بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَانِ الرَّحِيْمِ

Bismillah
 
CARA-CARA BERPUASA DI HARI ASYURA
>> Diolah oleh Aris Munandar bin S Ahmadi, dari kitab Rad’ul Anam Min Muhdatsati Asyiril Muharram Al-Haram, karya Abu Thayib Muhammad Athaullah Hanif, tahqiq Abu Saif Ahmad Abu Ali
 
Ada empat cara berpuasa di hari Asyura:
 
1. Berpuasa selama tiga hari pada 9, 10, dan 11 Muharram.
Hal ini berdasarkan hadis Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dengan lafal sebagaimana telah disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam al-Huda dan al-Majd Ibnu Taimiyyah dalam al-Muntaqa 2/2:
 
خَالِفُوا الْيَهُودَ وَصُومُوا يَوْمًا قَبْلَهُ وَ يَوْمًا بَعْدَهُ
 
“Selisihilah orang Yahudi, dan berpuasalah sehari sebelum dan setelahnya.”
 
Dan pada riwayat ath-Thahawi menurut penuturan pengarang Al-Urf asy-Syadzi:
 
صُومُوهُ وَصُومُوا قَبْلَهُ أَوْ بَعْدَهُ يَوْمًا وَ لاَ تُشَبِّهُوَا بِالْيَهُوْدِ
 
“Puasalah pada hari Asyura, dan berpuasalah sehari sebelum dan setelahnya, dan janganlah kalian menyerupai orang Yahudi.”
 
Namun di dalam sanadnya ada rawi yang diperbincangkan. Ibnul Qayyim berkata (dalam Zaadud Ma’al 2/76): ”Ini adalah derajat yang sempurna.” Syaikh Abdul Haq ad-Dahlawi mengatakan: ”Inilah yang utama.”
 
Ibnu Hajar di dalam Fathul Baari 4/246 juga mengisyaratkan keutamaan cara ini. Dan termasuk yang memilih pendapat puasa tiga hari tersebut (9, 10 dan 11 Muharram) adalah Asy-Syaukani (Nailul Authar 4/245) dan Syaikh Muhamad Yusuf Al-Banury dalam Ma’arifus Sunan 5/434.
 
Namun Mayoritas Ulama yang memilih cara seperti ini adalah dimaksudkan untuk lebih hati-hati. Ibnul Qudamah di dalam Al-Mughni 3/174 menukil pendapat Imam Ahmad yang memilih cara seperti ini (selama tiga hari) pada saat timbul kerancuan dalam menentukan awal bulan.
 
2. Berpuasa pada 9 dan 10 Muharram
Mayoritas hadis menunjukkan cara ini:
 
صَامَ رَسُولُ الهِع صَلَّى الهُت عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ قَالُوا يَا رَسُولَ الهِس إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى فَقَالَ رَسُولُ الهَِ صَلَّى الهُم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ قَالَ فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّيَ رَسُولُ الهَِ صَلَّى الهَُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
 
“Rasulullah ﷺ berpuasa pada hari Asyura dan memerintahkan berpuasa. Para shahabat berkata: ”Ya Rasulullah, sesungguhnya hari itu diagungkan oleh Yahudi.” Maka beliau ﷺ bersabda: “Di tahun depan insya Allah kita akan berpuasa pada hari kesembilan (Muharram -pent).” Tetapi sebelum datang tahun depan Rasulullah ﷺ telah wafat.” [Hadis Shahih Riwayat Muslim 2/796, Abu Daud 2445, Thabary dalam Tahdzibul Atsar 1/24, Baihaqi dalam Al-Kubra 4/287 dan As-Shugra 2/119 serta Syu’abul Iman 3506 dan Thabrabi dalam Al-Kabir 10/391]
 
Dalam riwayat lain:
لَئِنْ بَقِيتُ إِلَى قَابِلٍ لأَصُومَنَّ التَّاسِعَ
 
“Jika aku masih hidup pada tahun depan, sungguh aku akan melaksanakan puasa pada hari kesembilan.” [Hadis Shahih Muslim 2/798, Ibnu Majah 736, Ahmad 1/224, 236, 345, Baihaqi 4/287, Ibnu Abi Syaibah dalam Mushanafnya 3/58, Thabrani dalam Al-Kabir 10/401, Thahawi 2/77 dan lain-lain].
 
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata [Fathul Baari 4/245]: ”Keinginan beliau ﷺ untuk berpuasa pada hari kesembilan mengandung kemungkinan, bahwa beliau ﷺ tidak hanya berpuasa pada hari kesembilan saja, namun juga ditambahkan pada hari kesepuluh. Kemungkinan dimaksudkan untuk berhati-hati, dan mungkin juga untuk menyelisihi kaum Yahudi dan Nashara. Kemungkinan kedua inilah yang lebih kuat, yang itu ditunjukkan sebagian riwayat Muslim.”
 
عَنْ عَطَاء أَنَّهُ سَمِعَ ابْنِ عَبَاسٍ يَقُوْلُ: وَخَالِفُوا الْيَهُودَ صُومُوا التَّاسِعَ وَ الْعَاشِرَ
 
“Dari ‘Atha’, dia mendengar Ibnu Abbas berkata: ”Selisihilan Yahudi, berpuasalah pada 9 dan 10 (Muharram -pent)”.
 
3. Berpuasa Dua Hari, yaitu 9 dan 10 Muharram atau 10 dan 11 Muharram
 
صُومُوا يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ وَخَالِفُوا الْيَهُودَ صُومُوا قَبْلَهُ يَوْمًا أَوْ بَعْدَهُ يَوْمًا
 
“Berpuasalah pada hari Asyura dan selisihilah orang Yahudi. Puasalah sehari sebelumnya atau sehari setelahnya.”
 
Hadis Marfu’ ini TIDAK SHAHIH karena ada tiga illat (cacat):
• Ibnu Abi Laila, lemah karena hafalannya buruk.
• Dawud bin Ali bin Abdullah bin Abbas, bukan hujjah
• Perawi sanad hadis tersebut secara mauquf lebih tsiqah dan lebih hafal daripada perawi jalan/sanad Marfu’
 
Jadi hadis di atas SHAHIH SECARA MAUQUF, sebagaimana dalam as-Sunan al-Ma’tsurah karya As-Syafi’i no 338 dan Ibnu Jarir ath-Thabari dalam Tahdzibul Atsar 1/218.
 
Ibnu Rajab berkata (Lathaiful Ma’arif hal 49): ”Dalam sebagian riwayat disebutkan atau sesudahnya, maka kata atau di sini mungkin karena keraguan dari perawi, atau memang menunjukkan kebolehan….”
 
Al-Hafidz berkata [Fathul Baari 4/245-246): ”Dan ini adalahl akhir perkara Rasulullah ﷺ. Dahulu beliau ﷺ suka menyocoki Ahli Kitab dalam hal yang tidak ada perintah. Lebih-lebih bila hal itu menyelisihi orang-orang musyrik. Maka setelah Fathu Makkah dan Islam menjadi termahsyur, beliau ﷺ suka menyelisihi Ahli Kitab sebagaimana dalam hadis shahih. Maka ini (masalah puasa Asyura) termasuk dalam hal itu. Maka pertama kali beliau ﷺ menyocoki Ahli Kitab dan berkata: ”Kami lebih berhak atas Musa daripada kalian (Yahudi).” Kemudian beliau ﷺ menyukai menyelisihi Ahli Kitab, maka beliau ﷺ menambah sehari sebelum atau sesudahnya untuk menyelisihi Ahli Kitab.”
 
Ar-Rafi’i berkata (at-Talhish al-Habir 2/213): ”Berdasarkan ini, seandainya tidak berpuasa pada hari kesembilan, maka dianjurkan untuk berpuasa pada hari kesebelas.″
 
4. Berpuasa Pada 10 Muharram Saja
Al-Hafidz berkata [Fathul Baari 4/246): ”Puasa Asyura mempunyai tiga tingkatan:
• Yang terendah berpuasa sehari saja,
• Tingkatan di atasnya ditambah puasa pada hari kesembilan, dan
• Tingkatan di atasnya ditambah puasa pada hari kesembilan dan kesebelas. Wallahu a’lam.”
 
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun V/1421H/2001M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
 
 
Catatan Tambahan:
Hadis Mauquf menurut istilah adalah “Sabda/perkataan, atau perbuatan, atau taqrir yang disandarkan kepada seorang shahabat Nabi ﷺ, baik yang bersambung sanadnya kepada Nabi ﷺ ataupun tidak bersambung.
 
Hadis Marfu’ menurut istilah adalah “Sabda/perkataan, atau perbuatan, atau taqrir (penetapan), atau sifat yang disandarkan kepada Nabi ﷺ, baik yang bersifat jelas ataupun secara hukum (disebut Marfu’ = Marfu’ Hukman), baik yang menyandarkannya itu sahabat atau bukan, baik sanadnya muttashil (bersambung) atau munqathi’ (terputus).
 

══════

Mari sebarkan dakwah sunnah dan meraih pahala. Ayo di-share ke kerabat dan sahabat terdekat..!
Ikuti kami selengkapnya di:
WhatsApp: +61 (450) 134 878 (silakan mendaftar terlebih dahulu)
Website: https://nasihatsahabat.com/
Email: [email protected]
Facebook: https://www.facebook.com/nasihatsahabatcom/
Instagram: @NasihatSahabatCom
Telegram: https://t.me/nasihatsahabat
Pinterest: https://id.pinterest.com/nasihatsahabat