بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

APAKAH ALQURAN BEBAS TAFSIR?

Pernyataan bahwa Alquran itu bebas tafsir, erat kaitannya dengan bahasan At Tafsir Bir Ra’yi (Penafsiran Alquran dengan opini). Karena jika Alquran dikatakan bebas tafsir, artinya semua orang bebas untuk memaknai dan menafsirkan Alquran dengan opini mereka masing-masing, dan pemahaman masing-masing yang keluar dari benak mereka. Apakah yang demikian dibenarkan?

Pengertian At Tafsir Bir Ra’yi

At Tafsir Bir Ra’yi artinya penafsiran seseorang dalam menjelaskan makna-makna Alquran, dengan suatu pemahaman khusus yang hanya berlandaskan dengan ra’yu (opini) semata [1].

Tafsir dengan semata-mata opini adalah “Langganannya” orang-orang menyimpang dari Ahlul Bid’ah dan munafiqin. Syaikh Manna’ Al Qathan menjelaskan: “Mayoritas yang menggunakan metode ini adalah Ahlul Bid’ah yang meyakini keyakinan-keyakinan batil. Mereka berbuat lancang terhadap Alquran dengan menafsirkannya seseuai opini mereka, dan mereka dalam hal ini TIDAK memiliki teladan dari para sahabat Nabi, juga para tabi’in, baik dalam pendapat-pendapat mereka, maupun dalam tafsir-tafsir mereka. Mereka telah menulis beberapa tafsir yang dibangun di atas pemikiran yang demikian, seperti Tafsir Abdurrahman bin Kaisan Al Asham, Tafsir Al Jubba’i, Tafsir Abdul Jabbar, Tafsir Ar Rummani, Tafsir Zamakhsyari, dan semisalnya” [2].

Tafsir-tafsir yang demikian terkadang “Menyihir” pembacanya dengan menggunakan ungkapan-ungkapan yang indah dan seolah “Menyejukkan” hati yang membacanya. Namun di balik itu semua ada pemikiran dan keyakinan yang batil diselipkan. Disebutkan Syaikh Manna’ Al Qathan: “Di antara mereka ada yang menggunakan ungkapan-ungkapan yang indah yang menyamarkan madzhab batil mereka, yang membuatnya laris di kalangan masyarakat. Sebagaimana yang dilakukan penulis tafsir Al Kasyaf dalam menyelipkan Akidah Mu’tazilah di dalamnya” [3].

Hukum At Tafsir Bir Ra’yi

Menafsirkan Alquran semata-mata dengan akal dan opini tanpa landasan ilmu yang benar, hukumnya HARAM dan TERLARANG melakukannya. Allah Ta’ala berfirman:

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak memunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya” (QS. Al Isra: 36).

Dari Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma, Rasulullah ﷺ juga bersabda:

من قال في القرآن بغير علم فليتبوأ مقعده من النار

“Barang siapa yang berkata tentang Alquran tanpa ilmu, maka siapkanlah tempat duduknya di Neraka” [4].

Juga diriwayatkan dari Jundab bin Abdillah radhiallahu’anhu:

من قال في القرآن برأيه فأصاب فقد أخطأ

“Barang siapa siapa yang berkata tentang Alquran sebatas dengan opininya, lalu kebetulan ia benar, maka ia tetap salah” [5].

Oleh karena itu kita lihat generasi terbaik umat Islam, yaitu para sahabat Nabi, para tabi’in, dan tabiut tabi’in, mereka tidak berani menafsirkan Alquran jika mereka tidak tahu tafsirnya.

Abu Bakar Ash Shiddiq radhiallahu’anhu pernah ditanya mengenai makna abban atau al abb dalam surat Abasa ayat 31: وَفَاكِهَةً وَأَبًّا, namun Abu Bakar mengatakan:

أي سماء تظلني؟ و أي أرض تقلني؟ إذا قلت في كلام الله ما لا أعلم

“Langit mana yang akan menaungiku? Bumi mana yang akan menopangku? Jika aku berkata tentang Kalamullah yang aku tidak ketahui (tafsirnya)” [6].

Suatu kala Sa’id bin Musayyib ditanya mengenai tafsir sebuah ayat, beliau mengatakan:

إنا لا نقول في القران شيئا

“Kami tidak (berani) beropini sedikit pun mengenai tafsir Alquran” [7].

Beliau katakan demikian karena tidak tahu mengenai tafsir ayat tersebut.

Ath Thabari mengatakan: “Kabar-kabar dari para salaf ini bukti benarnya penyataan kami, bahwa penafsiran ayat Alquran TIDAK BISA DIKETAHUI ilmunya, kecuali dengan penjelasan Rasulullah ﷺ, atau dengan adanya dalil yang mendukungnya. Tidak boleh seorang pun berkata tentang tafsirnya hanya dengan opininya. Jika kebetulan perkataannya benar, maka ia tetap salah atas perbuatannya yang berani bicara mengenai tafsir dengan semata opini. Karena perkataannya yang benar tersebut bukanlah kebenaran yang benar-benar ia yakini kebenarannya, melainkan hanya kira-kira dan sangkaan saja. Dan orang yang berbicara masalah agama dengan modal sangkaan, sama saja ia berbicara tentang Allah tanpa ilmu. Dan Allah telah melarang hal itu terhadap hamba-Nya. Allah berfirman:

قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ

“Katakanlah: “Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) memersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah, apa yang tidak kamu ketahui”(QS. Al A’raf: 33)” [8].

Dengan demikian jelaslah, bahwa menafsirkan Alquran dengan semata-mata akal dan opini adalah terlarang dan bukanlah teladan dari para Salafus Shalih.

Untuk lebih memperluas pemahaman, berikut ini kami sertakan penjelasan rinci para ulama mengenai masalah ini:

Penjelasan Dewan Fatwa IslamWeb

Mereka ditanya: “Salah seorang khatib ia memulai ceramahnya dengan menyebutkan larangan bagi orang awam (yang tidak memiliki ilmu dan tidak biasa membaca kitab rujukan), untuk berdalam-dalam membahas makna Alquran. Namun pernyataan tersebut diikuti dengan perkataan, yang menurut saya aneh, yaitu ia mengatakan, bahwa orang awam jika mengatakan sesuatu tentang Alquran lalu kebetulan ia benar, maka ia tetap berdosa. Artinya, jika ia salah ia berdosa, benar pun ia berdosa. Sedangkan seorang mufti yang berilmu ia mendapatkan pahala jika ia benar ataupun jika ia salah. Apakah pernyataan ini benar? Mohon penjelasannya”.

Mereka menjawab:

“Pernyataan khatib tersebut benar. Karena orang awam tidak boleh berbicara tentang Alquran dengan semata-mata opininya saja, tanpa bersandar kepada kitab tafsir rujukan atau dalil. At Tirmidzi dalam Sunan-nya membuat bab: Maa Ja’a fil Ladzi Yufassirul Quran Bira’yihi (Bab tentang Orang Yang Menafsirkan Alquran Dengan Opininya). Di dalam bab tersebut beliau membawakan hadis dari Ibnu Abbas radhiallahu’ahuma, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:

من قال في القرآن بغير علم فليتبوأ مقعده من النار

“Barang siapa yang berkata tentang Alquran tanpa ilmu, maka siapkanlah tempat duduknya di Neraka”.

At Tirmidzi mengatakan: “Hadis ini Hasan Shahih”.

Beliau juga mengeluarkan hadis dari Jundab bin Abdillah radhiallahu ‘anhu:

من قال في القرآن برأيه فأصاب فقد أخطأ

“Barang siapa siapa yang berkata tentang Alquran sebatas dengan opininya, lalu kebetulan ia benar, maka ia tetap salah”.

At Tirmidzi lalu mengatakan:

كذا روي عن بعض أهل العلم من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم وغيرهم أنهم شددوا في هذا في أن يفسر القرآن بغير علم

“Perkataan semisal ini juga diriwayatkan dari sebagian Ahlul Ilmi di kalangan para sahabat Nabi ﷺ dan yang selain mereka, yaitu bahwa mereka sangat keras terhadap perbuatan menafsirkan Alquran tanpa ilmu”.

Penulis Tuhfatul Ahwadzi mengatakan:

من قال في القرآن برأيه أي بغير دليل يقيني أو ظني نقلي أو عقلي مطابق للشرعي قاله القاري … (ومن قال) أي من تكلم (في القرآن) أي في معناه أو قراءته (برأيه) أي من تلقاء نفسه من غير تتبع أقوال الأئمة من أهل اللغة والعربية المطابقة للقواعد الشرعية بل بحسب ما يقتضيه عقله وهو مما يتوقف على النقل. وقوله (من قال في القرآن) أي في لفظه أو معناه (برأيه) أي بعقله المجرد (فأصاب) أي ولو صار مصيباً بحسب الاتفاق (فقد أخطأ) أي فهو مخطئ بحسب الحكم الشرعي.

“Yang dimaksud menafsirkan Alquran dengan Ra’yu (Opini), adalah menafsirkan Alquran dengan tanpa Dalil Yaqini atau Dalil Zhanni, baik Dalil Naqli maupun Aqli (baca: qiyas) yang sesuai dengan syariat. Ali Al Qari menjelaskan (dalam menafsirkan hadis Ibnu Abbas): [Barang siapa yang berkata] maksudnya menjelaskan sesuatu. [dalam Alquran] maksudnya mengenai makna-makna Alquran dan qira’ah-nya. [dengan opininya] maksudnya dengan pandangan yang ada di benaknya tanpa berusaha mencari-cari penjelasan para ulama yang ahli bahasa Arab, dan penjelasan para ulama yang sesuai dengan kaidah-kaidah Syariyyah. Bahkan ia hanya mencukupkan diri dengan apa yang muncul dari akalnya, karena tidak ada pengetahuan tentang dalil naqli. Dan hadis [Barang siapa yang berkata tentan Alquran], maksudnya tentang lafadz dan maknanya [dengan opininya], yaitu dengan akalnya semata [lalu ia benar] yaitu ia benar karena kebetulan, [maka ia tetap salah], maksudnya ia tetap salah dalam tinjauan hukum syari”.

Ibnu Hajar menjelaskan:

اي أخطأ طريقة الاستقامة بخوضه في كتاب الله تعالى بالتخمين والحدس لتعديه بهذا الخوض مع عدم استجماعه لشروطه فكان آثماً به مطلقا ولم يعتد بموافقته للصواب لأنها ليست عن قصد ولا تحر، بخلاف من كملت فيه آلات للتفسير فإنه مأجور بخوضه فيه وإن أخطأ لأنه لا تعدي منه فكان مأجورا أجرين كما في رواية، أو عشرة أجور كما في أخرى إن أصاب، وأجر إن أخطأ كالمجتهد لأنه بذل وسعه في طلب الحق واضطره الدليل إلى ما رآه فلم يكن منه تقصير بوجه .

“Maksudnya ia telah menyalahi jalan yang lurus, karena telah menafsirkan kitab Allah Ta’ala dengan menebak-nebak dan menerka maknanya, dan karena kelancangannya atas perbuatan tersebut, tanpa mengumpulkan syarat-syarat yang harus dimiliki seorang yang hendak menafsirkan Quran. Maka ia berdosa secara mutlak dan tidak dianggap perkataannya yang kebetulan betul, karena itu hanya sekedar kebetulan, dan bukan karena adanya usaha yang benar. Berbeda dengan orang yang telah terkumpul padanya syarat-syarat penafsir Quran, maka ia mendapatkan pahala jika menafsirkannya, walaupun ia salah. Karena kesalahannya tersebut bukan karena kelancangan. Maka jika tafsirannya benar, ia mendapatkan dua pahala sebagaimana dalam suatu riwayat atau 10 pahala dalam riwayat yang lain. Dan jika tafsirannya salah, ia mendapatkan satu pahala, sebagaimana seorang mujtahid. Karena ia telah mengerahkan daya upayanya untuk mencari kebenaran dan ia telah mengolah dalil sebatas yang sesuai dengan yang mereka pahami. Maka dari sisi ini pada diri mereka tidak ada sikap peremehan”.

Maka dari sini jelas, bahwa seorang yang jahil tidak boleh berbicara mengenai Alquran dengan semata-mata opininya. Adapun jika ia:

  • Menukil perkataan yang ia dengan dari ulama
  • Atau menukil tafsiran dari kitab rujukan yang dijadikan pegangan dalam ilmu tafsir,
  • Atau ia berbicara mengenai perkara yang Dharuri (sudah dipahami umumnya orang secara gamblang) semisal ia berdalil dengan ayat Quran tentang wajibnya sholat, atau tentang wajibnya amar ma’ruf nahi mungkar, dan perkara-perkara semisal yang secara gamblang telah diketahui semua orang, untuk sebatas berdalil bukan menafsirkan makna per maknanya,

maka ini semua tidak mengapa. Berdasarkan perkataan Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma, sebagaimana yang diriwayatkan oleh As Suyuthi dalam kitab Ad Durr:

تفسير القرآن على أربعة وجوه: تفسير يعلمه العلماء . وتفسير لا يعذر الناس بجهالته من حلال أو حرام . وتفسير تعرفه العرب بلغتها . وتفسير لا يعلمه إلا الله، فمن ادعى علمه فهو كاذب

“Tafsir Alquran ada empat macam:

[1] Tafsir yang hanya diketahui para ulama,

[2] Tafsir yang semua orang tidak diberi udzur untuk mengaku tidak paham, berupa hukum halam dan haram,

[3] Tafsir yang bisa diketahui oleh orang Arab dengan bahasanya,

[4] Tafsir yang hanya diketahui oleh Allah, sehingga Barang siapa ada yang mengaku mengetahuinya maka ia seorang pendusta”.

Wallahu A’lam”[ 9].

Penjelasan Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan

Beliau mengatakan: “Bahkan sebagian orang berbuat melebihi batas dalam menafsirkan Alquran, yaitu dengan menafsirkannya menggunakan falsafah kontemporer dan teori-teori sains. Ini adalah sikap lancang terhadap Alquran. Lalu ketika hasil tafsiran tersebut sesuai dengan pendapat mereka, merekapun menamakan fenomena tersebut dengan ‘Keajaiban ilmiah’. Ini adalah kesalahan besar, kerena tidak boleh menafsirkan Alquran dengan falsafah dan teori-teori demikian, karena semua itu senantiasa berubah-ubah dan saling mendustakan satu dengan lainnya. Sedangkan Alquran itu haq, makna-makna Alquran juga haq, tidak ada pertentangan di dalamnya. Dan tidak berubah makna-maknanya dengan berjalannya waktu. Adapun pemikiran-pemikiran manusia dan info-info yang mereka miliki itu terkadang benar dan terkadang salah. Bahkan salahnya lebih banyak daripada benarnya. Betapa banyak teori yang hari ini dianggap benar namun di masa depan akan didustakan (dianggap salah). Maka tidak boleh mengait-ngaitkan Alquran dengan teori-teori buatan manusia dan ilmu-ilmu buatan manusia yang sifatnya masih zhan, samar, penuh keraguan dan saling bertentangan.

Ilmu tafsir Quran memiliki kaidah-kaidah yang dikenal di kalangan ulama syariat. Tidak boleh melangkahi kaidah-kaidah tersebut dan tidak menafsirkan Alquran dengan tafsiran yang menerapkan kaidah-kaidah tersebut. Di antara kaidah tersebut adalah:

  • Menafsirkan Alquran dengan Alquran. Ayat-ayat yang Mujmal (Umum) diperinci lagi oleh ayat yang lain. Ayat-ayat yang muthlaq disebutkan secara muqayyad pada ayat yang lain.
  • Jika tafsir suatu ayat tidak terdapat pada ayat yang lain, maka cari penafsirannya pada Sunnah Rasulullah ﷺ. Karena As Sunnah adalah penjelas Alquran. Allah Ta’ala berfirman kepada Rasulullah ﷺ:

وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ

“Dan Kami turunkan kepadamu Alquran, agar kamu menerangkan pada umat manusia, apa yang telah diturunkan kepada mereka, dan supaya mereka memikirkan”(QS. An Nahl: 44).

  • Jika tafsir ayat tersebut tidak terdapat pada As Sunnah, maka cari tafsirnya dari penjelasan para Sahabat Nabi. Karena merekalah yang paling mengetahui hal tersebut, dikarenakan para sahabat lah yang membersamai Rasulullah ﷺ dan Rasulullah telah mengajarkan ilmu-ilmu kepada mereka secara langsung termasuk juga mengajarkan Alquran beserta tafsirnya secara talaqqi kepada mereka. Sampai-sampai di antara mereka ada yang mengatakan:

ما كنا نتجاوز عشر آيات حتى نعرف معانيهن والعمل بهن

“Kami tidak melewati 10 ayat sampai kami mengetahui makna-maknanya dan mengamalkannya”

  • Jika tafsir ayat tersebut tidak terdapat pada penjelasan Sahabat Nabi, maka para imam kaum Muslimin merujuk pada penjelasan para tabi’in. Karena mereka menerima pengajaran ilmu dari para sahabat Nabi. Tafsiran yang diperselisihkan oleh para tabi’in dikembalikan juga kepada kaidah-kaidah bahasa Arab yang dengannya Alquran diturunkan.

Penafsiran Alquran tanpa mengikuti empat kaidah di atas, TIDAKLAH DIPERBOLEHKAN. Maka menafsirkan Alquran dengan teori-teori kontemporer, dengan perkataan para dokter, pakar geografi, pakar astronomi, para pakar-pakar di televisi, ini semua batil dan tidak diperbolehkan. Karena ini adalah Tafsir Bir Ra’yi (Penafsiran dengan Opini) dan hukumnya haram dengan keharaman yang fatal. Berdasarkan sabda Nabi ﷺ:

من قال في القرآن برأيه وبما لا يعلم فليتبوأ مقعدهمن النار

“Barang siapa yang berkata tentang Alquran dengan opininya dan dengan tanpa ilmu, maka siapkanlah tempat duduknya di Neraka” (HR. Ibnu Jarir, At Tirmidzi dan An Nasa’i).

Dalam riwayat lain:

من قال في القرآن برأيه فأصاب فقد أخطأ

“Barang siapa siapa yang berkata tentang Alquran sebatas dengan opininya, lalu kebetulan ia benar, maka ia tetap salah” [10].

Penjelasan Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin

Beliau ditanya: “Apakah setiap orang bisa menafsirkan Alquran dengan opininya? Ataukah orang-orang yang ilmunya mapan saja yang dapat melakukannya? Dan apa dalilnya?”.

Beliau menjawab:

“Benar, menafsirkan Alquran dengan sekedar opini saja TIDAKLAH DIPERBOLEHKAN. Baik bagi ulama maupun yang bukan ulama. Dan barang siapa yang berkata tentang Alquran dengan sekedar opininya, maka siapkanlah tempat duduknya di Neraka. Dan yang dimaksud At Tafsir Bir Ra’yi (Menafsirkan dengan Opini) adalah memaknai makna-makna yang ada di dalam Alquran dengan pandangan sendiri, bukan dengan makna yang ditunjukkan oleh teks ayat. Adapun memaknai Alquran dengan makna yang ditunjukkan oleh teks ayat, jika seseorang memang mampu melakukannya karena ia mengetahui bahasa Arab dan ilmu Ushul Fikih dan kaidah-kaidah Syariyyah, maka tidak mengapa ia menafsirkan Alquran sesuai dengan apa yang ditunjukkan oleh teks ayat. Jika ia tidak memiliki ilmu, maka tidak boleh baginya untuk menafsirkan ayat, karena hal ini sangat berbahaya. Karena orang yang menafsirkan Alquran, ia sedang menerjemahkan maksud dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka hendaknya seseorang menjauhi perbuatan menerjemahkan maksud firman Allah, padahal Allah tidak memaksudkan demikian. Karena ini adalah perkara yang fatal dan bahaya sekali” [11].

Kesimpulan

Menafsirkan Alquran semata-mata dengan akal dan opini tanpa landasan ilmu yang benar, hukumnya haram dan terlarang melakukannya. Menafsirkan Alquran yang benar adalah menafsirkannya dengan ayat Alquran yang lain, jika tidak terdapat pada ayat yang lain, maka cari penafsirannya pada As Sunnah, jika tidak terdapat pada As Sunnah, maka cari tafsirnya dari penjelasan para Sahabat Nabi, jika tidak terdapat pada penjelasan sahabat Nabi, maka merujuk pada penjelasan para tabi’in, jika tabi’in berselisih maka diambil pendapat terkuat yang sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan kaidah tafsir.

Semoga yang sedikit ini bermanfaat. Alhamdulillahilladzi bini’matihi tatimmshalihaat.

***

Penyusun: Yulian Purnama

[Artikel Muslim.or.id]

 

Catatan Kaki:

  1. Mabahits fi Ulumil Quran, 351 ↩
  2. Mabahits fi Ulumil Quran, 351 ↩
  3. Mabahits fi Ulumil Quran, 351 ↩
  4. At Tirmidzi 2950. Hadis ini diperslisihkan statusnya oleh para muhadditsin. At Tirmidzi berkata: “Hasan Shahih”. Namun yang tepat, hadis ini lemah karena terdapat perawi Abdul A’la Ats Tsa’labi yang statusnya dha’iful hadis. Hadis ini didhaifkan oleh Al Albani dalam Silsilah Ahadis Dha’ifah (1783), Ahmad Syakir dalam Ta’liq Musnad Ahmad (3/341), dan para muhaqqiq lainnya. Namun hadis ini Shahih secara mauquf dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu’anhu, dan dihukumi marfu’ karena isinya adalah hal yang tidak ada ruang untuk berijtihad. Sehingga hadis ini bisa digunakan untuk berhujjah. Selain itu, Syaikh Ibnu Baz dalam Fawaid Ilmiyah min Durus Baziyah (8/111) mengatakan: “Hadis ini terdapat kelemahan, namun maknanya benar” ↩
  5. Tirmidzi no. 2952. Hadis ini juga diperselisihkan statusnya, dihasankan oleh sebagian ulama, namun yang tepat ia adalah hadis yang lemah karena terdapat Suhail bin Abi Hazm, perawi yang lemah.Syaikh Ibnu Baz dalam Fawaid Ilmiyah min Durus Baziyah (8/111) mengatakan: “Mengenai derajat hadis ini ada perselisihan yang ringan, namun maknanya benar” ↩
  6. Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf, dinukil dari Mabahits fi Ulumil Quran, 352 ↩
  7. Diriwayatkan oleh Malik dalam Al Muwatha, dinukil dari Mabahits fi Ulumil Quran, 352 ↩
  8. Tafsir Ath Thabari 1/78-79, dinukil dari dinukil dari Mabahits fi Ulumil Quran, 352-353 ↩
  9. Sumber: http://fatwa.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=67614 ↩
  10. Sumber: http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=131224 ↩
  11. Sumber: http://islamport.com/w/ftw/Web/2190/757.htm ↩

 

Sumber: http://muslim.or.id/28810-al-quran-bebas-tafsir.html