Sholat Dhuha, Pengganti Sedekah Persendian
Allah Subhanahu wa Ta’ala mensyariatkan sholat-sholat sunnah untuk menyempurnakan ibadah sholat wajib, yang terkadang tidak dapat sempurna pahalanya. Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ عَمَلِهِ صَلَاتُهُ فَإِنْ صَلُحَتْ فَقَدْ أَفْلَحَ وَأَنْجَحَ وَإِنْ فَسَدَتْ فَقَدْ خَابَ وَخَسِرَ فَإِنْ انْتَقَصَ مِنْ فَرِيضَتِهِ شَيْءٌ قَالَ الرَّبُّ عَزَّ وَجَلَّ انْظُرُوا هَلْ لِعَبْدِي مِنْ تَطَوُّعٍ فَيُكَمَّلَ بِهَا مَا انْتَقَصَ مِنْ الْفَرِيضَةِ ثُمَّ يَكُونُ سَائِرُ عَمَلِهِ عَلَى ذَلِكَ
Sesungguhnya amalan yang pertama kali dihisab dari seorang hamba ialah sholatnya. Apabila baik, maka ia telah beruntung dan selamat. Dan bila rusak, maka ia telah rugi dan menyesal. Apabila kurang sedikit dari sholat wajibnya, maka Rabb Azza wa Jalla berfirman, “Lihatlah, apakah hamba-Ku memiliki sholat Tathawwu’ (sholat Sunnah),” lalu disempurnakanlah dengannya yang kurang dari sholat wajibnya tersebut, kemudian seluruh amalannya diberlakukan demikian. [HR at-Tirmidzi]. Dan di antara yang disyariatkan ialah Sholat Dhuha.
Keutamaan Sholat Dhuha
- Mencukupkan sedekah sebanyak persendian manusia, yaitu 360 persendian, sebagaimana dijelaskan dalam hadis:
عَنْ أَبِي ذَرٍّ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلَامَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ فَكُلُّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْيٌ عَنْ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنْ الضُّحَى. (أخرجه مسلم).
Dari Abu Dzar, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau telah bersabda: “Di setiap pagi, ada kewajiban sedekah atas setiap persendian dari salah seorang kalian. Setiap Tasbiih adalah sedekah, setiap Tahmiid adalah sedekah, setiap Tahliil adalah sedekah, setiap Takbiir adalah sedekah, Amar Makruf Nahi Mungkar adalah sedekah. Dan dapat memadai untuk semua itu, dua rakaat yang dilakukan pada waktu Dhuha” [HR Muslim, kitab Sholat al-Musafirin wa Qashruha, Bab: Istihbab Sholat ad-Dhuha, hadis No. 720].
Juga sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
فِي الْإِنْسَانِ ثَلَاثُ مِائَةٍ وَسِتُّونَ مَفْصِلًا فَعَلَيْهِ أَنْ يَتَصَدَّقَ عَنْ كُلِّ مَفْصِلٍ مِنْهُ بِصَدَقَةٍ قَالُوا وَمَنْ يُطِيقُ ذَلِكَ يَا نَبِيَّ اللَّهِ قَالَ النُّخَاعَةُ فِي الْمَسْجِدِ تَدْفِنُهَا وَالشَّيْءُ تُنَحِّيهِ عَنْ الطَّرِيقِ فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فَرَكْعَتَا الضُّحَى تُجْزِئُكَ
“Dalam diri manusia ada 360 persendian, lalu diwajibkan sedekah dari setiap sendinya.” Mereka bertany: ”Siapa yang mampu demikian, wahai Nabi Allah?” Beliau menjawab:”Memendam riak yang ada di masjid dan menghilangkan sesuatu (gangguan) dari jalanan. Apabila tidak mendapatkannya, maka dua rakaat Sholat Dhuha mencukupkanmu.” [HR Abu Dawud no. 5242 dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam kitab Irwaa`ul-Ghaliil, 2/213 dan at-Ta’liq ar-Raghib, 1/235].
- Allah Subhanahu wa Ta’ala menjaga orang yang Sholat Dhuha empat rakaat pada hari tersebut, sebagaimana dijelaskan dalam hadis:
عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ أَوْ أَبِي ذَرٍّ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ أَنَّهُ قَالَ ابْنَ آدَمَ ارْكَعْ لِي مِنْ أَوَّلِ النَّهَارِ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ أَكْفِكَ آخِرَهُ أخرجه الترمذي. قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ
Dari Abu Dardaa’ atau Abu Dzar, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dari Allah Subhanahu wa Ta’alabahwa, Allah berfirman: “Wahai Bani Adam, sholatlah untuk-Ku pada awal siang hari empat rakaat, niscaya Aku menjagamu sisa hari tersebut” [HR at-Tirmidzi, kitab Sholat, Bab: Ma Ja`a fi Sholat ad-Dhuha, no. 475. Abu ‘Isa berkata: “Hadis Hasan Gharib”. Hadis ini dishahihkan Ahmad Syakir dalam tahqiq beliau atas kitab at-Tirmidzi. Juga dishahihkan Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi, 1/147].
- Sholat Dhuha merupakan sholat Al-Awwabin, yaitu orang yang banyak bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana disampaikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadis Abu Hurairah Radhiyallahu anhu yang berbunyi:
لاَ يُحَافِظُ عَلَى صَلاَةِ الضُّحَى إِلاَّ أَوَّابٌ قَالَ وَهِيَ صَلاَةُ الأَوَّابِيْنَ. (أخرجه الحاكم).
Tidaklah menjaga Sholat Dhuha kecuali orang yang banyak bertaubat kepada Allah [HR al-Hakim dalam al-Mustadrak, 1/314. Syaikh al-Albani menilai sebagai hadis hasan dalam Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah no. 1994; lihat 2/324].
Hukum Sholat Dhuha [Lihat asy-Syarhu al-Mumti’, 4/115-117. Shahih Fiqhis-Sunnah, 1/422-424. Zadul-Ma’ad, 1/318-348]
Para ulama berselisih tentang hukum Sholat Dhuha dalam beberapa pendapat sebagai berikut:
1. Hukumnya Sunnah Mutlak, dan disunnahkan melakukannya setiap hari. Demikian ini madzhab mayoritas ulama, yang berargumentasi dengan beberapa dalil:
- Keumuman hadis-hadis tentang keutamaan Sholat Dhuha sebagaimana telah disebutkan terdahulu.
- Hadis Abu Hurairah Radhiyallahu anhu yang berbunyi:
أَوْصَانِي خَلِيلِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِثَلَاثٍ صِيَامِ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَرَكْعَتَيْ الضُّحَى وَأَنْ أُوتِرَ قَبْلَ أَنْ أَنَامَ
Kekasihku Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berwasiat kepadaku dengan tiga hal: Puasa tiga hari setiap bulan, Dua rakaat Dhuha dan Witir sebelum tidur. [Muttafaqun ‘alaihi].
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah menyatakan, hadis ini menunjukkan bahwa Sholat Dhuha adalah Sunnah Mutlak yang dilakukan setiap hari [Asy-Syarhul-Mumti’, 4/116].
- Hadis Mu’adzah al-‘Adawiyah ketika bertanya kepada ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha dengan sebuah pertanyaan:
كَمْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي صَلَاةَ الضُّحَى قَالَتْ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ وَيَزِيدُ مَا شَاءَ
“Dahulu, berapa rakaat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam Sholat Dhuha?” Beliau menjawab,”Empat rakaat, dan menambah sesukanya” [HR Muslim, kitab Shalaat al-Musafirin wa Qashruha, Bab: Istihbab Sholat ad-Dhuha, hadis no. 719].
2. Hukumnya sunnah, namun tidak dilakukan setiap hari.
3. Hukumnya bukan sunnah, inilah pendapat Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma
4. Sholat Dhuha hanya disunnahkan karena faktor tertentu.
Pendapat ini dirajihkan Ibnu Taimiyyah rahimahullah dan Ibnul-Qayyim rahimahullah.
Menurut beliau (Ibnul-Qayyim), barang siapa yang menelaah hadis-hadis marfu’ dan atsar sahabat, tentu akan menyimpulkannya hanya mendukung pendapat ini. Adapun hadis-hadis yang berupa anjuran dan wasiat untuk melakukannya, maka yang shahih darinya, seperti hadis Abu Hurairah dan Abu Dzar Radhiyallahu anhuma tidak menunjukkan jika Sholat Dhuha sebagai sunnah yang terus dikerjakan untuk setiap orang.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mewasiatkan kepada Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dengan wasiat itu, karena telah diriwayatkan bahwa Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dahulu memilih belajar hadis pada malam hari dari pada sholat, lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan melakukannya pada waktu Dhuha sebagai ganti sholat malam. Oleh karena itu, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk tidak tidur kecuali setelah berwitir, dan tidak memerintahkan hal itu kepada Abu Bakar, ‘Umar dan seluruh sahabat lainnya radhiyallahu ‘anhum [Zadul-Ma’ad, 1/346].
Sedangkan Ibnu Taimiyyah rahimahullah, setelah menjelaskan sunnahnya Sholat Dhuha, beliau rahimahullah menyatakan, masalahnya apakah yang lebih utama melakukannya secara terus-menerus ataukah tidak, karena mencontoh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ? Demikian ini yang menjadi perselisihan para ulama. Yang rajih dikatakan, barang siapa yang kontinyu melakukan sholat malam, maka itu mencukupinya dari melakukan Sholat Dhuha terus-menerus, sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu demikian. Barang siapa yang tidak melakukan sholat malam, maka Sholat Dhuha menjadi pengganti sholat malam [Majmu’ Fatawa, 22/284].
Adapun yang rajih dari pendapat-pendapat tersebut, Insya Allah adalah pendapat pertama, karena keumuman anjuran melakukan Sholat Dhuha. Demikian pula yang dirajihkan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah. Beliau menyatakan, yang rajih ialah Sunnah Mutlak yang terus-menerus dilakukan. Sebab Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلَامَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ
(Setiap hari wajib bersedekah bagi setiap persendian dari salah seorang kalian).
Para ulama menjelaskan, bahwa pada tubuh manusia terdapat 360 jumlah persendian, sehingga setiap orang harus bersedekah 360 sedekah setiap hari. Yang dimakusdkan dengan sedekah ini bukan berupa harta, tetapi berupa amalan Taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فَفِي كُلِّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْيٌ عَنْ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنْ الضُّحَى
(Setiap Tasbih adalah sedekah, setiap Tahmid adalah sedekah, setiap Tahlil adalah sedekah, setiap Takbir adalah sedekah, Amar Makruf Nahi Mungkar adalah sedekah. Mencukupkan dari itu semua dua rakaat yang dilakukan di waktu Dhuha).
Berdasarkan hadis ini, maka kami berpendapat bahwa hukum Sholat Dhuha ialah sunnah yang selalu dikerjakan, karena kebanyakan manusia tidak mampu memberikan sedekah hingga 360 sedekah [Asy-Syarhul-Mumti’, 4/117]. Wallahu a’lam.
Waktu Pelaksanaan Sholat Dhuha
Waktu Sholat Dhuha dimulai dari terbitnya matahari hingga menjelang matahari tergelincir (zawal). Sedangkan akhir waktu Dhuha, yaitu dengan tergelincirnya matahari yang menjadi awal waktu Zhuhur.
Secara rinci Syaikh Ibnu ‘Utsaimin menjelaskan bahwa waktu Dhuha berawal setelah matahari terbit seukuran tombak, yaitu sekitar satu meter. Adapun dalam perhitungan jam, yang ma’ruf ialah sekitar 12 menit, atau untuk lebih hati-hati sekitar 15 menit. Apabila telah berlalu 15 menit dari terbit matahari, maka hilanglah waktu terlarang dan masuklah waktu untuk bisa menunaikan Sholat Dhuha. Sedangkan akhir waktunya, ialah sekitar sepuluh menit sebelum matahari tergelincir [Lihat asy-Syarhul-Mumti’, 4/122-123].
Dalil yang menjadi penetapan awal waktu Dhuha, yaitu hadis Abu Dzar yang berbunyi:
عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ أَنَّهُ قَالَ ابْنَ آدَمَ ارْكَعْ لِي مِنْ أَوَّلِ النَّهَارِ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ أَكْفِكَ آخِرَهُ أخرجه الترمذي.
Dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dari Allah Subhanahu wa Ta’ala bahwa Allah berfirman: “Wahai Bani Adam, sholatlah untuk-Ku pada awal siang hari empat rakaat, niscaya Aku menjagamu pada sisa hari tersebut”.
Adapun jeda sebelumnya, karena ada larangan sholat sebelum matahari tergelincir. Oleh karena itu, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah menyatakan, “Jika demikian, waktu Sholat Dhuha dimulai setelah keluar dari waktu larangan pada awal siang hari (pagi hari) sampai adanya larangan saat tengah hari” [Asy-Syarhul-Mumti’, 4/123].
Waktu Paling Utama Sholat Dhuha
Adapun waktu paling utama dalam pelaksanaan Sholat Dhuha ialah di AKHIR WAKTUNYA. Demikian menurut penjelasan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah, dan hal ini dijelaskan oleh hadis:
أَنَّ زَيْدَ بْنَ أَرْقَمَ رَأَى قَوْمًا يُصَلُّونَ مِنْ الضُّحَى فَقَالَ أَمَا لَقَدْ عَلِمُوا أَنَّ الصَّلَاةَ فِي غَيْرِ هَذِهِ السَّاعَةِ أَفْضَلُ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ صَلَاةُ الْأَوَّابِينَ حِينَ تَرْمَضُ الْفِصَالُ
Sesungguhnya Zaid bin Arqam melihat satu kaum melakukan Sholat Dhuha, lalu ia berkata: “Apakah mereka belum mengetahui bahwa sholat pada selain waktu ini lebih utama? Sesungguhnya, dahulu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, sholat Al-Awwabin (ialah) ketika anak onta kepanasan” [HR Muslim, kitab Sholat al-Musafirin wa Qashruha, Bab: Sholat al-Awwabina Hiina Tarmidhu al-Fishal, no. 748].
Jumlah Rakaat Dan Tata Cara Sholat Dhuha
Seorang muslim disyariatkan melakukan Sholat Dhuha dua rakaat, atau empat, atau enam, atau delapan, atau lebih tanpa ada batasan tertentu. Inilah yang dirajihkan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah sebagaimana beliau telah menyatakan, bahwa pendapat yang benar, tidak ada batasan maksimalnya, karena ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي الضُّحَى أَرْبَعًا وَيَزِيدُ مَا شَاءَ الله
(Dahulu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan Sholat Dhuha empat rakaat, dan menambahnya sangat banyak) [HR Muslim, kitab Sholat al-Musafirin wa Qashruha, Bab: Istihbab Sholat ad-Dhuha, no. 719].
Seandainya seseorang mengerjakannya sejak matahari terbit seukuran tombak sampai menjelang matahari tergelincir, misalnya 40 rakaat, maka semua ini termasuk dalam Sholat Dhuha [Asy-Syarhul-Mumti’, 4/119].
Adapun pelaksanaannya, semua dilakukan dengan dua rakaat dua rakaat berdasarkan keumuman sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
صَلَاةُ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ مَثْنَى مَثْنَى
Sholat malam dan siang adalah dua rakaat dua rakaat [HR an-Nasa`i, dalam kitab Qiyamul-Lail wa Tathawu’ an-Nahar, Bab: Kaifa Sholatul-Lail, 3/227. Ibnu Majah dalam kitab Iqamat ash-Sholat was-Sunnah fi ha, Bab: Ma Ja fi Sholatul-Lail wan-Nahar Matsna-Matsna, no. 1322. Dishahihkan Syaikh al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah, 1/221].
Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi Lc
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XI/1428/2008M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
https://almanhaj.or.id/3488-sholat-dhuha-pengganti-sedekah-persendian.html
Leave A Comment