بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

14 AMALAN YANG KELIRU DI BULAN RAMADAN

Berikut adalah beberapa kesalahan yang tersebar luas di tengah-tengah kaum Muslimin, yang sering dilakukan pada waktu Ramadan.
 
1. Mengkhususkan Ziarah Kubur Menjelang Ramadan
 
Tidaklah tepat keyakinan bahwa menjelang Ramadan adalah waktu utama untuk menziarahi kubur orang tua atau kerabat (yang dikenal dengan istilah “Nyadran”). Kita boleh setiap saat melakukan ziarah kubur, agar hati kita semakin lembut karena mengingat kematian. Namun masalahnya adalah jika seseorang mengkhususkan ziarah kubur pada waktu tertentu, dan meyakini bahwa menjelang Ramadan adalah waktu utama untuk Nyadran atau Nyekar. Ini sungguh suatu kekeliruan, karena tidak ada dasar dari ajaran Islam yang menuntunkan hal ini.
 
2. Padusan, Mandi Besar, atau Keramasan Menyambut Ramadan
 
Tidaklah tepat amalan sebagian orang yang menyambut Ramadan dengan mandi besar atau keramasan terlebih dahulu. Amalan seperti ini juga tidak ada tuntunannya sama sekali dari Nabi ﷺ. Lebih parahnya lagi, mandi semacam ini (yang dikenal dengan “Padusan”) ada juga yang melakukannya campur baur laki-laki dan perempuan dalam satu tempat pemandian. Ini sungguh merupakan kesalahan yang besar, karena tidak mengindahkan aturan Islam. Bagaimana mungkin Ramadan disambut dengan perbuatan yang bisa mendatangkan murka Allah?!
 
3. Menetapkan Awal Ramadan dengan Hisab
 
Nabi ﷺ bersabda:
 
إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ ، لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسِبُ ,الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا
 
“Sesungguhnya kami adalah umat yang buta huruf. Kami tidak memakai kitabah (tulis-menulis), dan tidak pula memakai hisab (dalam penetapan bulan). Bulan itu seperti ini (beliau berisyarat dengan bilangan 29) dan seperti ini (beliau berisyarat dengan bilangan 30).” [HR. Bukhari dan Muslim]
I
bnu Bazizah mengatakan:
”Madzhab ini (yang menetapkan awal Ramadan dengan hisab) adalah madzhab bathil dan syariat ini telah melarang mendalami ilmu nujum (hisab), karena ilmu ini hanya sekadar perkiraan (dzon), dan bukanlah ilmu yang pasti (qoth’i), atau persangkaan kuat. Maka seandainya suatu perkara (misalnya penentuan awal Ramadan, pen) hanya dikaitkan dengan ilmu hisab ini, maka agama ini akan menjadi sempit, karena tidak ada yang menguasai ilmu hisab ini kecuali sedikit sekali.” [Fathul Baari, 6/156]
 
4. Mendahului Ramadan dengan Berpuasa Satu atau Dua Hari Sebelumnya
 
Rasulullah ﷺ bersabda:
 
لاَ يَتَقَدَّمَنَّ أَحَدٌ الشَّهْرَ بِيَوْمٍ وَلاَ يَوْمَيْنِ إِلاَّ أَحَدٌ كَانَ يَصُومُ صِيَامًا قَبْلَهُ فَلْيَصُمْهُ
 
“Janganlah kalian mendahului Ramadan dengan berpuasa satu atau dua hari sebelumnya, kecuali bagi seseorang yang terbiasa mengerjakan puasa pada hari tersebut, maka puasalah.” [HR. Tirmidzi dan disahihkan oleh Al Albani dalam Sahih wa Dho’if Sunan Nasa’i]
 
Pada hari tersebut juga dilarang untuk berpuasa, karena hari tersebut adalah hari yang meragukan. Dan Nabi ﷺ bersabda:
 
مَنْ صَامَ الْيَوْمَ الَّذِي يُشَكُّ فِيهِ فَقَدْ عَصَى أَبَا الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
 
“Barang siapa berpuasa pada hari yang diragukan, maka dia telah mendurhakai Abul Qasim (yaitu Rasulullah ﷺ, pen).” [HR. Abu Daud dan Tirmidzi, dikatakan Sahih oleh Syaikh Al Albani dalam Sahih wa Dho’if Sunan Tirmidzi]
 
5. Melafalkan Niat “Nawaitu Shouma Ghodin…”
 
Sebenarnya TIDAK ADA tuntunan sama sekali untuk melafalkan niat semacam ini, karena tidak adanya dasar dari perintah atau perbuatan Nabi ﷺ, begitu pula dari para sahabat. Letak niat sebenarnya adalah dalam hati, dan bukan di lisan. An Nawawi rahimahullah, ulama besar dalam Madzhab Syafi’i, mengatakan:
لَا يَصِحُّ الصَّوْمَ إِلَّا بِالنِّيَّةِ وَمَحَلُّهَا القَلْبُ وَلَا يُشْتَرَطُ النُّطْقُ بِلاَ خِلَافٍ
 
“Tidaklah sah puasa seseorang kecuali dengan niat. Letak niat adalah dalam hati. Tidak disyaratkan untuk diucapkan, dan pendapat ini tidak terdapat perselisihan di antara para ulama.” [Rowdhotuth Tholibin, I/268, Mawqi’ul Waroq-Maktabah Syamilah]
 
6. Membangunkan “Sahur … Sahur”
 
Sebenarnya Islam sudah memiliki tatacara sendiri untuk menunjukkan waktu bolehnya makan dan minum, yaitu dengan azan pertama sebelum azan Subuh. Sedangkan azan kedua ketika azan Subuh adalah untuk menunjukkan diharamkannya makan dan minum. Inilah cara untuk memberitahu kaum Muslimin, bahwa masih diperbolehkan makan dan minum, dan memberitahukan berakhirnya waktu sahur. Sehingga tidak tepat jika membangunkan kaum Muslimin dengan meneriakkan “sahur … sahur ….” baik melalui speaker atau pun datang ke rumah-rumah seperti mengetuk pintu.
 
Cara membangunkan seperti ini sungguh tidak ada tuntunannya sama sekali dari Nabi ﷺ, juga tidak pernah dilakukan oleh generasi terbaik dari umat ini. Jadi hendaklah yang dilakukan adalah melaksanakan dua kali azan. Azan pertama untuk menunjukkan masih dibolehkannya makan dan minum. Azan kedua untuk menunjukkan diharamkannya makan dan minum. Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu memiliki nasihat yang indah, “Ikutilah (petunjuk Nabi ﷺ, pen. Janganlah membuat bidah, karena (sunnah) itu sudah cukup bagi kalian.” [Lihat pembahasan at Tashiir di Al Bida’ Al Hawliyah, hal. 334-336]
 
7. Pensyariatan Waktu Imsak (Berhenti makan 10 atau 15 menit sebelum waktu Subuh)
 
Rasulullah ﷺ bersabda:
 
كُلُوا وَاشْرَبُوا وَلاَ يَهِيدَنَّكُمُ السَّاطِعُ الْمُصْعِدُ فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَعْتَرِضَ لَكُمُ الأَحْمَرُ
 
“Makan dan minumlah. Janganlah kalian menjadi takut oleh pancaran sinar (putih) yang menjulang. Makan dan minumlah, sehingga tampak bagi kalian warna merah yang melintang.” [HR. Tirmidzi, Abu Daud, Ibnu Khuzaimah. Dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abu Daud, Syaikh Al Albani mengatakan hadis ini Hasan Sahih]
 
Maka hadis ini menjadi dalil bahwa waktu Imsak (menahan diri dari makan dan minum) adalah sejak terbit Fajar Shodiq, yaitu ketika azan Subuh dikumandangkan, dan bukanlah 10 menit sebelum azan Subuh. Inilah yang sesuai dengan petunjuk Allah dan Rasul-Nya ﷺ.
 
Dalam hadis Anas dari Zaid bin Tsabit bahwasanya beliau pernah makan sahur bersama Nabi ﷺ, kemudian beliau ﷺ berdiri untuk menunaikan salat. Kemudian Anas berkata, “Berapa lama jarak antara azan Subuh dan sahur kalian?” Kemudian Zaid berkata, “Sekitar 50 ayat.” [HR. Bukhari dan Muslim]
 
Lihatlah berapa lama jarak antara sahur dan azan? Apakah satu jam?! Jawabnya: Tidak terlalu lama. Bahkan sangat dekat dengan waktu azan Subuh, yaitu sekitar membaca 50 ayat Alquran (sekitar 10 atau 15 menit)
 
8. Doa Ketika Berbuka Puasa: “Allahumma Laka Shumtu wa Bika Aamantu…”
 
Ada beberapa riwayat yang membicarakan doa ketika berbuka puasa. Di antaranya adalah dalam Sunan Abu Daud no. 2357, Ibnus Sunni dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah no. 481 dan no. 482. Namun hadis-hadis yang membicarakan amalan ini adalah hadis-hadis yang lemah. Di antara hadis tersebut ada yang mursal yang dinilai lemah oleh para ulama pakar hadis. Juga ada perawi yang meriwayatkan hadis tersebut yang dinilai lemah dan pendusta [Lihat Dho’if Abu Daud no. 2011 dan catatan kaki Al Adzkar yang ditakhrij oleh ‘Ishomuddin Ash Shobaabtiy).
 
Adapun doa yang dianjurkan ketika berbuka puasa adalah:
 
ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ
 
“Dzahabazh zhoma-u wabtallatil ‘uruqu wa tsabatal ajru insya Allah
 
Artinya:
Rasa haus telah hilang, dan urat-urat telah basah, dan pahala telah ditetapkan insya Allah” [HR. Abu Daud. Dikatakan Hasan oleh Syaikh Al Albani dalam Sahih wa Dho’if Sunan Abi Daud]
 
9. Zikir Jamaah Dengan Dikomandoi dalam Salat Tarawih dan Salat Lima Waktu
 
Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah tatkala menjelaskan mengenai zikir setelah salat, “Tidak diperbolehkan para jamaah membaca zikir secara berjamaah. Akan tetapi yang tepat adalah setiap orang membaca zikir sendiri-sendiri tanpa dikomandai oleh yang lain. Karena zikir secara berjamaah (bersama-sama) adalah sesuatu yang tidak ada tuntunannya dalam syariat Islam yang suci ini.” [Majmu Fatawa Ibnu Baz, 11/189]
 
10. “Ash Sholaatul Jaami’ah…” untuk Menyeru Jamaah dalam Salat Tarawih
 
Ulama-ulama Hambali berpendapat, bahwa tidak ada ucapan untuk memanggil jamaah dengan ucapan “Ash Sholaatul Jaami’ah…” Menurut mereka, ini termasuk perkara yang diada-adakan (baca: bidah). [Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/9634, Asy Syamilah]
 
11. Bubar Terlebih Dahulu Sebelum Imam Selesai Salat Malam
 
Nabi ﷺ bersabda:
 
إِنَّهُ مَنْ قَامَ مَعَ الإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةً
 
“Siapa yang salat bersama imam sampai ia selesai, maka ditulis untuknya pahala qiyam satu malam penuh.” [HR. Ahmad dan Tirmidzi. Syaikh Al Albani dalam Al Irwa’ 447 mengatakan bahwa hadis ini Sahih]
 
Jika imam melaksanakan Salat Tarawih ditambah Salat Witir, makmum pun seharusnya ikut menyelesaikan bersama imam. Itulah yang lebih tepat.
 
12. Perayaan Nuzulul Quran
 
Perayaan Nuzulul Quran sama sekali tidak pernah dicontohkan oleh Nabi ﷺ, juga tidak pernah dicontohkan oleh para sahabat. Para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah mengatakan:
 
لَوْ كَانَ خَيرْاً لَسَبَقُوْنَا إِلَيْهِ
 
“Seandainya amalan tersebut baik, tentu mereka (para sahabat) sudah mendahului kita untuk melakukannya.”
 
Inilah perkataan para ulama pada setiap amalan atau perbuatan yang tidak pernah dilakukan oleh para sahabat. Mereka menggolongkan perbuatan semacam ini sebagai bidah. Karena para sahabat tidaklah melihat suatu kebaikan, kecuali mereka akan segera melakukannya. [Lihat Tafsir Alquran Al ‘Azhim, pada tafsir surat Al Ahqof ayat 11]
 
13. Membayar Zakat Fitri dengan Uang
 
Syaikh Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz mengatakan:
“Seandainya mata uang dianggap sah dalam membayar Zakat Fitri, tentu Nabi ﷺ akan menjelaskan hal ini. Alasannya, karena tidak boleh bagi beliau ﷺ mengakhirkan penjelasan, padahal sedang dibutuhkan. Seandainya beliau ﷺ membayar Zakat Fitri dengan uang, tentu para sahabat radhiyallahu ‘anhum akan menukil berita tersebut. Kami juga tidak mengetahui ada seorang sahabat Nabi ﷺ yang membayar Zakat Fitri dengan uang. Padahal para sahabat adalah manusia yang paling mengetahui Sunnah (ajaran) Nabi ﷺ, dan orang yang paling bersemangat dalam menjalankan sunnahnya. Seandainya ada di antara mereka yang membayar Zakat Fitri dengan uang, tentu hal ini akan dinukil, sebagaimana perkataan dan perbuatan mereka yang berkaitan dengan syariat lainnya dinukil (sampai pada kita).” [Majmu Fatawa Ibnu Baz, 14/208-211]
 
14. Tidak Mau Mengembalikan Keputusan Penetapan Awal Ramadan dan Hari Raya kepada Pemerintah
 
Al Lajnah Ad Da’imah, komisi Fatwa di Saudi Arabia mengatakan:
“Jika di negeri tersebut terjadi perselisihan pendapat (tentang penetapan 1 Syawal), maka hendaklah dikembalikan pada keputusan penguasa Muslim di negeri tersebut. Jika penguasa tersebut memilih suatu pendapat, hilanglah perselisihan yang ada, dan setiap Muslim di negeri tersebut wajib mengikuti pendapatnya.” [Fatawa no. 388]
 
Demikian beberapa kesalahan atau kekeliruan pada waktu Ramadan yang mesti kita tinggalkan, dan mesti kita nasihati saudara kita yang lain untuk meninggalkannya. Tentu saja nasihat ini dengan lemah lembut dan penuh hikmah.
 
Semoga Allah memberi kita petunjuk, ketakwaan, sifat ‘afaf (menjauhkan diri dari hal yang tidak diperbolehkan), dan memberikan kita kecukupan. Semoga Allah memerbaiki keadaan setiap orang yang membaca risalah ini.
Wa shallallahu wa salaamu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi ajma’in. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin.
 
***
 
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
 
 
Ikuti kami selengkapnya di:
WhatsApp: +61 (450) 134 878 (silakan mendaftar terlebih dahulu)
Website: https://nasihatsahabat.com/
Twitter: @NasihatSalaf
Facebook: https://www.facebook.com/nasihatsahabatcom/
Instagram: NasihatSahabatCom
Telegram: https://t.me/nasihatsahabat
Pinterest: https://id.pinterest.com/nasihatsahabat