بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

 

TANDA-TANDA HAJI MABRUR

Ajaran Islam dalam semua aspeknya memiliki hikmah dan tujuan tertentu. Hikmah dan tujuan ini diistilahkan oleh para ulama dengan Maqashid Syariah, yaitu berbagai maslahat yang bisa diraih seorang hamba, baik di dunia maupun di Akhirat.

Adapun maslahat Akhirat, orang-orang saleh ditunggu oleh kenikmatan tiada tara yang terangkum dalam sabda Nabi ﷺ (Hadis Qudsi):

قَالَ اللَّه: أَعْدَدْتُ لِعِبَادِى الصَّالِحِينَ مَا لاَ عَيْنَ رَأَتْ ، وَلاَ أُذُنَ سَمِعَتْ ، وَلاَ خَطَرَ عَلَى قَلْبِ بَشَرٍ

“Allah berfirman (yang artinya): Telah Aku siapkan untuk hamba-hamba-Ku yang saleh kenikmatan yang tidak pernah dilihat mata, tidak pernah didengar telinga, dan tidak pernah terbetik di hati manusia.” [HR. al-Bukhari (3073) dan Muslim (2824)]

Untuk haji secara khusus, Rasulullah ﷺ bersabda:

والْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ

“Haji yang mabrur tidak lain pahalanya adalah Surga.” [HR. al-Bukhari (1683) dan Muslim (1349)]

Adapun di dunia, banyak maslahat yang bisa diperoleh umat Islam dengan menjalankan ajaran agama mereka. Dan untuk ibadah haji khususnya, ada beberapa contoh yang bisa kita sebut seperti menambah teman, bertemu dengan ulama, dan keuntungan berdagang.

Di samping itu, Allah juga memberikan tanda-tanda diterimanya amal seseorang, sehingga ia bisa menyegerakan kebahagiaan di dunia sebelum Akhirat, dan agar ia semakin bersemangat untuk beramal.

Tidak Semua Orang Meraih Haji Mabrur

Setiap orang yang pergi berhaji mencita-citakan haji yang mabrur. Haji mabrur bukanlah sekadar haji yang sah. Mabrur berarti diterima oleh Allah, dan sah berarti menggugurkan kewajiban. Bisa jadi haji seseorang sah, sehingga kewajiban berhaji baginya telah gugur, namun belum tentu hajinya diterima oleh Allah ﷻ.

Jadi tidak semua yang hajinya sah terhitung sebagai haji mabrur. Ibnu Rajab al-Hanbali mengatakan:
“Yang hajinya mabrur sedikit. Tapi mungkin Allah memberikan karunia kepada jamaah haji yang tidak baik lantaran jamaah haji yang baik.” [Lathaiful Ma’arif Fima Li Mawasimil ‘Am Minal Wazhaif 1/68]

Tanda-Tanda Haji Mabrur

Nah, bagaimana mengetahui mabrurnya haji seseorang? Apa perbedaan antara haji yang mabrur dengan yang tidak mabrur? Tentunya yang menilai mabrur tidaknya haji seseorang adalah Allah semata. Kita tidak bisa memastikan bahwa haji seseorang adalah haji yang mabrur atau tidak. Para ulama menyebutkan ada tanda-tanda mabrurnya haji, berdasarkan keterangan Alquran dan al-Hadis, namun itu tidak bisa memberikan kepastian mabrur tidaknya haji seseorang.

Di antara tanda-tanda haji mabrur yang telah disebutkan para ulama adalah:

Pertama

Harta yang dipakai untuk haji adalah harta yang halal [Ihya Ulumiddin 1/261], karena Allah tidak menerima kecuali yang halal, sebagaimana ditegaskan oleh sabda Nabi ﷺ:

إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا

“Sungguh Allah baik, tidak menerima kecuali yang baik.” [HR. Muslim (1015)]

Orang yang ingin hajinya mabrur harus memastikan bahwa seluruh harta yang ia pakai untuk haji adalah harta yang halal, terutama mereka yang selama memersiapkan biaya pelaksanaan ibadah haji tidak lepas dari transaksi dengan bank. Jika tidak, maka haji mabrur bagi mereka hanyalah jauh panggang dari api. Ibnu Rajab mengucapkan sebuah syair [Lathaiful Ma’arif 2/49]:

Jika Anda haji dengan harta tak halal asalnya.
Maka Anda tidak berhaji.
Yang berhaji hanya rombongan Anda.
Allah tidak terima kecuali yang halal saja.
Tidak semua yang haji, mabrur hajinya.

Kedua

Amalan-amalannya dilakukan dengan ikhlas dan baik, sesuai dengan tuntunan Nabi ﷺ. Paling tidak rukun-rukun dan kewajibannya harus dijalankan, dan semua larangan harus ditinggalkan. Jika terjadi kesalahan, maka hendaknya segera melakukan penebusnya yang telah ditentukan.

Di samping itu, haji yang mabrur juga memerhatikan keikhlasan hati, yang seiring dengan majunya zaman, semakin sulit dijaga. Mari merenungkan perkataan Syuraih al-Qadhi:
“Yang (benar-benar) berhaji sedikit, meski jamaah haji banyak. Alangkah banyak orang yang berbuat baik, tapi alangkah sedikit yang ikhlas karena Allah.” [Lathaiful Ma’arif 1/257]

Pada zaman dahulu ada orang yang menjalankan ibadah haji dengan berjalan kaki setiap tahun. Suatu malam ia tidur di atas kasurnya, dan ibunya memintanya untuk mengambilkan air minum. Ia merasakan berat untuk bangkit memberikan air minum kepada sang ibu. Ia pun teringat perjalanan haji yang selalu ia lakukan dengan berjalan kaki tanpa merasa berat. Ia mawas diri dan berpikir, bahwa pandangan dan pujian manusialah yang telah membuat perjalanan itu ringan. Sebaliknya saat menyendiri, memberikan air minum untuk orang paling berjasa pun terasa berat. Akhirnya ia pun menyadari, bahwa dirinya telah salah. [Lathaiful Ma’arif 1/257]

Ketiga

Hajinya dipenuhi dengan banyak amalan baik seperti zikir, salat di Masjidil Haram, salat pada waktunya, dan membantu teman seperjalanan.

Ibnu Rajab berkata:
“Maka haji mabrur adalah yang terkumpul di dalamnya amalan-amalan baik, plus menghindari perbuatan-perbuatan dosa.” [Lathaiful Ma’arif 1/67)

Di antara amalan khusus yang disyariatkan untuk meraih haji mabrur adalah bersedekah dan berkata-kata baik selama haji. Nabi ﷺ pernah ditanya tentang maksud haji mabrur, maka beliau menjawab:

إِطْعَامُ الطَّعَامِ وَطِيبُ الْكَلاَمِ

“Memberi makan dan berkata-kata baik.” [HR. al-Baihaqi 2/413 (no. 10693), dihukumi Sahih oleh al-Hakim dan al-Albani dalam Silsilah al-Ahadis ash-Sahihah 3/262 (no. 1264)]

Keempat

Tidak berbuat maksiat selama ihram.

Maksiat dilarang dalam agama kita dalam semua kondisi. Dalam kondisi ihram, larangan tersebut menjadi lebih tegas. Dan jika dilanggar, maka haji mabrur yang diimpikan akan lepas.

Di antara yang dilarang selama haji adalah rafats, fusuq dan jidal. Allah ﷻ berfirman:

الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلاَ رَفَثَ وَلاَ فُسُوقَ وَلاَ جِدَالَ فِي الْحَجِّ

“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang diketahui. Barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan-bulan itu untuk mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, fusuq, dan berbantah-bantahan selama mengerjakan haji.” [QS. Al-Baqarah : 197]

Nabi ﷺ bersabda:

مَنْ حَجَّ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ

“Barang siapa yang haji dan ia tidak rafats dan tidak fusuq, ia akan kembali pada keadaannya saat dilahirkan ibunya.” [HR. Muslim (1350) dan yang lain, dan ini adalah lafal Ahmad di Musnad (7136)]

Rafats adalah semua bentuk kekejian dan perkara yang tidak berguna. Termasuk di dalamnya bersenggama, bercumbu atau membicarakannya selama ihram, meskipun dengan pasangan sendiri.

Fusuq adalah keluar dari ketaatan kepada Allah, apapun bentuknya. Dengan kata lain, segala bentuk maksiat adalah fusuq yang dimaksudkan dalam hadis di atas.

Jidal adalah berbantah-bantahan secara berlebihan. [Ihya Ulumiddin 1/261]

Ketiga hal ini dilarang selama ihram. Adapun di luar waktu ihram, bersenggama dengam pasangan kembali diperbolehkan, sedangkan larangan yang lain tetap tidak boleh.

Demikian juga orang yang ingin hajinya mabrur harus meninggalkan semua bentuk dosa selama perjalanan ibadah haji, baik berupa syirik, bidah, maupun maksiat.

Kelima

Setelah haji menjadi lebih baik

Salah satu tanda diterimanya amal seseorang di sisi Allah adalah diberikan taufik untuk melakukan kebaikan lagi setelah amalan tersebut. Sebaliknya, jika setelah beramal saleh melakukan perbuatan buruk, maka itu adalah tanda bahwa Allah tidak menerima amalannya. [Lathaiful Ma’arif 1/68]

Ibadah haji adalah madrasah. Selama kurang lebih satu bulan para jamaah haji disibukkan oleh berbagai ibadah dan pendekatan diri kepada Allah. Untuk sementara, mereka terjauhkan dari hiruk pikuk urusan duniawi yang melalaikan. Di samping itu, mereka juga berkesempatan untuk mengambil ilmu agama yang murni dari para ulama tanah suci, dan melihat praktik menjalankan agama yang benar.

Logikanya, setiap orang yang menjalankan ibadah haji akan pulang dari tanah suci dalam keadaan yang lebih baik. Namun yang terjadi tidak demikian. Apalagi setelah tenggang waktu yang lama dari waktu berhaji, banyak yang tidak terlihat lagi pengaruh baik haji pada dirinya.

Bertobat setelah haji, berubah menjadi lebih baik, memiliki hati yang lebih lembut dan bersih, ilmu dan amal yang lebih mantap dan benar, kemudian istiqamah di atas kebaikan, itu adalah di antara tanda haji mabrur.

Orang yang hajinya mabrur menjadikan ibadah haji sebagai titik tolak untuk membuka lembaran baru dalam menggapai rida Allah ﷻ. Ia akan semakin mendekat ke Akhirat dan menjauhi dunia.

Al-Hasan al-Bashri mengatakan:
“Haji mabrur adalah pulang dalam keadaan zuhud terhadap dunia dan mencintai Akhirat.” [At-Tarikh al-Kabir 3/238]

Ia juga mengatakan:
“Tandanya adalah meninggalkan perbuatan-perbuatan buruk yang dilakukan sebelum haji.” [Lathaiful Ma’arif 1/67]

Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan:
“Dikatakan, bahwa tanda diterimanya haji adalah meninggalkan maksiat yang dahulu dilakukan, mengganti teman-teman yang buruk menjadi teman-teman yang baik, dan mengganti majelis kelalaian menjadi majelis zikir dan kesadaran.” [Qutul Qulub 2/44]

Penutup

Sekali lagi, yang menilai mabrur tidaknya haji seseorang adalah Allah ﷻ semata. Para ulama hanya menjelaskan tanda-tanda haji mabrur sesuai dengan ilmu yang telah Allah ﷻ berikan kepada mereka. Jika tanda-tanda ini ada dalam ibadah haji Anda, maka hendaknya Anda bersyukur atas taufik dari Allah. Anda boleh berharap ibadah Anda diterima oleh Allah, dan teruslah berdoa agar ibadah Anda benar-benar diterima. Adapun jika tanda-tanda itu tidak ada, maka Anda harus mawas diri, istighfar, dan memerbaiki amalan Anda.

Wallahu a’lam.

Referensi:

• Alquran al-Karim.
• Sahih al-Bukhari, Tahqiq Musthofa al-Bugha, Dar Ibn Katsir.
• Sahih Muslim, Tahqiq Muhammad Fuad Abdul Baqi, Dar Ihya’ Turats.
• Musnad Imam Ahmad, Tahqiq Syu’aib al-Arnauth, Muassasah Qurthubah.
• Sunan al-Baihaqi al-Kubra, Cetakan Hyderabad, India.
• Silsilah al-Ahadis ash-Sahihah, Muhammad Nashiruddin al-Albani, Maktabah al-Ma’arif.
• At-Tarikh al-Kabir, al-Bukhari, Tahqiq Sayyid Hasyim an-Nadawi, Darul Fikr.
• Ihya’ Ulumiddin, al-Ghazali, Darul Ma’rifah Beirut.
• Lathaiful Ma’arif fima li Mawasil ‘Am minal Wazhaif, Ibnu Rajab al-Hanbali, al-Maktabah asy-Syamilah.
• Qutul Qulub, Ibnu Hajar al-Haitami, al-Maktabah asy-Syamilah.

 

Penulis: Ustadz Anas Burhanuddin, MA
Sumber: https://muslim.or.id/1891-tanda-tanda-haji-mabrur.html

 

══════

 

Mari sebarkan dakwah sunnah dan meraih pahala. Ayo di-share ke kerabat dan sahabat terdekat! Ikuti kami selengkapnya di:

WhatsApp: +61 405 133 434 (silakan mendaftar terlebih dahulu)
Website: https://nasihatsahabat.com/
Email: [email protected]
Twitter: @NasihatSalaf
Facebook: https://www.facebook.com/nasihatsahabatcom/
Instagram: NasihatSahabatCom
Telegram: https://t.me/nasihatsahabat
Pinterest: https://id.pinterest.com/nasihatsahabat