بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

#DakwahTauhid

UNTUKMU YANG MASIH SUKA BERDEMO DAN INGIN MEMBERONTAK

  • Apakah Ulil Amri yang Wajib Ditaati Hanya yang Berhukum dengan Kitabullah?

Terdapat sebuah syubhat, bahwa Ulil Amri yang wajib ditaati hanyalah yang berhukum dengan Kitabullah. Jika tidak, maka boleh melakukan pemberontakan. Syubhat ini yang seringkali disebarkan oleh para pemberontak terhadap Ulil Amri di setiap masa dan setiap tempat. Bagaimana jawaban terhadap syubhat ini?

  • Terdapat sebuah syubhat sebagai berikut:

Salah satu dalil yang sering dijadikan acuan dalam menilai, siapakah yang pantas dianggap sebagai Ulil Amri (Waliyyul Amri) adalah hadis shahih yang berbunyi:

إِنْ أُمِّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ مُجَدَّعٌ حَسِبْتُهَا قَالَتْ أَسْوَدُ يَقُودُكُمْ بِكِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى فَاسْمَعُوا لَهُ وَأَطِيعُوا

“Bila seorang budak yang buntung dan berkulit hitam diangkat sebagai pemimpin kalian, dan dia memimpin kalian dengan Kitab Allah, maka dengar dan ta’ati”.
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya dalam Bab Wujub Tha’at al Umara Fi Ghairi Ma’shiyah Wal Imam Junnah.
Perlu dicatat, dalam Shahihnya Imam Muslim menuturkan beberapa hadis dengan ada sedikit perbedaaan redaksi. Tetapi pada intinya sama menggunakan kata-kata:

يَقُودُكُمْ بِكِتَابِ اللَّهِ

“Dia memimpin kalian dengan/berdasarkan Kitabullah“.
Dalam riwayat Tirmidzi menggunakan redaksi

ما أقام لكم كتاب الله

“Selama dia menegakan Kitab Allah bagi kalian“.
Dalam kitab Tuhfah al Ahwadzi Syarh Sunan Tirmidzi disebutkan: “Maksudnya adalah selama menegakan hukum-Nya juga mencakup Sunah Nabi-Nya”.
Berangkat dari zahir hadis ini, disimpulkan bahwa JIKA SI PEMIMPIN TIDAK MEMIMPIN DENGAN KITABULLAH, ATAU TIDAK MENEGAKKAN KITABULLAH PADA RAKYATNYA, MAKA JANGAN DIDENGAR DAN DITAATI.
Lalu, dari kesimpulan (Mafhum Mukhalafah) ini dibuatlah definisi, bahwa Waliyyul Amri adalah pemimpin yang menegakkan Kitabullah saja. Selain itu bukanlah Waliyyul Amri yang kita tidak dilarang untuk berontak kepadanya.
Benarkah pemahaman di atas??
Sabda Nabi ﷺ:

يقودكم بكتاب الله … ما أقام فيكم كتاب الله

“Yang membimbing kalian dengan Kitabullah… Selama ia menegakkan Kitabullah bagi kalian”.
Itu i’rob-nya adalah sifat atau haal. Nah, sifat/haal itu sendiri TIDAK selamanya berarti Muqayyidah (membatasi pengertian dari isim yang disifati/dijelaskan keadaannya), akan tetapi bisa pula berarti Sifatun Kaasyifah (sekedar menjelaskan tanpa bermaksud membatasi). Dan yang jenis kedua ini bisa dikenali, bilamana fungsinya menjelaskan sifat yang biasa dijumpai pada isim tersebut.
Jika demikian kondisinya, maka sifat ini tidak punya Mafhum Mukhaalafah yang mu’tabar. Ini kaidah Usul Fiqih. Contohnya dalam ayat:

لا تأكلوا الربا أضعافا مضاعفة

“Janganlah kalian memakan riba yang berlipat ganda” (QS. Ali Imran: 130).
 
Tidak berarti bahwa riba yang tidak berlipat ganda (sepertt bunga bank) boleh dimakan. Karena sifat/haal ‘berlipat ganda’ di sini bukan Sifat/Haal Muqayyidah, tapi Sifat/Haal Kaasyifah yang menjelaskan, bahwa kebanyakan model riba yang ada saat ayat ini turun adalah riba berlipat ganda ala jahiliyyah.
Contoh lainnya pada ayat:

ولا تكرهوا فتياتكم على البغاء إن أردن تحصنا لتبتغوا عرض الحياة الدنيا

“Janganlah kalian paksa budak-budak wanita kalian untuk melacur BILA MEREKA INGIN MEMELIHARA KEHORMATANNYA, hanya karena kalian menginginkan materi duniawi…”. (QS. An-Nur: 33)
Ini juga Sifat/Haal Kaasyifah yang tidak bisa difahami, bahwa jika si budak memang tidak ingin memelihara kehormatannya, maka boleh kita paksa melacur, lalu uang hasil pelacurannya kita makan. Sama sekali tidak. Ayat ini sekedar menyifati atau menjelaskan keadaan orang-orang jahiliyyah yang kerap memaksa budak-budak wanita mereka untuk melacur.
Demikian pula dalam hadis:

من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد

“Siapa yang membikin perkara baru dalam urusan kami ini (agama), yang bukan bagian dari agama, maka perkara tersebut tertolak“. (HR. Bukhari & Muslim)
Perkataan Nabi ﷺ:

ما ليس منه

“Yang bukan bagian darinya“.
Tidak bisa difahami bahwa bila perkara Muhdats (baru) tersebut adalah bagian dari agama, maka ia tidak tertolak. Namun menjelaskan bahwa semua perkara Muhdats (yang baru dalam agama) adalah bukan bagian dari agama, dan ia tertolak.
Demikian pula dalam hadis yang difahami secara terbalik tersebut. Rasulullah ﷺ mengatakan:

يقودكم بكتاب الله… ما أٌقام فيكم كتاب الله

“Yang membimbing kalian dengan Kitabullah… Selama ia menegakkan Kitabullah bagi kalian”.
bukanlah Sifat/Haal Muqayyidah, karena kita memiliki qarinah (indikasi) kuat berupa realita mayoritas umara’ dari masa Nabi ﷺ hingga menjelang runtuhnya khilafah, semuanya berhukum dengan Kitabullah.
Jadi jelaslah, bahwa kata-kata tersebut TIDAK memiliki Mafhum Mukhalafah yang Mu’tabar. Alias tidak bisa difahami bahwa bila yang bersangkutan tidak menggiring rakyatnya berdasarkan Kitabullah, kita suruh berontak.
Bukti lainnya ialah sikap Imam Ahmad, Imam Ahlussunnah wal Jama’ah dalam menghadapi para khalifah yang memaksakan kekafiran kepada para ulama (Al Ma’mun, Al Mu’tashim, dan Al Watsiq). Beliau mengafirkan ucapan “Alquran itu makhluk”. Bahkan menurut Al Khollal, beliau mengafirkan Al Ma’mun secara personal. Namun tetap melarang angkat senjata. Bahkan setelah Khalifah Al Watsiq menyembelih sahabat Imam Ahmad bernama Ahmad bin Nashr Al Khuza’iy, beliau tetap melarang para tokoh masyarakat dan ulama untuk berontak, demi menghindari pertumpahan darah. Beliau hanya menyuruh agar bersabar, sampai orang-orang yang baik istirahat, atau diistirahatkan dari si bejat.
Ketika Imam Ahmad ditanya mengapa beliau tidak mengizinkan untuk berontak dengan senjata? Jawab beliau: “Aku khawatir timbul fitnah”.
Mereka pun balik bertanya: “Lho, bukankah saat ini kita sudah terkena fitnah” (karena dipaksa mengatakan bahwa Alquran itu makhluk. Padahal ini perkataan yang disepakati sebagai kekafiran akbar).
Maka kata Imam Ahmad: “Iya benar, namun fitnah saat ini sifatnya terbatas pada para ulama. Dan bila terjadi pemberontakan, maka fitnah ini akan melanda siapa saja”.
Artinya, saat itu hanyalah para ulama yang ditindas oleh penguasa dan dipaksa mengatakan kata-kata kufur tersebut. Sedangkan masyarakat secara umum tidak mendapat tekanan. Akan tetapi bila terjadi pemberontakan, maka semuanya akan merasakan dampak buruknya.
Kesimpulannya:
Pemimpin yang tidak menegakkan Kitabullah, tidak lantas diabaikan statusnya sebagai pemimpin. Sebab menegakkan Kitabullah pun sifatnya nisbi. Al Ma’mun, Al Mu’tashim, dan Al Watsiq pernah melakukan dan memaksakan sesuatu yang diyakini oleh Ahlussunnah sebagai kekufuran, yang konsekuensinya mereka telah mengganti ajaran Kitabullah dengan ajaran bid’ah/kufur. Namun itu tidak cukup dijadikan alasan untuk melengserkan mereka. Alasannya, karena mereka masih punya penghalang untuk dikafirkan, atau karena pemberontakan tersebut akan menimbulkan mafsadat yang lebih besar.
Wallaahu ta’ala A’lam.
***
 
Diambil dari tulisan Al-ustadz Dr. Sufyan Baswedan hafizhahullah dengan pengurangan dan penambahan
Penyusun: Al-ustadz Abu Yahya Badrusalam, Lc. hafizhahullah
[Artikel Muslim.or.id]
 
Sumber: http://muslim.or.id/29260-apakah-ulil-amri-yang-wajib-ditaati-hanya-yang-berhukum-dengan-Kitabullah.html