بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

 
TAKWA YANG HAKIKI
 
Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berkata:
“Ketahuilah, sesungguhnya seorang hamba hanyalah mampu melalui tahapan-tahapan perjalanan menuju (rida) Allah dengan hati dan keinginannya yang kuat, bukan (cuma sekadar) dengan (perbuatan) anggota badannya. Dan takwa yang hakiki adalah takwa (dalam) hati, dan bukan takwa (pada) anggota badan (saja). Allah ﷻ berfirman:
 
ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ
 
“Demikianlah (perintah Allah). Dan barang siapa yang mengagungkan syiar-syiar (perintah dan larangan) Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan (dalam) hati.” [QS. al-Hajj: 32]
 
Dan Rasulullah ﷺ bersabda:
 
التقوى ههنا. ويشير إلى صدره ثلاث مرات.
 
“Takwa itu (terletak) di sini”, dan beliau menunjuk ke dada (hati) beliau tiga kali [HSR Muslim (no. 2564).], … [Kitab al-Fawa-id (hal. 185)]
 
Imam an-Nawawi ketika menjelaskan makna hadis di atas, beliau berkata:
“Artinya, Sesungguhnya amalan perbuatan yang tampak (pada anggota badan) tidaklah (mesti) menunjukkan adanya takwa (yang hakiki pada diri seseorang). Akan tetapi takwa (yang sebenarnya) terwujud pada apa yang terdapat dalam hati (manusia), berupa pengagungan, ketakutan dan (selalu) merasakan pengawasan Allah taala.” [Kitab Syarh Shahih Muslim (16/121)]
 
Makna takwa yang hakiki di atas sangatlah jelas, karena amal perbuatan yang tampak pada anggota badan manusia tidak mesti ditujukan untuk mencari rida Allah taala semata. Lihatlah misalnya orang-orang munafik di zaman Rasulullah ﷺ. Mereka menampakkan Islam secara lahir, dengan tujuan untuk melindungi diri mereka dari kaum Muslimin. Padahal dalam hati mereka tersimpan kekafiran dan kebencian yang besar terhadap agama Islam. Allah ﷻ berfirman:
 
إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلاةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاؤُونَ النَّاسَ وَلا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلاً
 
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah. Dan Allah membalas tipu daya mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk salat, mereka berdiri dengan malas-malasan. Mereka bermaksud riya’/pamer (dengan salat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut nama Allah kecuali sedikit sekali.” [QS. An-Nisaa’: 142]
 
Demikianlah keadaan manusia dalam mengamalkan agama Islam secara lahir. Tidak semua bertujuan untuk mencari rida-Nya. Bahkan di antara mereka ada yang mengamalkan Islam hanya ketika dirasakan ada manfaat pribadi bagi dirinya. Dan ketika dirasakan tidak ada manfaatnya, maka dia langsung berpaling dari agama Islam. Mereka inilah yang dimaksud dalam firman Allah ﷻ:
 
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَعْبُدُ اللَّهَ عَلَى حَرْفٍ فَإِنْ أَصَابَهُ خَيْرٌ اطْمَأَنَّ بِهِ وَإِنْ أَصَابَتْهُ فِتْنَةٌ انْقَلَبَ عَلَى وَجْهِهِ خَسِرَ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةَ ذَلِكَ هُوَ الْخُسْرَانُ الْمُبِينُ
 
“Dan di antara manusia ada orang yang beribadah kepada Allah dengan berada di tepi (untuk memuaskan kepentingan pribadi). Jika mendapatkan kebaikan (untuk dirinya), dia akan senang. Dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana/hilangnya nikmat, berbaliklah ia ke belakang (berpaling dari agama). Rugilah dia di dunia dan Akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.” [QS. al-Hajj: 11]
 
Artinya: Dia masuk ke dalam agama Islam pada tepinya (tidak sepenuhnya). Kalau dia mendapatkan apa yang diinginkannya, maka dia akan bertahan. Tapi kalau tidak didapatkannya, maka dia akan berpaling. [Lihat Tafsir Ibnu Katsir (3/281)]
 
Beberapa Contoh Pengamalan Takwa yang Hakiki
 
Beberapa contoh berikut ini merupakan pengamalan takwa yang hakiki, karena dilakukan semata-semata mencari rida Allah, dan bukan untuk memenuhi kepentingan pribadi dan hawa nafsu.
 
1- Firman Allah ﷻ:
 
الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ
 
“(Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya) baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain.” [QS. Ali ‘Imran: 134]
 
Ketiga perbuatan ini:
• Berinfak/bersedekah dalam keadaan lapang maupun sempit,
• Menahan kemarahan di saat kita mampu melampiaskannya, dan
• Memaafkan kesalahan orang yang berbuat salah kepada kita,
 
Adalah perbuatan yang bersumber dari ketakwaan hati dan bersih dari kepentingan pribadi, serta memerturutkan hawa nafsu.
 
2- Firman Allah ﷻ:
 
وَلا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ على أَلاَّ تَعْدِلُوْا اِعْدِلُوْا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى
 
“Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.” [QS. al-Maaidah: 8]
 
Imam Ibnul Qayyim membawakan ucapan seorang ulama Salaf yang menafsirkan sikap adil dalam ayat ini, beliau berkata:
“Orang yang adil adalah orang yang ketika dia marah, maka kemarahannya tidak menjerumuskannya ke dalam kesalahan. Dan ketika dia senang, maka kesenangannya tidak membuat dia menyimpang dari kebenaran.” [Kitab ar-Risalatut Tabuukiyyah (hal. 33)]
 
Kebanyakan orang bisa bersikap baik dan adil kepada orang lain ketika dia sedang senang dan rida kepada orang tersebut, karena ini sesuai dengan kemauan hawa nafsunya. Tapi sikap baik dan adil meskipun dalam keadaan marah/benci kepada orang lain, hanya mampu dilakukan oleh orang yang memiliki ketakwaan dalam hatinya.
 
jelaslah bagi kita bagaimana pentingnya mengaji dan memahami ilmu agama, karena inilah satu-satunya cara untuk meraih kemuliaan tingi dalam agama, yaitu ketakwaan hati dan kesucian jiwa. Oleh karena itu, sangat wajar kalau kita dapati para ulama Ahlus Sunnah menggambarkan kebutuhan manusia terhadap ilmu agama melebihi besarnya kebutuhan mereka terhadap semua kebutuan pokok dalam kehidupan mereka.
 
Alangkah indahnya ucapan Imam Ahmad bin Hambal, Imam Ahlus Sunnah di jamannya, ketika menggambarkan kebutuhan manusia terhadap ilmu agama ini dalam ucapan beliau yang terkenal:
“Kebutuhan manusia terhadap ilmu (agama) melebihi besarnya kebutuhan mereka terhadap makan dan minum. Karena makan dan minum dibutuhkan sekali atau dua kali dalam sehari. Adapun ilmu (agama) dibutuhkan (sesuai) dengan hitungan nafas manusia (setiap waktu).” [Dinukil oleh Imam Ibnul Qayyim dalam kitab beliau Miftaahu Daaris Sa’aadah (1/61) dan (1/81)]
 
الناس يحتاجون إلى العلم قبل الخبز والماء لأن العلم يحتاج إليه الانسان في كل ساعة، والخبز والماء في اليوم مرة أو مرتين
 
“Manusia sesungguhnya lebih butuh ilmu agama dari roti dan air. Sebab ilmu dibutuhkan setiap saat sedang roti dan air hanya sekali atau dua kali dalam sehari.” (Thobaqot Al-Hanabilah 1/390)
 
Akhirnya, mari kita tutup tulisan ini dengan doa yang diajarkan oleh Rasulullah ﷺ:
 
اللهم ات نفسي تقواها وزكها أنت خير من زكها أنت وليها ومولاها
 
Allahumma aati nafsii taqwaaha wa zakkihaa, anta khoiru man zakkaahaa, anta waliyyuhaa wa mawlahaa.
 
Artinya:
Ya Allah, anugerahkanlah kepada jiwaku ketakwaan, dan sucikanlah jiwaku (dengan ketakwaan itu), karena Engkaulah sebaik-baik Rabb yang menyucikannya. (Dan) Engkaulah Pelindung dan Pemeliharanya.” [HSR. Muslim dalam Shahih Muslim no. 2722]
 
Artikel www.muslim.or.id
 
 
Ikuti kami selengkapnya di:
WhatsApp: +61 (450) 134 878 (silakan mendaftar terlebih dahulu)
Website: https://nasihatsahabat.com/
Twitter: @NasihatSalaf
Facebook: https://www.facebook.com/nasihatsahabatcom/
Instagram: NasihatSahabatCom
Telegram: https://t.me/nasihatsahabat
Pinterest: https://id.pinterest.com/nasihatsahabat
Baca juga: