Fenomena kesyirikan dan pelanggaran tauhid banyak terjadi di masyarakat kita, karena kurangnya pengetahuan mereka tentang masalah tauhid dan keimanan, serta hal-hal yang bisa mendangkalkan, bahkan merusak akidah (keyakinan) seorang Muslim.
Kenyataan ini diisyaratkan dalam banyak ayat Alquran, di antaranya dalam firman Allah ﷻ:
“Dan sebagian besar manusia tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan memersekutukan-Nya (dengan Sesembahan-Sesembahan lain).” [QS Yusuf:106]
Ibnu Abbas menjelaskan arti ayat ini:
“Kalau ditanyakan kepada mereka:
Siapakah yang menciptakan langit?
Siapakah yang menciptakan bumi?
Siapakah yang menciptakan gunung?
Maka mereka akan menjawab: “Allah (yang menciptakan semua itu).” (Tapi bersamaan dengan itu) mereka memersekutukan Allah (dengan beribadah dan menyembah kepada selain-Nya).” [1]
Semakna dengan ayat di atas Allah ﷻ juga berfirman:
“Dan sebagian besar manusia tidak beriman (dengan iman yang benar) walaupun kamu sangat menginginkannya” [QS Yusuf:103,]
Artinya: Mayoritas manusia walaupun kamu sangat menginginkan dan bersungguh-sungguh untuk (menyampaikan) petunjuk (Allah), mereka tidak akan beriman kepada Allah (dengan iman yang benar), karena mereka memegang teguh (keyakinan) kafir (dan syirik) yang merupakan agama (warisan) nenek moyang mereka [2].
Dalam hadis yang sahih, Rasulullah ﷺ lebih menegaskan hal ini dalam sabda beliau:
“Tidak akan terjadi Hari Kiamat sampai beberapa qabilah (suku/kelompok) dari umatku bergabung dengan orang-orang musyrik, dan sampai mereka menyembah berhala (segala sesuatu yang disembah selain Allah taala).” [3].
Ayat-ayat dan hadis di atas menunjukkan, bahwa perbuatan syirik terus ada dan terjadi di umat Islam, sampai datangnya Hari Kiamat [4].
Tukang sihir dan dukun adalah Thagut sekaligus setan dari kalangan manusia. Allah ﷻ berfirman:
“Apakah akan Aku beritakan kepada kalian, kepada siapa setan-setan itu turun? Mereka turun kepada tiap-tiap pendusta lagi banyak berbuat jahat/buruk (para dukun dan tukang sihir). Setan-setan tersebut menyampaikan berita yang mereka dengar (dengan mencuri berita dari langit, kepada para dukun dan tukang sihir), dan kebanyakan mereka adalah para pendusta.” [QS asy-Syu’araa’:221-223]
Imam Qatadah [5] menjelaskan, bahwa yang dimaksud dengan “Para pendusta lagi banyak berbuat jahat/buruk” adalah para dukun dan tukang sihir [6]. Mereka itulah teman-teman dekat para setan, yang mendapat berita yang dicuri para setan tersebut dari langit [7].
Bahkan sahabat yang mulia Abdullah bin Mas’ud ketika menafsirkan firman Allah ﷻ:
“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari kalangan) manusia dan (dari kalangan) jin. Sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah untuk menipu (manusia).” [QS al-An’aam:112]
Beliau radhiyallahu ‘anhu berkata: “Para dukun (dan tukang sihir) adalah setan-setan (dari kalangan) manusia.” [8].
Dalam atsar/riwayat yang lain sahabat yang mulia Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu ketika ditanya tentang arti “Thagut”, beliau berkata: “Mereka adalah para dukun yang setan-setan turun kepada mereka.” [9]
Thagut adalah segala sesuatu yang dijadikan Sesembahan selain Allah taala, dan dijadikan sekutu bagi-Nya [10]. Allah taala telah mewajibkan kita untuk mengingkari dan menjauhi Thagut dalam segala bentuknya. Bahkan tidak akan benar keimanan dan tauhid seorang hamba tanpa mengingkari dan menjauhinya. Allah ﷻ berfirman:
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus seorang rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thagut itu.” [QS an-Nahl:36]
“Barang siapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah (semata-mata), maka sesungguhnya dia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat, (dan) tidak akan putus (kalimat tauhid Laa ilaaha illallah). Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” [QS al-Baqarah:256]
Demikianlah profil sangat buruk para dukun dan tukang sihir. Tapi mengapa masih saja ada orang yang mau memercayai mereka? Bahkan menyandarkan nasib hidup mereka kepada teman-teman setan ini? Bukankah ini merupakan kebodohan yang nyata dan penentangan besar terhadap Allah taala dan agama-Nya?
Termasuk dalam kategori dukun dan tukang sihir adalah tukang santet, tukang tenung, ahli nujum, peramal, dan orang yang disebut sebagai “paranormal” [11] atau “orang pintar.”
Praktik kufur dan syirik yang biasa dilakukan oleh para dukun dan tukang sihir. Allah ﷻ berfirman:
“Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman. (Dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (mengerjakan sihir). Hanya setan-setan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia, dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil, yaitu Harut dan Marut. Sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun sebelum mengatakan: “Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), maka janganlah kamu kafir.”
Maka mereka memelajari dari kedua malaikat itu, apa yang dengan sihir itu mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan istrinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorang pun, kecuali dengan izin Allah. Dan mereka memelajari sesuatu yang memberi mudharat kepada diri mereka sendiri, dan tidak memberi manfaat. Padahal sesungguhnya mereka telah meyakini, bahwa barang siapa yang menukarnya (Kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di Akhirat. Dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya sendiri dengan sihir, kalau mereka mengetahui.” [QS al-Baqarah:102]
Ayat ini dengan tegas menyatakan kafirnya para dukun dan tukang sihir [12]. Yang ini disebabkan perbuatan syirik dan kufur yang mereka lakukan, yaitu:
1. Mengaku-ngaku mengetahui hal-hal yang gaib, padahal hal ini merupakan kekhususan bagi Allah taala, sebagaimana dalam firman-Nya:
“Katakanlah: ‘Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara gaib, kecuali Allah.” Dan mereka tidak mengetahui bilamana mereka akan dibangkitkan.” [QS an-Naml:65]
“(Dia adalah Rabb) Yang Mengetahui yang gaib. Maka Dia tidak memerlihatkan kepada seorang pun tentang yang gaib itu, kecuali kepada rasul yang diridai-Nya. Maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya.” [QS al-Jin:26-27]
Imam al-Qurthubi ketika menafsirkan ayat di atas, beliau berkata:
“(Para) ahli nujum dan orang-orang yang seperti mereka (para dukun dan tukang sihir) yang melakukan (praktik perdukunan) dengan memukul batu-batu kerikil, melihat buku-buku (perdukunan), atau mengusir burung (sebagai tanda kesialan atau keberuntungan), mereka itu bukanlah rasul yang diridai-Nya untuk diperlihatkan-Nya kepada mereka perkara-perkara gaib yang mereka inginkan. Bahkan mereka adalah orang yang kafir (kepada-Nya), berdusta (besar) atas (nama)-Nya, dengan kebohongan, penipuan, dan prasangka (dusta) yang mereka (lakukan).” [13]
Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu syaikh ketika menjelaskan makna sabda Rasulullah ﷺ:
“Barang siapa yang mendatangi dukun atau tukang ramal kemudian membenarkan ucapannya, maka sungguh dia telah kafir terhadap agama yang diturunkan kepada nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.” [14]
Beliau berkata:
“Dalam hadis ini terdapat dalil yang menunjukkan kafirnya dukun dan tukang sihir, karena mereka mengaku-ngaku mengetahui ilmu gaib, yang ini merupakan kekafiran.” [15].
Adapun perkara-perkara gaib yang disampaikan oleh para dukun yang terkadang benar, maka itu adalah berita yang dicuri oleh para setan dari langit, lalu mereka sampaikan kepada teman-teman dekat mereka, yaitu para dukun dan tukang sihir, yang kemudian mencampuradukkan berita tersebut dengan seratus kedustaan sebelum disampaikan kepada orang lain, sebagaimana yang dijelaskan dalam hadis sahih [16].
Oleh karena itu Rasulullah ﷺ ketika ditanya tentang al-kuhhaan (para dukun), beliau ﷺ menjawab:
“Mereka adalah orang-orang yang tidak punya arti (orang-orang yang hina).”
Kemudian si penanya berkata: ‘Sesungguhnya para dukun tersebut terkadang menyampaikan kepada kami suatu (berita) yang (kemudian ternyata) benar.’
Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Kalimat (berita) yang benar itu adalah yang dicuri (dari berita di langit) oleh jin (setan), lalu dimasukkannya ke telinga teman dekatnya (dukun dan tukang sihir), yang kemudian mereka mencampuradukkan berita tersebut dengan seratus kedustaan.” [17]
Peristiwa pencurian berita dari langit oleh para setan banyak terjadi di jaman Jahiliyah, sebelum diutusnya Rasulullah ﷺ. Adapun setelah diutusnya Rasulullah ﷺ, maka itu tidak banyak terjadi, karena Allah taala telah menjadikan bintang-bintang sebagai penjaga langit dan pembakar para setan yang mencuri berita dari langit [21]. Sebagaimana dalam firman Allah ﷻ:
“(Para Jin itu berkata): “Dan sesungguhnya kami telah mencoba mengetahui (rahasia) langit. Maka kami mendapatinya penuh dengan penjagaan yang kuat dan panah-panah api. Dan sesungguhnya kami dahulu (sebelum diutusnya Rasulullah ﷺ) dapat menduduki beberapa tempat di langit itu untuk mendengar-dengarkan (berita-beritanya). Tetapi sekarang (setelah diutusnya Rasulullah ﷺ), barang siapa yang (mencoba) mendengar-dengarkan (seperti itu), tentu akan menjumpai panah api yang mengintai (untuk membakarnya).” [QS al-Jin:8-9]
2- Bekerjasama dengan setan dan melakukan perbuatan kufur/syirik, sebagai syarat agar setan mau membantu mereka dalam praktik sihir dan perdukunan.
Para dukun dan tukang sihir selalu bekerjasama dengan para jin dan setan dalam menjalankan praktik perdukunan dan sihir mereka. Bahkan para jin dan setan tersebut tidak mau membantu mereka dalam praktik tersebut, sampai mereka melakukan perbuatan syirik dan kafir kepada Allah taala. Misalnya memersembahkan hewan kurban untuk para jin dan setan tersebut, menghinakan Alquran dengan berbagai macam cara, atau perbuatan-perbuatan kafir lainnya [19]. Allah ﷻ berfirman:
“Dan bahwasannya ada beberapa orang dari (kalangan) manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki dari (kalangan) jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan.” [QS al-Jin:6]
“Dan (ingatlah) hari di waktu Allah menghimpunkan mereka semuanya, (dan Dia berfirman): “Hai golongan jin (setan), sesungguhnya kamu telah banyak (menyesatkan) manusia.”
Lalu berkatalah teman-teman dekat mereka dari golongan manusia (para dukun dan tukang sihir): “Ya Rabb kami, sesungguhnya sebagian dari kami telah mendapatkan kesenangan/manfaat dari sebagian (yang lain), dan kami telah sampai kepada waktu yang telah Engkau tentukan bagi kami.”
Allah berfirman: “Neraka itulah tempat tinggal kalian, sedang kalian kekal di dalamnya. Kecuali kalau Allah menghendaki (yang lain)”. Sesungguhnya Rabbmu Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” [QS al-An’aam:128]
Imam al-Qurthubi berkata:
“Kesenangan/manfaat yang didapatkan jin dari manusia adalah dengan berita bohong menakutkan, perdukunan, dan sihir yang diberikan jin kepada manusia (dukun dan tukang sihir).” [20]
Syaikh Abdurrahman as-Sa’di berkata:
“Jin (setan) mendapatkan kesenangan dengan manusia menaatinya, menyembahnya, mengagungkannya, dan berlindung kepadanya (berbuat syirik dan kufur kepada Allah taala). Sedangkan manusia mendapatkan kesenangan dengan dipenuhi dan tercapainya keinginannya, dengan sebab bantuan dari para jin untuk memuaskan keinginannya. Maka orang yang menghambakan diri pada jin (sebagai imbalannya), jin tersebut akan membantunya dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.” [21]
Oleh karena itulah, Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz ketika menerangkan sebab kafirnya para dukun dan tukang sihir, beliau berkata:
“…Karena dukun dan tukang sihir mengaku-ngaku (mengetahui) ilmu gaib, dan ini adalah kekafiran. Juga karena mereka tidak akan (mungkin) mencapai tujuan mereka (melakukan sihir dan perdukunan), kecuali dengan melayani jin (setan), dan menjadikannya Sesembahan selain Allah. Dan ini adalah perbuatan kufur kepada Allah dan syirik (menyekutukan Allah Taala).” [22]
Hukum Mendatangi Dukun dan Tukang Sihir
Mendatangi dan bertanya kepada teman-teman dekat setan ini adalah perbuatan dosa yang sangat besar, dan bahkan bisa jadi merupakan kekafiran kepada Allah taala [23], dengan perincian sebagai berikut:
– Mendatangi dan bertanya kepada mereka tentang sesuatu, tanpa membenarkannya (hanya sekadar bertanya), maka ini hukumnya dosa yang sangat besar, dan tidak diterima salatnya selama empat puluh hari [24], berdasarkan sabda Rasululah ﷺ:
“Barang siapa yang mendatangi tukang ramal (orang yang mengaku mengetahui ilmu gaib, termasuk dukun dan tukang sihir [25]), kemudian bertanya tentang sesuatu hal kepadanya, maka tidak akan diterima salat orang tersebut selama empat puluh malam (hari).” [26]
– Mendatangi dan bertanya kepada mereka tentang sesuatu, kemudian membenarkan ucapan/berita yang mereka sampaikan, maka ini adalah kufur/kafir terhadap Allah taala [27], berdasarkan sabda Nabi ﷺ:
“Barang siapa yang mendatangi dukun atau tukang ramal kemudian membenarkan ucapannya, maka sungguh dia telah kafir terhadap agama yang diturunkan kepada nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.” [28]
Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu syaikh berkata:
“Orang yang membenarkan dukun dan tukang sihir, meyakini (benarnya ucapan mereka), dan meridai hal tersebut, maka ini merupakan kekafiran (kepada Allah taala).” [29].
Bolehkah menghilangkan/mengobati sihir dengan bantuan dukun/tukang sihir?
Jawabnya: Jelas tidak boleh. Karena kalau mendatangi dan membenarkan tukang sihir/dukun adalah perbuatan kafir kepada Allah taala, maka terlebih lagi meminta bantuan kepada mereka untuk menghilangkan sihir! [30]
Oleh karena itu, dalam hadis yang sahih, ketika Rasulullah ﷺ ditanya tentang an-Nusyrah (cara mengobati sihir) yang biasa dilakukan orang-orang di jaman Jahiliyah, yaitu dengan meminta tukang sihir/dukun, atau memakai sihir untuk menghilangkan sihir tersebut [31], maka beliau ﷺ menjawab: “Itu termasuk perbuatan setan.” [32].
Adapun mengobati sihir dengan ruqyah (pengobatan dengan membacakan ayat-ayat Alquran dan zikir-zikir dari Sunnah Rasulullah ﷺ), ta’awwudzaat (zikir-zikir meminta perlindungan dari Allah yang bersumber dari Alquran dan Sunnah Rasulullah ﷺ) yang disyariatkan, dan pengobatan-pengobatan (lain) yang diperbolehkan (dalam agama), maka ini boleh dilakukan. Dan inilah pengobatan yang diridai Allah taala, serta benar-benar bisa diharapkan kesembuhannya dengan izin-Nya. [33]
Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah berkata:
“An-Nusyrah adalah (cara) menghilangkan sihir dari orang yang terkena sihir. Yang ini ada dua macam:
Pertama: Menghilangkan sihir dengan sihir yang semisalnya (dengan bantuan dukun/tukang sihir). Inilah yang termasuk perbuatan setan (seperti yang disebutkan dalam hadis di atas), karena sihir itu termasuk perbuatannya. Maka (ini dilakukan dengan cara) yang melakukan pengobatan (dukun/tukang sihir), dan si pasien melakukan pendekatan diri kepada setan sesuai dengan yang diinginkan setan tersebut, (agar) kemudian setan tersebut menghilangkan sihir dari si pasien.
Kedua: Menghilangkan sihir dengan ruqyah (pengobatan dengan membacakan ayat-ayat Alquran dan zikir-zikir dari Sunnah Rasulullahﷺ), ta’awwudzaat (zikir-zikir meminta perlindungan dari Allah yang bersumber dari Alquran dan Sunnah Rasulullah ﷺ), doa-doa, dan pengobatan-pengobatan (lain) yang diperbolehkan (dalam agama), maka ini (hukumnya) boleh, bahkan dianjurkan (dalam Islam).” [34]
Larangan penggunaan sihir ini juga berlaku dalam perkara-perkara lain, meskipun perkara itu dianggap baik oleh sebagian orang. Misalnya mendekatkan/menguatkan hubungan cinta pasutri, mendamaikan dua orang yang sedang berselisih, dan lain sebagainya.
Syaikh Muhammad bin Shaleh al-‘Utsaimin rahimahullah ketika ditanya tentang hukum menjadikan harmonis hubungan suami-istri dengan sihir, beliau menjawab:
“Ini (hukumnya) diharamkan (dalam Islam) dan tidak boleh (dilakukan). Ini disebut al-Athfu (mendekatkan), sedangkan sihir yang digunakan untuk memisahkan (suami-istri) disebut ash-Sharfu (memalingkan). Dan ini juga diharamkan (dalam Islam). Bahkan terkadang (perbuatan) ini bisa jadi (hukumnya sampai pada) kekafiran dan syirik (menyekutukan Allah). Allah taala berfirman:
“…Sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun sebelum mengatakan: “Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu). Maka janganlah kamu kafir.”
Maka mereka memelajari dari kedua malaikat itu, apa yang dengan sihir itu mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan istrinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorang pun, kecuali dengan izin Allah. Dan mereka memelajari sesuatu yang memberi mudharat kepada diri mereka sendiri, dan tidak memberi manfaat. Padahal sesungguhnya mereka telah meyakini, bahwa barang siapa yang menukarnya (Kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di Akhirat.”[QS al-Baqarah:102].” [35]
Penutup
Demikianlah penjelasan tentang sihir dan perdukunan, dan pengaruh buruknya dalam merusak tauhid dan keimanan seorang Muslim. Oleh sebab itu, wajib bagi setiap Muslim yang ingin menjaga keutuhan imannya kepada Allah taala untuk menjauhi, bahkan memerangi semua bentuk praktik sihir dan perdukunan, serta melarang keras, dan menasihati orang lain yang masih terpengaruh dengan para dukun dan tukang sihir untuk menjauhi mereka.
Sebagai penutup, renungkanlah nasihat berharga dari firman Allah taala berikut:
“Sesungguhnya setan itu adalah musuh (yang nyata) bagimu. Maka jadikanlah ia musuh(mu). Karena sesungguhnya setan-setan itu hanyalah (ingin) mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni Neraka yang menyala-nyala.” [QS Faathir:6]
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA
[1] Dinukil oleh Imam Ibnu Katsir dalam tafsir beliau (2/649), lihat juga kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 406).
[2] Kitab “Fathul Qadiir” (4/77).
[3] HR Abu Dawud (no. 4252), at-Tirmidzi (no. 2219) dan Ibnu Majah (no. 3952), dinyatakan sahih oleh imam at-Tirmidzi dan Syaikh al-Albani.
[4] Lihat kitab “al-‘Aqiidatul Islaamiyyah” (hal. 33-34) tulisan syaikh Muhammad bin Jamil Zainu.
[5] Beliau adalah Qotadah bin Di’aamah As Saduusi Al Bashri (wafat setelah tahun 110 H), imam besar dari kalangan tabi’in yang sangat terpercaya dan kuat dalam meriwayatkan hadis Rasulullah ﷺ (lihat kitab “Taqriibut tahdziib”, hal. 409).
[6] Dinukil oleh Imam al-Bagawi dalam “Ma’aalimut Tanziil” (6/135) dan Ibnul Jauzi dalam “Zaadul Masiir (6/149).
[7] Lihat kitab “Ma’aalimut tanziil” (6/135).
[8] Dinukil oleh Imam asy-Syaukani dalam tafsir beliau “Fathul Qadiir” (2/466).
[9] Dinukil oleh Imam Ibnu Katsir dalam tafsir beliau (1/680).
[10] Lihat “Tafsir Ibnu Katsir” (1/416).
[11] Meskipun yang lebih tepat disebut “ora normal” (tidak normal).
[12] Lihat kitab “Zaadul Masiir” (1/122).
[13] Kitab “al-Jaami’ Liahkaamil Qur’an’ (19/28).
[14] HR Ahmad (2/429) dan al-Hakim (1/49), disahihkan oleh al-Hakim, disepakati oleh adz-Dzahabi dan syaikh al-Albani dalam “Ash-Shahiihah” (no. 3387).
[15] Kitab “Fathul Majiid” (hal. 356).
[16] HSR al-Bukhari (no. 4424).
[17] HSR al-Bukhari (no. 5429) dan Muslim (no. 2228).
[21] Lihat kitab “Fathul Majiid” (hal. 353) dan “At-Tamhiid li Syarhi Kitaabit Tauhiid” (hal. 321).
[19] Lihat kitab “At-Tamhiid li Syarhi Kitaabit Tauhiid” (hal. 317) dan kitab “Hum laisu bisyai” (hal. 4).
[20] Kitab “al-Jaami’ Liahkaamil Qur’an’ (7/75).
[21] Kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 273).
[22] Lihat kitab “Risaalatun fi Hukmis Sihri wal Kahaanah” (hal. 5).
[23] Lihat kitab “Fathul Majiid” (hal. 354) dan “At-Tamhiid li Syarhi Kitaabit Tauhiid” (hal. 320).
[24] Lihat kitab “Taisiirul ‘Aziizil Hamiid” (hal. 358), “At-Tamhiid li Syarhi Kitaabit Tauhiid” (hal. 320) dan kitab “Hum laisu bisyai” (hal. 4).
[25] Lihat kitab “Syarhu shahiihi Muslim” karya Imam an-Nawawi (14/227).
[26] HSR Muslim (no. 2230).
[27] Lihat kitab “Taisiirul ‘Aziizil Hamiid” (hal. 358), “at-Tamhiid li syarhi kitaabit tauhiid” (hal. 320) dan kitab “Hum laisu bisyai” (hal. 4).
[28] HR Ahmad (2/429) dan al-Hakim (1/49), disahihkan oleh al-Hakim, disepakati oleh adz-Dzahabi dan syaikh al-Albani dalam “Ash-Shahiihah” (no. 3387).
[29] Kitab “Fathul Majiid” (hal. 356).
[30] Lihat kitab “Risaalatun fi Hukmis Sihri wal Kahaanah” (hal. 11).
[31] Lihat kitab “Risaalatun fi Hukmis Sihri wal Kahaanah” (hal. 11-12).
[32] HR Abu Dawud (no. 3868), Ahmad (3/294) dan al-Hakim (4/464), disahihkan oleh al-Hakim, disepakati oleh adz-Dzahabi dan syaikh al-Albani.
[33] Lihat kitab “Risaalatun fi Hukmis Sihri wal Kahaanah” (hal. 12) dan kitab “Hum laisu bisyai” (hal. 17).
[34] Kitab “I’laamul muwaqqi’iin” (4/396).
[35] Kitab “Majmu’u Fataawa wa Rasa-il Syaikh Ibnu ‘Utsaimin” (2/143).