بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

CARA BAYAR UTANG JIKA TIDAK TAHU DI MANA ORANGNYA

1) Bersungguh-sungguh mencari alamat orang tersebut, dan tidak terburu-buru menyerah.

2) Jika tidak ketemu, maka bersedekah senilai utang tersebut, atas namanya untuk kepentingan kaum Muslimin.

3) Jika suatu saat bertemu, maka dijelaskan tentang sedekah itu.Jika dia ridha, maka utang terbebas. Dan jika tidak, maka tetap wajib membayar utang tersebut, dan sedekah tadi menjadi pahala yang berutang tadi.

4) Jika orangnya sudah meninggal, maka berusaha mencari ahli warisnya. Jika tidak ketemu, maka sedekahkan.

Telah kita bahas bahwa utang adalah darurat dan tidak boleh [https://Muslimafiyah.com/hutang-itu-darurat-jangan-bergaya-dengan-yang-darurat.html] serta bahaya bermudah-mudah berutang [https://Muslimafiyah.com/hutang-dibawa-mati-yang-ditunaikan-oleh-allah.html], sehingga seorang Muslim harus bersegera mungkin membayar utangnya.

Akan tetapi ada kalanya orang yang kita pinjam uangnya tidak ketemu dan tidak tahu tempatnya. Solusinya sebagaimana yang dijelaskan dalam fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah berikut:

فعليك أن تسأل وتحرص، حتى تعرف أماكنهم وعناوينهم، ثم ترسل لهم حقوقهم، ولا تعجل..، فإن أيست من ذلك، فتصدق بها عنهم بالنية عن أصحابها، ومتى حضروا تخيرهم، فإن قبلوا الصدقة فالأجر لهم، وإن لم يقبلوها، صار الأجر لك، وتعطيهم حقهم.

“Wajib bagi engkau bertanya dan bersungguh-sungguh, sampai engkau tahu tempat dan alamatnya. Kemudian engkau kirimkan hak mereka (utang). Jangan terburu-buru (menyimpulkan tidak ketemu). Jika sudah benar-benar tidak ketemu, maka bersedekah dengan niat pahala bagi mereka. Kapan pun engkau bertemu, maka mereka diberi pilihan. Jika mereka menerima sedekah itu, pahalanya untuk mereka, dan jika tidak menerima, maka pahala sedekah untukmu dan engkau tetap wajib membayar utangmu.” [http://www.alifta.net/fatawa/fatawaDetails.aspx?BookID=5&View=Page&PageNo=7&PageID=5457&languagename=].

Hal ini dikuatkan oleh riwayat dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu, bahwa beliau membeli budak dari seorang laki-laki. Kemudian beliau masuk (ke dalam rumah) untuk mengambil uang pembayaran. Akan tetapi tuan budak tadi malah pergi, sampai Ibnu Mas’ud yakin, tuan budak tersebut tidak akan kembali. Akhirnya beliau bersedekah dengan uang tadi dan mengatakan:

“Ya Allah, uang ini adalah milik tuan budak tadi. Jika dia ridho, maka balasan untuknya. Namun jika dia enggan, maka balasan untukku dan baginya kebaikanku sesuai dengan kadarnya.” [Tazkiyatun Nufus pada Bab At-Taubah yang dikumpulkan dari tulisan Ibnu Rajab, Ibnul Qayyim, dan Imam Al Ghazali oleh Dr. Ahmad Farid].

Jika orangnya sudah meninggal, maka kita berusaha mencari ahli warisnya. Demikianlah kaidah secara umum, jika kita memegang harta orang lain.

Imam An-Nawawi berkata:

قَالَ الْغَزَالِيُّ إذَا كَانَ مَعَهُ مَالٌ حَرَامٌ وَأَرَادَ التَّوْبَةَ وَالْبَرَاءَةَ مِنْهُ فَإِنْ كَانَ لَهُ مَالِكٌ مُعَيَّنٌ وَجَبَ صَرْفُهُ إلَيْهِ أَوْ إلَى وَكِيلِهِ فَإِنْ كَانَ مَيِّتًا وَجَبَ دَفْعُهُ إلَى وَارِثِهِ وَإِنْ كَانَ لِمَالِكٍ لَا يَعْرِفُهُ وَيَئِسَ مِنْ مَعْرِفَتِهِ فَيَنْبَغِي أَنْ يَصْرِفَهُ فِي مَصَالِحِ الْمُسْلِمِينَ الْعَامَّةِ كَالْقَنَاطِرِ وَالرُّبُطِ وَالْمَسَاجِدِ وَمَصَالِحِ طَرِيقِ مَكَّةَ وَنَحْوِ ذَلِكَ مِمَّا يَشْتَرِكُ الْمُسْلِمُونَ فِيهِ وَإِلَّا فَيَتَصَدَّقُ بِهِ عَلَى فَقِيرٍ أَوْ فُقَرَاءَ

“Ghazali menyebutkan, barang siapa yang menyimpan harta haram dan ia hendak bertaubat dan hendak berlepas diri dari harta haram tersebut, maka jika ada pemiliknya, dikembalikan padanya, atau kepada wakilnya. Jika pemiliknya sudah meninggal, wajib menyerahkan kepada ahli warisnya. Namun jika pemilik  dan ahli warisnya tidak diketahui juga, dan sudah bersungguh-sungguh mencari, maka hendaknya harta tersebut disedekahkan untuk kemaslahatan kaum Muslimin, seperti untuk membangun jembatan, masjid, menjaga perbatasan negara Islam, dan sektor lain yang bermanfaat untuk segenap kaum Muslimin, atau boleh juga ia sumbangkan kepada fakir miskin.” [Majmu’ Syarh Muhazzab, 9:351].

[Artikel www.Muslimafiyah.com]