بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَانِ الرَّحِيْمِ

 

HUKUM MENIKAHI WANITA HAMIL DI LUAR NIKAH

Wanita yang hamil karena perbuatan zina TIDAK BOLEH DINIKAHKAN, baik dengan laki-laki yang menghamilinya, ataupun dengan laki-laki lain, kecuali bila memenuhi dua syarat:
• Mereka berdua bertobat dan
• Harus beristibra’ (menunggu kosongnya rahim/melahirkan). Atau dengan menunggu satu kali haidl bila si wanita tidak hamil.
 
“Apakah mereka mempunyai Sembahan-Sembahan (sekutu) selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” [QS : As-syuura : 21]
 
Di dalam ayat ini Allah ﷻ menyatakan orang-orang yang membuat syariat bagi hamba-hamba-Nya sebagai sekutu. Berarti orang yang menghalalkan nikah dengan wanita pezina sebelum bertobat adalah orang musyrik. Namun bila sudah bertobat, maka halal menikahinya, bila syarat yang kedua terpenuhi. [Syaikh Al-Utsaimin di dalam Fatawa Islamiyyah 3/246]
 
Mungkin sebagian orang mengatakan, anak yang dirahim itu terbentuk dari air mani si laki-laki yang menzinahinya dan hendak menikahinya. Maka jawabnya ialah sebagaimana dikatakan Al-Imam Muhammad Ibnu Ibrahim Al Asyaikh rahimahullah:
“TIDAK BOLEH MENIKAHINYA, hingga dia bertobat dan selesai dari ‘iddahnya dengan melahirkan kandungannya. Karena perbedaan dua air (mani), najis dan suci, baik dan buruk, dan karena bedanya status menggauli dari sisi halal dan haram.” [HR. Abu Dawud]
 
Bila ternyata si wanita dalam keadaan hamil, maka TIDAK BOLEH melangsungkan akad nikah dengannya, kecuali setelah melahirkan kandungannya. Sebagai pengamalan hadis Nabi ﷺ yang melarang seseorang menuangkan air (maninya) di persemaian orang lain.” [Majallah Al-Buhuts Al-Islamiyyah 9/72]. Nabi ﷺ bersabda
“Tidak halal bagi orang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, dia menuangkan air (maninya) pada semaian orang lain. [Abu Dawud, lihat, Artinya: ‘alimus Sunan 3/75-76]
 
Jika seseorang tetap menikahkan putrinya yang telah berzina tanpa beristibra’ terlebih dahulu dengan satu kali haidl atau sedang hamil tanpa menunggu melahirkan terlebih dahulu, sedangkan dirinya mengetahui bahwa pernikahan seperti itu tidak diperboleh, dan si laki-laki serta si wanita juga mengetahui bahwa hal itu diharamkan sehingga pernikahannya tidak diperbolehkan, maka PERNIKAHANNYA ITU TIDAK SAH. Apabila keduanya melakukan hubungan badan, maka itu termasuk zina, dan harus bertobat, kemudian pernikahannya harus diulangi bila telah selesai istibra.
 
Ulama-ulama yang tergabung dalam Al-Lajnah Ad-Daimah mengatakan:
“Dan bila dia (laki-laki yang menzinahinya setelah dia tobat) ingin menikahinya, maka dia wajib menunggu wanita itu beristibra’ dengan satu kali haidl sebelum melangsungkan akad nikah. Dan bila ternyata dia hamil, maka tidak boleh melangsungkan akad nikah dengannya, kecuali setelah dia melahirkan kandungannya, berdasarkan hadis Nabi ﷺ yang melarang seseorang menuangkan air (maninya) di persemaian orang lain.” [Majallah Al Buhuts Al Islamiyyah 9/72]
 
Bila seseorang nekad menikahkan putrinya yang telah berzina tanpa beristibra’ terlebih dahulu, sedangkan dia tahu bahwa pernikahan itu tidak boleh, dan si laki-laki serta si wanita juga mengetahui bahwa itu adalah haram, maka pernikahannya itu TIDAK SAH. Bila keduanya melakukan hubungan badan, maka itu adalah zina. Dia harus tobat dan pernikahannya harus diulangi, bila telah selesai istibra’ dengan satu kali haid dari hubungan badan yang terakhir, atau setelah melahirkan.
 
Semua madzhab yang empat (Madzhab Hanafi, Malikiy, Syafi’i dan Hambali) telah sepakat, bahwa anak hasil zina itu tidak memiliki nasab dari pihak laki-laki, dalam arti dia itu TIDAK MEMILIKI BAPAK, meskipun si laki-laki yang menzinahinya dan yang menaburkan benih itu mengaku bahwa dia itu anaknya. Pengakuan ini TIDAK DIANGGAP, karena anak tersebut hasil hubungan DI LUAR NIKAH. Di dalam hal ini, sama saja baik si wanita yang dizinai itu bersuami atau pun tidak bersuami.[ Al Mabsuth 17/154, Asy Syarhul Kabir 3/412, Al Kharsyi 6/101, Al Qawanin hal : 338, dan Ar Raudlah 6/44. dikutip dari Taisiril Fiqh 2/828]. Jadi anak itu TIDAK BERBAPAK. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ, yang artinya: “Anak itu bagi (pemilik) firasy dan bagi laki-laki pezina adalah batu (kerugian dan penyesalan).” [Al-Bukhari dan Muslim]
 
Firasy adalah tempat tidur, dan di sini maksudnya adalah si istri yang pernah digauli suaminya atau budak wanita yang telah digauli tuannya. Keduanya dinamakan firasy karena si suami atau si tuan menggaulinya atau tidur bersamanya.
 
Oleh karena anak hasil zina itu tidak dinasabkan kepada laki-laki yang berzina maka:
• Anak itu tidak berbapak.
• Anak itu tidak saling mewarisi dengan laki-laki itu.
• Bila anak itu perempuan dan di kala dewasa ingin menikah, maka walinya adalah wali hakim, karena dia itu tidak memiliki wali. Rasulullah ﷺ bersabda, yang artinya “Maka sulthan (pihak yang berwenang) adalah wali bagi orang yang tidak memiliki wali.” [Hadis hasan Riwayat Asy Syafi’iy, Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah]
 
Sumber:
Ikuti kami selengkapnya di:
WhatsApp: +61 (450) 134 878 (silakan mendaftar terlebih dahulu)
Website: https://nasihatsahabat.com/
Facebook: https://www.facebook.com/nasihatsahabatcom/
Instagram: NasihatSahabatCom
Telegram: https://t.me/nasihatsahabat
Pinterest: https://id.pinterest.com/nasihatsahabat
#istibra, #beristibra, #istibro, #farasy, #kasur, #tempat tidur, #anakzina, #hukum, #nisbatkan, #dinisbatkan #wanita, #perempuan, #muslimah. #hamildiluarnikah, #kawin, #nikah, #pernikahan, #perkawinan, #walinikah, #statushukum, #statushukumanakzina #tekdung #perzinahan