“Tidak ada satu amal saleh yang lebih dicintai oleh Allah melebihi amal saleh yang dilakukan pada hari-hari ini (yaitu sepuluh hari pertama Zulhijah).”
Para sahabat bertanya: “Tidak pula jihad di jalan Allah?”
Nabi ﷺ menjawab: “Tidak pula jihad di jalan Allah. Kecuali orang yang berangkat jihad dengan jiwa dan hartanya, namun tidak ada yang kembali satu pun.“ [HR. Abu Daud no. 2438, At Tirmidzi no. 757, Ibnu Majah no. 1727, dan Ahmad no. 1968, dari Ibnu ‘Abbas. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadis ini Sahih. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadis ini Sahih sesuai syarat Bukhari-Muslim]
Syariat berpuasa bisa dipahami dari hadis Ibnu ‘Abbas di atas, karena berpuasa juga termasuk amal saleh yang disyariatkan pada sepuluh awal Zulhijah dalam hadis tersebut.
Juga dari dasar tuntunan dalam hal ini adalah riwayat dari sebagian istri Nabi radhiyallahu ‘anha, beliau berkata:
“Sesungguhnya Nabi ﷺ berpuasa pada hari Asyura, pada sembilan hari Zulhijah, dan pada tiga hari dalam sebulan: Senin awal dari bulan (berjalan) dan dua Kamis.” [1]
Hadis di atas merupakan dalil tegas tentang syariat berpuasa pada sembilan hari awal Zulhijah:
• Delapan hari pada awal bulan [2] dan
• Hari kesembilan yang dikenal dengan Hari Arafah.
Hadis di atas tidaklah bertentangan dengan hadis Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa beliau bertutur:
“Saya sama sekali tidak pernah melihat Rasulullah ﷺ berpuasa pada sepuluh (hari awal Zulhijah).” [3]
Keterangan Aisyah radhiyallahu ‘anha di atas dijelaskan oleh para ulama, bahwa Aisyah radhiyallahu ‘anha mungkin saja tidak pernah melihat Nabi ﷺ mengerjakan puasa tersebut, tetapi bukan berarti Nabi ﷺ tidak pernah mengerjakan puasa itu, karena beliau ﷺ mungkin saja berada di rumah Aisyah radhiyallahu ‘anha pada satu hari di antara hari-hari awal Zulhijah, dan berada di rumah istri-istri beliau yang lain pada hari-hari lain. Atau Nabi ﷺ mungkin mengerjakan sebagian puasa tersebut pada suatu tahun, mengerjakan sebagian puasa tersebut pada tahun lain, dan mengerjakan seluruh puasa itu pada tahun yang lain lagi. Atau beliau ﷺ meninggalkan pelaksanaan puasa tersebut pada sebagian tahun karena suatu penghalang berupa safar, sakit, atau selainnya. Demikian makna keterangan Imam An-Nawawy rahimahullah. [4]
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah [5] berpandangan, bahwa keterangan Aisyah radhiyallahu ‘anha di atas mungkin saja sebagaimana zahirnya, yaitu Nabi ﷺ tidak pernah mengerjakan puasa tersebut, karena beliau ﷺ kadang meninggalkan suatu amalan, meskipun mencintai amalan tersebut, dibangun di atas kekhawatiran beliau, bahwa amalan itu akan menjadi wajib terhadap umatnya.
Adapun Al-Baihaqy rahimahullah [6] dan Ibnul Qayyim rahimahullah [7], keduanya berpandangan, bahwa hadis sebagian istri Nabi ﷺ tersebut, yang menerangkan bahwa beliau berpuasa pada sembilan hari awal Zulhijah, lebih didahulukan dan lebih diterima daripada keterangan Aisyah radhiyallahu ‘anha berdasarkan kaidah “Orang yang menetapkan lebih didahulukan daripada orang yang menafikan.”[8]
Demikianlah keterangan tentang Sunnahnya[9] puasa pada sembilan hari awal Zulhijah, dan puasa tersebut dikerjakan pada tanggal 1-9 Zulhijah. Adapun perbuatan sebagian orang yang mengkhususkan puasa hanya pada tanggal 7, 8, dan 9 Zulhijah, hal itu termasuk bentuk pengkhususan ibadah yang TIDAK memiliki dalil.
Catatan Kaki:
[1] Diriwayatkan oleh Ahmad 5/271, 6/288, 423, Abu Dawud no. 2437, An-Nasa`iy 4/205, 220-221, serta Al-Baihaqy 4/284 dan dalam Syu’abul Iman 3/355 dari jalan Hunaidah bin Khalid, dari istri (Hunaidah), dari sebagian istri Nabi, dari Rasulullah ﷺ, dan disahihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Sahih Sunan Abi Dawud. Walaupun terdapat sebagian perselisihan dalam periwayatannya, insya Allah, jalan di atas adalah jalan yang terkuat dan bisa disahihkan. Dalam riwayat Abu Dawud, diriwayatkan dengan konteks (والخميس), maksudnya adalah tiga hari dalam sebulan, yaitu awal Senin, Kamis, dan satu hari yang lain. Demikian keterangan Al-Baihaqy setelah membawa riwayatnya seperti riwayat Abu Dawud.
[2] Dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah pada pembahasan puasa Sunnah, disebutkan bahwa puasa delapan hari awal adalah Sunnah, menurut kesepakatan para ulama ahli fikih. Namun dalam Latha`if Al-Ma’arif hal. 277 (cet. Maktabah Ar-Riyadh Al-Hadisiyah), Ibnu Rajab hanya menyebutkan bahwa Sunnahnya adalah merupakan pendapat kebanyakan para ulama.
[3] Diriwayatkan oleh Muslim no. 1176, Abu Dawud 2439, At-Tirmidy no. 755, dan selainnya.
[4] Bacalah Al-Majmu’ dan Syarh Muslim 8/71-72.
[5] Bacalah Fathul Bary 2/460.
[6] Bacalah As-Sunan Al-Kubra` 4/285.
[7] Baca Zadul Ma’ad 2/61.
[8] Penjelasan An-Nawawy, Al-Baihaqy, dan Ibnul Qayyim juga diterangkan oleh Ibnu Rajab dengan membawakan beberapa keterangan tambahan. Silakan membaca buku beliau, Latha`if Al-Ma’arif, hal. 277-278 (cet. Maktabah Ar-Riyadh Al-Hadisiyah).
[9] Bahkan, menurut Imam An-Nawawy rahimahullah, itu adalah puasa yang sangat disunnahkan. Bacalah Syarh Muslim 8/71
Penulis: Al-Ustadz Dzulqarnain M. Sunusi hafizhahullah