainnya

Hadast Daa-im adalah keadaan berhadas yang terus-menerus atau sulit dihindari, seperti tetesan air seni (sulasul baul), cairan keputihan atau cairan madzi yang sering keluar. Bagi mereka yang mengalami keadaan seperti ini, ia mendapatkan keringanan dalam hal wudhunya, seperti keringanan yang didapat wanita mustahadoh.

Syaikh Abdulaziz Alu Syaikh (Musti kerajaan Saudi Arabia) menerangkan:

وقد أخذ العلماء من هذا الحديث أن أصحاب الأعذار ممن حدثهم دائم لهم نفس حكم المستحاضة من جهة الوضوء لوقت كل صلاة، مع التحفظ لئلا يصيب اليدين أو الثوب أو البقعة التي يصلي عليها شيء من النجاسة.

“Dari hadis ini (hadis tentang Fatimah bintu Abu Hubaisy di atas, pent), para ulama menyimpulkan, bahwa orang-orang yang beruzur, karena mengalami hadast daa-im, mendapatkan hukum yang sama seperti wanita mustahadoh. Maksudnya, dalam hal wudhu setiap kali masuk waktu salat, dan mengenakan pembalut (atau yang sejenis), supaya najis tersebut tidak mengenai tangan, baju atau tempat salat.” [http://www.mufti.af.org.sa/node/2960]

Wallahua’lam bis showab.

Oleh: Ahmad Anshori
Sumber: https://konsultasisyariah.com/27730-bagaimana-wanita-istihadah-bersuci.html

Ikuti kami selengkapnya di:
WhatsApp: +61 (450) 134 878 (silakan mendaftar terlebih dahulu)
Website: https://nasihatsahabat.com/
Email: [email protected]
Twitter: @NasihatSalaf
Facebook: https://www.facebook.com/nasihatsahabatcom/
Instagram: NasihatSahabatCom
Telegram: https://t.me/nasihatsahabat
Pinterest: https://id.pinterest.com/nasihatsahabat