بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
PUASA ARAFAH IKUT SIAPA?
Oleh: Abdullah Sya’roni hafizhahullah
Di antara rahmat Allah ﷻ kepada hamba-hamba-Nya adalah Allah menetapkan untuk setiap ibadah wajib, ada ibadah sunnah yang sejenis dengannya, agar seorang Mukmin bertambah imannya dan bertambah tinggi derajatnya melalui amalan-amalan sunnah itu.
– Salat ada yang wajib ada yang sunnah
– Haji ada yang wajib (sekali seumur hidup) dan selebihnya adalah sunnah.
– Sedekah ada yang wajib (zakat) ada sedekah sunnah.
– Demikian pula dengan puasa, ada yang wajib dan ada yang sunnah. Di antara puasa sunnah yang tidak diragukan lagi keutamaannya adalah puasa Arafah. Nabi ﷺ bersabda:
صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِي بَعْدَهُ
“Puasa hari Arafah aku berharap kepada Allah agar penebus (dosa) setahun sebelumnya dan setahun sesudahnya” [HR Muslim no 197]
Penghapusan dosa di tahun sesudahnya maksudnya adalah, orang itu diberi taufik untuk tidak melakukan perbuatan dosa. Atau apabila ia jatuh dalam perbuatan dosa, maka ia diberi taufik untuk melakukan perkara-perkara yang dengannya akan menghapuskan dosanya.
Para ulama telah berbeda pendapat dalam hal pelaksanaan ibadah puasa Arafah, apabila 9 Zulhijah di Indonesia berbeda dengan Arab Saudi, seperti yang terjadi pada tahun ini.
Jika yang Nabi ﷺ katakan dalam hadis adalah (“Puasa hari Arafah adalah puasa di mana para jamaah haji sedang wukuf di padang Arafah”), tentunya ini adalah nash yang sangat jelas, dan tentu para ulama tidak akan berbeda pendapat dalam memahami redaksi tersebut.
Akan tetapi kenyataannya yang Nabi ﷺ katakan adalah صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ “Puasa hari Arafah…”. Di sinilah muncul perbedaan dalam memahami hadis tersebut, apakah maksudnya adalah:
– Hari di mana para jamaah haji sedang wukuf di Arafah, ataukah yang dimaksud adalah
– Hari tanggal 9 Zulhijah, yang dinamakan dengan Hari Arafah?
Puasa Arafah, apakah tergantung wukufnya jamaah haji, ataukah berdasarkan rukyat Hilal di negeri masing-masing?
Ternyata khilaf ini sudah ada sejak zaman ulama terdahulu.
Pendapat pertama: Waktu puasa Arafah disesuaikan dengan wukufnya jamaah haji. Ini adalah pendapat Jumhur/ Mayoritas ulama sekarang, seperti Syaikh Bin Baaz rahimahullah, Al-Lajnah Ad-Daaimah, dan Syaikh Abdul Muhsin Al-‘Abbad Al-Badr hafizahullah.
Kedua: Waktu puasa Arafah di sesuaikan dengan rukyat hilal di negeri masing-masing. Dan inilah pendapat yang mashyur dari Asy-Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-‘Utsaimin rahimahullah, yang kemudian diikuti oleh murid-murid senior beliau seperti Asy-Syaikh Kholid Al-Muslih, dan Asy-Syaikh Kholid Al-Musyaiqih.
Adapun penulis lebih condong kepada pendapat kedua yang menyatakan, bahwa penentuan hari Arafah dikembalikan kepada rukyat di negeri masing-masing, BUKAN TERGANTUNG wukufnya jamaah haji di Arafah. Puasa Arafah itu terkait dengan waktu, dan tidak terkait dengan tempat. Alasannya:
Pertama: Puasa Arafah telah disyariatkan jauh sebelum Rasulullah ﷺ melaksanakan ibadah haji, karena ibadah haji baru disyariatkan pada tahun ke 10 Hijriyah.
Pada tahun ke 2 H, ke 3 H, ke 4 H dan ke 5 H Rasulullah ﷺ dan para sahabat telah melaksanakan puasa di tanggal 9 Zulhijah, dan itulah puasa Arafah. Padahal tidak ada seorang pun yang melaksanakan wukuf di Arafah.
Kemudian Rasulullah ﷺ menentukan puasa Arafah hanya dengan rukyat hilal penduduk Madinah, dan tidak dikaitkan dengan peristiwa wukuf di padang Arafah.
Kedua: Kita bayangkan bagaimana kondisi kaum Muslimin di zaman awal Islam dulu, saat media informasi belum seperti sekarang?
Jika puasa Arafah harus sesuai dengan wukufnya jamaah haji, bagaimanakah cara untuk mencari tahu, kapan waktu wukuf jamaah haji di Arafah?
Bagaimanakah puasa Arafahnya penduduk negeri-negeri yang jauh dari Mekah seperti Indonesia, India, Cina dll 200 tahun yang lalu? Apalagi 800 atau 1000 tahun yang lalu?
Oleh karena itu, tidak ada satu pun riwayat yang menyebutkan, bahwasanya Rasulullah ﷺ ketika di Madinah bersungguh-sungguh untuk mencari tahu, kapan waktu wukuf jamaah haji di Arafah.
Jadi Nabi ﷺ berpuasa Arafah di Madinah selama bertahun-tahun, tanpa mengacu kepada ada atau tidak adanya wukuf di Arafah.
Jika di Madinah sudah masuk tanggal 9 Zulhijah menurut hitungan mereka, maka beliau ﷺ bersama para sahabat berpuasa Arafah, dan tidak memakai rukyat hilal penduduk Mekah.
Ketiga: Jika memang yang ditujukkan adalah menyesuaikan dengan waktu wukufnya para jamaah haji di padang Arafah, maka bagaimanakah cara berpuasanya orang-orang di Sorong Irian Jaya, yang perbedaan waktu antara Mekah dan Sorong adalah 6 jam?
Jika penduduk Sorong harus berpuasa pada hari yang sama misalnya, maka jika ia berpuasa sejak pagi hari (misalnya jam 6 pagi WIT), maka di Mekah belum wukuf tatkala itu, karena di sana masih jam 12 malam.
Dan tatkala jamaah haji baru mulai wukuf, misalnya jam 12 siang waktu Mekah, maka di Sorong sudah jam 6 Magrib. Lantas bagaimana bisa ikut serta menyesuaikan puasanya dengan waktu wukuf??
Keempat: Jika seandainya terjadi musibah besar, malapetaka atau bencana atau peperangan, sehingga pada tahun itu tidak ada pelaksanaan haji, sehingga tidak ada yang melaksanakan wukuf pada tahun tersebut, maka apakah puasa Arafah juga tidak bisa dikerjakan karena tidak ada jamaah yang wukuf di padang Arafah?
Jawabannya tentu tetap boleh dilaksanakan puasa Arafah, meskipun tidak ada yang wukuf di padang Arafah. Hal ini menunjukkan, bahwa puasa Arafah itu terkait dengan waktu (9 Zulhijah berdasarkan rukyat negeri masing-masing, dan tidak terkait dengan wukufnya jamaah haji di Arafah.
Intinya permasalahan ini adalah permasalahan khilafiyah. Meskipun penulis lebih condong kepada pendapat kedua, yaitu setiap negeri menyesuaikan 9 Zulhijah berdasarkan rukyat hilalnya masing-masing negeri. Akan tetapi sebagaimana kita ketahui bersama, bahwasanya pendapat pertama pun pendapat yang kuat dan dipilih oleh Mayoritas Ulama Kontemporer.
Permasalahan seperti ini sangatlah tidak pantas untuk dijadikan ajang untuk saling memaksakan pendapat, apalagi menuding dengan tuduhan kesalahan manhaj atau kesalahan akidah dan sebagainya.
Semoga Allah ﷻ memersatukan kita di atas Ukhuwwah Islamiyah yang selalu berusaha untuk dikoyak oleh setan dan para pengikutnya. Hendaknya kita beradab dengan adab para ulama dalam permasalahan khilafiyah seperti ini. Karena sebagaimana diketahui bersama, persatuan adalah sesuatu yang sangat ditekankan dalam syariat Islam.
Di antara ibadah pokok di bulan Zulhijah adalah menyembelih kurban. Ini termasuk amalan yang agung, karena Allah ﷻ menggandengkan perintah untuk berkurban dengan perintah untuk menegakkan salat
– فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
– قُلْ إِنَّ صَلاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، لا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ ( الأنعام:162-163)
Kenapa penyebutan ibadah kurban sering digandengkan dengan ibadah salat? Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:
– “Ibadah dengan anggota badan yang paling utama adalah salat,
– sedangkan ibadah dengan harta yang paling utama adalah berkurban.”
Menyembelih hewan kurban itu lebih utama dibandingkan sedekah dengan uang, kenapa?
– Pertama: Karena dengan berkurban, berarti dia telah menggabungkan antara ibadah berupa penyembelihan dan dagingnya dapat disedekahkan.
– Kedua: Karena ibadah Kurban ini memiliki waktu yang terbatas, yaitu hanya pada tanggal 10 Zulhijah dan Hari Tasyrik (tanggal 11, 12, dan 13 Zulhijah).
Adapun sedekah memiliki waktu yang lapang. Kapan saja seseorang hendak bersedekah, maka tidak ada waktu yang membatasinya.
Oleh karena itu …
§ Jangan sampai enggan berkurban karena takut harta berkurang.
§ Jangan sampai enggan berkurban karena khawatir akan kurang modal usaha.
§ Jangan sampai enggan berkurban karena khawatir tidak bisa hidupi keluarga lagi.
§ Justru dengan berkurban harta semakin berkah, usaha semakin mudah, segala kesulitan akan terangkat, lebih-lebih kesulitan di Akhirat kelak.
Terbukti, berkurban dan bersedekah tidak pernah menjadikan orang itu miskin. Apakah Anda pernah melihat ada orang yang jatuh bangkrut dan miskin gara-gara ikut kurban?
Justru yang pelit dengan hartanya yang bisa merugi dan jatuh pailit. Ingatlah yang Allah janjikan:
وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهُ وَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ
“Dan barang apa saja yang kamu infakkan, maka Allah akan menggantinya. Dan Dia-lah Pemberi rezeki yang sebaik-baiknya.” [QS. Saba’: 39]
Ingatlah sabda Nabi ﷺ:
مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ
“Sedekah tidaklah mengurangi harta.” [HR. Muslim no. 2558]
Maka berkurbanlah, jika Anda memiliki kemampuan. Karena berkurban termasuk bentuk pengagungan terhadap Allah ﷻ:
وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ
“Barang siapa yang mengagungkan syiar-syiar Allah, sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan yang ada di dalam hati.” [QS. Al-Hajj: 32]
Inilah syiar tauhid. Jika ada seseorang yang menyembelih kurban karena Allah ﷻ, artinya dia sedang mengagungkan tauhid kepada Allah ﷻ.
Semoga Allah ﷻ memberikan taufik dan hidayah-Nya kepada kita semua untuk selalu menapaki jalan yang lurus, dan memudahkan kita semua kepada pintu ketaatan, serta menjadikan hari-hari kita di bulan Zulhijah ini sebagai penggugur dosa dan penyebab datangnya rahmat dan rida Allah. Aamiin.
Mari sebarkan dakwah sunnah dan meraih pahala. Ayo di-share ke kerabat dan sahabat terdekat! Ikuti kami selengkapnya di:
WhatsApp: +61 (450) 134 878 (silakan mendaftar terlebih dahulu)
Website: https://nasihatsahabat.com/
Email: [email protected]
Twitter: @NasihatSalaf
Facebook: https://www.facebook.com/nasihatsahabatcom/
Instagram: NasihatSahabatCom
Telegram: https://t.me/nasihatsahabat
Pinterest: https://id.pinterest.com/nasihatsahabat
Leave A Comment