بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

#SifatSholatNabi

TATA CARA SHOLAT JUMAT

Penulis:Al-Ustadz Abdul Mu’thi, Lc

Hukum sholat Jumat adalah fardhu/wajib atas laki-laki yang berakal dan sudah baligh yang bukan musafir, serta tidak ada uzur/halangan yang membolehkannya untuk meninggalkan Jumatan. Sholat Jumat dikerjakan untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wata’ala, sehingga seseorang meraih Surga-Nya dan terhindar dari azab-Nya.

Sholat Jumat dilangsungkan setelah didahului dengan dua khutbah. Apabila khatib telah selesai berkhutbah, maka muazin mengumandangkan iqamah. Dan yang utama, bahwa khatib itu juga yang memimpin sholat Jumat, meskipun boleh jika khatib dan imam Jumat itu berbeda. Hal ini dibolehkan karena khutbah adalah amalan tersendiri dan terpisah dari sholat, hanya saja hal ini menyelisihi sunnah. (Lihat Fatawa al- Lajnah ad-Daimah 8/237)

Telah mutawatir dan masyhur dari Nabi ﷺ, bahwa beliau sholat Jumat hanya dua rakaat [Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata: “Sholat (Ied) al-Adha dua rakaat, sholat Jumat dua rakaat, sholat (Ied) al-Fithri dua rakaat, dan sholat musafir dua rakaat, sempurna tanpa diringkas, melalui lisan Nabi kalian, dan telah merugi orang yang membuat kedustaan.” (Shahih Ibnu Khuzaimah no. 1425)]. Demikian pula bahwa kaum Muslimin telah sepakat, bahwa sholat Jumat itu dua rakaat. Dengan ini, sholat Jumat adalah sholat tersendiri, bukan Dzuhur dan bukan ganti dari Dzuhur. Barang siapa menyangka bahwa Jumatan adalah sholat Dzuhur yang diqashar/diringkas, maka dia telah jauh rimbanya. Akan tetapi, Jumatan adalah sholat tersendiri yang memiliki syarat dan sifat yang khusus. Oleh karena itu, sholat Jumat dilakukan dua rakaat meskipun dalam kondisi mukim. (lihat asy-Syarhul Mumti’ 5/88-89)

Surat Apa yang Dibaca dalam Sholat Jumat?

Surat apa saja dari Alquran yang dibaca imam setelah al-Fatihah, maka telah mencukupi. Namun ada beberapa surat yang disunnahkan untuk dibaca pada sholat Jumat, yaitu surat al-Jumu’ah dan surat al-Munafiqun atau surat al-A’la

(سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى)

dan surat al-Ghasyiyah

(هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ).

Hal ini berlandaskan hadis Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Nabi ﷺ dahulu membaca surat al-Jumu’ah dan surat al-Munafiqun dalam sholat Jumat (HR. Muslim no. 879).

Dari sahabat an-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata: “Rasulullah ﷺ membaca:

سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى

Dan

هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ

pada sholat ‘Ied dan Jumat.” (HR. Muslim 878).

Ulama menyebutkan, di antara hikmah membaca surat al-Jumu’ah, karena ia memuat tentang wajibnya Jumatan dan hukum-hukum Jumatan. Adapun hikmah dibacanya surat al-Munafiqun, karena orang-orang munafik tidaklah berkumpul pada suatu majelis yang lebih banyak daripada saat Jumatan. Oleh karena itu, dibaca surat ini sebagai celaan atas mereka dan peringatan agar mereka bertobat. (lihat Syarh Shahih Muslim 6/404 karya an-Nawawi rahimahullah).

Bacaan al-Fatihah dan surat pada sholat Jumat itu dengan jahr (dikeraskan), sebagaimana dengan sunnah Rasulullah ﷺ. Hal ini tentu menjadi salah satu bukti, bahwa sholat Jumat TIDAK SAMA dengan sholat Dzuhur. Adapun bacaan-bacaan yang lain di saat sujud, ruku’, dan semisalnya, serta gerakan-gerakannya sama dengan sholat-sholat yang lain.

Kapan Seseorang Dikatakan telah Mendapatkan Sholat Jumat?

Jika mendapatkan satu rakaat bersama imam yang minimalnya mendapatkan ruku’ bersama imam pada rakaat kedua, berarti dia telah mendapatkan sholat Jumat, sehingga dia tinggal menambah satu rakaat yang tertinggal. Ini berlandaskan hadis Abu Hurairah bahwa Nabi ﷺ bersabda:

مَنْ أَدْرَكَ مِنَ الْجُمُعَةِ رَكْعَةً فَلْيَصِلْ إِلَيْهَا أُخْرَى

“Barang siapa mendapatkan satu rakaat dari (sholat) Jumat, hendaklah dia menyambung kepadanya rakaat yang lain.” (Shahih Sunan Ibnu Majah no. 927).

Hadis ini dijadikan landasan dalam beramal menurut Mayoritas Ulama dari kalangan sahabat dan yang lainnya. Mereka mengatakan: “Barang siapa mendapati satu rakaat dari Jumatan, maka ia sholat (satu rakaat) yang lain untuk (menyempurnakannya). Barang siapa mendapati mereka sudah duduk, maka ia sholat empat rakaat.” (Sunan at-Tirmidzi 2/403).

Maka dari itu, barang siapa yang TIDAK mendapati sholat Jumat bersama imam, ia sholat Zuhur empat rakaat, BUKAN sholat Jumat.

Adakah Sholat Sunnah Qabliah Jumat?

Perlu diketahui, bahwa disunnahkan bagi seseorang yang masuk masjid pada hari Jumat untuk sholat sunnah, sampai imam naik mimbar untuk berkhutbah. Sholat sunnah ini tidak ada bilangan dan waktu tertentu. Jadi, ini tergolong sholat sunnah mutlak, BUKAN Qabliah. Adapun masalah, apakah untuk sholat Jumat ada sholat sunnah Qabliah yang khusus selain Tahiyatul Masjid sebagaimana ada sholat Qabliah Dzuhur, maka dalam hal ini TIDAK ada dalil yang kuat sedikit pun dari Nabi ﷺ.

Adapun hadis Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, bahwa Nabi ﷺ sholat sebelum Jumat empat rakaat tanpa memisahkan padanya (dengan salam), maka sanadnya LEMAH SEKALI. An-Nawawi rahimahullah mengatakan dalam al-Khulashah, bahwasanya itu adalah hadis BATIL. (AhadisulJumu’ah hlm. 315 dan al-Ajwibah an-Nafi’ah hlm. 32)

Ibnul Qayyim rahimahullah menerangkan: “Apabila Bilal telah selesai mengumandangkan azan, maka Nabi ﷺ memulai berkhutbah. Tidak ada seorang pun (dari sahabat) yang berdiri melakukan sholat dua rakaat sama sekali. Dahulu, azan tidak ada selain satu saja. Ini menunjukkan, bahwa sholat Jumat seperti (sholat) hari raya, TIDAK ADA sunnah Qabliah.

Ini adalah yang paling sahih dari dua pendapat ulama, dan sunnah Nabi ﷺ menunjukkan hal ini. Sebab, Nabi ﷺ dahulu keluar rumahnya (untuk khutbah Jumat) dan ketika naik mimbar, Bilal mengumandangkan azan. Jika Bilal telah menyempurnakan azan, Nabi ﷺ berkhutbah tanpa adanya pemisah.

Hal ini terlihat jelas oleh mata. Lalu kapan mereka (para sahabat) sholat sunnah (Qabliah)?! Barang siapa mengira bahwa mereka semuanya berdiri lalu sholat dua rakaat, dia adalah orang yang paling bodoh tentang sunnah. Apa yang kami sebutkan, bahwa tidak ada sholat sunnah sebelum sholat Jumat adalah pendapat Malik, Ahmad dalam pendapatnya yang masyhur, dan salah satu sisi (pendapat) pengikut-pengikut asy-Syafi’i.”

Lalu Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan pendalilan orang-orang yang menyatakan adanya sunnah Qabliah dan memberi bantahan yang luar biasa bagusnya kepada mereka. (lihat Zadul Ma’ad, 1/417—424). Sesungguhnya, di antara yang menyebabkan sebagian orang melakukan sholat sunnah Qabliah Jumat yang TIDAK ada contohnya dari Nabi ﷺ dan para sahabat radhiyallahu ‘anhum adalah adanya azan awal sebelum khatib naik mimbar.

Oleh karena itu, kami tegaskan kembali ucapan al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah dalam al-Umm. bahwa azan Jumat yang beliau sukai adalah seperti yang ada di zaman Rasulullah ﷺ, yaitu ketika Rasulullah ﷺ naik mimbar. Jika ada yang berdalil dengan hadis:

بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلَاةٌ

“Antara dua azan ada sholat.” (Muttafaqun ‘alaihi) Yang dimaksud dua azan adalah azan dan iqamah, sehingga BUKAN antara azan Jumat pertama sebelum naik mimbar, dengan azan ketika khatib telah naik mimbar. Hal ini karena azan Jumat di zaman Nabi ﷺ hanya ketika beliau naik mimbar.

Sholat Sunnah Ba’diyah Jumat

Disunnahkan untuk sholat sunnah selesai sholat Jumat setelah berzikir atau beralih dari tempat yang ia sholat Jumat. Sholat sunnah setelah Jumatan ada dua macam: dua rakaat atau empat rakaat. Al-Bukhari rahimahullah meriwayatkan dari jalan sahabat Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwasanya Rasulullah ﷺ dahulu sholat sebelum Zuhur dua rakaat dan setelah Dzuhur dua rakaat, setelah Maghrib dua rakaat di rumahnya, dan dua rakaat setelah Isya’. Beliau TIDAK sholat setelah Jumat, sampai beliau pergi, lalu sholat dua rakaat. (Shahih al-Bukhari no. 937)

Adapun yang empat rakaat, sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:

إِذَا صَلَّى أَحَدُكَمْ الْجُمُعَةَ فَلْيُصَلِّ بَعْدَهَا أَرْبَعًا

“Apabila salah seorang kalian telah sholat Jumat, hendaknya ia sholat setelahnya empat rakaat.” (HR. Muslim no. 881 dan selainnya).

Jika Hari Raya Jatuh Pada Hari Jumat

Di sana ada rukhsah/keringanan untuk meninggalkan sholat Jumat dan menggantinya dengan Dzuhur, bila seseorang telah sholat hari raya yang jatuh pada hari Jumat. Hal ini berlandaskan hadis Nabi ﷺ:

قَدْ اِجْتَمَعَ فِي يَوْمِكُمْ هَذَا عِيْدَانِ فَمَنْ شَاءَ أَجْزَأَهُ عَنِ الْجُمُعَةِ وَإِنَّا مُجَمِّعُوْنَ

“Telah terkumpul pada hari kalian ini dua hari raya. Barang siapa yang mau, maka (sholat hari raya) telah mencukupinya dari Jumatan, dan sesungguhnya kami akan mengadakan Jumatan.” (HR. Abu Dawud dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dinyatakan shahih oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih al-Jami’ no. 4365).

Ash-Shan’ani rahimahullah berkata: “Sesungguhnya sholat Jumat setelah sholat Ied menjadi rukhsah (suatu keringanan), boleh melakukannya dan boleh meninggalkannya. Dan ini khusus bagi yang sholat Ied dan bukan bagi orang yang tidak sholat Ied.” (Subulus Salam, 2/52).

Rukhsah di sini umum sifatnya bagi imam dan makmum. Adapun pengabaran dari Nabi ﷺ bahwa “Kami akan menjalankan Jumatan”, hal ini TIDAK menunjukkan, bahwa imam wajib melaksanakan Jumatan. Sebab ucapan ini bersifat pemberitaan yang tidak pas untuk dijadikan dalil tentang wajibnya Jumatan bagi imam.

Di antara dalil bahwa imam juga mendapatkan rukhsah adalah sahabat Ibnu Zubair radhiyallahu ‘anhu, yang waktu itu sebagai penguasa, tidak sholat Jumat pada hari raya. Ketika Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma ditanya tentang itu, beliau menjawab, “Sesuai dengan sunnah.” (Sunan an-Nasai no. 1590).

Selain itu, tidak ada seorang sahabat pun yang mengingkari sahabat Ibnu Zubair radhiyallahu ‘anhu. (Nailul Authar 3/336) Meskipun demikian, imam disyariatkan untuk tetap hadir di masjid dengan tujuan menegakkan sholat Jumat bersama orang-orang yang menghadirinya. Hal ini berlandaskan sabda Nabi ﷺ yang telah berlalu penyebutannya

وَأَنَا مُجَمِّعُوْنَ

(“Dan kami akan menegakkan Jumatan.”)

Wanita Menghadiri Sholat Jumat

Sholat Jumat dan sholat berjamaah TIDAK wajib atas wanita. Yang sunnah bagi mereka di hari Jumat dan selainnya adalah sholat di rumahnya dan ini lebih utama. Namun, jika ia ikut sholat Jumat bersama kaum Muslimin, ini menggugurkan kewajibannya untuk sholat Zuhur. Hanya saja, ketika keluar, dia harus mengenakan hijab dan pakaian yang menutupi auratnya dan tidak memakai minyak wangi. Nabi ﷺ bersabda:

وَلْيَخْرُجْنَ تَفِ تَالِ

“Hendaknya mereka keluar tanpa memakai wewangian.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)

Nabi ﷺ bersabda:

وَبُيُوْتُهُنَّ خَيْرٌلَهُنَّ

“Dan rumah-rumah mereka lebih baik.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad)

Dari sini kita bisa mengetahui, bahwa wanita TIDAK wajib Jumatan, tetapi sholat Zuhur di rumahnya. Namun, apabila ia sholat Jumat bersama orang banyak, Jumatannya sah dan menggantikan sholat Zuhur. (Diringkas dari Majmu’ Fatawa 12/333-334, asy-Syaikh Ibnu Baz).

Jumatannya dianggap sah karena wanita tersebut bermakmum kepada imam sholat Jumat, sehingga sah baginya karena sebagai pengikut. Dan tidak sah Jumatan wanita itu kalau dia sholat sendirian.(Lihat asy-Syarhual-Mumti’ 5/21).

Menjamak Sholat Ashar dengan Sholat Jumat

Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah menerangkan: “Sebatas pengetahuan kami, dalam hal ini tidak ada dalil yang menunjukkan bolehnya menjamak (menggabungkan) sholat Ashar dengan sholat Jumat. Tidak ada nukilan tentang menjamak sholat tersebut dari Nabi ﷺ dan tidak pula dari seorang sahabat Rasul radhiyallahu ‘anhum. Maka dari itu, yang menjadi keharusan adalah tidak melakukannya. Orang yang telah melakukannya harus mengulangi sholat Ashar apabila telah masuk waktunya.” (Majmu’ Fatawa 12/300, asy-Syaikh Ibnu Baz)

Senada dengan itu adalah pernyataan asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin: “Sholat Ashar TIDAK dijamak dengan Jumatan, karena tidak adanya sunnah yang menjelaskan hal itu. Tidak benar hal itu dikiaskan dengan menjamak Ashar dengan Zuhur, karena perbedaan yang banyak antara Jumat dengan Zuhur. Hukum asalnya, setiap sholat harus dikerjakan pada waktunya, kecuali ada dalil yang membolehkan untuk menjamaknya dengan yang lain.” (Fatawa Arkanil Islam hlm. 383).

Masalah ini memang diperselisihkan oleh para ulama. Sebagian ulama membolehkan menjamak sholat Jumat dengan sholat Ashar, sebagaimana disebutkan oleh an-Nawawi. Alasan mereka, sholat Jumat adalah pengganti sholat Zuhur sehingga ia mengambil hukum-hukum sholat Zuhur, termasuk dalam hal bolehnya dijamak dengan sholat Ashar. Wallahu a’lam. (-ed.)

Sholat Zuhur Setelah Sholat Jumat

Telah diketahui dari agama ini secara pasti dan dengan dalil-dalil syariat, bahwa Allah Subhanahu wata’ala Yang Maha Suci TIDAKLAH mensyariatkan di waktu Zuhur hari Jumat, kecuali satu (sholat) wajib, yaitu sholat Jumat atas para lelaki yang mukim/tinggal dan menetap, merdeka/bukan budak dan yang telah dibebani oleh panggilan syariat. Bila kaum Muslimin menjalankan hal itu, maka TIDAK ada kewajiban yang lain, baik Zuhur maupun selainnya. Bahkan sholat Jumat itulah yang harus dilakukan saat itu.

Sungguh, dahulu Nabi ﷺ, para sahabat radhiyallahu ‘anhum, dan As-Salaf Ash-Shalih setelah mereka, tidaklah melakukan sholat wajib yang lain setelah Jumatan. Dan tidak diragukan, bahwa hal itu (sholat Zuhur setelah Jumatan) merupakan kebid’ahan yang Rasulullah ﷺ telah menyebutkan (yang artinya): “Berhati-hatilah kamu dari perkara-perkara yang baru, karena setiap perkara baru (dalam agama) adalah sesat.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 12/363).

Bolehkah Sholat Jumat di Rumah dengan Keluarga?

Ada banyak riwayat tentang pelaksanaan sholat Jumat di masjid, yang menunjukkan bahwa sholat Jumat TIDAK boleh dikerjakan selain di masjid. Oleh karena itu, orang yang sholat Jumat di rumah dengan keluarganya harus mengulangi dengan melakukan sholat Zuhur dan tidak sah Jumatannya. Sebab, yang wajib atas para lelaki adalah sholat Jumat bersama saudara-saudaranya kaum Muslimin di rumah-rumah Allah Subhanahu wata’ala (masjid-masjid). (Lihat Fatawa al-Lajnah ad-Daimah 8/196).

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Sholat Jumat tidak sah selain di masjid (baik) di kota maupun desa.” (Fatawa Arkanil Islam, 391)

Sholat Jumat bagi Orang yang Bekerja di Anjungan Lepas Pantai

Di sini kami akan menampilkan pertanyaan yang ditujukan kepada al-Lajnah ad-Daimah lil-Buhuts al-Ilmiyah wal Ifta’ (Komite Fatwa Ulama Saudi Arabia) beserta jawabannya dengan nomor fatwa 6113.

Berikut ini petikan terjemahannya. Kami para karyawan minyak perusahaan Aramco. Kebiasaan tugas kami adalah bekerja di tengah-tengah laut selama setengah bulan berturut-turut. Jumlah kami terkadang mencapai delapan orang. Pertanyaannya, apakah sah bagi kami sholat Jumat, padahal kami tidak menjadikannya tempat tinggal dan tidak selalu menetap, dan jumlah kami seperti yang telah disebutkan, ataukah kami sholat Zuhur? Kami berharap faidah dan semoga Anda semua selalu dalam kebaikan.

Al-Lajnah ad-Daimah menjawab sebagai berikut:

Jika kenyataannya seperti yang telah disebutkan, bahwa kalian tidak menjadikannya tempat tinggal bersama orang-orang yang menetap dan kalian bekerja dalam kondisi terpencil di tengah-tengah laut selama lima belas hari, yang wajib atas kalian selama masa itu adalah sholat Zuhur, bukan Jumat. (Fatawa al-Lajnah ad-Daimah 8/219—220). [Namun, bilamana seseorang hendak melakukan sholat Jumat di tempat tersebut, tetap diperbolehkan, sebagaimana difatwakan oleh sebagian ulama].

Membaca Surat Tertentu setelah Sholat Jumat

Ada riwayat yang menyebutkan keutamaan membaca surat al-Ikhlas dan Mu’awidzatain (surat al-Falaq dan an-Nas) setelah sholat Jumat, namun sanadnya LEMAH dan TIDAK bisa dijadikan landasan dalam beramal. Ibnus Sunni rahimahullah meriwayatkan dalam kitab ‘Amalul Yaumi Wallailah hadis dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda (yang artinya): “Barang siapa yang membaca setelah sholat Jumat

قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ, قُلْ أعُوذُ بِرَبِّالفَلَقِ

Dan

قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ النَّاسِ

tujuh kali, maka Allah Subhanahu wata’ala akan melindunginya dengan bacaan tadi dari kejelekan sampai Jumat berikutnya.” Di dalam sanad hadis ini ada rawi bernama al-Khalil bin Murrah, ia seorang yang dhaif (lemah), dinyatakan lemah oleh Abu Hatim. Al-Bukhari rahimahullah juga berkata bahwa hadisnya munkar. (Ahadisul Jumu’ah hlm. 133).

Bepergian di Hari Jumat

Tidak mengapa seseorang bepergian di hari Jumat, karena tidak ada dalil yang kuat yang melarangnya. Adapun mengawali bepergian di waktu sholat Jumat, pendapat yang kuat adalah tidak boleh bagi orang yang berkewajiban menghadiri Jumatan, kecuali kalau dikhawatirkan akan terpisah dari rombongan yang tidak memungkinkan bepergian selain bersama mereka, dan uzur-uzur semisal itu. Sebab, apabila syariat telah membolehkan seseorang untuk tidak menghadiri Jumatan karena uzur hujan, meninggalkan Jumatan bagi orang yang kesulitannya melebihi itu tentu lebih boleh lagi. Demikian pula dibolehkan bagi yang khawatir tertinggal pesawat, kereta, dan semisalnya, padahal ia telah memesan tiketnya. (Lihat Nailul Authar, 3/273-274 dan Fatawa al-Lajnah ad-Daimah 8/203).

Mendirikan Sholat Jumat Lebih Dari Satu Masjid di Satu Kampung atau Tempat

Jika keadaan menuntut dilaksanakannya sholat Jumat lebih dari satu masjid di satu kampung, hal ini tidak mengapa. Misalnya, masjid yang biasa untuk Jumatan sudah tidak bisa menampung banyaknya jamaah karena sempitnya masjid, atau antar warga terjadi pertikaian yang apabila disatukan Jumatannya akan timbul kekacauan dan tidak bisa didamaikan, dan yang semisalnya. Adapun apabila Jumatan dilaksanakan di banyak tempat (masjid) tanpa ada hajat (tuntutan) demikian, hal ini menyelisihi sunnah dan menyelisihi apa yang Nabi ﷺ dan para khulafarasyidun berada di atasnya. (Lihat Fatawa Arkanil Islam hlm. 390).

Asy-Syaikh Al Albani rahimahullah menerangkan: “Suatu hal yang maklum bahwa Nabi ﷺ membedakan secara praktik amaliah, antara Jumat dan sholat lima waktu. Sungguh telah kuat (riwayat) bahwasanya di Madinah banyak masjid yang didirikan sholat jamaah …

Adapun Jumatan dahulu tidaklah berbilang. Jamaah masjid-masjid yang lain semuanya mendatangi masjid Nabi ﷺ lalu Jumatan di sana. Pemisahan dari Nabi ﷺ secara amaliah, antara sholat jamaah dan sholat Jumat tidaklah sia-sia. Jadi, ini seharusnya dicermati. Meskipun ini bukan menjadi syarat (sahnya Jumatan), setidaknya hal ini menunjukkan, bahwa berbilangnya Jumatan tanpa ada keperluan yang mendesak, adalah menyelisihi sunnah [Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin menerangkan: “Tidak termasuk keperluan yang mendesak, apabila imamnya seorang yang Isbal (pakaiannya menutupi mata kaki) atau fasik. Sebab, para sahabat dahulu shalat dibelakang al-Hajjaj bin Yusuf. Padahal dia seorang yang sangat zalim dan melampaui batas, membunuh para ulama, dan orang-orang yang tidak bersalah. Mereka sholat di belakangnya. Bahkan yang benar adalah, boleh jika imam itu orang fasik, walaupun di selain sholat Jumat, selama kefasikannya tidak mencacati satu syarat (sahnya) sholat yang diyakininya sebagai syarat. (Apabila imam melanggarnya), ketika itulah ia tidak boleh sholat dibelakangnya. (asy-Syarhul Mumti’, 5/96)]. Apabila seperti itu urusannya, seyogianya dicegah untuk tidak (terjadi) banyaknya Jumatan dan bersungguh-sungguh agar Jumatan disatukan sebisa mungkin, dalam rangka mengikuti Nabi ﷺ dan para sahabat setelahnya. Dengan demikian, akan terwujud secara sempurna hikmah disyariatkannya sholat Jumat dan faidah-faidahnya.

Akan berakhir pula perpecahan yang muncul, karena dijalankannya Jumatan di setiap masjid yang besar dan masjid yang kecil, sampai-sampai sebagian masjid (yang diadakan Jumatan) itu hampir saling menempel (sangat berdekatan). Sebuah hal yang tidak mungkin dikatakan boleh oleh orang yang mencium bau fikih yang benar. (al-Ajwibahan-Nafi’ah hlm. 47).

Demikianlah beberapa hal yang berkaitan dengan sholat Jumat yang bisa kami tampilkan. Tentu masih banyak hal yang belum bisa disebutkan di ruang yang terbatas ini. Atas segala kekurangan dan kekhilafan, kami meminta maaf.

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

 

صَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَالْحَمْدُ لِلّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

 

————————————————————

  1. Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata: “Sholat (Ied) al-Adha dua rakaat, sholat Jumat dua rakaat, sholat (Ied) al-Fithri dua rakaat, dan sholat musafir dua rakaat, sempurna tanpa diringkas, melalui lisan Nabi kalian, dan telah merugi orang yang membuat kedustaan.” (Shahih Ibnu Khuzaimah no. 1425) 2. Namun, bilamana seseorang hendak melakukan sholat Jumat di tempat tersebut, tetap diperbolehkan, sebagaimana difatwakan oleh sebagian ulama. 3. Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin menerangkan, “Tidak termasuk keperluan yang mendesak apabila imamnya seorang yang isbal (pakaiannya menutupi mata kaki) atau fasik. Sebab, para sahabat dahulu sholat dibelakang al-Hajjaj bin Yusuf. Padahal dia seorang yang sangat zalim dan melampaui batas, membunuh para ulama, dan orang-orang yang tidak bersalah. Mereka sholat dibelakangnya. Bahkan, yang benar adalah boleh jika imam itu orang fasik walaupun di selain sholat Jumat selama kefasikannya tidak mencacati satu syarat (sahnya) sholat yang diyakininya sebagai syarat. (Apabila imam melanggarnya), ketika itulah ia tidak boleh sholat dibelakangnya. (asy-Syarhul Mumti’, 5/96)

 

http://asysyariah.com/kajian-utama-tata-cara-sholat-jumat/