Oleh: Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,
Islam tidak pernah menyia-nyiakan amal hamba. Sampaipun sekadar memberikan bantuan yang ringan bagi orang lain. Termasuk memberikan utang kepada orang lain, yang itu pasti dikembalikan. Padahal kita tahu, dalam memberikan utang untuk tempo pendek, tidak ada harta kita yang berkurang, selain karena pengaruh propaganda orang kafir, penurunan nilai mata uang (time value of money).
Namun umumnya orang yang memberi utang merasa cemas ketika uangnya yang berada di tangan orang lain. Dan Allah yang Maha Pemurah tidak menyia-nyiakan kebaikan hamba, sekalipun yang dia korbankan hanya perasaaan dan kecemasan karena menyerahkan uang kepada orang lain, Allah gantikan ini dengan pahala.
Dalam hadis dari Ibn Mas’ud, Nabi ﷺ bersabda:
كل قرض صدقة
“Setiap mengutangi orang lain adalah sedekah.” [HR. Thabrani dengan sanad Hasan, al-Baihaqi, dan dishahihkan al-Albani)
Kemudian dari Abu Umamah, Nabi ﷺ bersabda: “Ada seseorang yang masuk Surga kemudian dia melihat ada tulisan di pintunya:
الصدقة بعشر أمثالها والقرض بثمانية عشر
“Sedekah itu nilainya sepuluh kalinya dan utang nilainya 18 kali.” [HR. Thabrani, al-Baihaqi dan dishahihkan al-Albani dalam Shahih Targhib)
Juga dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ أَقْرَضَ اللَّهَ مَرَّتَيْنِ، كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ أحدهما لو تصدق به
Siapa yang memberi utang dua kali karena Allah, maka dia mendapat pahala seperti sedekah dengannya sekali. [HR. Ibnu Hibban 5040 dan diHasankan Syuaib al-Arnauth]
Terlebih lagi ketika orang yang berutang mengalami kesulitan, kemudian dia memberikan penundaan pembayaran, Rasulullah ﷺ janjikan pahala yang besar. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda:
Barang siapa yang memberi waktu tunda pelunasan bagi orang yang kesusahan membayar utang atau membebaskannya, maka Allah akan menaunginya dalam naungan (Arsy)-Nya pada hari Kiamat, yang tidak ada naungan selain naungan (Arsy)-Nya. [HR. Ahmad, 2/359, Muslim 3006, dan Turmudzi 1306, dan dishahihkan al-Albani]
Beberapa Aturan dalam Menagih Utang
Islam memberikan aturan dalam masalah utang-piutang, agar orang yang memberikan utang (kreditur) tidak terjebak dalam kesalahan dan dosa besar, yang akan membuat amalnya sia-sia. Dosa itu adalah dosa riba dan kezaliman. Karena umumnya riba dan tindakan kezaliman terjadi dalam masalah utang piutang.
Pertama, Islam menyarankan agar dilakukan pencatatan dalam transaksi utang piutang, terlebih ketika tingkat kepercayaanya kurang sempurna. Semua ini dalam rangka menghendari sengketa di belakang. Allah berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah [179] tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. [QS. al-Baqarah: 282]
Dalam tafsir as-Sa’di dinyatakan:
الأمر بكتابة جميع عقود المداينات إما وجوبا وإما استحبابا لشدة الحاجة إلى كتابتها، لأنها بدون الكتابة يدخلها من الغلط والنسيان والمنازعة والمشاجرة شر عظيم
Perintah untuk mencatat semua transaksi utang piutang bisa hukumnya wajib dan bisa hukumnya sunah, mengingat beratnya kebutuhan untuk mencatatnya. Karena jika tanpa dicatat, rentan tercampur dengan bahaya besar, kesalahan, lupa, sengketa dan pertikaian. [Tafsir as-Sa’di, hlm. 118]
Kedua, Allah memerintahkan kepada orang yang memberikan utang agar memberi penundaan waktu pembayaran, ketika orang yang berutang mengalami kesulitan pelunasan.
Jika (orang yang berutang itu) dalam kesulitan, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui. [QS. al-Baqarah: 280]
Al-Hafidz Ibnu Katsir mengatakan:
يأمر تعالى بالصبر على المعسر الذي لا يجد وفاء، فقال: { وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَة } لا كما كان أهل الجاهلية يقول أحدهم لمدينه إذا حل عليه الدين: إما أن تقضي وإما أن تربي ثم يندب إلى الوضع عنه، ويعد على ذلك الخير والثواب الجزيل
Allah perintahkan kepada orang yang memberi utang untuk bersabar terhadap orang yang kesulitan, yang tidak mampu melunasi utangnya. ”Jika (orang yang berutang itu) dalam kesulitan, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan..” tidak seperti tradisi jahiliyah. Mereka mengancam orang yang berutang kepadanya ketika jatuh tempo pelunasan telah habis, ’Kamu lunasi utang atau ada tambahan pembayaran (riba).’ Kemudian Allah menganjurkan untuk menggugurkan utangnya, dan Allah menjanjikan kebaikan dan pahala yang besar baginya. [Tafsir Ibnu Katsir, 1/717]
Rasulullah ﷺ menjanjikan baginya pahala sedekah selama masa penundaan. Beliau ﷺ bersabda:
Siapa yang memberi tunda orang yang kesulitan, maka dia mendapatkan pahala sedekah setiap harinya. Dan siapa yang memberi tunda kepadanya setelah jatuh tempo, maka dia mendapat pahala sedekah seperti utang yang diberikan setiap harinya. [HR. Ahmad 23046, Ibnu Majah 2418 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth]
Kaidah Ketiga, memberikan utang termasuk transaksi sosial. Amal saleh yang berpahala. Karena itu orang yang memberi utang dilarang mengambil keuntungan karena utang yang diberikan, apapun bentuknya, selama utang belum dilunasi.
Sahabat Fudhalah bin Ubaid radhiallahu ‘anhu mengatakan:
كل قرض جر منفعة فهو ربا
“Setiap piutang yang memberikan keuntungan, maka (keuntungan) itu adalah riba.”
Keuntungan yang dimaksud dalam riwayat di atas mencakup semua bentuk keuntungan, bahkan sampai bentuk keuntungan pelayanan. Dari Abdullah bin Sallam radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan:
“Apabila kamu mengutangi orang lain, kemudian orang yang diutangi memberikan fasilitas kepadamu dengan membawakan jerami, gandum, atau pakan ternak, maka janganlah menerimanya, karena itu riba.” [HR. Bukhari 3814]
Kemudian diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu:
إذا أقرض أحدكم قرضا فأهدى له أو حمله على الدابة فلا يركبها ولا يقبله
“Apabila kalian mengutangkan sesuatu kepada orang lain, kemudian (orang yang berutang) memberi hadiah kepada yang mengutangi atau memberi layanan berupa naik kendaraannya (dengan gratis), janganlah menaikinya dan jangan menerimanya.” [HR. Ibnu Majah 2432]
Keempat, terkait nilai penurunan mata uang
Orang yang memberi utang hendaknya siap menerima resiko penurunan nilai mata uang. Karena ulama sepakat, orang yang memberi utang hanya berhak meminta pengembalian sebesar uang yang dia berikan, tanpa memperhatikan keadaan penurunan nilai mata uang.
Dalam Mursyid al-Hairan – kitab Mumalah Madzhab Hanafi – dinyatakan:
وإن استقرض شيئا من المكيلات والموزونات والمسكوكات من الذهب والفضة فرخصت أسعارها أو غلت فعليه رد مثلها ولا عبرة برخصها أو غلائها
Apabila orang berutang sesuatu berupa barang yang ditakar atau ditimbang atau emas perak yang dicetak, kemudian harganya mengalami penurunan atau kenaikan, maka dia wajib mengembalikan utangnya sama seperti yang dia pinjam, tanpa memperhitungkan penurunan maupun kenaikan harga. (Mursyid al-Hairan ila Ma’rifah Ahwalil Insan fil Muamalat ’ala Madzhabi Abu hanifah an-Nu’man, keterangan no. 805).
Ibnu Abidin mengatakan semisal:
إنه لا يلزم لمن وجب له نوعٌ منها سواه بالإجماع
Tidak ada kewajiban bagi orang yang memiliki utang selain yang sama dengannya, dengan sepakat ulama. [Tanbih ar-Ruqud ’ala Masail an-Nuqud, hlm. 64]
Demikian keterangan dalam Madzhab Hanafi. Keteranga yang sama juga disampaikan dalam Madzhab Syafiiyah.
As-Syairazi mengatakan:
ويجب على المستقرِض ردُّ المثل فيما له مثل؛ لأن مقتضى القرض: رد المثل
Wajib bagi orang yang berutang untuk mengembalikan yang semisal, untuk harta yang ada padanannya. Karena konsekuensi utang adalah mengembalikan dengan yang semisal. [Al-Muhadzab, 2/81]
Kemudian keterangan dalam Madzhab Hambali, kita simpulkan dari penjelasan Ibnu Qudamah:
Orang yang berutang wajib mengembalikan yang semisal, untuk barang yang memiliki padanan. Baik harganya turun maupun naik atau sesuai keadaan awal. [Al-Mughni, 4/244]
Di tempat lain beliau mengatakan, bahwa itu sepakat ulama:
ويجب رد المثل في المكيل والموزون. لا نعلم فيه خلافا. قال ابن المنذر: أجمع كل من نحفظ عنه من أهل العلم، على أن من أسلف سلفا، مما يجوز أن يسلف، فرد عليه مثله، أن ذلك جائز وأن للمسلف أخذ ذلك
Wajib mengembalikan yang semisal untuk barang yang ditakar maupun ditimbang. Kami tidak mengetahui adanya perselisihan dalam masalah ini.
Ibnul Mundzir mengatakan:
”Semua ulama yang kami ketahui, mereka sepakat, bahwa orang yang berutang sesuatu yang halal, kemudian dia menembalikan dengan semisal, maka hukumnya boleh dan bagi pemberi utang, bisa menerimanya.” [Al-Mughni, 4/239]
Kelima, apabila uang yang dulu tidak berlaku
Utang dengan uang masa silam, kemudian masyarakat tidak lagi memberlakukannya, dengan apapun sebabnya, maka yang wajib dilakukan adalah mengembalikan dengan mata uang yang senilai dengan mata uang yang tidak berlaku itu atau dengan emas atau perak. Karena untuk mengembalikan yang semisal [Al-Mitsl) tidak memungkinkan, sehingga dikembalikan dalam bentuk nilai [Al-Qimah).
Apabila utang dalam bentuk uang kertas atau uang logam, kemudian pemerintah menariknya, dan tidak lagi menggunakan jenis uang ini, maka orang mengutangi berhak mendapat uang yang senilai. Dan dia tidak harus menerima uang kuno itu, baik uang yang diutangkan itu masih ada di tangan maupun sudah rusak, karena tidak memungkinkan untuk memilikinya. [Al-Mughni, 4/244]
Kemudian beliau menegaskan:
يقومها كم تساوي يوم أخذها؟ ثم يعطيه، وسواء نقصت قيمتها قليلا أو كثيرا
Dia tentukan berapa nilai uang ketika dia mengambilnya, kemudian dia berikan uang itu, baik nilainya turun sedikit maupun banyak. [Al-Mughni, 4/244]
Sebagai ilustrasi, tahun 1991 si A memberi utang 50 ribu bergambar Presiden Orba. Di tahun 2011 si B melunasi dengan uang 50 ribu bergambar I Gusti Ngurah Rai, karena uang kuno tidak berlaku. Meskipun nilai 50 ribu dari tahun 1991 hingga 2011 mengalami penurunan yang sangat tajam.
Keenam, pembayaran utang dalam bentuk yang lain
Dibolehkan menerima pembayaran utang dalam bentuk yang lain, misalnya utang uang dibayar emas, atau utang rupiah dibayar dollar, atau semacamnya dengan syarat:
1. Kesepakatan beda jenis pembayaran ini tidak dilakukan pada saat utang, namun baru disepakati pada saat pelunasan.
2. Menggunakan standar harga waktu pelunasan, dan bukan harga waktu utang.
(Fatwa Dar al-Ifta’ Yordan: http://aliftaa.jo/Question.aspx?QuestionId=2032#.VAfLYdeSz6d)
Keterangan di atas berdasarkan keputusan Majma’ al-Fiqhi al-Islami no. 75 (6/7), yang menyatakan:
يجوز أن يتفق الدائن والمدين يوم السداد – لا قبله – على أداء الدين بعملة مغايرة لعملة الدين، إذا كان ذلك بسعر صرفها يوم السداد
Boleh dilakukan kesepakatan antara kreditur dan debitur pada waktu pelunasan – bukan pada waktu sebelumnya – untuk pelunasan utang dengan mata uang yang berbeda dengan mata uang ketika utang, jika standar harga sesuai harga tukar uang itu, waktu pelunasan.
Dalil bolehnya hal ini adalah hadis dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa beliau menjual unta di Baqi’ dengan Dinar, dan mengambil pembayarannya dengan Dirham. Kemudian beliau mengatakan:
Aku mendatangi Nabi ﷺ dan kusampaikan: ”Saya menjual unta di Baqi’ dengan Dinar secara kredit dan aku menerima pembayarannya dengan Dirham. Beliau ﷺ bersabda:
”Tidak masalah kamu mengambil dengan harga hari pembayaran, selama kalian tidak berpisah, sementara masih ada urusan jual beli yang belum selesai.” [HR. Ahmad 5555, Nasai 4582, Abu Daud 3354, dan yang lainnya]
Sebagai ilustrasi:
Misal, tahun 1991 harga emas 25 ribu/gr. Tahun 2014 harga emas 400 ribu/gr. Tahun 91, uang Rp 1 juta mendapat 40 gr emas, tahun 2014, hanya mendapat 2,5 gr.
Tahun 1991 si A utang 1 juta ke si B. Selanjutnya mereka berpisah lama. Tahun 2014, mereka ketemu dan si B meminta utang si A dilunasi dengan emas. Ada beberapa kasus di sini:
a) Si B menuntut agar utang si A dibayar dengan 40 gr emas
b) Si B menuntut agar utang si A dibayar dengan uang senilai 40 gr emas, sekitar 16 juta.
c) Si B menuntut agar utang si A dibayar dengan 2,5 gr emas
d) Si B menuntut agar utang si A dibayar dengan uang senilai 2,5 gr emas, sehingga nilainya tetap 1 juta.
Dari keempat kasus di atas, untuk kasus poin a dan poin b statusnya terlarang, karena termasuk riba dalam utang piutang. Dan ini tidak memenuhi syarat kedua seperti yang disebutkan dalam fatwa di atas, meskipun tahun 1991, mereka tidak pernah melakukan kesepakatan ini.
Sementara kasus poin c dan poin d ini yang benar, memenuhi kedua syarat yang disebutkan dalam fatwa di atas.
Secara sederhana, si B mengalami kerugian. Karena nilai 1 juta dulu dan sekarang, jauh berbeda. Namun sekali lagi, ini konsekuensi utang piutang. Pemberi utang mendapatkan pahala karena membantu orang lain, di sisi lain, dia harus siap dengan konsekuensi penurunan nilai mata uang.
Ketujuh, kelebihan dalam pelunasan utang
Dibolehkan adanya kelebihan dalam pelunasan utang dengan syarat:
1. Tidak ada kesepakatan di awal
2. Dilakukan murni atas inisiatif orang yang berutang
3. Bukan tradisi masyarakat setempat
Dalilnya hadis dari Abu Rafi’ radhiallahu ‘anhu, beliau menceritakan:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه و سلم اسْتَسْلَفَ من رَجُلٍ بَكْرًا، فَقَدِمَتْ عليه إِبِلٌ من إِبِلِ الصَّدَقَةِ، فَأَمَرَ أَبَا رَافِعٍ أَنْ يَقْضِيَ الرَّجُلَ بَكْرَهُ، فَرَجَعَ إليه أبو رَافِعٍ، فقال: لم أَجِدْ فيها إلا خِيَارًا رَبَاعِيًا، فقال: أَعْطِهِ إِيَّاهُ إِنَّ خِيَارَ الناس أَحْسَنُهُمْ قَضَاءً
Pada suatu saat Rasulullah ﷺ berutang seekor anak unta dari seseorang. Lalu datanglah kepada Nabi ﷺ unta-unta zakat. Maka beliau ﷺ memerintahkan Abu Raafi’ untuk mengganti anak unta yang beliau utang dari orang tersebut. Tak selang beberapa saat, Abu Raafi’ kembali menemui beliau dan berkata: “Aku hanya mendapatkan unta yang telah genap berumur enam tahun.” Maka Rasulullah ﷺ bersabda kepadanya: “Berikanlah unta itu kepadanya, karena sebaik-baik manusia adalah orang yang paling baik pada saat melunasi piutangnya.” (Muttafaqun ‘alaih)
Akan tetapi jika keberadaan tambahan ini diberikan karena ada kesepakatan di awal, atau permintaan pihak yang mengutangi (kreditor), atau karena masyarakat setempat memiliki kebiasaan, bahwa setiap utang harus bayar lebih, maka tambahan semacam ini terhitung riba.
Demikian beberapa kaidah terkait penagihan utang. Semoga Allah menjadikan kita Muslim yang selalu menyesuaikan diri dengan aturan syariat.