TIDAK BOLEH SESEORANG MEMANFAATKAN MILIK ORANG LAIN TANPA IZINNYA
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
TIDAK BOLEH SESEORANG MEMANFAATKAN MILIK ORANG LAIN TANPA IZINNYA
Ini adalah suatu aturan dalam Islam, sehingga kita tidak seenaknya melanggar hak yang menjadi milik orang lain. Para ulama juga membuat kaidah dalam bab fikih ketika membahas ghosob (harta curian): “Tidak boleh seseorang memanfaatkan milik orang lain tanpa izinnya.”
Kaidah yang Dimaksud
Kaidah tersebut berbunyi:
لا يجوز لأحد أن يتصرف في ملك الغير بلا إذن
“Tidak boleh seseorang memanfaatkan kepemilikan orang lain tanpa izinnya.” [Lihat Ad Durul Mukhtaar fii Syarh Tanwirul Abshor pada Kitab Ghoshob, oleh ‘Alaud-din Al Hashkafiy]
“Tidak halal harta seseorang kecuali dengan rida pemiliknya.” [HR. Ahmad 5: 72. Syaikh Syu’aib Al Arnauth berkata bahwa hadis tersebut Sahih Lighoirihi]
Izin di sini boleh jadi:
(1) Izin secara langsung,
(2) Izin tidak langsung (Izin Dalalah). Yaitu misalnya secara ‘urf (kebiasaan), hal seperti itu sudah dimaklumi tanpa ada izin lisan. Atau sudah diketahui ridanya si pemilik, jika barangnya dimanfaatkan.
Mengenai bentuk izin jenis kedua ini kita bisa berdalil dengan kisah Khidr yang menghancurkan perahu orang miskin, yang nantinya akan dirampas oleh raja. Ia sengaja menghancurkannya, karena ia tahu bahwa mereka (para pemilik) rida akan perbuatan Khidr. Allah ﷻ berfirman:
“Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut. Dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera.” [QS. Al Kahfi: 79].
Oleh karenanya, mengenai izin jenis kedua ini, Ibnu Taimiyah memiliki kaidah:
وَالْإِذْنُ الْعُرْفِيُّ كَالْإِذْنِ اللَّفْظِيِّ
“Izin secara ‘urf (kebiasaan) teranggap sama dengan izin secara lisan.” [Majmu’ Al Fatawa, 11: 427]
Di tempat lain, beliau rahimahullah mengatakan:
وَكُلُّ مَا دَلَّ عَلَى الْإِذْنِ فَهُوَ إذْنٌ
“Segala sesuatu yang bermakna izin, maka dihukumi sebagai izin.” [Majmu’ Al Fatawa, 28: 272]
Contoh Kaidah
1- Tidak boleh masuk dalam rumah atau kebun seseorang tanpa izinnya.
2- Dalam akad mudhorobah (usaha bagi hasil), jika pengelola telah diberi syarat oleh pemodal untuk menjalankan usaha di tempat tertentu, atau menjual barang tertentu, atau ditentukan waktu tertentu, lalu syarat ini dilanggar, maka itu berarti telah memanfaatkan sesuatu tanpa izin.
3- Jika ada seseorang yang dititipi sejumlah uang lantas ia memanfaatkannya tanpa izin orang yang menitipkan, maka jika ada kehilangan, dialah yang mengganti rugi, karena ia telah memanfaatkan barang tanpa izin.
4- Jika suatu jalan khusus terlarang dilewati lalu pintunya sengaja dibuka tanpa meminta izin pada pemiliknya, itu berarti telah memanfaatkan milik orang lain tanpa izin.
5- Jika seseorang mengetahui dari keadaan sahabatnya, bahwa ia selalu rida jika diambil sesuatu miliknya, maka barang milik sahabatnya tadi boleh diambil tanpa izinnya. Ini termasuk izin jenis kedua yang disebutkan di atas. [Shorim Al Maslul, Ibnu Taimiyah, hal. 195]
6- Di antara contoh lain dari izin jenis kedua, misalnya ada orang yang dititipkan uang. Lalu ia meminjam uang tersebut, dan ia tahu si pemilik uang rida, apalagi pada orang yang sifatnya Amanah. Maka boleh saja ia manfaatkan. Namun jika ia ragu apakah si pemilik meridai ataukah tidak, maka tidak boleh ia memanfaatkannya. [Majmu’ Al Fatawa, Ibnu Taimiyah, 30: 394-395]
Wallahul muwaffiq.
Referensi Utama:
• Al Mufasshol fil Qowa’idil Fiqhiyyah, Dr. Ya’qub ‘Abdul Wahab Al Bahisin, taqdim: Syaikh Prof. Dr. ‘Abdurrahman As Sudais (Imam Masjidil Haram), terbitan Dar At Tadmuriyah, cetakan kedua, tahun 1432 H, hal. 557-558.
• Al Qowa’id wadh Dhowabith Al Fiqhiyyah lil Mu’amalat Al Maaliyah ‘inda Ibni Taimiyyah, ‘Abdussalam bin Ibrahim bin Muhammad Al Hushoin, terbitan Dar At Ta’shil, cetakan pertama, tahun 1422 H, 2: 117-125.
Penulis: Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal, MSc hafizhahullah