Jika Suami Tidak Memberi Nafkah

Penulis: Ustadz Abu Ismail Muslim Al-Atsari

Sesungguhnya rasa kasih-sayang di antara suami-istri hampir-hampir tidak ditemui bandingannya. Dua jenis manusia, pada mulanya tidak saling mengenal, kemudian Allah memprtemukan keduanya, sehingga terjalin hubungan yang melebihi seorang saudara dengan saudaranya, seorang kawan dengan kawannya. Maka ini termasuk salah satu tanda kekuasaan Allah yang mengagumkan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمِنْ ءَايَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لأَيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah, Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” [ar Ruum / 30:21]

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Seandainya Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan Bani Adam (manusia) semuanya laki-laki, dan menjadikan wanita-wanita (istri-istri) mereka dari jenis selain mereka, mungkin dari jin atau binatang, maka tidak akan terjadi persatuan antara mereka dengan istri-istri mereka. Bahkan pasti akan terjadi keengganan, seandainya istri-istri itu bukan dari jenisnya. Kemudian, di antara kesempurnaan rahmat Allah terhadap Bani Adam, bahwa Dia menciptakan istri-istri mereka dari jenis mereka sendiri, dan menjadikan di antara mereka rasa kasih, yaitu kecintaan, dan rahmat, yaitu sayang. Karena seorang laki-laki menahan istrinya, kemungkinan kecintaannya kepada istrinya, atau karena sayangnya, karena dia telah memiliki anak darinya, atau karena dia membutuhkan nafkah darinya, atau karena keakraban antara keduanya, atau lainnya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir” [Tafsir Alquranul ‘Azhim, Surat ar Ruum: 21].

Oleh karena itulah, kasih-sayang yang telah tumbuh di antara pasangan suami-istri itu, selayaknya dijaga dan dikembangkan, sehingga tidak layu dan akhirnya sirna. Dari sini kita mengetahui keagungan syari’at Allah Azza wa Jalla yang menerangkan hak dan kewajiban suami-istri. Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَاللهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

“Dan para wanita memunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami, memunyai satu tingkatan kelebihan dari istrinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.[al Baqarah / 2:228]

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Yaitu, mereka (para istri) memiliki hak yang menjadi kewajiban para laki-laki (suami). Maka hendaklah setiap satu dari keduanya menunaikan kewajibannya kepada yang lain dengan baik” [Tafsir Alquranul ‘Azhim, Surat al Baqarah: 228].

Nafkah Bagi Istri Dan Anak

Di antara hak terbesar wanita yang menjadi kewajiban suaminya adalah nafkah. Nafkah, secara bahasa adalah, harta atau semacamnya yang diinfaqkan (dibelanjakan) oleh seseorang. Adapun secara istilah, nafkah adalah, apa yang diwajibkan atas suami untuk istrinya dan anak-anaknya, yang berupa makanan, pakaian, tempat tinggal, perawatan, dan semacamnya  [Lihat Shahih Fiqih Sunnah, Abu Malik Kamal bin as Sayid Salim, 3/198; Mu’jamul Wasith, 2/942; Ahkamuz Zawaj, Syaikh Umar Sulaiman al Asyqar].

Nafkah bagi istri ini hukumnya WAJIB berdasarkan al Kitab, as Sunnah, dan Ijma’.

Disebutkan dalam Alquran:

وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لاَ تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلاَّ وُسْعَهَا

“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf” [al Baqarah / 2:233]

Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan: “Dan kewajiban ayah si anak memberi nafkah (makan) dan pakaian kepada para ibu (si anak) dengan ma’ruf (baik), yaitu dengan kebiasaan yang telah berlaku pada semisal para ibu, dengan tanpa israf (berlebihan) dan tanpa bakhil (menyempitkan), sesuai dengan kemampuannya di dalam kemudahannya, pertengahannya, dan kesempitannya” [Tafsir Alquranul ‘Azhim, Surat al Baqarah: 233].

لِيُنفِقْ ذُو سَعَةٍ مِّن سَعَتِهِ وَمَن قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنفِقْ مِمَّآ ءَاتَاهُ اللهُ لاَيُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ مَآءَاتَاهَا

“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya “[ath Thalaq / 65:7]

Menjelaskan ayat ini, Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata: “Ini sesuai dengan hikmah dan rahmat Allah Ta’ala. Dia menjadikan (kewajiban) setiap orang sesuai dengan keadaannya, dan Dia meringankan dari orang yang kesusahan, sehingga, dalam masalah nafkah dan lainnya, Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) kemampuannya.” [Tafsir Taisir Karimir Rahman, Surat ath Thalaq: 7].

Adapun dalil-dalil dari as Sunnah, antara lain:

عَنْ مُعَاوِيَةَ الْقُشَيْرِيِّ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا حَقُّ زَوْجَةِ أَحَدِنَا عَلَيْهِ قَالَ أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ أَوْ اكْتَسَبْتَ وَلَا تَضْرِبْ الْوَجْهَ وَلَا تُقَبِّحْ وَلَا تَهْجُرْ إِلَّا فِي الْبَيْتِ

“Dari Mu’awiyah al Qusyairi Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Aku bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah hak istri salah seorang dari kami yang menjadi kewajiban suaminya?” Beliau menjawab,”Engkau memberi makan kepadanya, jika engkau makan. Engkau memberi pakaian kepadanya, jika engkau berpakaian. Janganlah engkau pukul wajahnya, janganlah engkau memburukkannya, dan janganlah engkau meninggalkannya kecuali di dalam rumah”. [HR Abu Dawud, no. 2142; Ibnu Majah, no. 1850; Syaikh al Albani mengatakan: “Hasan shahih”].

Pada saat haji Wada’, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah:

فَاتَّقُوا اللَّهَ فِي النِّسَاءِ فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوهُنَّ بِأَمَانِ اللَّهِ وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللَّهِ وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ أَحَدًا تَكْرَهُونَهُ فَإِنْ فَعَلْنَ ذَلِكَ فَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوف

“Bertakwalah kamu kepada Allah tentang para wanita (istri), karena sesungguhnya kamu telah mengambil mereka dengan amanah Allah, dan kamu telah menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah [Maksud kalimat Allah dalam hadis ini adalah firman Allah Azza wa Jalla: (Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi -QS an Nisaa` / 4 ayat 3. Demikian dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam Syarah Muslim 4/443, Penerbit Darul Hadis, Kairo].

Dan kamu memiliki hak yang menjadi kewajiban mereka (para istri), yaitu mereka tidak memerbolehkan seorang pun yang tidak kamu sukai menginjakkan permadani-permadani kamu [Imam Nawawi, di dalam Syarah Muslim 4/443-444, Penerbit Darul Hadis, Kairo -menyatakan secara ringkas- maknanya yang terpilih adalah, bahwasanya mereka (para istri) tidak boleh mengizinkan kepada seorang pun yang tidak kamu sukai untuk memasuki rumah-rumah kamu dan duduk di tempat duduk-tempat duduk kamu. Sama saja, yang diizinkan itu seorang laki-laki asing (bukan mahram), atau seorang wanita, atau seseorang dari mahram istri. Larangan itu mengenai semuanya, kecuali bagi orang yang si istri mengetahui atau menyangka bahwa suaminya tidak membencinya, atau mengizinkannya, atau diketahui ridhanya dengan keumuman kebiasaan]. Jika mereka melakukannya, maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak menyakitkan. Dan mereka memiliki hak yang menjadi kewajiban kamu, yaitu (kamu wajib memberi) rezeki (makanan) dan pakaian kepada mereka dengan ma’ruf (baik)”. [HR Muslim, no. 1218].

Adapun menurut Ijma`, Imam Ibnul Qaththan rahimahullah (wafat 628 H) menukilkan Ijma’ tentang masalah ini, dengan perkataan beliau: “Ahlul ilmi (para ulama) telah sepakat adanya kewajiban memberi nafkah untuk para istri atas para suami, jika mereka (para suami itu) telah baligh, kecuali istri yang nusyuz (maksiat) dan enggan (menaati suami)” [8].

Ukuran Nafkah

Dalam masalah pemberian nafkah kepada istri, maka agama tidak menetapkan dengan ukuran tertentu. Akan tetapi Allah ta’ala memerintahkan suami agar bersikap kepada istrinya dengan ma’ruf (baik, patut, umum). Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam sebagai panutan, beliau telah menetapkan bahwa nafkah itu mencukupi istri dan anak.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Dan kebenaran yang ditetapkan oleh mayoritas ulama, bahwa nafkah istri kembalinya adalah ‘urf (kebiasaan). Ukurannya tidak ditetapkan oleh syari’at. Nafkah itu berbeda-beda sesuai dengan perbedaan keadaan negara-negara, waktu, dan keadaan suami-istri, serta kebiasaan keduanya. Karena sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman:

وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

“(Dan bergaullah dengan mereka (istri-istri kamu) secara patut – an Nisaa’ ayat 19- dan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda (kepada Hindun istri Abu Sufyan)”:

خُذِي مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ

“(Ambillah yang mencukupimu dan anakmu dengan patut!).”

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

وَلَهُنَّ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوف

“(Dan mereka (para istri) memiliki hak, yaitu (kamu wajib memberi) rezeki (makanan) dan pakaian kepada mereka dengan ma’ruf (baik, patut) [Majmu’ Fatawa, 34/83; Taisiril Fiqh al Jami’ lil Ikhtiyarat al Fiqhiyah li Syaikhil Islam Ibnu Taimiyah, Dr. Ahmad al Muwafi, Penerbit Dar Ibnil Jauzi, 2/861].

Jika Suami Tidak Memberi Nafkah Dengan Cukup (Bakhil)

Jika suami tidak memberi nafkah yang cukup, padahal dia memiliki harta yang nampak, yang memungkinkan bagi istri untuk mengambil sendiri, atau dengan keputusan hakim, maka istri hendaklah bersabar, tidak menuntut cerai.

Demikian juga jika suami tidak memberi nafkah secara cukup bagi istri dan anaknya, maka sang istri boleh mengambil harta suami dengan tanpa izin, tetapi dengan cara yang ma’ruf (patut, secukupnya), tidak boleh berlebihan.

Dalam masalah tersebut, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salllam telah berfatwa, sebagaimana disebutkan di dalam hadis shahih:

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ هِنْدَ بِنْتَ عُتْبَةَ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيحٌ وَلَيْسَ يُعْطِينِي مَا يَكْفِينِي وَوَلَدِي إِلَّا مَا أَخَذْتُ مِنْهُ وَهُوَ لَا يَعْلَمُ فَقَالَ خُذِي مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ

Dari ‘Aisyah bahwa Hindun binti ‘Utbah berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan (suamiku, Pen) seorang laki-laki yang bakhil. Dia tidak memberi (nafkah) kepadaku yang mencukupi aku dan anakku, kecuali yang aku ambil darinya sedangkan dia tidak tahu”. Maka beliau bersabda: “Ambillah yang mencukupimu dan anakmu dengan patut”.[HR Bukhari, no. 5364; Muslim, no. 1714].

Setelah membawakan hadis ini, Syaikh Shalih bin Ghanim as Sadlaan berkata: “Apa yang telah lalu ini menunjukkan kewajiban nafkah untuk istri. Dan nafkah itu diukur dengan apa yang mencukupinya (istri) dan anaknya dengan ma’ruf (patut, baik, umum). Jika suami tidak memberi nafkah, sesungguhnya sang istri berhak mengambil nafkahnya dari harta suaminya, walau tanpa sepengetahuannya, dan hal itu hendaklah dengan ma’ruf. Dan sepantasnya bagi istri tidak membebani suaminya dengan banyak tuntutan. Hendaklah dia ridha dengan sedikit (nafkah), khususnya jika suami berada dalam kesusahan dan kemiskinan” [Fiqhuz Zawaj, hlm. 130].

Jika Suami Tidak Mampu Memberi Nafkah

Telah kita ketahui bahwa nafkah merupakan hak istri yang menjadi kewajiban suami. Maka bagaimanakah sikap istri jika suami tidak mampu memberi nafkah, dan dia tidak memiliki harta yang dapat diambil untuk nafkah? Bolehkah istri menuntut cerai?

Dalam masalah ini ada tiga pendapat ulama [Lihat dalil masing-masing pendapat di dalam kitab Shahih Fiqih Sunnah, Abu Malik Kamal bin as Sayid Salim, 3/400-404]:

1). Boleh Menuntut Faskh (Pembatalan Aqad Nikah). Demikian Ini Pendapat Jumhur (mayoritas ulama) Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah. Juga diriwayatkan dari Umar bin al Khaththab, Ali bin Abi Thalib, Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhum. Juga pendapat Sa’id bin Musayyib, al Hasan al Bashri, Umar bin Abdul Aziz, Rabi’ah, Ishaq, Abu ‘Ubaid, dan Abu Tsaur.

2). Tidak boleh menuntut faskh, tetapi istri wajib bersabar. Demikian pendapat Hanafiyah, yang satu pendapat dengan Imam Syafi’i. Begitu pula Syaikh Abdurrahman as Sa’di.

3). Tidak boleh menuntut faskh, bahkan istri yang kaya wajib menafkahi suaminya yang miskin. Ini pendapat Ibnu Hazm rahimahullah.

Syaikh Umar Sulaiman al Asyqar –hafizhahullah- berkata: “Al Hanafiyah (para ulama Madzhab Hanafi) membolehkan seorang istri berutang atas tanggungan suaminya untuk memenuhi nafkahnya, dalam keadaan suami tidak mampu memberikan nafkah. Sedangkan para fuqaha (para ahli fiqih) tiga madzhab, yaitu: Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah, berpendapat, seorang istri disuruh memilih antara tetap bersama suaminya dengan kesusahannya, atau berpisah darinya dengan faskh (pembatalan) aqad nikah, dan nafkah bagi istri tidak wajib atas suaminya selama dia kesusahan” [Ahkamuz Zawaj, Penerbit Darun Nafais, hlm. 287-288].

Syaikh Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah at Tuwaijiri –hafizhahullah- berkata: “Jika suami kesusahan memberikan nafkah, pakaian, atau tempat tinggal, atau suami pergi dan tidak meninggalkan nafkah untuk istrinya dan susah mengambil dari hartanya (suami), maka istri berhak faskh (membatalkan aqad nikah), jika dia berkehendak, dengan izin hakim (pengadilan agama)” [Mukhtashar Fiqih Islami, Penerbit Baitul Afkar ad Dauliyah, hlm. 860].

Setelah memaparkan dalil masing-masing pendapat di atas, Abu Malik Kamal bin as Sayid Salim menyatakan: “Yang paling nampak (kebenarannya) dari yang telah lalu, adalah pendapat bolehnya perpisahan (istri menuntut faskh, putus nikah, Pen) dengan sebab ketiadaan nafkah, berdasarkan dalil-dalil yang telah disebutkan oleh jumhur. Terlebih lagi, para sahabat Radhiyallahu ‘anhum telah berpendapat dengannya dan mengamalkannya. Dan karena di dalam pendapat ini menghilangkan kesusahan dari istri, apalagi jika suami menolak men-thalaqnya karena pilihannya (sendiri) atau bersepakat dengan istrinya. Namun yang lebih utama dan lebih baik, si istri bersabar terhadap kesusahan suaminya dan mendampinginya, serta membantu semampunya. Adapun dalil-dalil (ulama) yang melarang perpisahan tidaklah kuat melawan dalil-dalil jumhur. Wallahu a’lam” [Shahih Fiqih Sunnah, 3/400-404].

Dari pembahasan ini, kita mengetahui betapa tingginya ajaran Islam, dan alangkah besar kasih-sayang Allah kepada para hamba-Nya. Al-hamdulillahi Rabbil ‘alamin.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun X/1427H/2006M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]