بسم الله الرحمن الرحيم

#ManhajSalaf
MENGAPA SAYA KELUAR DARI WAHDAH ISLAMIYAH?

  • Penulis: Abu Abdillah Sofyan Chalid bin Idham Ruray (Mantan Kader & Da’i Wahdah Islamiyah Makassar)
  • Editor: Al-Ustadz Abdul Qodir
  • Muroja’ah: Al-Ustadz Dzulqarnain

Kami akan menyebutkan beberapa penyimpangan yang saya lihat sendiri selama menjadi santri di STIBA al-Wahdah al-Islamiyah Makassar dalam kurun waktu antara tahun (+) 2001-2005, dan tahun 2005-2007 masih ber-intisab ke WI, serta sempat mengisi beberapa taklim dan dauroh WI di Makassar dan di daerah. Berikut beberapa penyimpangan tersebut:
Pertama: Kurangnya Kecemburuan kepada Manhaj yang Hak
Perkara inilah yang paling mendorong saya untuk keluar dari WI, sebab keadaan batin saya sangat sulit menerima, untuk terus bersama dan berta’awun dalam dakwah, bersama orang-orang yang menganggap ringan berteman, bermajelis, menjadikan orang-orang dari kalangan hizbiyyun, atau orang yang dikenal memiliki manhaj yang menyimpang dari Manhaj Salaf, sebagai penceramah dalam acara-acara mereka.
Meskipun sebenarnya ini bukan semata-mata permasalahan batin, akan tetapi karena perintah Allah ta’ala untuk menjauhi orang-orang yang menyimpang. Bahkan telah menjadi Ijma’ Salaf untuk menghindari orang-orang yang dikhawatirkan penyimpangannya. Allah ta’ala berfirman:

وَإِذَا رَأَيْتَ الَّذِينَ يَخُوضُونَ فِي آَيَاتِنَا فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ وَإِمَّا يُنْسِيَنَّكَ الشَّيْطَانُ فَلَا تَقْعُدْ بَعْدَ الذِّكْرَى مَعَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ

“Dan apabila kamu melihat orang-orang memerolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka, sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika setan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zalim itu, sesudah teringat (akan larangan itu)”. (QS. Al-An’am: 68)
Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah menerangkan: “Dalam ayat ini terkandung nasihat yang agung bagi mereka yang menolerir duduk bermajelis dengan al-mubtadi’ah, orang-orang yang suka mengubah-ubah perkataan Allah Subhanahu wa ta’ala, memermainkan Kitab-Nya dan Sunnah Rasul-Nya, serta mengembalikan pemahaman Alquran dan as-Sunnah kepada hawa nafsu mereka yang menyesatkan dan bid’ah mereka yang rusak. Jadi, jika seorang tidak mampu mengingkari atau mengubah kebid’ahan mereka, paling tidak dia harus meninggalkan majelis mereka, dan tentu ini mudah baginya. Tidak susah”.
Kemudian Al-Imam Asy-Syaukani menjelaskan, di antara bahaya duduk bersama orang-orang yang menyimpang: “Terkadang orang-orang yang menyimpang tersebut menjadikan kehadiran seseorang bersama mereka (meskipun orang tersebut bersih dari kebid’ahan yang mereka lakukan) sebagai syubhat. Dengannya mereka mengaburkan (permasalahan) atas orang-orang awam. Jadi, dalam kehadirannya (di majelis mereka), terdapat tambahan mudharat dari sekedar mendengarkan kemungkaran”. (Lihat Fathul Qodir, 2/185).
Berikut ini adalah nukilan beberapa atsar yang menunjukkan sikap para salaf dalam bermajelis dengan Ahli Bid’ah, yang dikutip dari Kitab Lamud Durril Mantsur Minal Qoulil Ma’tsur (hal. 36-37):
“Dua orang dari kalangan pengikut hawa nafsu mendatangi Ibnu Sirin seraya berkata: “Wahai Abu Bakr, bolehkah kami menyampaikan satu hadis kepadamu?”
Beliau menjawab: “Tidak. Keduanya berkata lagi: Kalau begitu kami bacakan satu ayat Alquran kepadamu?” Beliau menjawab: “Tidak, kalian pergi dari sini atau saya yang pergi”. Lalu keduanya pun keluar. Sebagian orang berkata: “Wahai Abu Bakr, mengapa engkau tidak mau mereka membacakan ayat Alquran kepadamu?” Beliau menjawab: “Sungguh saya khawatir mereka bacakan kepadaku satu ayat, lalu mereka selewengkan maknanya, sehingga tertanam dalam hatiku”. [HR. Ad Darimy (1/120/no. 397)]
Sallam rahimahullah berkata: “Seorang pengikut kesesatan berkata kepada Ayyub: “Saya ingin bertanya kepadamu tentang satu kalimat?” Maka Ayyub segera berpaling dan berkata: “Tidak, meski setengah kalimat, meski setengah kalimat” Beliau mengisyaratkan jarinya”. [HR. Ibnu Baththoh dalam Al-Ibanah (2/447 no. 402), Al-Lalika’iy dalam Syarh Ushul Al-I’tiqod (1/143/no. 291), Abdullah bin Ahmad dalam As Sunnah (1/138/no. 101), dan Ad Darimy dalam Sunan-nya (1/121 no. 398)]
Al Fudlail bin Iyyadhrahimahullah berkata: “Jauhilah olehmu duduk dengan orang yang dapat merusak hatimu (akidahmu). Dan janganlah engkau duduk bersama pengekor hawa nafsu (Ahli Bid’ah), karena sungguh saya khawatir kamu terkena murka Allah”. [HR. Ibnu Baththoh dalam Al-Ibanah(2/462-463 no. 451-452), dan Al-Lalika’iy dalam Syarhul Ushul (262)]
Mungkin Anda bertanya dalam hati: “Apa buktinya bahwa orang-orang WI biasa bermajelis dengan Ahli Bid’ah?” Menjawab pertanyaan ini, kami akan sebutkan beberapa bukti [1] yang saya ingat. Bukti-bukti ini menunjukkan perbedaan jelas antara Manhaj Salaf dengan Manhaj WI:

  1. Pernah diadakan seminar oleh Wahdah Islamiyah, bekerja sama dengan MPM Unhas (underbow-nya WI di Unhas) tentang TERORISME. Hadir sebagai pembicara, di antaranya: Ustadz Muhammad Ikhwan Abdul Jalil, Lc, Ustadz Kholid Basalamah, Lc dan seorang pembicara dari kalangan tokoh Ikhwanul Muslimin (IM). Selanjutnya kami sebut dengan “Tokoh Ikhwan”[2]

Dialog ini bukanlah untuk mengungkap fikrah terorisme yang ada pada IM. Bahkan ada beberapa syubhat yang dilontarkan oleh si Tokoh Ikhwan tersebut, dan seakan diamini oleh Ustadz Muh. Ikhwan Abdul Jalil, Lc, di antaranya:
Si Tokoh Ikhwan mengatakan: bahwa muzhoharoh (demonstrasi) [3] bukanlah bid’ah [4]. Bahkan harus dilakukan, demi mendukung ‘Suara kebenaran’ di dewan. Pernyataan ini seingat saya tidak ada sedikit pun bantahannya dari Ustadz Ikhwan. Malah ia mengomentarinya dengan mengatakan: “Kita sesama Ahlus Sunnah harus saling ifadah dan istifadah”. Pada saat itu jelas sekali yang ia maksudkan dengan sesama Ahlus Sunnah adalah WI dan IM. Di sini saya teringat penukilan salah seorang kader senior WI, bahwasannya Ustadz Jahada Mangka, Lc juga pernah mengatakan: “Yang paling dekat dengan WI (Wahdah Islamiyah) adalah IM (Ikhwanul Muslimin)”.
Ketika Ustadz Ikhwan mengatakan, bahwa Ahlus Sunnah tidak akan pernah bersatu dengan Syi’ah sampai mereka bertobat, maka dijawab oleh si Tokoh Ikhwan, “Kalau begitu Syi’ah juga bisa mengatakan: kita tidak akan pernah bersatu dengan Ahlus Sunnah, sampai mereka bertobat”. Lalu si Tokoh Ikhwan melanjutkan: “Hendaklah kita duduk satu meja”. Jelas sekali yang dia inginkan penggabungan antara Sunnah dan Syi’ah. Namun sayang sekali syubhatnya ini, seingat saya, tidak dibantah oleh Ustadz Ikhwan.
Namun yang ingin saya buktikan di sini bukan masalah syubhat-syubhat yang tidak bisa dijawab [5]. Tetapi perbuatan WI menjadikan orang tersebut sebagai pembicara, artinya: Orang itu dijadikan sebagai sumber ilmu dalam seminar tersebut. Apalagi tidak ada sedikit pun bantahan dari pihak WI untuk menyingkap fikrah terorisme yang ada pada IM.
Pada acara ini juga Ustadz Ikhwan memuji Safar al-Hawali sebagai seorang Ulama Ahlus Sunnah, dan secara halus menyalahkan pemerintah yang memenjarakannya (Pemerintah Saudi Arabia-ed). Padahal memang ia pantas dipenjara, karena telah melakukan beberapa tindakan yang menimbulkan fitnah antara pemerintah Saudi dengan rakyatnya dalam beberapa tulisan dan ceramahnya, sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh bin Baaz, rahimahullah, dalam suratnya ke Amir Nayif bin Abdil Aziz [6]. Justru Ustadz Muh. Ikhwan yang harus disalahkan, karena ia telah membela orang yang salah (yakni, Safar Al-Hawaliy)

  1. Pernah diadakan dauroh oleh cabang WI di Ternate, yang juga tampak hadir waktu itu Ustadz Muhammad Ikhwan Abdul Jalil, Lc. Dalam undangan yang tersebar terdapat jadwal pemateri, di antaranya seorang “ikhwani” (IM). Orang ini juga dijadwalkan untuk mengisi khutbah Jumat rutin di salah satu masjid yang diurus oleh WI Ternate. Ketika kami menasihatkan perkara ini [7], maka seorang pengurus dan da’i WI Ternate menjawab dengan logika dan dalil dari hadis yang salah dipahami.

Logikanya, dia mengatakan: “Ini sama saja ketika Anda belajar di tempat pendidikan umum, yang mana pengajarnya tidak semuanya Salafy” [8]
Adapun dalil dari hadis katanya, adalah kisah tentang setan yang mengajarkan ayat Kursi kepada Abu Hurairah radhiyallahu’anhu. Kata da’i WI ini: “Kebenaran itu diambil dari siapa saja, bahkan dari setan sekali pun”. [9]
Demikianlah mereka memahami hadis dan ber-istidlal (berdalil) dengannya, tanpa ada contoh sebelumnya dari kalangan Salaf[10].

  1. Pembelaan Kepada Tokoh-Tokoh Yang Menyimpang

Di antara penyimpangan para da’i Wahdah Islamiyah, mereka memberikan pembelaan kepada para tokoh yang menyimpang
Ustadz Jahada Mangka, Lc dalam kelas takmili mengatakan, bahwa tidak benar klaim adanya penyimpangan Sayyid Quthub dan kitabnya Azh-Zhilal, melainkan hanya salah memahami bahasa Sayyid Quthub yang tinggi. Bahkan Ustadz Jahada mengatakan, bahwa kebangkitan Islam dimulai dari Mesir [11], dan musuh-musuh Islam sangat takut, apabila kebangkitan ini masuk ke Kuwait dan Saudi, sebab di dua negeri tersebut terdapat para ulama dan harta yang melimpah [12]
Ustadz Bahrun Nida’ juga di kelas takmili pernah mengajarkan kitab Qabasat Min Siroh ar-Rasul-shallallahu’alaihi wa sallam- karya Muhammad Quthub. Ketika itu juga beliau mengutip perkataan Muhammad Quthub: “Andaikata manusia mendekatkan diri kepada Allah dengan mencela Sayyid Quthub, maka aku mendekatkan diri kepada-Nya dengan membelanya”, atau perkataan yang semakna dengan itu [13].
Ustadz Muhammad Ikhwan Abdul Jalil, Lc, pernah mengajarkan kitab Laa Tahzan karya ‘Aidh al-Qorni sambil memuji-muji buku dan penulisnya di kajian Radio Telstar Makassar [14].
Adapun secara umum tokoh-tokoh yang dibela oleh para asatidzah WI, bahkan sebagiannya menjadi idola WI adalah Dr. Yusuf al-Qorodhowi, Salman al-‘Audah, ‘Aidh al-Qorni dan Safar al-Hawali [15]
Sampai hari ini, apabila kita melihat situs-situs atau blog-blog pribadi orang-orang WI, maka kita akan dapati mereka mencantumkan sebagai LINK mereka, situs Ar Rahmah.com [16] dan Eramuslim.com [17] Demi Allah, hal ini tidak akan dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kecemburuan kepada manhaj yang hak dan terdidik di atas manhaj yang hak, mengingat dalam kedua situs tersebut dengan sangat jelas terdapat banyak sekali penyimpangan, bahkan celaan kepada para Ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Ketika ada kebijakan menyamakan ijazah STIBA dengan ijazah negeri, maka banyak para pengajar yang melanjutkan program S2 di UMI maupun di institusi lainnya. Juga ketika ada kebijakan menarik bayaran SPP dari santri, maka banyak dari santri STIBA yang pindah ke STAI swasta. Sudah dimaklumi, bahwa para pengajarnya banyak yang berpaham menyimpang, ditambah lagi adanya ikhtilat dalam ruangan kelasnya [18].
Ikut menulis, mengedit dan menyebarluaskan buku-buku yang penuh dengan penyimpangan dan celaan kepada Manhaj Salaf, ulama dan da’inya, di antaranya:

  • Buku Dakwah Salafiyah Dakwah Bijak, karya Abu Abdirrahman Al Thalibi alias Joko Waskito [19] (seorang kader WI di Bandung),
  • Buku Siapa Teroris Siapa Khawarij[20], diedit oleh Ustadz Muhammad Ihsan Zainuddin, Lc, dan
  • Buku Beda Salaf Dengan Salafi [21], juga
  • Buku-buku al-Qorodhowy, majalah Sabili dan Hidayatullah, dulu dengan mudah didapatkan di toko-toko buku WI [22].

Kedua: Muwazanah (Menyebutkan penyimpangan seseorang bersamaan dengan kebaikannya)
Adapun tentang keharusan Muwazanah, terkadang dalam ceramah asatidzah WI tidak dengan terang-terangan mengatakan keharusan Muwazanah, seperti dengan mengistilahkan tawazun, atau dengan ungkapan Ustadz Yusron dalam salah satu kaset ceramahnya, ketika ia menjelaskan firman Allah ta’ala tentang adanya Ahli Kitab yang berkhianat, dan ada pula yang amanah. Di situ Ustadz Yusron mengatakan: “Ayat ini merupakan dalil, terserah mau dinamakan Muwazanah atau apa [23]”.
Dalam kaset berjudul Muhasabah, Ustadz Yusron mengatakan: “Kalau hanya perkara Muwazanah ini yang menjadi sebab permusuhan WI dengan Salafy, maka kami siap meninggalkan Muwazanah, tapi tidak dalam praktiknya”. Saya kutip secara makna, silakan merujuk langsung ke kaset-kaset tersebut.
Secara tersirat ia mengharuskan Muwazanah dengan istilah apapun. Ini membantah persangkaan sebagian orang, bahwa asatidzah WI tidak mengharuskan Muwazanah. Ini dikuatkan oleh perkataan Hasan Bugis yang diterjemahkan oleh Ustadz Rahmat Abdurrahman, Lc ketika dauroh di Kalimantan dan telah dibantah oleh Al-Ustadz Abu Karimah Askari. Jazahullahu khoiron.
Ketiga: Terjun dalam Politik Demokrasi [24]
Hal ini terbukti pada pemilu 2004 di TPS dekat kampus STIBA, bahwa PKS mendapat suara yang cukup signifikan, sehingga membuat masyarakat sekitar terheran-heran, karena di daerah tersebut hampir tidak ada bendera PKS, karena yang mencoblos adalah para santri STIBA.
Di antara bentuk terjunnya mereka dalam politik demokrasi, ada seorang da’i WI menjadi caleg PBB pada Pemilu 2009. Sebagian di antara mereka ada yang menjadi tim sukses dalam sebuah pemilu.
Adapun bermajelis dengan para ahli bid’ah dalam seminar dan lainnya, maka perkara ini telah masyhur bagi semua orang. Ini semua merupakan bukti lemah nya manhaj wala’ dan baro’ mereka.
Keempat: Al-Hizbiyyah
Syawahid-nya (buktinya) banyak sekali. Di antaranya ungkapan sebagian orang WI, bahwa organisasi mereka adalah organisasi yang terbaik di dunia. Mereka juga senantiasa memunculkan nama WI hampir dalam setiap kegiatan mereka, seakan-akan hanya berdakwah menuju organisasi, dan bagaimana cara membesarkannya. Hal ini dengan mudah didapati dalam situs-situs resmi, maupun blog-blog pribadi mereka. Dalam salah satu tingkatan dauroh mereka terdapat jadwal materi khusus membahas tentang perjalanan dakwah WI.
Demikian pula mereka sangat bangga dengan pujian-pujian tokoh maupun masyarakat kepada WI. Di antaranya pujian-pujian beberapa tokoh kepada WI, dan buku Sejarah WI terus menerus diiklankan dalam website resmi WI. Pujian-pujian ini membuat mereka lalai dari segala penyimpangan. Mereka telah tertipu dengan pujian-pujian semu yang membuat mereka bangga dengan apa yang mereka miliki.
Selain itu, hampir seluruh aktivitas dakwah kader-kader WI, di mana pun mereka berada, senantiasa menonjolkan label WI, sehingga orang-orang awam di kalangan mereka bisa langsung memiliki persepsi memang beda antara WI dan Salafy. WI mengajak kepada organisasi, sedang Salafy mengajak untuk berpegang teguh dengan Al-Kitab dan As-Sunnah, ala pemahaman sahabat.
Di antara perkara yang paling berbahaya adalah ketika al-wala’ wal bara’ yang terbangun di antara mereka, sadar atau tidak, bukan lagi di atas Manhaj Salaf, tetapi atas dasar organisasi. Mereka lebih bisa bekerja sama dan lebih mencintai orang-orang yang seorganisasi dengan mereka, dibanding orang-orang di luar WI [25], meskipun dari sisi ilmu dan iltizam kepada Sunnah, mungkin lebih baik dari mereka. Padahal mestinya, setiap orang yang lebih berilmu dan lebih takwa kepada Allah ta’ala, maka dia yang lebih kita cintai.
Sampai pada urusan pernikahan mereka berusaha, bagaimana agar Ikhwan dan Akhwat mereka hanya menikah dengan sesama mereka saja, tidak dari luar kalangan WI, tanpa mengecek dulu apakah orang yang dari luar WI yang hendak menikah dengan kadernya tersebut bermanhaj yang lurus atau tidak. Hal ini benar-benar terjadi, hanya karena berhubungan dengan permasalahan pribadi, maka saya tidak menyebutkan nama-nama mereka.
Barangkali apa yang saya sebutkan ini hanyalah perbuatan sebagian orang. Namun untuk menyebutkan ini hanyalah oknum terlalu sulit, sebab penyimpangan-penyimpangan yang mengarah kepada al-hizbiyyah tersebut begitu marak dan tersebar di kalangan WI.
Berikut mutiara nasihat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyahrahimahullah tentang al-wala wal bara’ yang syari. Semoga bisa direnungi. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menerangkan:
“Hendaklah diketahui, bahwa seorang Mukmin wajib engkau cintai, meskipun dia berbuat zalim kepadamu. Orang kafir harus engkau benci, meskipun dia menghadiahkan sesuatu dan berbuat baik kepadamu. Karena sesungguhnya Allah ta’ala mengutus para rasul, dan menurunkan kitab-kitab, agar agama ini seluruhnya hanya diikhlaskan kepada Allah ta’ala. Sehingga kecintaan itu kepada wali-wali-Nya dan kebencian kepada musuh-musuh-Nya”.
“Apabila terkumpul pada diri seseorang kebaikan dan keburukan, kemaksiatan dan ketaatan, sunnah dan bid’ah, maka ia berhak mendapatkan wala` dan ganjaran sebatas kebaikan yang ada padanya. Dan berhak menerima bara` dan hukuman sebatas keburukan atau kejahatan yang ada padanya. Demikianlah apabila terkumpul pada diri seseorang penyebab kemuliaan, dan kehinaan, maka dia mendapatkan sesuai kadar kemuliaan dan kehinaannya. Seperti seorang fakir yang mencuri, harus dipotong tangannya sebagai hukuman, namun dia tetap disantuni dengan menerima bagian dari kas negara untuk mencukupi kebutuhannya. Maka inilah salah satu prinsip pokok Ahlus Sunnah wal Jamaah, yang berbeda dengan Khawarij, Mu’tazilah dan yang mengikuti jalan mereka.”  [Lihat Majmu’ Fatawa (28/209)]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyahrahimahullah juga menerangkan:
“Tidak boleh ada pembelaan terhadap tokoh tertentu secara umum (totalitas) dan mutlak, kecuali hanya kepada Rasulullah ﷺ. Tidak pula kepada kelompok tertentu, kecuali kepada para Sahabat -radhiyallahu’anhum-. Karena sesungguhnya, petunjuk itu senantiasa ada bersama Rasulullah ﷺ di mana pun beliau berada. Demikian pula para sahabatnya radhiyallahu’anhum”.  [Lihat Minhajus Sunnah (5/261)]
Demikianlah secuil catatan dari saya, meski belum mencakup keseluruhan penyimpangan yang diingatkan bahayanya oleh asatidzah Salafiyin. Namun harapan saya agar orang-orang WI yang membacanya, tidak malah marah setelah mengetahui dalil-dalil syari tentang penyimpangan-penyimpangan yang ada (dari penjelasan asatidzah Salafiyin), dan juga tidak mengedepankan emosi ketika membacanya, sehingga berprasangka buruk kepada Penulis. Tetapi hendaklah mereka mengambil pelajaran darinya. Sebab, di antara tanda kecintaan seorang Muslim kepada saudaranya adalah menasihatinya, meskipun terkadang rasanya teramat pahit. Sebab nasihat itu ibarat obat yang pahit rasanya, tapi faidahnya besar. Maka apabila ada kata-kata yang menusuk dan melukai hati mohon dimaafkan, karena kebenaran itu dari Allah, sedangkan kesalahan itu dari diri pribadi kami dan dari setan.
Wabillahit taufiq walhamdulillahi Rabbil ‘alamiin wa shollallahu ala nabiyyina alih wa shohbih ajma’in..
 
Catatan Kaki
[1] Hampir keseluruhan penukilan di sini saya kutip secara makna, sebab kebanyakan asalnya bukanlah dari sebuah buku atau kaset, tetapi didengar langsung oleh telinga.
[2] Telah dimaklumi, bahwa Ikhwanul Muslimin (IM) yang berpusat di Mesir, telah difatwakan oleh para Ulama sebagai kelompok yang menyimpang dari Manhaj Salaf, bahkan Asy-Syaikh Bin Baz rahimahullah dengan tegas menyatakan, bahwa IM tergolong kepada salah satu dari 72 golongan Ahlul Bid’ah.
[3] Untuk bantahan bid’ahnya demonstrasi ini, silakan dengarkan ceramah Al-Ustadz Dzulqarnain: Nasihat Ilmiyah Tentang Kesesatan Wahdah Islamiyah. Juga makalah Al-Austadz Abu Fa’izah Abdul Qodir, Lc: Bantahan Kepada Ustadz Jahada Mangka, Lc.
[4] Para Ulama telah menjelaskan, bahwa demonstrasi termasuk cara baru dalam dakwah dan mengubah kemungkaran. Sedangkan dakwah itu ibadah yang harus mencontoh Rasulullah ﷺ.
[5] Di antara yang sangat menyakitkan adalah syubhat-syubhat yang dilontarkan oleh Qasim Mathar dalam salah satu dialog di IAIN Alauddin bersama WI. Hal itu terasa lebih menyakitkan lagi, ketika Ustadz Ikhwan tidak mampu membantah syubhat-syubhatnya, dengan bantahan yang mengenyangkan orang yang lapar, dan menghilangkan dahaga orang yang kehausan. Wallahul Musta’an.
[6] Tentang surat Syaikh bin Baaz ini, lihat kopian naskah aslinya dalam Madarik An-Nazhor (hal. 431) karya Syaikh Abdul Malik bin Ahmad bin Al-Mubarok Romadhoniy Al-Jaza’iriy, cet. Dar Sabil Al-Mu’minin, 1418 H.
[7] Pada dauroh tersebut saya belum sepenuhnya keluar dari WI. Maka saya pun oleh Panitia Dauroh dijadwalkan sebagai salah satu pemateri dengan judul “Keutamaan Menuntut Ilmu dan Adab-adabnya”. Kesempatan ini saya gunakan untuk menasihati panitia dan peserta dauroh, bahwa sebagai salah satu adab dan manhaj dalam menuntut ilmu, kita tidak boleh mengambil ilmu dari orang yang menyimpang manhajnya. Saya nasihatkan waktu itu untuk membatalkan beberapa pemateri yang telah terjadwal. Bahkan saya tegaskan, bahwa saya telah berdialog langsung dengan sebagian pemateri, dan mengetahui dengan pasti penyimpangan manhajnya. Di lain sisi, mereka terlihat musbil (memanjangkan kain dibawah mata kaki-ed). Anehnya, setelah kejadian tersebut, orang-orang WI Ternate mulai menjaga jarak dengan saya. Persis seperti yang dilakukan oleh orang-orang IM, ketika mereka tahu, bahwa saya telah keluar dari IM, dan bergabung dengan WI. Orang-orang yang dahulu akrab, namun setelah kejadian itu seakan memboikot saya, dan tidak berwajah ramah ketika bertemu. Demikian pula mereka meng-ghibah, bahkan melakukan buhtan (kedustaan) tentang saya. Kalaulah tidak berhubungan dengan pribadi saya yang dizalimi, maka saya akan mengungkapkannya.
[8] Jika tidak semuanya salafy, yah tinggalkan. [ed]
[9] Ini adalah qiyas batil, sebab membolehkan orang untuk belajar, bermajelis dan berguru kepada setan!! Padahal Anda telah mengetahui dan membaca ayat yang menjelaskan larangan bermajelis dengan Ahli Bid’ah, termasuk setan!!! [ed]
[10] Untuk bantahannya secara detail silakan dengarkan ceramah tentang Bantahan Istidlal Manhaj Muwazanah, oleh Al-Ustadz Luqman Jamal, Lc.
[11] Kalau bukan IM, kira-kira siapa yang dimaksud? Yang pasti bukan Anshorus Sunnah al-Muhammadiyah, sebab dasar dakwah Anshorus Sunnah dahulu adalah dakwah Salafiyyah yang dipelopori Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab yang berasal dari Hijaz (Saudi), bukan Mesir!!
[12] Apakah sebelum kemunculan Hasan Al-Banna dan IM-nya, para ulama Ahlus Sunnah tertidur sehingga perlu dibangkitkan. Wallohi, itu tidak akan pernah terjadi, sebab Rasulullah ﷺ telah mengabarkan akan adanya ath-Thoifah al-Manshuroh yang senantiasa zhohir (jaya) di atas kebenaran sampai Hari Kiamat, dan munculnya para mujaddid. Para Ulama telah menjelaskan, bahwasannya di antara mujaddid itu adalah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, Asy-Syaikh Al-Albani rahimahumallah dan lainnya dari kalangan ulama Ahlus Sunnah, bukan dari kelompok menyimpang IM. Maka renungkanlah, wahai saudaraku!!
[13] Seakan Sayyid adalah seorang nabi yang tak pernah salah, sehingga harus dibela dalam segala kondisi. Padahal setiap orang, selain nabi, boleh jadi terjatuh dalam kesalahan. Karenanya, Syaikh Abdullah Ad-Duwaisy, Syaikh bin Baaz, Syaikh Al-Albaniy, Syaikh Al-Utsaimin, Syaikh An-Najmiy, Syaikh Robi’, dan ulama lainnya telah memberikan pengingkaran terhadap kesalahan dan penyimpangan Sayyid Quthub dalam kitab-kitab dan ceramah mereka. [ed]
[14] A’idh Al-Qorniy termasuk tokoh hizbiyyah yang kagum kepada para tokoh IM.Dengarkan A’idh Al-Qorni berkata dalam“Kutub fi As-Sahah Al-Islamiyyah”, (hal.66) ketika ia menyebutkan kitab-kitab yang penting di zaman sekarang, “Kitab-kitab Sayyid Quthb, Muhammad Quthb, Abul A’la Al-Maududiy, Abul Hasan An-Nadwiy, kitab Al-Muntholiq wa Ar-Roqo’iq wa Al-Awa’iq karangan Muhammad Ahmad Ar-Rosyid, dan selain mereka…”. Jika Al-Qorni kagum kepada para tokoh IM, maka tak heran jika para ustadz WI juga kagum kepada tokoh-tokoh IM, sebab Al-Qorni adalah teladan mereka. [ed]
[15] Penyimpangan-penyimpangan Sayyid Quthub, Dr. Yusuf al-Qorodhowi, Muhammad Quthub, Salman Al-‘Audah, Safar al-Hawali, ‘Aidh Al-Qorni telah banyak dijelaskan oleh para Ulama, untuk tiga yang terakhir silahkan baca sebuah kitab yang ditaqdim oleh Asy-Syaikh Al-Albani dan Asy-Syaikh Abdul Muhsin Al-‘Abbad, yang berjudul: Madarikun Nazhor fis Siyasah, karya Asy-Syaikh Abdul Malik Ramadhani, atau dengarkan juga ceramah Al-Ustadz Dzulqarnain: Nasihat Ilmiyah tentang Kesesatan Wahdah Islamiyah, dan baca makalah Al-Ustadz Abu Fa’izah Abdul Qodir, Lc berupa bantahan kepada Ustadz Jahada Mangka, Lc.
[16] Situs ini banyak menyebarkan fikrah Khawarij. [ed]
[17] Ini adalah situs orang-orang IM (Ikhwanul Muslimin). Orang-orang WI juga sering menukil dari situs www.hidayatullah.com . Mereka pernah menukil dari situs ini tentang pelarangan buku-buku Sayyid Quthb oleh pemerintah KSA (Arab Saudi), karena di dalamnya terdapat pemahaman-pemahaman penulisnya yang menyimpang. Orang-orang Hidayatullah (dan para hizbiyyun lainnya) tak setuju dengan pelarangan tersebut, lalu mereka buat sebuat artikel tentang ketidaksetujuan mereka terhadap sikap pemerintah Saudi tersebut. Sikap ini juga diaminkan oleh orang-orang WI dengan menukil (copy-paste) artikel yang berisi sikap Hidayatullah terhadap KSA, lalu dicantumkan oleh WI dalam situs resmi mereka (Artikel tanggal 28 November 2008). Namun ternyata artikel tersebut hanya bertahan beberapa pekan, hingga akhirnya hanya admin web WI saja yang dapat melihat isinya. Artikel ini disembunyikan menjelang kedatangan Dubes Arab Saudi dan juga penandatanganan kerjasama pembukaan cabang Universitas Imam Ibnu Saud di Makassar oleh WI. [ed.]
[18] Ini menunjukkan lemahnya manhaj dan akidah mereka. Nas’alullahal afiyah was salamah.
[19] Orang ini mengira, bahwa dirinya berilmu. Di blog-nya dia mengomentari hampir setiap perkara, bahkan memuji Hizbut Tahrir, IM, Salman Al-‘Audah dan membantah Asy-Syaikh Robi’ dan Asy-Syaikh Bin Baz dalam perkara yang tampak sekali, bahwa dia tidak memiliki ilmu tentangnya. Dia hanyalah seorang yang maghrur (tertipu) dengan dirinya. Menyangka dirinya berilmu, padahal ia adalah seorang yang jahil tentang Manhaj Salaf.
Lebih parah lagi, dia berkata tanpa dasar ilmu, dan tanpa ada Salaf sebelumnya. Kecuali mungkin orang-orang WI, bahwa para ulama Ahlus Sunnah, seperti As-Syaikh Bin Baz, terkadang berfatwa untuk tujuan-tujuan politik tertentu!!
Demi Allah, saya tidak pernah menemui seorang yang ber-intisab kepada Sunnah dan Salafiyyah yang mencela ulama Ahlus Sunnah dengan celaan sekotor ini, kecuali pentolan WI Bandung ini. Inilah sesungguhnya Mudda’i as-Salafiyah yang sejati, sekedar mengaku Salafy, tapi manhajnya hizby.
Lisannya yang keji juga mengatakan, bahwa fatwa Asy-Syaikh Bin Baz untuk memenjarakan Salman Al-‘Audah karena tekanan penguasa dan kental nuansa politiknya. Bahkan dia seakan-akan menggambarkan, bahwa Salman Al-‘Audah ditahan hanya karena persoalan parabola. Sampai dia mengatakan: “Betapa dilematiknya Syaikh Bin Baz. Beliau harus menyalahkan seseorang yang bukunya beliau beri kata pengantar sendiri”. Maka saya (Sofyan Chalid) katakan: “Wahai orang yang berakal, belajarlah manhaj yang benar, sehingga engkau tahu kedudukan ulama di mata Ahlus Sunnah. Ketahuilah, selama Salman –hadaahullah- masih hidup, maka masih mungkin ia berbuat salah. Lalu tidak bolehkah menyalahkan dia, kalau dia berbuat salah, setelah sebelumnya dia dipuji karena berada di atas kebenaran?!”
Semoga suatu saat, insya Allah, kami akan membongkar kejahilan orang WI Bandung ini. Biarlah ia berbuat dan berkata sebebasnya. Tiba saatnya ia akan menuai hasilnya yang pahit. Wallahul Musta’an
[20] Buku STSK ini telah dibantah dengan telak oleh Al-Ustadz Luqman Ba’abduh dalam buku Menebar Dusta Membela Teroris Khawarij, yang juga telah mengandung bantahan kepada buku DSDB.
[21] Telah dibantah oleh Al-Ustadz Abu Fa’izah Abdul Qodir, Lc dengan judul: Beda Salafi Dengan Hizbi
[22] Seorang kader binaan WI, tanpa malu dan canggung, telah memasang reklame majalah Sabili (majalah IM) di depan toko bukunya di pertigaan Alauddin-Pettarani (MKS). Majalah yang penuh gambar dan penyimpangan disebarkan oleh seorang “Ahl al-Sunnah”. Beginikah Ahl al-Sunnah??! Tidak!!, tidak demikian. Tapi itulah hasil tarbiyah orang-orang yang mengaku Ahl al-Sunnah alias mudda’is salafiyyah!! [ed]
[23] Ajiib, padahal bantahan istidlal dengan ayat ini telah dibantah oleh Asy-Syaikh Robi’ dalam kitabnya: Manhaj Ahlis Sunnah wal Jama’ah fi Naqdir Rijal wal Kutub wat Thawaa’if. Dengarkan juga ceramah ilmiah tentang bantahan istidlal dalil-dalil Muwazanah yang tidak pada tempatnya, oleh al-Ustadz Luqman Jamal, Lc
[24] Bantahan demokrasi dan pemilu telah dijelaskan oleh Al-Ustadz Dzulqarnain dalam Nasihat Ilmiyah. Baca juga buku yang sangat bagus karya Asy-Syaikh Muhammad bin Abdullah al-Imam berjudul: Tanwiruz Zhulumaat bi Kasyfi Mafaasid wa Syubuhaat al-Intikhabaat
[25] ] Perkara cinta tempatnya di dalam hati, sehingga bukan maksud saya di sini untuk menilai hati manusia, akan tetapi qarinah-qarinah yang ada menunjukkan demikian. Ketika saya berdialog dengan orang-orang WI, maka sangat terlihat jelas kebencian mereka kepada asatidzah Salafiyin, terutama Al-Ustadz Dzulqarnain, ahabbahullah wa jazahu khoiron. Jadi, ukuran kebencian dan kecintaan tidak lagi mereka nilai dari ketakwaan orang tersebut.
Wallohu A’la wa A’lam, wa Huwal Musta’an
 
Sumber:
http://almakassari.com/artikel-islam/manhaj/mengapa-saya-keluar-dari-wahdah-islamiyah-bag-1.html
http://almakassari.com/artikel-islam/manhaj/mengapa-saya-keluar-dari-wahdah-islamiyah-bag-2.html